Thursday, September 17, 2015

Ungu Keabuan

Bulan senyum di atas awan. Awan warna abu keunguan, atau ungu keabuan.
    Banyak kendaraan tumpah di jalan, seperti tadi manusia tumpah dari pintu besi kotak warna muram.

Siluet pepohonan menggapai bulan, atau menggapai awan ya. Tapi itu semua hanya drama penggenapan, alur terus berjalan peran selalu terisi.
    Seperti gerombolan berseragam warna muram, apakah hanya sekadar mengisi peran pabrikan kah menggenapi era industrial.

Awan ya awan, bulan tetap bulan. Pohon akan selalu pohon, siluetnya hanya karena cahaya berganti posisi saja. Beda rupa, sama peran, dalam alur yang begitu adanya.
    Menolak dikatai mesin, tapi organisme ini seperti kehilangan isinya untuk lebih dari sekadar mesin.

Mata saja persoalannya, melihat rupa dua dari lima dimensi. Panjang, luas, volume, imaji, dan metafor. Mata pun gagal melihat dimensi ketiga, volume. Apalagi yang keempat dan lima.
    Ah, atau mata ini mulai menilai untuk mengerti tapi rentan menghakimi saat gagal memahami. Selalu ada rasa di setiap detil bertahan hidup rupanya, tujuan untuk berjuang dan alasan untuk bertahan.

Yang tampak ya tampak, yang anggapan jadi pembenaran. Ah, katakan saja pohon hendak menggapai bulan dengan awan sebagai tantangannya.
    Demikian lah kelas-kelas, kaum-kaum, pergolakan dan pergerakan, semuanya ada sedemikian memang ada. Kaki pasang dimana dengan isi ide yang ada, sepertinya seperlu itu saja.


Ignorance is a bliss.
    If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor. If an elephant has its foot on the tail of a mouse and you say that you are neutral, the mouse will not appreciate your neutrality. -Desmond Tutu-

Saturday, September 12, 2015

Semacam Heteronormativitas

Jangan-jangan, kehadiran anak menjadi beban pikiran orang tua bukan karena anak itu gagal memenuhi definisi sukses atau ekspektasi berhasil sang orang tua. Tapi, karena orang tua merasakan aura tidak bahagia yang menyelimuti sang anak.

Sayangnya, aura tersebut sering disandingkan dengan kondisi ekonomi mapan, pekerjaan tetap, dan pernikahan yang mendapatkan anak. Walau tidak banyak, ada juga yang: dengan tidak memenuhi heteronormativitas tersebut, sang anak dapat memancarkan aura bahagia dan sang orang tua tidak terlalu terbebani pikirannya.

Ya, tidak terlalu. Karena, manusia dengan pemikiran yang telah dikondisikan sejak lahir selalu memiliki ekspektasi, keinginan, dan hasrat menguasai.

Wednesday, September 9, 2015

Sengaja

Dengan sok merendahkan diri dan sok adaptasi, demikianlah meningkatkan ekspektasi. Dasarnya hanya ketakutan dipersalahkan, maka rela membudakkan diri pada kerepotan dengan kesal ditahan.

Menyusahkan diri dengan membawa yang tidak diperlukan, menepis kemungkinan kolaborasi karena hanya percaya pada diri sendiri. Saat yang dimanjakan tak balas memberi yang diinginkannya, menjadi musuh bersama karena dengan tololnya menghakimi.

Bebal memang, pembenarannya terlalu kental diendapkan zaman, terlalu banyak tahu tapi tak mampu merangkaikan pengetahuan. Lupa bahwa semua diawali kebodohan tak mampu menegaskan posisi diri.

Sengaja, karena sadar sedang menunggu mati dan jalan yang dipilih adalah mengisinya dengan kebodohan. Pada dasarnya, memang masokis lah manusia.

Tuesday, September 8, 2015

Tutup Rasa Sebelah Mata

Pesimis itu pun suatu optimisme, bukankah ia terus maju dengan pesimisme dan tidak berhenti berjuang demi sesuatu yang diperjuangkan, itu optimisme kan.

