Wednesday, April 30, 2014

rusak

perlawanan yang terjungkal,

tak bisa berenang yang melawan paksa arus kejamakan,

rasa-rasanya kebanggaan akan kekuatan dan keberanian,
aslinya ketidak terimaan keterikatan yang adalah keniscayaan,

memang kebodohan pun kemarahan lahir dari ketakutan,
ah memang tidak akan ingat kalau tidak sempat terhancur rusakkan,

bagaimana berhenti berontak jikalau masih berdaya tolak,
maka rusak membawa pilihan untuk terkubur lanjut hancur atau bangkit berhenti dan mulai kembali

|antibiotik anti |lalulupa

Sunday, April 27, 2014

alas & -an

sebagai alas untuk ketenangan, merangkai kaitan keseharusnya -an
menjadi alas bagi pencetus gerakan, membuatnya sebab bagi akibat yang memang keingin -an
adalah alas yang menguatkan, menghadirkan alibi bagi niatan yang terbentur keterjebak -an

sudah tau namun tiada daya hanya ingin namun tak kunjung datang
sudah mampu hanya tiada nyali namun ingin diberanikan oleh suatu dukungan
sudah terlanjur dan terlarut juga ingin bangkit dan beralih maka rindu keterdorongan

mari bersama dalam suatu pergerakan, kesendirian itu rasanya mencekam
tidak bisa tidak bersama, kebutuhan itu semacam keinginan yang mendapatkan kesempatan
pengulangan yang mengancam, kalau tidak begini maka akan begitu demi keinginan yang tidak ingin tampil sebagai ingin

merangkai definisi menemukan justifikasi sebagai tirai tipis, setipis lingerie
mari membaca kutipan surat darinya:

"hai dunia, aku tidak ingin terlihat murahan, tapi kapanpun kau ingin menggunakan aku, pakailah sesukanya demi tujuan itu
-salam sayang, alasan-"

Friday, April 4, 2014

Satu Tanya Terancam Diam

Satu tanya bertanda, segudang cerita tumpah ruah.
Definisi yang gatal perlu dijelaskan, rasanya seperti pembenaran yang dijejal-jejalkan.
Seringkali lupa sesekali ingat, tapi lidah terus terpaksa oleh hasrat berada yang menekan jiwa.
Kehausan akan pengakuan dan keraguan akan eksistensi, berlari pada kutub gengsi.
Satu tanda bertanya, cukup sampai situ saja tertimpa segudang eksplanasi definisi justifikasi gengsi.

Heroisme dalam imajinasi berkawan teori dan kisah klasik dalam benak, ekspektasi dan mimpi berperan.
Jejaki lantai tinggi suatu abstraksi merasa kuasa dalam melalui, penjelasan tertumpah paksa pada tanya.
Satu saja sudah sedemikian megahnya kotbah, berlanjut kemudian tanda tanya pun musnah.
Memori imajinasi ekspektasi teori dan gengsi, hasrat kuasa menggebu jejalkan justifikasi hingga jengah.
Perih tembusi gendang telinga, menusuk benak hingga terinjak dan trauma memar.

Satu tanya bertanda, segudang cerita tumpah ruah.
Jengah sudah luar biasa hingga trauma memar dalam rekaman, untuk kembali pun enggan rasanya.
satu tanda tanya bukan untuk segudang cerita, sebentuk persepsi sebagai pertimbanganlah sejatinya.
Terbiasa dengan kata, hilang kendali lupa cara berbicara.
Kisah saja menjejali telinga hingga jengah, terbiasa dan lalulupa.

Definisi yang gatal perlu dijelaskan, rasanya seperti pembenaran yang dijejal-jejalkan.
Memori imajinasi ekspektasi teori dan gengsi, hasrat kuasa menggebu jejalkan justifikasi hingga jengah.
Terbiasa dengan kata lupa cara berbicara, hilang kendali pada muntahan tumpahan para mimpi.
Dominasi demi gengsi dan kuasa menggodai ekspektasi, eksplanasi menjadi sarana eksistensi.
Kuat keras megah benar besar sempurna dasar dan lalu dan lalu, dalam harap mengendalikan.

Korban dari teori gatal mengiris dengan definisi tak tahan diri berbuat eksplanasi, satu tanya terancam.
Asik sendiri dengan diri pun muntah jejalkan semua imaji, hilang kesadaran ketagihan tak bisa berhenti.
Dalam kisah dengan cerita dalam pemaksaan definisi oleh eksplanasi imaji, bagaimana lah mengerti.
Satu tanya terancam, oleh ketergantungan pengakuan dalam keterbiasaan perkataan dan pembenaran.
Membuyarkan dengan penjelasan, menghancurkan dengan pengertian, satu tanya terancam diam.


Ah, terlalu terbiasa dengan kata membuat keterjebakan padanya. Saat sudah tiada energi menyatakan diri maka berlari pada ketagihan akan kata yang terlakoni. Menjejali diri dengan bahasa dan memuntahkannya pada suatu tanya. Tergoda hasrat naluriah akan kuasa, pengakuan pun dipaksakan oleh cerita dan kisah, oleh memori dan definisi, oleh keterkataan imaji yang terjungkal kedalam curamnya eksplanasi. Mengalir liar mendominasi mendoktrinasi menguasai dan mereduksi.