Thursday, July 14, 2011

Mari Makan


Mari Makan
Untuk apa sekolah/kuliah? Untuk mendapatkan kerja. Untuk apa bekerja? Untuk melanjutkan hidup. Memang, bagaimana cara bertahan hidup di zaman ini? Bersikap konsumtif dan eksploitatif. Mengapa? Lihatlah, tidak ada lagi lahan persawahan, perkebunan, dan hutan tempat kita berburu hewan. Yang ada hanya manusia. Apalagi yang bisa dimakan.
Mengutip kata-kata Soe Hok Gie, “Masih banyak mahasiswa bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa ... Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.”
Sumber Daya Manusia. Manusia telah menjadi sumber daya. Daya bagi siapa? Mungkin bagi suatu sistem usaha yang berdasarkan prinsip ekonomi. Dengan pengorbanan seminimal mungkin mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin. Siapa yang untung dan siapa yang dikorbankan sepertinya sengaja diburamkan asas kebutuhan bersama.
Tidak ada ladang lagi bagi tanaman, hanya ada ruang bagi uang. Para pelajar dan mahasiswa diberikan keterampilan dan ilmu, yang diperlukan suatu sistem usaha (perusahaan) saat ini. Ilmu menjadi teknik/cara bagaimana manusia bergerak untuk berbuat sesuatu, guna mendukung keberlangsungan sistem eksploitatif konsumtif ini. Seperti robot yang mendapatkan program dan melakukannya tidak lebih tidak kurang.
Budaya karir, orang bilang. Mungkin benar, semua pelajar akan mengejar karir seperti mengejar pencuri yang ketahuan sedang beraksi. Sistem budaya ini begitu mendominasi, dengan cara mengenalkan yang namanya ‘kemapanan’. Ia begitu menggiurkan, hingga semua manusia ikut-ikutan. Sistem budaya ini kemudian menjadi utama, dengan produknya yang bernama nominalisme. Semua hal memiliki angka (nominal). Untuk buang air kecil bernominal seribu rupiah.
Akhirnya, kebutuhan bertahan hidup manusia dalam arus budaya ini, membuat alur baru bernama otomatisme kehidupan. Lahir, sekolah, kuliah, kerja, menikah, menyekolahkan, menguliahkan, kemapanan, dan mati. Mati, karena meninggal adalah kata untuk kemanusiaan. Kemapanan seolah penyederhanaan dari kompleksitas kemanusiaan. Dehumanisasi kah yang sedang terjadi?
Kembali mengutip kata-kata Soe Hok Gie, “Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”