Optimis pun suatu pesimis, selalu mencari hal baik dari suatu kondisi dengan memberatkan pada sisi positif mengesampingkan yang negatif, bukankah keseimbangan butuh keduanya, pesimis sekali optimisme hingga lari pada sisi positif dan membuang yang negatif.

Berpikir positif menjadi suatu candu baru dengan dasar pengalihan berkedok penyaluran energi untuk suatu pencapaian.

Manusia menarik energi yang diinginkan, rasanya tidak sepakat dengan itu.

Manusia menarik energi yang adalah energinya, bukan we attract what we want, tapi we attract what we are.

Bukan mencapai karena berusaha, tapi karena pencapaiannya itu adalah niscaya maka hadirlah usaha.

Pemberatan pada satu sisi pandangan ini ketololan atau bukan entahlah, yang (relatif umumnya) pasti adalah hasil dari suatu bentukan, baik oleh lingkungan atau asuhan.

Penyamaan itu cara mudah menaklukan homo sapiens kan.

Dalam bias kita berada, oleh prasangka kita mengada, karena berpihak kita ada, lalu tutup rasa sebelah mata.

Wednesday, September 2, 2015

Secuil Anarkisme

“Kita semua egois, mencari kepuasan sendiri. Namun kaum anarkis mendapati kepuasan terbesarnya dalam perjuangan untuk kebaikan bersama, untuk mencapai masyarakat yang di dalamnya ia (demikian) dapat menjadi saudara di antara lainnya, dan diantara orang-orang yang sehat, cerdas, terdidik, dan bahagia. Namun ia yang dapat beradaptasi, yang puas hidup diantara budak dan mendapat keuntungan dari kerja budak tersebut, bukanlah, dan tidak bisa menjadi, seorang anarkis.” (Life and Ideas, hal 23)


“Penghapusan pengaruh mutual ini akan hilang. Dan ketika kita membela kebebasan massa, kita sama sekali tidak mengusulkan penghapusan pengaruh alami apapun yang digunakan individu atau kelompok. Yang kita inginkan adalah penghapusan pengaruh yang artifisial, legal, resmi, dan hak istimewa.”(dikutip oleh Malatesta dalam Anarchy, hal 50)


“Fakta seperti itu …bahwa seseorang memiliki kesadaran diri, akan perbedaannya dengan orang lain. Keinginan untuk kebebasan dan ekspresi diri sangat fundamental dan karakter yang dominan.”(Emma Goldman, Red Emma Speaks, hal. 393)


“Kebebasan, kemerdekaan dan otonomi yang dimiliki seseorang dalam periode sejarah tertentu merupakan hasil dari tradisi sosial yang panjang dan …sebuah perkembangan kolektif – yang tidak mengingkari bahwa individu memainkan sebuah peran penting di dalamnya, dan pada akhirnya diwajibkan melakukannya jika ingin bebas.” (Social Anarchism or Lifestyle, hal 15)


“Untuk mendapatkan arti sesungguhnya dari kehidupan, kita harus bekerja sama, dan untuk bekerja sama kita harus membuat kesepakatan dengan teman kita. Namun untuk berpendapat bahwa kesepakatan seperti itu beraarti juga pembatasan kebebasan dan sudah pasti merupakan sebuah absurditas; sebaliknya hal tersebut adalah pelaksanaan kebebasan.


“Jika kita akan menciptakan sebuah dogma bahwa membuat kesepakatan membahayakan kebebasan, maka pada akhirnya kebebasan menjadi tirani, karena melarang orang untuk bersenang-senang tiap harinya. Sebagai contoh saya tidak dapat berjalan-jalan dengan seorang teman karena melanggar prinsip kebebasan bahwa saya seharusnya sepakat untuk berada dalam tempat dan waktu tertentu untuk menemuinya. Pada akhirnya saya tidak dapat memperluas kekuasaan di luar diriku, karena untuk melakukannya saya harus bekerjasama dengan orang lain, dan kerjasama menunjukkan kesepakatan, dan hal ini melawan kebebasan. Akan terlihat bahwa pada akhirnya argumen ini absurd. Saya tidak membatasi kebebasanku namun sungguh-sungguh menggunakannya ketika menyetujui teman untuk berjalan-jalan.”


