Tuesday, December 31, 2013

perception

just like what me feel are totally different to what them seeing
definition can't describe feeling
eyes tell everything
close it

Thursday, December 26, 2013

TERLALU KOPI, MUNGKIN..




Terlalu, mungkin semacam istilah untuk menggambarkan hal yang melampaui kebanyakan/kejamakan. Artinya, ada suatu standar bersama yang disepakati menjadi batasan tertinggi dari sesuatu. Lalu, ‘terlalu’ itu tentang melampauinya.

Idealis, mungkin semacam istilah untuk menunjuk kepada subjek yang memiliki suatu objek bernama ide (ideal). Idealisme, mungkin semacam istilah yang menggambarkan imaji berbentuk ide yang diamini oleh pemiliknya dan ada intensi untuk mewujudkannya dalam kata ataupun karya.

Realita, suatu kondisi hasil dari proses penyataan idea dalam kata dan atau juga karya. Korelasi antara idea dan realita adalah bahwa realita akan berdasarkan idea. Baik itu sejalan ataupun bahkan bertentangan tetap berdasar pada hal yang sama dengan parameter tertentu (ideal) yang diamini dan memiliki intensi untuk diimplementasikan (idealisme).

‘Terlalu idealis’ menjadi sebuah penilaian atau mungkin penghakiman yang rancu karena standar mana yang telah dilampaui oleh kesepakatan batas teratas suatu idea tidak lah jelas. Kecuali memang seorang mengizinkan orang lain mengendalikan pemikirannya atas kehidupannya sendiri, hal ini adalah absurd.

Batasan idealis yang bagaimana yang membuatnya menjadi terlalu, kesepakatan dalam lingkungan yang mana. Berarti saat seorang idealis berpindah lingkungan, bisa saja predikat ‘terlalu idealis’ ini berubah menjadi ‘idealis’ saja atau bahkan ‘kurang idealis’ karena standar (kesepakatan bersama) yang berbeda.

Maka menjadi lucu lah saat para jamak, yang walaupun bukan seorang komedian tapi tetap jadi lucu, menggambarkan suatu kondisi muluk-muluk, keras kepala, perjuangan keras, dan obsesi (bukan obesitas) dengan kata ‘terlalu idealis’. Rasanya seperti menghirup udara gunung yang dimasukan ke dalam toples kaca. Bukan kah itu aroma toples, bukan aroma gunung. Bukankah itu ekspektasi pribadi yang diaplikasikan kepada orang lain.

Rasanya seperti membandingkan ide pribadi yang satu dengan realita pribadi yang lain. Tanpa perlu bersusah payah berpikir, bahkan seorang nenek tua yang sedang salto pun bisa mengatakan itu hal yang tidak relevan. Ide pribadi sendiri yang adalah makan dengan sendok dan garpu dikorelasikan dan bahkan dianalisa dengan realita pribadi lain yang sedang makan dengan menggunakan sedotan.

Seperti (me) lupa (kan) istilah idealisme, yang adalah mungkin semacam ide(al) yang diamini, disetujui, dipahami, dan disukai yang memiliki intensi untuk dinyatakan dalam kata dan karya (laku). Idealisme diri adalah diri sendiri sedang makan dengan sendok dan garpu. Realita yang dianalisa adalah seorang lain yang sedang makan dengan sedotan. Maka, dimana fungsi diri sebagai subjek idealis yang memiliki objek ide melakukan proses penyataan ide menjadi realita? Ambigu, karena ada dua subjek, dua idea, satu realita, dengan satu idea saja yang diketahui. Ada faktor yang tidak diketahui dalam persamaan matematisnya. Tidak bisa diselesaikan secara sederhana. Kalau ribet, males bahasnya.

Lalu, kebingungan pengistilahan pun terjadi. Keinginan untuk mendapatkan realita diri sendiri –yang adalah hasil dari proses penyataan idealisme diri– pada diri orang lain. Bukankah itu adalah ekspektasi, bukan idealisme.

Berakar pada satu manusia memiliki ide akan kehidupan dan lingkungannya, dengan mengamininya maka idealisme lahir dalam benak satu manusia ini, dengan karya dan kata ia menyatakan idealismenya dan hasil daripadanya adalah realita dirinya. Lalu alih-alih melihat hasil dari proses yang dibuatnya, seorang idealis ini malah melihat hasil dari proses yang dibuat idealis lain dan kemudian membandingkan realita orang lain (hasil proses penyataan idealisme orang lain) tersebut dengan idealismenya sendiri. Kekacauan acuan atau kelupaan akibat ekspektasi keseharusnyaan. Wajar, karena secara naluriah manusia itu makhluk yang selalu mengusahakan penyamaan.

