Friday, January 16, 2015

KO/tbah/Pi di Atas Bukit (cerpen)

KOtbahPI di Atas Bukit.

15.01.2015/Jakarta/freedom-proklamasi


Gersang dan berdebu, panas dan penuh pelari yang bertahan dalam kebergerakan. Banyak sekali yang takut akan diam, sepertinya jeruji definisi begitu menyiksa laku tenang berjalan daripada liar bergerak. Kera-kera-kera.. yang begitu diagung-agungkan saat ini. Aktif bergerak adalah peribadatan tertinggi kepada agama angka dan akumulasinya menentukan martabat kemanusiakeraannya.

Kompetisi dimulai dari tembakan mulai bintang fajar, cahaya dari timur, raja dari raja yang yang tersangkalkan namun diidolakan. Satu jalan beribu kendaraan berjuta manusianya, bergerak bersamaan karena beda itu dosa. Ah sayangnya, persamaan kini menjadi penyamaan dan kebersamaan adalah kesamaan. Penyederhanaan memang menjadi rumit, bukan karena keragamannya namun karena keseragamannya dan gumpalan kesamaan yang memuakkan tak terelakan.

Tidak bisa tidak, derap kaki seperti tentara berpacu di depan pintu kamar kayu. Sengaja cermin terpasang untuk penerangan karena cahaya telah dimonopoli gedung tinggi. Anjing! Ah salah, makian ini sudah tidak aktual lagi. Monyet! Hemm.. rasanya masih kurang juga. Manusia! Mungkin spesies ini lebih pas sebagai makian saat ini. Tidak ada obrolan hanya ketergesaan, buru-buru tidak ada lagi digantikan buru memburu. Seperti manusia jaman batu berburu babi hutan, manusia modern berburu angkutan terpadu yang sekali telan bisa dua ratus orang.

Keluar dari penangkaran masuk ke dalam kandang perahan. Bagaimana kalian menjalani kemanusiaan, sempat kuintip beberapa kali setiap pagi kalah cepat dengan kembalinya kesadaranku. Ah seperti babi, menunduk merendahkan pandangan menatapi langkah tak rela terpaksa namun penuh bangga. Mungkin babi bukan menunduk malu pada dirinya namun malu pada manusia yang meniruinya.

Kebanggaan yang diumbar lewat kotak suara, yang bahkan saat ini tidak lagi menjadi kotak bagi suara. Ia disangkal sebagai media suara menjadi media visual dengan berbagai sosial dalam jaringan yang membuat manusia seperti kuda terikat tali pada kursi plastik yang bahkan tak tertancap di tanah. Mentalitas budak dalam budaya angka, memang begitu seharusnya dan apa masalahnya. Mempermasalahkannya lah yang menjadi masalah. Kita hanya berbeda.

Kemanusiaanmu yang di pagi hari berburu angkutan masal dengan tertunduk memandangi layar ponsel pintar, dengan kemanusiaanku yang terpaksa bangun untuk melemaskan otot untuk menghindari sakit di leher. Kemanusiaanmu di siang hari yang memandangi keluasan dunia yang terlalu luas namun serupa tapi tak sama dengan layar monitor yang melaju kencang kemana pun sesukanya, dengan kemanusiaanku yang hanya seputar dua puluh kilometer dengan keberagaman namun berpola dari laku manusia dari bawah selokan hingga atap bangunan.

Beda itu dosa, klasifikasi berdasarkan berat recehan di dalam selangkangan pada budaya angka oleh iman kepada agama kuasa membuat dua nilai bagi kemanusiaan yaitu jelas dan tidak jelas. Mungkin kemanusiaanmu yang jelas dan kemanusiaanku yang tidak jelas. Bahkan aku menjadi manusia tidak jelas sedangkan kau manusia jelas. Akan menjadi jelas bagiku untuk menjadi sama denganmu karena kamu adalah kalian, karena kejamakan adalah banyak dan kebenaran sebanding dengan kuantitas.

Belokan kanan di pertengahan perjalanan ini selalu membuat penasaran, terlalu sering diabaikan tapi rasanya kali ini waktunya untuk melewati. Hari ketujuh di sini berarti sudah enam kali mengabaikan, kali ketujuh ini rasanya bolehlah menjadi yang pertama. Aku mengambil belokan ke kanan, jalan kecil menanjak yang selalu membuat penasaran dan terabaikan. Sekilas terlintas para jamak dengan moto kera dan laku babinya, tidak salah dan tidak masalah pun adalah cerminan bahwa spesies bias identitas itu mengandung aku di dalamnya.