“Masyarakat kapitalis diatur dengan sangat buruk sehingga anggotanya yang beraneka ragam menderita: sama halnya seperti ketika kamu memiliki luka di beberapa bagian tubuh, seluruh tubuhmu terasa sakit dan kamu tidak enak badan…, tak satu anggota organisasi atau serikat-pun yang mungkin dapat bebas dari diskriminasi penindasan atau diabaikan. Membiarkannya sama dengan mengabaikan gigi yang sakit : kamu akan kesakitan pada seluruh tubuh.” (Alexander Berkman, ABC of Anarchism, hal 53)


“Ketidakpatuhan merupakan pondasi sejati. Orang yang patuh pastilah budak.”


“Semangat kekuasaan, hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, tradisi dan kebiasaan memaksa kita untuk menyembah-nyembah seperti biasa serta memaksakan sebuah kehendak kepada pria (atau wanita) tanpa kemerdekaan atau individualitas…Semua dari kita adalah korban, dan hanya pengecualian bagi mereka yang kuat untuk berhasil dalam menghancurkan rantainya, dan itupun tidak semua.” (The ABC of Anarchism, hal. 26)


“Kesetaraan tidak berarti sebuah kesetaraan dalam jumlah, melainkan kesetaraan kesempatan…Jangan sampai salah dalam mengenali kesetaraan dalam kebebasan dengan kesetaraan yang dipaksakan oleh lembaga permasyarakatan. Kesetaraan anarkis yang sesungguhnya menunjukkan kebebasan, bukan kuantitas. Bukan berarti bahwa setiap orang harus makan, minum atau mengenakan pakaian yang sama, juga melakukan hal yang sama, serta tinggal dengan cara yang sama. Berbeda dengan hal tersebut: dalam kenyataan menimbulkan hal sebaliknya.” Ia memberikan pendapatnya bahwa “ kebutuhan dan apa yang dirasakan individu tidak sama, karena selera yang berbeda. Kesetaraan kesempatanlah yang memuaskan mereka dan merupakan kesetaraan sejati…Kesempatan bebas untuk berekspresi dan memerankan individualitasmu sendiri berarti perkembangan perbedaan dan keanekaragaman yang alamiah.”(The ABC of Anarchism, hal. 25)


“Setelah kesetaraan dicapai dan ditegakkan, akankah keanekaragaman kemampuan individu dan tingkat energi mereka dihilangkan? Beberapa akan tetap ada, barangkali tidak sebanyak sekarang, namun tentu saja beberapa akan tetap eksis. Seperti kata pepatah bahwa pohon yang sama tidak akan pernah menghasilkan dua daun yang identik, dan hal ini mungkin akan selalu benar. Bahkan lebih benar lagi dengan menghormati manusia, yang lebih kompleks daripada dedaunan. Namun perbedaan ini tidak sepenuhnya jahat. Sebaliknya… perbedaan tersebut merupakan sumber bagi hubungan manusia. Terimakasih pada perbedaan, kemanusiaan merupakan kolektifitas yang didalamnya seorang individu melengkapi yang lain dan membutuhkannya. Hasilnya, perbedaan manusia yang tak terbatas adalah penyebab dasar dan fundamental bagi solidaritas mereka. Hal ini adalah argumen yang penuh kekuatan.” (“All-Round Education”, The Basic Bakunin, hal 117-8)


“Sekarang, apa menjadi ujung pangkal ketidaksetaraan ini?


“Seperti yang kita lihat … ujung pangkalnya adalah realisasi dalam masyrakat dengan tiga abstraksi ini: kapital, kerja, dan bakat.