Kemudian dengan mudahnya seorang idealis berteriak kepada idealis lain yang ia kenakan ekspektasi keseharusnyaannya, ‘terlalu idealis!’ Ah.. kerancuan ini membuat keracunan, karena sebenarnya idea dan realita itu pun sama-sama saja, sama-sama tidak ada.

Dengan masih mengamini kalau kita semua ini hanya berimajinasi dalam pikiran dan menghasilkan imaji yang istilahkan saja ide(al). Bermodal ide inilah pergerakan kehidupan terjadi, istilahkan saja kata dan karya. Hasil dari proses (pergerakan) ini yang istilahkan saja realita. Kemudian rasio (perbandingan)  idea dan realita ini akan menghasilkan daya yang istilahkan saja dengan imajinasi, lewat media perantara yang kita istilahkan saja logika. Maka, menjadi suatu absurditas tingkat dewa mabuk lah membicarakan tentang idealisme dan realitas karena keduanya secara konten (isi) sama, hanya secara kemasan (dalam tataran posisi dan lokasi) yang berbeda.

Kopi yang masih dalam niat dan pikiran itu semacam idealisme, tangan yang mengaduk dan menuang air panas semacam proses penyataan kopi. Lalu, kopi di atas meja dengan warna, aroma dan rasa yang bisa diinderai itulah semacam realita. Intinya kopi. Sama-sama kopi. Lalu dimana yang membuatnya jadi ‘t.e.r.r.l.a.a.a.l.u.u kopi’ selain daripada ekspektasi.

Saturday, November 16, 2013

arti

mencari arti seperti membodohi diri
mencari arti seperti membunuhi diri
menanti arti seperti diri itu sendiri
menanti arti seperti hidup itu sendiri

lalu melepaskannya adalah mendapatkannya

apalah fungsi arti kalau bukan untuk dicampakkan
dibuang setelah digunakan
karena hanya membusuk saat disimpan
hanya melukai saat tersimpan

seperti memori

kondisi membentuk gumpalan memori dan waktu menyatakannya

mengartikan semacam membiarkan memori menguasai
mengartikan semacam mengorbankan diri pada definisi
mengartikan semacam sukarela mengikat diri
mengartikan semacam memaksakan mimpi terjadi

mimpi menyampaikan arti
arti menyatakan mimpi
apalah arti selain daripada mimpi itu sendiri

berarti kah diri
berdiri kah arti

tanpa memori, apa arti

Saturday, May 25, 2013

.

"Ke dalam kegelapan aku berlari, karena pada dasarnya semua manusia itu sendiri."

Tuesday, May 21, 2013

larut dan hanyut

"Larut namun tidak hanyut. Keraskan perkataanmu, bukan suaramu. Dunia ini hancur karena orang yang mengetahui diam saja melihat ketidak adilan.

Kasih membutuhkan penataan. Mencinta lah seperti mencintai diri sendiri. Memberi itu menerima, belajarlah untuk menerima agar mampu memberi.

Jangan biarkan perilaku orang lain merusak kedamaian diri. Tersenyumlah pada semua, karena setiap orang memiliki kesusahannya masing-masing. Berkarya lah seperti ini adalah karya terbaik dan terakhir."

Definisi mengepung diri, idealisme terkikis gerimis. Pernah lah dahulu menantang badai, namun kelembutan jebakan waktu membuyarkan keteguhan.

Waktu membentuk manusia dan kondisi menyatakannya. Karena manusia adalah waktu, mengadopsi angka untuk menggambarkan diri. Lalu manusia menjadi angka, seratus untuk sempurna dan nol untuk percuma. Nol itu bukan kosong, ia berada dan pun manusia. Angka untuk mempertinggikan kemanusiaan merendahkan manusia.

Keraskan perkataan, bukan suara. Namun nyata diam melihat ketidak sesuaian, idealisme terkikis gerimis. Terancamnya kemapanan membungkam kemandirian jiwa. Ilusi yang mengancam, definisi yang mengekang. Para korban definisi mencari aman. Aman adalah blahblahblah *definitif.

