Tuesday, December 29, 2015

Admit Ignorance

Memang susah untuk menjadi sensitif dengan kondisi kalau seumur hidup sudah otomatis abai dan bebal.

Lalu gimana?
Ngaku aja abai dan bebal.

Bukankah lebih mengalir dan alami untuk mengakui pengabaian yang dilakukan oleh diri dan kebebalan yang menyertainya.

Daripada sok peduli dan bijaksana malahan tampak drama di tataran perilaku saja.

Setelah itu?
Jadi sadar, lalu memilih. Mana yang diabaikan mana yang dibebalkan, mana yang tidak.



Gak ada bedanya ah. Tetap melakukan hal yang sama.
Hmm... tipis sih. Bedanya di kesadaran saja. Dasman dan dassein pun sama-sama belanja di supermarket.

Keterjebakan.
Persis! Itulah dasar konsep kebebasan.

Knowing means know nothing, while admitting ignorance brings enlightenment.

Monday, December 21, 2015

Memonyetkan manusia

Tidak ada jawaban yang salah, hanya ada pertanyaan bodoh. Tentunya dalam konteks tanya jawab pada satu objek bahasan. Di luar itu, tidak ada tanya jawab hanya lempar persepsi tanpa koneksi.

Dalam alurnya, tidak pernah ada pertanyaan dan jawaban. Hanya ada ekspektasi dan tuntutan, hasil peran yang beriman definisi.

Lagipula, jawaban dari pertanyaan itu adalah pertanyaan. Kalau jawabannya tuntutan, jelaslah subjek penjawab bagian dari #parajamak #korbandefinisi yang tidak mampu namun penuh mau.

Ini terlalu menghakimi? Tak apalah, manusia menilai untuk mengerti dan menghakimi saat gagal memahami. Bagi yang ingin menjadi manusia, bukan monyet penggenap definisi.

Lagipula, kalau mau berpikir. Eh, kalau mampu berpikir. Apa beda menilai dengan menghakimi? Kalau mau bertanya dengan tidak bodoh, "Setipis apa beda menilai dengan menghakimi?"

Bisa jadi yang menghakimi adalah yang bilang "kau terlalu menghakimi" atau ini pun sekadar penilaian. Bisa jadi juga pada awalnya menilai, namun gagal paham jadi menghakimi. Ya, menghakimi bahwa orang lain menghakimi, pun suatu penghakiman bukan.

Tidak bisa tidak. Sok bijak lah, maka menjadi sekadar manusia. Menghakimi lah, maka melampaui kemanusiaan. Asal mampu melampaui penghakiman yang dilakukannya sendiri terlebih dahulu. Kalau tidak, ya #samasamasaja.

Saturday, December 19, 2015

Dangkal dan sederhana

Apa yang ditampilkan, itulah yang tampil adanya. Sekaligus apa inti dari yang tidak ditampilkan bukan ada pada yang tampil itu saja.

Seringkali, melihat dangkal pada yang sederhana malahan menampilkan kedangkalan karena tidak mampu melihat yang sederhana.

Kebalikannya, melihat sederhana pada yang dangkal malahan menampilkan kesederhanaan karena tidak mampu mengakui kedangkalan.

Melihat publikasi foto, tampak dangkal.
Melihat pernyataan pendapat, tampak sederhana.
Melihat pengambilan keputusan, tampak kosong.

Bagaimana kalau mencoba menutup mata, membuka telinga. Dangkal dan sederhana itu kosong kah? Atau, seperti sebentuk strategi untuk mempengaruhi.

Bukankah kita melihat yang ingin dilihat dan mendengar yang ingin didengar. Nah, makanya setelah melihat dan mendengar barulang mengendus. Karena aroma, apa adanya.

Friday, December 4, 2015

Sayang, Rasa.

Tugas kata memang untuk menguak memori, maka dewasa adalah saat kata tak meledakkan rasa. Bukankah manusia hanya gumpalan pekat memori, yang tersimpan dalam kotak-kotak otak. Bahkan otot-otot tubuh pun merupakan kotak penyimpanan memori, lihat bagaimana reaksinya saat punggungmu dibelai hangat.

Lalu apa itu rasa, kalau bukan nama dari kotaknya. Ah.. sayang, bukankah sudah dari dua ribu sembilan kita berbincang tentang ini, lupa kah. Raga hanyalah ruang, tempat meletakkan kotak rasa yang menyimpan memori. Sekaligus menyampaikannya kepada dunia.

Bukankah segala gerakan kita hanya pengulangan, hasil reaksi dari kata. Karena pada awalnya adalah kata, dan kata itu bersama-sama dengan dia. Dia juga lah kata itu. Dengarkanlah bagaimana kata menguak rasa, dibalik rasa ada memori, dan kita manusia pada dasarnya hanya gumpalan padatnya.

Gejolak memori menggerakkan raga, bukankah semua aksi kita hanya bentuk repetisi. Rangkaian yang diketahui bertemu ekspektasi bentukan baik dari lingkungan atau didikan. Berharap perubahan tapi pada dasarnya hanya melakukan pengulangan. Tidak bisa tidak, kita hidup hanya melakukan yang kita ketahui saja.

Kemudian, kita menemukan alasan. Karena apalah beda manusia dengan monyet kalau bukan pada akhirnya si manusia mampu melahirkan alasan. Alasan itu yang paling sering dikatakan adalah rasa. Raga diberi alasan rasa. Hasrat diberi alasan rasa. Ketagihan diberi alasan rasa.

Sayang, dewasa itu saat kata tak menyulut rasa. |2009|