Mau kemana? Tanya bapak tua yang sedang mengambil rumput di semak pinggi jalan. Mau ke atas pak, ada apa ya di sana? Anda baru di sini? Iya Pak, Saya hanya penasaran saja untuk ke sana. Oh yasudah hati-hati lah, katanya. Di sana ada restoran yang selalu ramai di akhir pekan oleh mobil-mobil dan orang-orang yang mencuri hiburan. Ya, mencuri. Bahkan daerah terpencil pun selama ada akses jalan tidak akan lepas dari jamahan monyet-monyet muda di dalam babi besi. Jika arah yang kau lalui telah memiliki jalurnya, berarti kau sedang mengikuti jejak orang lain. Seperti ini kah maksud perkataan itu, lalu apakah harus ku melalui semak belukar di sisi kiri kanan jalan ini dan membuat jalur yang baru. Merepotkan. Kaki ini melangkah menyusuri tanjakan mengikuti jalan. Tujuanku hanya untuk tau saja.

Napas sedikit terengah, otot kaki masih mampu walau rasanya tidak seperti biasa. Seminggu ini terlalu longgar aku menggunakan badan ini. Seperempat tahun dengan kebiasaan itu apakah masih bisa tangan ini mematahkan leher dengan sekali ayunan, atau sapuan kaki ini mengeluarkan isi lutut dengan satu putaran. Apakah masih mampu melakukan akselerasi mendadak masuk ke dalam area pertahanan lawan sebelum sikap siaga bertahan pertarungan sempat dilakukan. Ah, memori dan repetisi, lintasan pikiran yang telah menjadi kebiasaan segera berhenti seiring dengan kesadaran bahwa aku sedang merepetisi memori. Manusia memang gumpalan memori dengan karya yang hanya lah repetisi. Tidak bisa tidak terlarut di dalamnya, untuk tak hanyut hanya berharap pada kesadaran keterlarutannya. Itu pun kalau tidak lupa.

Aku melihat suatu rumah yang kecil di atas bukit itu. Jalan setapak berbatu yang padat pun terlihat seiring dengan langkahku menyelesaikan pendakian yang kira-kira tiga kilometer dari belokan jalan besar tadi. Tiga kilometer tanjakan curam berkelok. Aku mulai bisa melihat kota ini dari posisi sekarang, sepertinya berada di puncak bukit tempat warung tersebut aku bisa melihat keseluruhan kota ini. Pantas saja jamak mengincar lokasi ini untuk mencuri hiburan, karena dengan demikian jamak bisa lepas dari kemanusiaannya yang telah terdefinisi angka dan berkutat dengan drama kompetisinya. Lucu, kalau tidak suka mengapa menjalani dan berkeras pada pembenaran-pembenaran definitif, pun telah sadar bahwa kebenaran tersebut adalah kolektif. Tidak lucu, karena semua terjadi oleh kebebasan dan keterjebakan pun bentuk kebebasan dalam memilih untuk terjebak. Wajar adanya dan demikianlah alurnya. Kera dalam pikiranku berlonjakan.

Kaki ini tidak melangkah ke jalan setapak perkerasan batu yang tadi kulihat melainkan memasuki semak dan mencari pohon kuat yang ada di sana. Tidak jauh kalau memanjat, tidak apalah sedikit menguji kemampuan tubuh ini, lama tidak terbentur dan tergores, hanya saja kali ini tumbuhan dan bebatuan bukan pukulan tendangan dan senjata yang bermaksud mematikan. Satu lompatan, beberapa tarikan, sejumlah tolakan, dan rasanya begitu melegakan. Badan ini masih bisa kukendalikan, mungkin tidak seterampil jemari yang menari di atas layar sentuh dan sesigap mata yang menangkap pemberitahuan di pojok perambahan dalam jaringan internet, namun kemampuan tiap orang berbeda kan. Aku mampu melemparkan tubuh ini ke atas pohon dan dengan tepat menangkap dahan kuat untuk menarik badan menambah ketinggian, sedangkan ada yang lain yang mampu cepat menangkap pemberitahuan komentar dari unggahan fotonya untuk kemudian bereaksi dengan komentar tepat di bawahnya sebelum komentari lain menduduki posisi itu.

Srak.. srak.. hap.. tap! Suara itu tampaknya membuat wanita penjaga warung menoleh ke belakangnya dan menemukan ku. “Kamu datang dari semak itu?” Ia bertanya. “iya,” kataku, “memanjat pohon.” Sambungku sebelum pertanyaan standar ‘bagaimana?’ muncul. Ia diam, sebelum sempat bertanya sudah kujawab.