Kehancuran akibat kediaman orang-orang, kehancuran akibat perkataan perlawanan orang-orang. Bagaikan hamba yang mempertuan atasan, sang ciptaan menjadi tuhan bagi tuan. Sistem untuk kemanusiaan, manusia untuk sistemnya, kemanusiaan merendahkan manusianya. Kemanusiaan adalah-----. Manusia adalah-----.

Keterbiasaan melebarkan toleransi, melahirkan sikap intoleran. Pembenaran dan kepandaian menciptakan alasan, demi pembenaran. Akal dan budi yang memperbudak diri. Konsep kebenaran, kemenangan, kekuasaan, menindas diri. Apa idealisme itu sekadar pembuka jalan untuk oportunistis dan fatalistis.

Toleransi yang biasa, terbiasa bertoleransi, toleran yang terjebak definisi. Berkewajiban mentolerir, di posisi tinggi menjadi budak bawahan. Tiada ketegasan terkikis alasan, keteguhan habis oleh gerimis asal-asalan. Asal alasan. Alasan asal. Alasan alasan, asal asalan, alasan pembenaran asal.

Biarkan, sudahlah, biasa saja, maka terbuka jurang intoleran kepada pengingatan. Terbuka gudang toleransi untuk alasan, perlindungan tolak peringatan. Lupa lupakan saja, ingat untuk lupa saja. Idealisme terkikis gerimis, bukankah dulu pernah lewati badai namun tetap teguh mandiri jiwa idealis.

Kondisi membentuk manusia dan waktu menyatakannya. Manusia adalah waktu, yang terisi kisah-kisah abadi memori. Kotak-kotak kosong menua mengeras dan mengaku. Akumulasi rasa raba aroma, terkukus realita yang jenuh definisi bertaut keseharusnyaan. Ah, marilah meringkuk dalam kenyamanan. Kenyamanan adalah----- Kemapanan adalah----- Ilusi adalah kenyataan, kenyataan adalah ilusi. Manusia itu tidak ada. Kemanusiaan hanya pembelaan diri. Diri siapa? Apa?

Larut namun tidak hanyut, berada tak berusaha meniadakan. Menghormati keberadaan lain, mempertegas keberadaan sendiri. Mengasinkan gumpalan cairan keruh yang berkarat kelamaan diam, menerangi gulita keputus asaan mengejar ilusi kepastian masa depan, kemapanan.

Tak larut mengikut alur keterbiasaan, bertahan menunggu zaman menundukan kepala di hadapan imajinasi ideal jiwa yang bertahan dalam keteguhan. Tak padam oleh angin gerak cepat pengejar bayangan kemapanan, yang berlari bolak-balik kesurupan mimpi kekayaan.

Mengingat-ingat perkataan, berdekat-dekat perbincangan. Kawan sepi, alkohol tinggi, kafein jenuh, perbincangan penuh. Kalimat bebas beterbangan, makian sayang pengingatan. Bisik tajam peringatan, aroma berat sesak bernapas. Hujan mengguyur kepanasan, lalu lepas.

Hey, gumpalan memori! Kembali pada posisi, membiarkan roh kembali terikat pada waktu, membentuk raga dan pikiran yang teringatkan, memperkuat keteguhan jiwa. Berimajinasi dan menyakininya, kesempurnaan hanya permainan. Kondisi dan waktu membentuk manusia lalu waktu dan kondisi menyatakannya.

Monday, May 6, 2013

'P' si mistis


Atau kita hanya jadi pengulang-ulang yang ber:
A. Repetisi tiada henti
B. Terjebak tradisi, tra da isi
C. Korban definisi
D. Jamak terkendalikan situasi
E. Semua jawaban benar, dibuktikan dengan penyangkalan dan pembenaran diri via alasan
^^

lalu, tiada lg aktivis & pasivis; hanya oportunis, FaTaLis, & apatis; kemudian kapan & bagaimana ia mati, mmberi 'vis' atau 'org baik biasa'

*"bersama surat ini kami kirimkan kepada Anda hadiah kecil kosmetik dan cermin sehingga Anda.. dapat membuat diri kalian menarik di mata penguasa"
#jenjangkarirer

*I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist.

Kau bilang jangan onani di kelas, ya benar... Kau tidak onani di kelas tapi onani di jalanan. Sama saja berOnani.

