Monday, February 11, 2013

PAWN


Pion, para terkendalikan yang akan mati duluan sebagai jalan. Bagi perencana yang membuat cerita, yang sangat indah bagi dirinya. Persetan dengan orang lain, kekuasaan adalah takdirku katanya.

Berdiri di barisan paling belakang, malah seringkali tidak di dalam barisan. Ia bersenda gurau di dalam istana menggerakan papan caturnya. Bergeraklah para pion yang telah dikebiri logikanya.

Pion yang mampu berpikir tak mampu melanjutkan pikiran, pendekatan kepaLaN lebih dominan daripada kepala. Hingga nanti ada jiwa besar yang mengajaknya bicara, perlahan dan berkepala. Pion kembali jadi manusia.

Tidak selesai, kebiasaan lebih kuat daripada alasan dan yang paling kuat diantaranya adalah perak. Dari sebongkah perak, oleh sebongkah perak, dan untuk sebongkah perak yang sama, para pion terus bergerak terkendalikan. Menghadang, menerjang, mati, atau naik jabatan. Kehendak buyar, antara bergerak dan digerakan tiada perbedaan.

Berseragam sama dengan warna yang sama dan itu saja, dengan sedikit gantungan di pakaian. Makin banyak warna, makin banyak pengetahuan. Makin banyak lencana, makin banyak kekuasaan. Menggerakan? Yak yang tergerakan mulai menggerakkan, atas perintah yang tidak berseragam. Digerakan.

Kebiasaan dan pola, pola dan kebiasaan. Entah mana yang mendahului dan yang mengikuti, keduanya abadi dalam sosok pion yang terkebiri kepalanya. Repetisi dan tradisi, kenaikan jabatan sebentuk pion berfungsi menjaga kedua itu berlangsung terus. Demi kelangsungan kekuasaan para pesenda gurau di balik tenda yang ternyata istana. Angkat gelas untuk bertambahnya lahan pekuburan pribadi.

Pion berkata yang dituliskan. Untuk merekayasa, diberikan pengajaran pembahasaan. Bukan untuk mencari kebenaran, namun untuk mengubah bentuk struktur gramatika bagi perkataan yang sama. Berdebatlah terus, maka kalimat utama akan muncul. Saya hanya melaksanakan perintah atasan dan untuk itulah saya dibayar, maka saya akan melakukan tanggung jawab yang mulia ini.

Percuma, sungguh percuma berkepaLaN dengan pion yang sangat sulit diajak berkepaLa. Bagaimana tidak, kapasitas rasio dikebiri oleh ancaman: tak bergerak tak hiduplah api di tungku rumah. Maaf, saya hanya menjalankan perintah atasan, untuk itulah saya dibayar. Maka saya akan melakukan tanggung jawab mulia ini.

Perak, berikanlah perak. Pion berkepaLaN melunak seperti besi oleh api, menjadi kawan dalam kilauan logam. Terjebak oleh dua tuan. Jiwa besar yang tak ingin menjadi tuan, akan melanjutkan perak dengan pembicaraan, demi menjadi kawan dalam kilauan pertemanan. Yang pada dasarnya sama, faktor kegunaan. Tiada hubungan tanpa kegunaan dan manfaat, seperti itulah hukum alam.

Berkeringat membela tambang perak, berkata dan bertindak cepat tepat. Sesuai rencana rekayasa pengajaran, mendapat pengetahuan yang makin membatasi pengertian. Modifikasi bentuk tanpa mengubah isi, bertindak teguh tanpa mengurai makna. Merasa raja diantara para biasa. Namun merendahkan jiwa diantara para pesenda gurau di balik tenda yang adalah istana. Seperti itulah para budak yang melunjak.

Menindas dengan merasa kuasa, hasil rekayasa pengajaran bahasa. Berkeras dan mengendalikan dengan merasa raja, hasil pengajaran badan penahan serangan. Para pion di barisan depan, sebagai payung penahan hujan dan tongkat penyingkir kotoran di jalanan. Terlatih untuk terluka dan terhina dari para pesenda gurau dalam istana, maka menindas dan menguasai para biasa untuk tak mengalami luka dan hina. Sepertinya, hanya mengalirkan dendam tak terbalas.

Meninggikan diri secara sadar dengan ketidak sadaran pada dasarnya telah terjatuh dalam kerendahan yang lebih bawah dari para biasa, pion yang digerakan pesenda gurau dalam istana selalu merasa raja. Kuasa dalam balik pos kotak kayu beratap logam, rasa berkuasa dengan bongkah perak dalam bungkus kepaLaN.

Jiwa besar dari para biasa pun tidak selalu ada, karena para biasa sebenarnya adalah pion bagi para pesenda gurau lainnya, pion yang tidak ‘berseragam sama dan itu saja’ bedanya, namun pion tetap lah pion. Baris pertama, maju duluan, mati cepat dan bangkainya adalah perkerasan jalan bagi laju mulus kendaraan pesenda gurau yang bersulang piala darah. Tertawa karena berhasil menambah lahan pekuburan pribadi.

KepaLaN bahasa di lapangan, kepaLa bahasa di ruangan. Sulit untuk berkepala di jaman jamak bergerak demi perak. Semua sama. Beradu kata-kata hampa, kehilangan kepala, mengotori kepaLaN. Berdarah dan tewas demi menjadi perkerasan jalan.

