Tuesday, October 6, 2015

Standard Rasa

Di atas langit masih ada langit. Di bawah laut masih ada laut. Di samping kekasih masih ada selingkuhan. Halah..

Bicara tentang standar, bicara tentang penyamaan. Bicara tentang selera, bicara tentang persamaan. Sayang, persamaan bukan penyamaan.

Penyamaan itu seperti warnaku cokelat keemasan, maka warnamu pun cokelat keemasan. Itu semacam menipu diri karena reseptor cahaya di retina tidak mungkin tidak berbeda di tiap mata. Bagaimanapun, biruku bukan birumu.

Persamaan itu seperti, selera asik yang disepakati kalau rasanya memang asik. Asik, seperti ada karakter rasa buah nangka. Iya ada rasa legit buah lengkeng, asik. Seperti reseptor retina, reseptor lidah pun tidak mungkin tidak berbeda di setiap lidah.

Yah, tapi sebenarnya bukan tentang reseptor indera melainkan persepsi pikiran saja. Itu pun tentang membongkar memori. Semacam, bagaimana melakukan komparasi dengan buah nangka kalau belum ada memori tentang nangka.

Bisa juga, ternyata buah lengkeng di daerah tertentu rasanya nangka, bahkan namanya nangka. Seperti di suatu daerah warna yang pada umumnya biru dinamai cokelat. Daerah mana itu? Daerah yang mungkin saja ada.

Kalau semuanya adalah ketidak searahan dan keberagaman pengalaman bertemu ketidak terdugaan memori, maka dalam kebersamaan tidak bukan hanya permainan persepsi imajerial.

Menyatukan persepsi itu seperti hal yang mustahil sekaligus diagungkan. Mungkin lebih tepatnya kesepakatan persepsi. Baiklah ini asik, sepakat. Tapi soal biru cokelat nangka dan lengkeng, mungkin tidak. Hanya, kita bersama dalam asik itu.

Bagaimana kalau karakter rasa lengkeng dan rasa nangka dengan balutan cokelat keemasan atau kebiruan itu tidak asik? Sederhana, persepsi seperti itu tidak akan dijumpai di kebersamaan ini lah. Karena bersama dalam asik, kalau tidak asik tidak bersama.

Tapi, bukan berarti tidak bisa bersama. Persamaan bukan penyamaan, kebersamaan bukan kesamaan. Bisa saja persepsi asik dan persepsi tidak asik pada karakter tersebut bersama dalam penasaran. Bukankah hal yang bertolak belakang mempunyai kemungkinan dan peluang sama besar dalam kebersamaan.

Yang biasanya jadi persoalan itu tidak bisa tidak bersama. Biasanya ini berakhir dengan pura-pura. Kesepakatan tidak berlangsung dan keterlibatan tidak penuh. Hanya sekadar ketagihan dan butuh pengalihan saja. Salah? Tidak. Wajar? Iya.

Tidak ada benar dan salah, hanya ada sebab akibat. Seperti lama menahan kehausan dengan melihat lukisan sungai, pada saatnya tak terbendung lagi air selokan pun dihabiskan juga. Wajar? Iya.