Kenapa disebut onani, karena hanya memuaskan diri sendiri, golongan sendiri, kelompok sendiri. Kalau memuaskan di luar itu, baru bukan oNaNi.

Mau bukti kalau kalian hanya beronani? Lihat, berapa banyak orang yang bersungut2 atas asap bakaran kalian. Sebanyak itu kau onani sehari.

Demi semua itu bukan hanya 100 anak berseragam gerak bersama, toh sama. Namun, seribu masa dengan pakaian apa adanya bergerak bersama.

Bagaimana mengeluarkan isi kerang dari cangkang kerasnya, bukan melempari kerang itu ke semua orang berharap isinya keluar. Seragam TK.

Bukankah kita semua hanya mengikuti tradisi, melakukan repetisi tanpa isi. Lalu menjadi alat, bagi satu orang perancang skenario untuk naik.

Kita semua hanya butuh hiburan, pengakuan, manfaatkan waktu luang, alasan pembenaran, mendapat kekuasaan, & berharap nama dicatat sejarah.

Ada tercatat sejarah, "Merintih saat ditekan, menindas saat berkuasa, mementingkan kepentingan golongan, demi kepuasan bukan perbaikan."

Lalu apa yang perlu dilakukan dalam keputus asaan? Kalau tak bisa bongkar, buat sistem baru. Tidak nanggung. BESAR. Hitler, Gandhi, Mao.

Di luar itu semua, tidak ada salah dan benar. Hanya sebab dan akibat. Hanya latihan dan pertandingan. Pro dan kontra. Itu semua BIASA aja.

Pertanyaannya, belum bosan kah kita ,mengulang-ulang?

Maka, mari berdrama. Peranku sebagai dewa. Kalian manusia. Mereka hewan ternak tak mengerti apa2. b(,")d

Aku yang paling benar. Khikhikhikhi... #muNaiFk #konteks

*kutipan dari catatan Soe Hok Gie

Monday, March 11, 2013

Jenuhnya

Hentikan keberisikan mata ini, bola mata sudah mau terlonjak lepas dari cangkang kepala.
Lalu siapakah manusia yang berusaha mengendalikan manusia, yang layaknya gumpalan hasrat ingin berkuasa memimpikan dasein diantara dasman, seperti seorang dewa dengan rambut gimbal dan kulit kumuh yang berkata bumi adalah rumahnya dan langit penuntunnya.
Bukankah para gelandangan yang mencuri dari bumi lalu berkata selamatkan bumi adalah korban dari kepandaian tertinggi yang dinamai ketololan

repetisi tiada henti

korban tradisi

arus besar pengikis kepekaan

kesadaran yang tercuri

oleh diri sendiri

sebagai bagian dari kejamakan

karena beda itu dosa

Dunia ramah kepada mereka yang tidak memedulikannya, dan kejam kepada mereka yang peduli pada dunia.
Perhitungan kemanusiaan itu seperti rangking dalam laporan akademisi dan angka dalam buku tabungan.
Tak berguna itu kutukan manusia kepada manusia yang mengatakan tidak lah lebih dari sekadar bahan bangunan untuk keinginan dan kekuasaan. Kanibalisme itu nyata.

Masa depan sebagai penjaga alur terpenuhinya keseharusnyaan. Seperti menciptakan tuhan, manusia selalu merendahkan dirinya kepada ciptaannya dengan membiarkan diri terkendalikan. Bukankah manusia yang menciptakan tuhan, bukan tuhan menciptakan manusia.

Tuhan yang makin bernama yang makin ternyatakan, terinderakan, termaterialisasikan, dan menjadi tujuan jamak. Visi sebuah keindahan yang terdefinisikan sebelumnya.
Tanpa visi yang sama, maka tiada visi lah kaum berbeda.

Kehilangan visi.

Misorientasi.

Terjebak kejenuhan jamak.

Terhalangnya aktualisasi diri.

Pemberontakan periodikal.

Akhir yang diam untuk keaman nyamanan.

Keterjebakan.

Ketidak puasan yang menenggelamkan.

Bukan karena ketidak mampuan, ketidak mauan.

Hanya karena perbedaan.

Beda itu dosa.

Monday, February 11, 2013

PAWN


Pion, para terkendalikan yang akan mati duluan sebagai jalan. Bagi perencana yang membuat cerita, yang sangat indah bagi dirinya. Persetan dengan orang lain, kekuasaan adalah takdirku katanya.