“Karena masyarakat membagi dirinya dalam tiga kategori warga negara, menanggapi tiga term dari formula tersebut… perbedaan kasta selalu terjadi dan setengah dari umat manusia memperbudak lainnya…sosialisme berasal dari pereduksian formula aristokratis dari kapital -kerja- bakat ke dalam formula kerja yang lebih sederhana!…untuk membuat setiap warga negara secara simultan, equal dan berada dalam tingkat yang sama dengan kapitalis pekerja dan pakar atau artis.”(No Gods, No Master, hal 57-8)


“Cinta yang paling berharga, sejati dan murni dalam umat manusia adalah mencintai diri sendiri. Aku ingin bebas! Aku berharap untuk berbahagia! Aku ingin menapresiasikan semua keindahan dunia. Namun kebebasanku hanya diperoleh ketika melihat orang lain disekelilingku bebas. Aku hanya dapat berbahagia ketika semua orang disekelilingku berbahagia. Aku hanya akan bersuka ria ketika semua orang yang aku lihat dan temui di dunia matanya penuh dengan kegembiraan. Dan aku hanya dapat makan kenyang dengan kebahagiaan sesungguhnya ketika aku tahu pasti bahwa orang lain juga makan dengan kenyang seperti halnya diriku. Dan karena alasan itulah, menjadi sesuatu yang menyenangkan diriku, hanya bagi diriku sendiri, ketika aku memberontak melawan setiap bahaya yang mengancam kebebasan dan kebahagiaanku….”[Ret Marut (a.k.a. B. Traven), majalah The BrickBurner dikutip oleh Karl S. Guthke, B. Traven: The life behind the legends, hal 133-4]


“Ketika kita berpikir mengenai kerjasama…kita cenderung untuk menghubungkan konsep dengan idealisme pemikiran yang kabur…hal ini mungkin merupakan hasil dari kebingungan antaar kerjasama dengan altruiesme…kerjasama struktural menentang dikotomi egoisme/altruisme biasa. Kerjasama struktural menyusunnya sedemikian rupa sehingga dengan menolong Anda, saya sekaligus juga menolong diri saya sendiri secara bersamaan. Kerjasama merupakan suatu strategi yang baik dan terbukti sering berhasil-sebuah pilihan pragmatis yang sering berhasil dalam pekerjaan dan sekolah, bahkan lebih efektif dari kompetisi… Ada juga bukti yang bagus bahwa kerja sama lebih kondusif bagi kesehatan psikologis dan kebahagiaan satu sama lain.” (No Contest: The Case Againts Competition, hal 7)


“Sejarah mengatakan bahwa setiap kelas yang tertindas (atau kelompok atau individu) meraih kebebasan sejati dari majikannya melalui usaha sendiri.”(Red Emma Speaks, hal.142)


“Adanya sub ordinasi semacam itu melatih kapasitas mereka untuk refleksi diri secara kritis setiap harinya-itulah mengapa para majikan terhalang, tertekan, dan kadang-kadang dijatuhkan. Namun tak akan ada refleksi kritis yang akan mengakhiri kepatuhan mereka dan membawa menuju kebebasan, kecuali jika para majikan digulingkan, atau kaum yang subordinat tersebut terlibat dalam aktivitas politik. (Carole Pateman, The Sexual Contract, hal. 205)


“Sistem yang fasis… (merupakan) kekuasaan absolut dari atas ke bawah… negara yang ideal memiliki kendali dari atas ke bawah dengan rakyat yang mematuhi perintah secara esensial.


“Kita lihat sebuah korporasi…(jika) anda melihat, kekuasaan datang dengan keras dari atas ke bawah, dari meja direktur ke manajer, lalu ke manajer lebih rendah, dan akhirnya kepada orang-orang di lantai bawah, pengetik pesan dan lain-lain. Tidak ada arus kekuasaan atau perencanaan dari bawah ke atas. Orang dapat mengacaukan dan memberi pendapat, hal yang sama juga terjadi dalam masyarakat budak. Struktur kekuasan bersifat linear dari atas ke bawah.” (Keeping the Rabble in Line, hal. 237)


