Lalu siapakah manusia yang berusaha mengendalikan manusia, yang layaknya gumpalan hasrat ingin berkuasa memimpikan dasein diantara dasman, seperti seorang dewa dengan rambut gimbal dan kulit kumuh yang berkata bumi adalah rumahnya dan langit penuntunnya.
Bukankah para gelandangan yang mencuri dari bumi lalu berkata selamatkan bumi adalah korban dari kepandaian tertinggi yang dinamai ketololan
repetisi tiada henti
korban tradisi
arus besar pengikis kepekaan
kesadaran yang tercuri
oleh diri sendiri
sebagai bagian dari kejamakan
karena beda itu dosa
Dunia ramah kepada mereka yang tidak memedulikannya, dan kejam kepada mereka yang peduli pada dunia.
Perhitungan kemanusiaan itu seperti rangking dalam laporan akademisi dan angka dalam buku tabungan.
Tak berguna itu kutukan manusia kepada manusia yang mengatakan tidak lah lebih dari sekadar bahan bangunan untuk keinginan dan kekuasaan. Kanibalisme itu nyata.
Masa depan sebagai penjaga alur terpenuhinya keseharusnyaan. Seperti menciptakan tuhan, manusia selalu merendahkan dirinya kepada ciptaannya dengan membiarkan diri terkendalikan. Bukankah manusia yang menciptakan tuhan, bukan tuhan menciptakan manusia.
Tuhan yang makin bernama yang makin ternyatakan, terinderakan, termaterialisasikan, dan menjadi tujuan jamak. Visi sebuah keindahan yang terdefinisikan sebelumnya.
Tanpa visi yang sama, maka tiada visi lah kaum berbeda.
Kehilangan visi.
Misorientasi.
Terjebak kejenuhan jamak.
Terhalangnya aktualisasi diri.
Pemberontakan periodikal.
Akhir yang diam untuk keaman nyamanan.
Keterjebakan.
Ketidak puasan yang menenggelamkan.
Bukan karena ketidak mampuan, ketidak mauan.
Hanya karena perbedaan.
Beda itu dosa.