Berdiri di barisan paling belakang, malah seringkali tidak di dalam barisan. Ia bersenda gurau di dalam istana menggerakan papan caturnya. Bergeraklah para pion yang telah dikebiri logikanya.

Pion yang mampu berpikir tak mampu melanjutkan pikiran, pendekatan kepaLaN lebih dominan daripada kepala. Hingga nanti ada jiwa besar yang mengajaknya bicara, perlahan dan berkepala. Pion kembali jadi manusia.

Tidak selesai, kebiasaan lebih kuat daripada alasan dan yang paling kuat diantaranya adalah perak. Dari sebongkah perak, oleh sebongkah perak, dan untuk sebongkah perak yang sama, para pion terus bergerak terkendalikan. Menghadang, menerjang, mati, atau naik jabatan. Kehendak buyar, antara bergerak dan digerakan tiada perbedaan.

Berseragam sama dengan warna yang sama dan itu saja, dengan sedikit gantungan di pakaian. Makin banyak warna, makin banyak pengetahuan. Makin banyak lencana, makin banyak kekuasaan. Menggerakan? Yak yang tergerakan mulai menggerakkan, atas perintah yang tidak berseragam. Digerakan.

Kebiasaan dan pola, pola dan kebiasaan. Entah mana yang mendahului dan yang mengikuti, keduanya abadi dalam sosok pion yang terkebiri kepalanya. Repetisi dan tradisi, kenaikan jabatan sebentuk pion berfungsi menjaga kedua itu berlangsung terus. Demi kelangsungan kekuasaan para pesenda gurau di balik tenda yang ternyata istana. Angkat gelas untuk bertambahnya lahan pekuburan pribadi.

Pion berkata yang dituliskan. Untuk merekayasa, diberikan pengajaran pembahasaan. Bukan untuk mencari kebenaran, namun untuk mengubah bentuk struktur gramatika bagi perkataan yang sama. Berdebatlah terus, maka kalimat utama akan muncul. Saya hanya melaksanakan perintah atasan dan untuk itulah saya dibayar, maka saya akan melakukan tanggung jawab yang mulia ini.

Percuma, sungguh percuma berkepaLaN dengan pion yang sangat sulit diajak berkepaLa. Bagaimana tidak, kapasitas rasio dikebiri oleh ancaman: tak bergerak tak hiduplah api di tungku rumah. Maaf, saya hanya menjalankan perintah atasan, untuk itulah saya dibayar. Maka saya akan melakukan tanggung jawab mulia ini.

Perak, berikanlah perak. Pion berkepaLaN melunak seperti besi oleh api, menjadi kawan dalam kilauan logam. Terjebak oleh dua tuan. Jiwa besar yang tak ingin menjadi tuan, akan melanjutkan perak dengan pembicaraan, demi menjadi kawan dalam kilauan pertemanan. Yang pada dasarnya sama, faktor kegunaan. Tiada hubungan tanpa kegunaan dan manfaat, seperti itulah hukum alam.

Berkeringat membela tambang perak, berkata dan bertindak cepat tepat. Sesuai rencana rekayasa pengajaran, mendapat pengetahuan yang makin membatasi pengertian. Modifikasi bentuk tanpa mengubah isi, bertindak teguh tanpa mengurai makna. Merasa raja diantara para biasa. Namun merendahkan jiwa diantara para pesenda gurau di balik tenda yang adalah istana. Seperti itulah para budak yang melunjak.

Menindas dengan merasa kuasa, hasil rekayasa pengajaran bahasa. Berkeras dan mengendalikan dengan merasa raja, hasil pengajaran badan penahan serangan. Para pion di barisan depan, sebagai payung penahan hujan dan tongkat penyingkir kotoran di jalanan. Terlatih untuk terluka dan terhina dari para pesenda gurau dalam istana, maka menindas dan menguasai para biasa untuk tak mengalami luka dan hina. Sepertinya, hanya mengalirkan dendam tak terbalas.

Meninggikan diri secara sadar dengan ketidak sadaran pada dasarnya telah terjatuh dalam kerendahan yang lebih bawah dari para biasa, pion yang digerakan pesenda gurau dalam istana selalu merasa raja. Kuasa dalam balik pos kotak kayu beratap logam, rasa berkuasa dengan bongkah perak dalam bungkus kepaLaN.