“Sebagian besar perusahaan menyerupai kediktatoran militer. Mereka yang berada di bawah adalah prajurit, supervisor adalah sersan, dan pada tingkat atas melalui hierarki, organisasi dapat memerintah segalanya dari pakaian kita dan gaya rambut, sampai pada bagaimana kita menghabiskan sejumlah besar waktu dalam hidup kita, selama bekerja. Organisasi tersebut dapat memaksa sampai di luar waktu kerja; mensyaratkan kita ke dokter perusahaan jika memiliki masalah medis; melarang kita menggunakan waktu bebas untuk terlibat dalam politik; dapat menekan kebebasan berbicara, pers dan berkumpul – menggunakan kartu identitas dan polisi keamanan bersenjata dengan TV yang memiliki sirkuit tetutup untuk mengawasi kita; menghukum pelanggar dengan “penghentian disipliner”(seperti yang disebut GM), atau dapat memecat kita. Kita dipaksa, oleh keadaan, untuk menerima ini, atau bergabung dengan jutaan penganggur…Di hampir setiap pekerjaan, kita hanya memiliki “hak” untuk berhenti. Kaputusan utama dibuat di puncak dan kita diharapkan mematuhinya, baik kita bekerja di menaar gading maupun terowongan pertambangan.” [“For Democracy Where We Work: A rationale for social self-management”, Riventing Anarchy, Again, Howard J. Ehrlich (ed.), hal. 193-4]


“Untuk menggambarkan orang-orang yang membuat kontrak dengan pekerja, sebagai contoh, sebagai pihak yang setara dan merdeka satu sama lain adalah mengabaikan ketidaksetaraan yang serius dalam posisi tawar yang ada di antara pekerja dan yang mempekerjakannya. Kemudian untuk menggambarkan hubungan subordinasi dan eksplotasi secara wajar sebagai akibat dari simbol kebebasan merupakan ejekan bagi kebebasan individu dan keadilan sosial.” (ibid.)


“Dalam masalah hukum, kita akan membuat kontrak (contoh: kesepakatan bebas).- Tak ada lagi hukum yang ditentukan oleh mayoritas atau bahkan dengan suara bulat sekalipun; masing-masing warga negara, kota, serikat industri, membuat sendiri hukumnya.” (The General Idea of the Revolution, hal. 245-6)


“Jika mayoritas bertindak tidak jujur… (maka) minoritas harus mengambil tindakan politis, termasuk tindakan-tindakan ketidakpatuhan politis jika diperlukan, untuk mempertahankan kewarganegaraan dan kebebasannya serta asosiasi politis itu sendiri… Ketidakpatuhan politis merupakan suatu pernyataan yang mungkin dari kewarganegaraan yang aktif, yang menjadi dasar demokrasi dengan pengelolaan sendiri…Praktek sosial dari janji-janji meliputi hak untuk menolak atau mengubah komitmen; demikian pula dengan praktek kewajiban politis yang dibebankan oleh diri sendiri, menjadi tak berarti tanpa pengakuan praktis terhadap hak minoritas untuk menolak atau menarik kembali persetujuan, atau jika perlu, tidak patuh.” (The Problem Of Political Obligation, hal 162)


“Tentu saja kaum anarkis mengakui bahwa di manapun hidup dan tinggal bersama, seringkali perlu bagi minoritas untuk menerima pendapat mayoritas. Ketika terdapat kebutuhan yang nyata atau kegunaan dalam melakukan sesuatu dan, untuk melakukannya dibutuhkan kesepakatan semua pihak, beberapa orang harus merasakan kebutuhan untuk beradaptasi dengan keinginan orang banyak…Namun adaptasi seperti itu di satu sisi harus bersifat resiprokal, sukarela, dan berasal dari sebuah kesadaran akan kebutuhan dan niat baik untuk mencegah kelumpuhan proses sosial, karena kekeraskepalaan. Hal tersebut tidak dapat dipaksakan sebagai prinsip atau norma yang berdasrkan undang-undang…” (op.cit. hal 100)


“Seseorang tidak dapat berharap, atau menginginkan, orang yang telah diyakinkan bahwa tindakan mayoritas membawanya ke dalam bencana, akan mengorbankan keyakinannya dan secara pasif menyaksikan, atau lebih buruk lagi, mendukung kebijakan yang ia anggap salah.” (Life and Ideas, hal. 132)