Tak sempat melalui logika dan rasio, dari rasa menuju lidah. Meludah dan mengotori kepaLaN. Membuat kubu baru peperangan, dan semua itu telah direncanakan. Hiburan bagi para pesenda gurau yang lagi-lagi bersulang. Tujuan akan selalu tercapai, dengan alur cepat atau lambat. Tak tersentuh pun para raja di barisan belakang, karena para pion merasa raja dan berperang dengan alasan demikian. Raja yang bosan mengganti pionnya.

Pion lama berperang, pion baru mengisi posisi kosong. Semuanya tidak ada yang menyentuh para pesenda gurau untuk berhenti tertawa. Malah hanya memperkeras tawanya akan rekayasa yang berhasil dilakukan. Demi menambah lahan pekuburan pribadi. Sebongkah perak untuk membeli dunia, siapa tidak tergoda. Persetan dengan darah dan mayat, tiada guna selain sebagai perkerasan jalan demi laju mulus kendaraan saja. Lalu denting halus piala pesenda gurau yang bersulang terdengar lantang.

Perang melahirkan kehampaan, kesadaran datang belakangan setelah banyak kematian dan keheningan terjadi. Rasa terbuang muncul dan pion mencoba menghadap raja. Kini pion itu telah mejadi para biasa di hadapan pion lain yang melindungi raja.

Para pion yang merasa raja, dengan sebongkah perak dibungkus kepaLaN. Tidak berkepaLa dan ahli rekayasa bahasa. Dengan pesan yang sama dan kalimat berbeda, pion menghadang sang biasa.

Kebiasaan lebih kuat daripada alasan, rasio terkebiri menahun tak mampu hadirkan jiwa besar dari sang biasa. Masih merasa raja, namun seketika tersadar diri adalah pion. Melihat pion di hadapan, yang menghadang dan memandangnya sebagai sang biasa. Rasa pun langsung menuju lidah, kepala terkebiri sulit untuk gegas berfungsi. Terlambat berkepaLa, terhambat berlogika, terlewat merasio.

Maka, repetisi terjadi. KepaLaN bahasa di lapangan, kepaLa bahasa di ruangan. Sulit untuk berkepala di jaman jamak bergerak demi perak. Semua sama. Beradu kata-kata hampa, kehilangan kepala, mengotori kepaLaN. Berdarah dan tewas demi menjadi perkerasan jalan.

Para biasa berjiwa besar, mampu berkepaLa sebelum berkepaLaN. Melihat dan menganalisa, lalu berkata. Seandainya bisa untuk mengajak ke dalam ruangan, maka para biasa dan pion bisa berbicara. Tanpa mata dari pesenda gurau dalam istana, berkepaLa tercapai lah. Daripada membuat peperangan, yang bahkan debunya saja sama sekali tidak menyentuh jubah dari para pesenda gurau yang bersulang dan terbahak-bahak.


-karenarasaadalahsegalanya_11Februari2013-

arogansi semu satpam kelompok istana yang arogan sejati –inspirasi–

minum yang semakin haus

Semakin minum semakin haus.

Seperti itulah rasanya saat membaca buku,
mendengarkan pengalaman dengan kritis,
beradu pendapat yang bukan mencari titik temu, hanya berpendapat dan mendengarkan pendapat,
mengalami kejadian yang menjadi beban pikiran.

Lalu menggunakan kata, 'bagaimana jika....' pada akhirnya

Semakin banyak mengetahui, semakin sedikit mengerti

Semakin banyak mengerti, semakin jauh dari memahami

Bagaimana ini?! Semakin minum semakin haus

Galileo pernah berkata, "Belajarlah untuk melihat, karena segala hal adalah berhubungan."
Memang pada dasarnya semua hal adalah satu, dan pada permukaannya banyak.
Lantas untuk mencari satu inti dari semua hal itu, perlukah untuk mengalami banyak hal di permukaan?
Sedangkan manusia adalah waktu, roh yang berada dalam periode jiwa dan raga.

Pola.

Itu saja?

Pola. Kalau memang semuanya adalah berhubungan, maka ada pola.
Darimana membongkar pola, dari mengalami kebanyakan itulah katanya.
Makin banyak hal dijiwai, makin terlihatlah pola yang sama.
Sama pada dasarnya, beragam pada permukaannya.

Tak heran lah, dengan mendalami satu hal mampu mengerti beragam kejadian.
Pun, dengan menjalani beragam pengalaman, mampu mengerti satu inti yang adalah makna sejati.

Bukan mengumpulkan koleksi ilmu, bukan pula sekadar mengerti maksudnya.
Menilai dan mengerti seakan memenuhi pikiran, raga yang berperiode dan berkapasitas.
Memahaminya adalah satu langkah, agar memori menjadi jiwa. Jiwa yang berperiode dan tak terbatas kapasitas.

Kemudian, kembali pada mengalami. Maka, untuk menunaikan dahaga perlu menjalani minum yang semakin haus.
Hanya untuk tau, minuman mana yang menyudahi rasa haus dan mana yang semakin membuat haus.