Jiwa besar dari para biasa pun tidak selalu ada, karena para biasa sebenarnya adalah pion bagi para pesenda gurau lainnya, pion yang tidak ‘berseragam sama dan itu saja’ bedanya, namun pion tetap lah pion. Baris pertama, maju duluan, mati cepat dan bangkainya adalah perkerasan jalan bagi laju mulus kendaraan pesenda gurau yang bersulang piala darah. Tertawa karena berhasil menambah lahan pekuburan pribadi.

KepaLaN bahasa di lapangan, kepaLa bahasa di ruangan. Sulit untuk berkepala di jaman jamak bergerak demi perak. Semua sama. Beradu kata-kata hampa, kehilangan kepala, mengotori kepaLaN. Berdarah dan tewas demi menjadi perkerasan jalan.

Tak sempat melalui logika dan rasio, dari rasa menuju lidah. Meludah dan mengotori kepaLaN. Membuat kubu baru peperangan, dan semua itu telah direncanakan. Hiburan bagi para pesenda gurau yang lagi-lagi bersulang. Tujuan akan selalu tercapai, dengan alur cepat atau lambat. Tak tersentuh pun para raja di barisan belakang, karena para pion merasa raja dan berperang dengan alasan demikian. Raja yang bosan mengganti pionnya.

Pion lama berperang, pion baru mengisi posisi kosong. Semuanya tidak ada yang menyentuh para pesenda gurau untuk berhenti tertawa. Malah hanya memperkeras tawanya akan rekayasa yang berhasil dilakukan. Demi menambah lahan pekuburan pribadi. Sebongkah perak untuk membeli dunia, siapa tidak tergoda. Persetan dengan darah dan mayat, tiada guna selain sebagai perkerasan jalan demi laju mulus kendaraan saja. Lalu denting halus piala pesenda gurau yang bersulang terdengar lantang.

Perang melahirkan kehampaan, kesadaran datang belakangan setelah banyak kematian dan keheningan terjadi. Rasa terbuang muncul dan pion mencoba menghadap raja. Kini pion itu telah mejadi para biasa di hadapan pion lain yang melindungi raja.

Para pion yang merasa raja, dengan sebongkah perak dibungkus kepaLaN. Tidak berkepaLa dan ahli rekayasa bahasa. Dengan pesan yang sama dan kalimat berbeda, pion menghadang sang biasa.

Kebiasaan lebih kuat daripada alasan, rasio terkebiri menahun tak mampu hadirkan jiwa besar dari sang biasa. Masih merasa raja, namun seketika tersadar diri adalah pion. Melihat pion di hadapan, yang menghadang dan memandangnya sebagai sang biasa. Rasa pun langsung menuju lidah, kepala terkebiri sulit untuk gegas berfungsi. Terlambat berkepaLa, terhambat berlogika, terlewat merasio.

Maka, repetisi terjadi. KepaLaN bahasa di lapangan, kepaLa bahasa di ruangan. Sulit untuk berkepala di jaman jamak bergerak demi perak. Semua sama. Beradu kata-kata hampa, kehilangan kepala, mengotori kepaLaN. Berdarah dan tewas demi menjadi perkerasan jalan.

Para biasa berjiwa besar, mampu berkepaLa sebelum berkepaLaN. Melihat dan menganalisa, lalu berkata. Seandainya bisa untuk mengajak ke dalam ruangan, maka para biasa dan pion bisa berbicara. Tanpa mata dari pesenda gurau dalam istana, berkepaLa tercapai lah. Daripada membuat peperangan, yang bahkan debunya saja sama sekali tidak menyentuh jubah dari para pesenda gurau yang bersulang dan terbahak-bahak.


-karenarasaadalahsegalanya_11Februari2013-

arogansi semu satpam kelompok istana yang arogan sejati –inspirasi–

minum yang semakin haus

Semakin minum semakin haus.

Seperti itulah rasanya saat membaca buku,
mendengarkan pengalaman dengan kritis,
beradu pendapat yang bukan mencari titik temu, hanya berpendapat dan mendengarkan pendapat,
mengalami kejadian yang menjadi beban pikiran.