“(u)ntuk …menciptakan konsensus penuh pada suatu keputusan, minoritas yang tidak sepakat seringkali didorong dengan halus atau mengalami pemaksaan secara psikologis untuk menolak memberikan suaranya pada isu yang menjadi masalah, karena penolakan tersebut sama dengan memberi veto. Kejadian ini dalam proses konsensus Amerika disebut “menghindar”, semua pihak terlalu sering melibatkan intimidasi terhadap pihak yang tidak sepakat dengan tujuan mereka akan mengundukan diri dari proses pembuatan keputusan, daripada membuat suatu pernyataan yang berkelanjutan dan terhormat mengenai penolakan mereka melalui voting, bahkan sebagai minoritas, sesuai denagn pandangan mereka. Setelah mengundurkan diri, mereka menghentikan bersikap politis- sehingga dengan demikian “keputusan” dapat dibuat….’(K)onsensus akhirnya dicapai setelah anggota-anggota yang memberikan penolakan mengundurkan diri sebagai partisipan dalam proses.


“Pada tingkat teoritis, konsensus menghilangakn aspek terpenting yaitu semua dialog, yaitu dissensus. Penolakan yang terus menerus, dialog yang penuh semangat dan masih terus berlangsung bahkan setelah minoritas ikut serta sementara waktu untuk keputusan mayoritas,…(dapat)digantikan…oleh monolog yang membosankan-dan tidak bertentangan serta meredam suara konsensus. Dalam pembuatan keputusan mayoritas, minoritas yang terkalahkan dapat memutuskan untuk menggagalkan keputusan dimana mereka dikalahkan—mereka bebas secara terbuka dan terus-menerus untuk mengartikulasikan alasan dan ketidaksepakatan. Konsensus, tidak menghormati minoritas, melainkan mematikan mereka demi ‘sebuah’ kelompok ‘konsensus’ metafisis.” (“Communalism:The Democratic Dimension Of Anarchism”, Democracy and Nature, no. 8, hal. 8)


“Banyak yang telah dikatakan mengenai peran masing-masing insiatif individu dan tindakan sosial dalam kehidupan dan kemajuan masyarakat manusia…(S)etiap hal yang dipertahankan dan terus dilaksanakan dalam dunia manusia berterimakasih pada insiatif individu…Makhluk yang sebenarnya adalah manusia, individu. Masyrakat atau kolektivitas- dan negara atau pemerintah yang mengklaim untuk mewakilinya – jika bukan merupakan suatu abstraksi palsu, pastilah tersusun oleh individu. Semua pemikiran dan tindakan manusia pasti memiliki asal-usulnya dalam organisme setiap individu, dan dari individu, pemikiran dan tindakan tersebut menjadi pemikiran dan tindakan kolektif, ketika diterima oleh banyak individu. Oleh karena itu, tindakan sosial bukanlah negasi ataupun komplemen dari inisiatif individual, melainkan hasil dari inisiatif, pemikiran, dan tindakan semua individu yang menyusun masyarakat… (H)al tersebut tidak benar-benar mengubah hubungan antara masyarakat dan individu…(H)al tersebut mencegah beberapa individu dari penindasan terhadap yang lain; memberi hak yang sama dan sarana bertindak yang sama kepada setiap individu; dan menggantikan inisiatif beberapa orang (yang didefinisikan Malatesta sebagai aspek kunci pemerintah / hierarki), yang merupakan hasil dari penindasan terhadap orang lain…” (Anarchi, hal 36-37)


“Kamu merupakan apa yang kamu lakukan. Jika kamu melakukan pekerjaan yang membosankan, bodoh dan monoton, mungkin kamu akan mengakhiri kebosanan, kebodohan dan kemonotonan tersebut. Kerja merupakan eksplanasi yang lebih baik mengenai kretinisasi yang terjadi secara perlahan di sekeliling kita daripada mekanisme yang membodohkan kita secara signifikan seperti televisi dan pendidikan. Orang-orang yang diatur seluruh hidup mereka, menerima pekerjaan dari sekolah, terkurung oleh keluarga pada awalnya dan rumah jompo pada akhirnya, terbiasa terhadap hierarki dan perbudakan psikologis. Bakat mereka untuk otonomi dihentikan pertumbuhannya sehingga ketakutan mereka akan kebebasan berada di antara phobia-phobia yang tidak terlalu rasional. Kepatuhan mereka pada saat bekerja di bawa ke dalam keluarga, tempat mereka memulainya, dan kemudian mereproduksi sistem dengan lebih dari satu cara, ke dalam politik, budaya dan lain-lain.setelah kamu menyalurkan vitalitas dari tempat kerja,mereka mungkin akan tunduk kepada hierarki dan pakar-pakar di segala bidang. Mereka digunakan untuk itu.” (The Abolition of Work)