“Warungnya buka?” Aku bertanya.

“Iya, hanya karena bukan akhir pekan tidak semua menu ada.”

“Tidak apa, aku hanya ingin segelas kopi yang bukan sachetan.”

“Ada. Pakai gula atau tidak”

Aku terdiam dengan pertanyaan ini, bukan bingung menentukan berapa takaran gula yang akan kuajukan tapi karena di kejamakan bentukan definisi yang membentuk pertanyaan ‘berapa sendok gulanya?’ ada bentukan definisi lain yang mungkin tidak banyak yang menanyakan hal ini. Memang, pertanyaan ‘berapa sekop gulanya?’ pun termasuk kedalam keunikan yang jauh lebih unik. Hanya, sepertinya kasus pertanyaan itu sangat jarang diketemukan dalam skenario meminum kopi. “Tidak usah pakai gula, polos saja.” Jawabku.

“Pecinta kopi ternyata ya?” Ia menyahut dengan nada retoris dalam kalimat tanya.

“Bukan, hanya menikmati pahitnya rasa saja, rasa kopi.”

“Begitulah, banyak yang memesan kopi namun yang diinginkan adalah rasa manis. Kenapa tidak memesan air gula saja.” Wanita itu berkata datar sambil mengangkat air yang telah mendidih. Aku suka dengan caranya membuat kopi. Mendidihkan air, menyiram gelas dengan air panas untuk menghangatkannya, mengambil bubuk kopi seperlunya dan menutupnya kembali. Menuangkan pada gelas hangat yang kering dan menyeduh seperempatnya dengan air mendidih yang telah didiamkan beberapa detik itu.

Dari tempat dudukku aroma kopi mulai menghalau pandangan. Sejak tadi aku berusaha untuk melihat kota ini keseluruhan dari ketinggian tempat ini namun ritual kopi di atas bukit yang Ia lakukan seakan mencuri sebagian perhatian, dan kini aromanya mencuri seluruhnya. Selesai dengan memasak bubuk kopi dengan teknik seperempat gelasnya , Ia menuangkan air hingga penuh satu takaran cangkir dan mengaduknya sebentar, menutup cangkir keramik dengan tutup keramik pula dan menhidangkannya di depanku. “Tunggu sebentar ya, sekitar tiga puluh detik baru dibuka tutupnya. Kopinya akan jadi enak diseruput nanti.” Katanya sambil berlalu dan tidak ada terimakasih dari bibirku. Terpesona.

Apakah monyet atau babi. Apakah dia manusia atau dewa. Apakah dia aku atau aku adalah dia. Apakah apakah dan kenapa kera di dalam pikiran ini mulai bergerak pun aku tahu jawabannya karena memang demikian lah alurnya sesuai hukum utama tritunggal maha niscaya; kemungkinan/posibilitas, peluang/probabilitas, dan sebab akibat/kausalitas. Seketika kesadaran hadir dan untunglah kesadaran hadir untuk menyadari aliran keniscayaan pikiran dan pemikiran, perbandingan dan pembenaran, penilaian dan penghakiman. Begitulah adanya dan adanya lah demikian maka setelah beberapa saat aku pun menghirup aroma kopi ini dan menyeruputnya dengan ganas.

“Ngapain?” Wanita itu bertanya. Ia masih muda mungkin di bawah usiaku angka durasi hidupnya.

“Lihat-lihat aja” Kataku sambil tidak terlalu lama melekatkan pandangan padanya dan kembali memandangi seluruh kota dari serambi warung yang posisinya memang diatur sedemikian sehingga pas sekali untuk menangkap pemandangan.

“Dengan posisi ini, kita bisa melihat segalanya tanpa terlibat di dalamnya. Tidak ada yang melihat kita namun kita bisa melihat semuanya.” Ia berkata.

“Semuanya namun tidak segalanya. Mungkin. Kita bisa melihat semuanya secara menyeluruh namun bapak tua tadi yang sedang mengambil rumput tidak bisa terlihat, kan.” Balasku.

“Saat kita memandang bapak tua tadi, maka tidak bisa kita melihat seluruh kota. Saat kita melihat seluruh kota, tidak dapat kita melihat setitik manusia yang sedang mengambil rumputnya. Ia berada sebagai bagian dari keseluruhan seperti melihat bapak tua tadi tidak membuat kita melihat tahi lalat di pelipis kirinya, namun melihat tahi lalat di pelipis kirinya membuat kita tidak bisa melihat bapak tua itu, demikianlah tahi lalat di pelipis kirinya adalah bagian dari si bapak tua.”