“Ketika aku melihat banyak orang-orang liar yang sama sekali telanjang menolak kegairahan orang-orang Eropa dan menahan lapar, api, pedang, dan kematian hanya demi mempertahankan kemerdekaan mereka, aku merasakan bahwa hal tersebut tidak mencerminkan tingkah laku budak karena alasan mereka mengenai kebebasan.” (dikutip oleh Noam Chomsky, “Anarchism, Marxism and Hope for the future”, Red and Black Revolution, no.2)


“terdapat sebuah kebenaran yang tak dapat disangkal lagi bahwa orang-orang di jalanan selalu tampak lupa, ketika ia menyalahkan kaum anarkis, atau kejadian apapun yang menimpa bete noirenya saat itu, akan penyebab terjadinya kebiadaban tersebut. Fakta yang tak dapat disangkal ini menunjukkan pada kita bahwa kebiadaban, dari waktu yang lalu, merupakan jawaban dari kelas yang putus asa dan tertekan, serta individu yang putus asa dan tertekan, terhadap kesalahan dari teman-teman mereka, yang mereka rasa tak dapat ditoleransi. Tindakan seperti itu merupakan recoil kejam dari kekerasan, baik segresif maupun represif…penyebabnya tidak berada dalam keyakinan tertentu apapun, melainkan kedalaman …sifat manusia itu sendiri. Keseluruhan peristiwa sejarah, politik, dan sosial, penuh dengan bukti mengenainya.” (dikutip oleh Emma Goldman, op.cit., hal 213)


“Semua kemajuan berawal dari penghapusan sesuatu; setiap perbaikan terletak pada beberapa kesalahan; masing-masing pemikiran baru didasarkan pada ketidakcukupan bukti pemikiran lama.”


“tak ada teori, sistem yang siap pakai, buku yang telah ditulis akan menyelamatkan dunia. Aku tidak menggantungkan diri kepada sistem apapun. Aku merupakan pencari sejati.”


“Kegagalan budaya modern terletak bukan pada prinsip individualisme, bukan pada pemikiran bahwa kebajikan yang besar merupakan hal yang sama dengan pengejaran kepentingan pribadi, namun pada kemerosotan makna kepentingan pribadi tersebut; bukan bahwa mereka tidak memberikan perhatian pada kepentingan pribadi mereka, melainkan bahwa mereka tidak cukup memperhatikan kepentingan pribadi yang sesungguhnya; dalam kenyataan bukan bahwa mereka terlalu egois, melainkan bahwa mereka tidak mencintai dirinya sendiri.” (Man for Himself, hal 139)


“Apakah itu berarti bahwa moralitas, yang menyusun masyarakat manusia dan hewan, memperjuangkan, jika bukan sebagai perlawanan terhadap dorongan-dorongan egoisme yang picik, dan mengungkapkan kemanusiaan dalam semangat perkembangan altruisme? Pernyataan ‘egoisme’ dan ‘altruisme’ seperti itu tidak tepat karena altruisme yang murni tidak dapat muncul tanpa percampuran kesenangan individu– dan akibatnya tanpa egoisme. Karena itu hampir tepat jika mengatakan bahwa etika bertujuan mengembangkan kebiasaan sosial dan melemahkan kebiasaan personal yang picik. Hal yang disebutkan terakhir membuat individu kehilangan pandangan sosialnya karena rasa hormatnya kepada kepribadian yang dimiliki, dan karenanya mereka tetap gagal mecapai tujuan mereka, misalnya kesejahteraaan individu, sementara perkembangan kebiasaan kerja bersama, dan saling membantu, membawa serangkaian hasil yang bermanfaat dalam keluarga seperti jalanya dalam masyarakat.” (Ethics, hal. 307-8)