“Iya, maka pentinglah untuk tidak selalu melihat dari serambi yang sama dan perlu untuk melihat dari jendela itu atau serambi belakang itu, atau mungkin berpindah ke teras depan yang langsung berbatasan dengan jurang.” Kataku sambil menunjuk beberapa tempat yang ada di sana. “Bapak tua itu, tinggal di sini?” Lanjutku.

“Iya dan iya.” Jawabnya sambil tersenyum. Sialan, manis.

“Tidak sambil mengopi juga?” Aku mengalihkan keterpesonaanku.

“Tidak, aku tidak suka rasanya tapi aku menikmati aromanya.”

Aku tersenyum pada bibir, namun tertawa pada hati. Kalimat ini pernah kudapatkan dulu. Hahahaha.. sungguh manusia adalah gumpalan memori dan pengulangan tiada henti, maka dengan kecepatan yang melebih kesadaran, refleks, aku menjawab kalimat yang sebetulnya pernah kuucapkan dulu, “Kalau begitu ini kopi kita, ku yang menyeruput dan kau yang menghirup.” Tidak sampai seperempat detik kesadaran hadir bahwa kalimat itu kuucapkan dan pengucapan itu pun berdasarkan memori dan repetisi. Ia tertawa dan memandangiku dengan mata yang juga tertawa. Entah apa maksudnya namun bukankah dia dengan dunianya dan aku dengan duniaku. Dunia yang adalah kotak bagi memori memori.

Aku tidak bertanya dan dia tidak membahas. Selesai tawa itu terjadi kami pun sama-sama memandangi keseluruhan kota di bawah bukit tempat beradanya warung ini. Hening dan kini giliran angin yang berbincang dengan dedaunan. Kopiku tinggal setengah. Tidak terbiasa menyeruput kopi yang dingin, aku selalu menghabiskan kopi selagi dalam keadaan hangat.

Kopiku pun selesai dan wanita ini masih duduk dengan tenang di sebelahku memandangi awan dan tangannya menggenggam kursi kayu tempat kami meletakkan pantat dan pemikiran. Aroma kopi akhirnya selesai dari kerongkongan dan tenggorokanku. Bukan rasa kopi yang membuatnya menjadi kopi namun setelah rasa itulah yang menjadikannya. After taste is everything, katanya dan aku mengerti betul apa maksudnya walau hanya dalam lingkup secangkir kopi.

Bau darah membuatku siaga. Bukan bau darah segar yang tumpah namun bau darah yang penuh dengan nafsu membunuh, panas dan pengap. Sebilah pisau melentin sempurna dari arah kiriku ke arah pusat keningku dengan ujung tajamnya yang tahu pasti arah tujuannya. Gelas kopi kuhentakan ke kiri dan tubuh ini kulemparkan ke kiri oleh kontraksi otot pinggang kiri, leher kiri, dan tolakan otot betis dan paha kaki kanan. Sempat. Telinga kananku sepertinya terkena, karena aliran panas membelai leher kananku.

Kepalaku di dadanya, tepatnya telinga kiriku menempel di dadanya. Wanita kopi yang mempesona dan terlalu pandai untuk menjadi gadis desa penjaga warung kopi di atas bukit. Ritual kopinya bagaikan kotbah, yang selalu berisi tentang pola kemanusiaan dan menggambarkan pengulangan-pengulangan. Kini kedua tangannya memegang belati, yang kiri yang kuelakan dan berhasil mengoyak daun telinga kananku, yang kanannya kupegang dengan tangan kiri dengan kuat agar dalam posisi kepalaku dempet dengan dadanya tidak ada belati yang menembus leherku. Satu hentakan kuat dari otot kaki kiriku melentingkan badanku sehingga puncak kepala ini menghantam dagunya. Dagu yang seandainya kami berciuman akan kupegang lembut dengan telunjuk dan ibu jariku.

Pecah! Dagunya berdarah, pandangannya sekilas membuyar, pisau tangan kirinya lepas dan pilihan ada padaku, mengambil pisau itu dan memberi waktu bagi penglihatannya untuk kembali normal untuk kemudian menyerangnya dengan senjata atau melakukan satu jurus pukulan keras ke ulu hati untuk memecahkan lambungnya dan menjatuhkannya. Aku bukan orang yang sabar, hentakan kaki kanan dan ayunan tangan kanan melesat ke arah pusat badan sang perempuan yang pernah begitu mempesonakan, aku.

Belum sempat meledak, tangan kananku terempas ke arah kanan dan kulihat sebatang kayu menancap pada kulitnya. Tidak sampai menembus karena otot sedang kontraksi penuh dan keras seperti kayu. Ya, kayu, karena masih bisa tertancap anak panah. Kepalanku gagal mendarat pada solar plexusnya namun mendarat pada dada kirinya tepat di garis posisi jantung. Tidak telak meledak hanya menghantam dengan setengah kuat. Aku ikuti jalur anak panah ini dan menemukan bapak tua pengambil rumput yang sedang melepaskan anak panah kedua kearah titik vital di antara kedua mata.

Sekejap telapak tangan kiri menghentikan laju anak panah mendarati keningku, yang kali ini anak panah itu menembus telapak tanganku. Seperti paku pada telapak tangan yang mengikat para jamak pada kekang ponsel pintar dan papan tombol komputer nya, siksaan yang tidak membawa keselamatan. Posisi tubuhku menurun dan gerakan bapak tua tadi mendekat sambil menarik anak panah ketiga. Kini ia ada di atasku, mengambang hasil dari lompatannya dan akan segera melepaskan anak panah ketiga bersamaan dengan lecutan tangan kananku melemparkan pisau yang tadi terjatuh.

Pisau perempuan yang berkotbah di atas bukit dengan ritual kopinya kini bersarang di tenggorokan bapa tua bersamaan dengan anak panah ketiga yang menacap di tangan kananku. Tidak menembus karena ia mendarat pada siku. Bertanya, “sakitkah?” adalah cara untuk membuatku semakin emosi tak terkendali. Sebelum bangun, kuhantamkan gelas kopi ini pada pelipis orang tua itu dan membuat satu titik lagi aliran lava merah dari kepalanya. Ia terkapar. Ia sebentar lagi tewas.

Tattoo di paha perempuan itu menjelaskan semuanya. Mereka orang jaringan. Sialan, ternyata benar ada alat pelacak di uang terakhir yang kuterima dalam satu tas besar. Aku tidak terkejut, aku sadar aku abai tidak memeriksanya, aku sadar bahwa hal ini akan terjadi dalam bentuk kemungkinan dan peluang, karena hukum sebab akibat telah kujalani sebelumnya. Lalu semuanya menjadi tenang dan jelas dalam pengertian. Demikian lah alurnya dan aku ada di dalamnya. Seandainya bukan aku, alur akan terus berjalan dengan sang “aku” lain yang mengisi peran ini. Semuanya berjalan, waktu terus berlalu, aliran demikian lah adanya dan peran adalah keniscayaan. Sadar atau tidak sadar yang membedakan, memang tipis, setipis lingerie.

Menutup luka seadanya dan aku melompat masuk ke semak-semak. Tidak sampai dua puluh menit akan ada tim pembersih yang hadir untuk membereskan kotoran dan mayat. Mayat korban dalam keberhasilan misi atau mayat eksekutor dalam kegagalan misi. Prosedur yang aku ketahui, walau belum sempat aku terbiasa dengan itu. Tidak perlu memastikan prosedur itu berjalan atau tidak, aku melaju turun dengan menekan luka dan menuju penginapanku.

Aku tidak bodoh, dalam jaringan telah ada kesepakatan yang menjadi kode etik kegiatan. Penyelesaian dan pembersihan sampah divisiku dalam jaringan adalah dalam pertarungan dan bukan dalam tindakan diam-diam yang mematikan, seperti penembak jarak jauh. Bukan masalah kematian yang aku pedulikan, namun keberadaanku yang diakui sebagai sampah dalam jaringan lah yang membuatku sedikit kesal. Memang sebelum berhenti sudah ada yang mewanti-wanti, tidak semua akan menerima. Untung saja belum ada genap satu putaran matahari keterlibatanku maka mudah untuk mengakhiri, tapi tetap saja paku yang tertancap sedangkal apapun akan membekas saat dicabut.

Berharap pada kesepakatan kode etik, aku menuju penginapanku. Pendarahan telah berhenti, daun yang kukunyah dan kuletakan pada luka ternyata berguna, walau aku hanya membaca dari buku saja dan ini kali pertama melakukannya. Aku menaiki angkutan umum dan menurunkan lengan jaketku, mengambil telepon selular dan ternyata ada pesan masuk. “Kode etik terjaga. Pertarungan. Bapak dan kakak yang tidak puas pada perebut posisi sang anak, adik yang kemudian melepaskan kursi itu. Personal. Bukan urusan jaringan.” Yang langsung terhapus selesai dibaca. Oh, komunikasi jalur aman. Aku menghela napas lega, ternyata mereka. Saja. Berarti ada satu lagi. Si bungsu yang berapi-api.