Lalu menggunakan kata, 'bagaimana jika....' pada akhirnya

Semakin banyak mengetahui, semakin sedikit mengerti

Semakin banyak mengerti, semakin jauh dari memahami

Bagaimana ini?! Semakin minum semakin haus

Galileo pernah berkata, "Belajarlah untuk melihat, karena segala hal adalah berhubungan."
Memang pada dasarnya semua hal adalah satu, dan pada permukaannya banyak.
Lantas untuk mencari satu inti dari semua hal itu, perlukah untuk mengalami banyak hal di permukaan?
Sedangkan manusia adalah waktu, roh yang berada dalam periode jiwa dan raga.

Pola.

Itu saja?

Pola. Kalau memang semuanya adalah berhubungan, maka ada pola.
Darimana membongkar pola, dari mengalami kebanyakan itulah katanya.
Makin banyak hal dijiwai, makin terlihatlah pola yang sama.
Sama pada dasarnya, beragam pada permukaannya.

Tak heran lah, dengan mendalami satu hal mampu mengerti beragam kejadian.
Pun, dengan menjalani beragam pengalaman, mampu mengerti satu inti yang adalah makna sejati.

Bukan mengumpulkan koleksi ilmu, bukan pula sekadar mengerti maksudnya.
Menilai dan mengerti seakan memenuhi pikiran, raga yang berperiode dan berkapasitas.
Memahaminya adalah satu langkah, agar memori menjadi jiwa. Jiwa yang berperiode dan tak terbatas kapasitas.

Kemudian, kembali pada mengalami. Maka, untuk menunaikan dahaga perlu menjalani minum yang semakin haus.
Hanya untuk tau, minuman mana yang menyudahi rasa haus dan mana yang semakin membuat haus.

Saturday, January 19, 2013

temani saja

Sudahi lah definisi, ke'seharusnya'an terlalu mereduksi.

Kita berjanji bertemu di satu titik, tak peduli jalan mana masing2 lalui, kisah apa masing2 jalani.

Kita hanya bertemu di titik tertentu untuk saling menemani, bukan mengurai bandingkan tanding cerita.

Hanya saling menemani, peduli dengan tak mendefinisi.

Teman(i) mengopi dan menikmati matahari. 

Lalu berpisah kembali dan ketemu lagi di satu titik di depan nanti.

Tanpa kata sarat makna, tanpa tanya sarat tawa.

Untuk apa membongkar pasang sejarah diri,
hanya menghabiskan waktu,
membuat cinta menua menunggu dan mati berlalu.

Sunday, January 6, 2013

Sang Pahlawan


sumber dr harapan, kata. sumber dari kata, perasaan. sumber dari perasaan, pikiran. sumber dr pikiran, latar belakang. 1org 1dunia.

Berbicara imajinasi dengan manusia jamak itu sulit, selalu diprasangkai. Bicara kopi dikira akan buka kedai, bicara bra dikira putus asa =.=

bicara motor dikira akan beli baru, bicara alam dikira akan liburan jalan2.. Imajinasi terkungkung angka.

bicara itu mudah, menjelaskan susah, mengerti sangat sulit, memahami itu yang mustahil.. dasar manusia

yah memang merepotkan bertemu yang namanya 'asa' belum lagi nanti kalau hilang logika dan memulai per'asa'an baru.. aiihh.. terseret (r)asa!

para pahlawan akan datang mendekati gadis lugu yang dilanda kegalauan, ujung2nya selangkangan...!!!!! para=langit2 (logikapahlawan)

banyak hal yg melahirkan rasa tdk mau dekat lagi & cenderung menjauhi, misalnya, ngupiL waktu diajak ngobrol - aku tanpamu butiran korong

"diksi mempengaruhi hati" ~amoure d'amurist

para pahlawan yg hadir di saat yg tepat, saat sang pengharap kehilangan tempat berpijaknya, ia datang membawa drama kehebatan.. silakan..

itulah kurangnya kemanusiaan, yg sekali bertemu kaki pasangan langsung malas berjalan, saat terjatuh dari gendongan tak mampu berdiri jalan

bahkan pahlawan pun akan terjebak dalam permainan kegagahannya, karena dalam kebingungan pengharapan, ancaman asa mengendalikan pahlawan

modal bagi pahlawan adalah hujan, motor, dan jas plastik =)) _aku berayun dengan tembakan jaring dari satu harapan ke harapan lainnya_

"memang lakilaki paling suka caricarii.. pina pasang aksi kami siap bawa laariii.." (pop daerah Flores : Yosefina)

terimakasih, jalan berlubaang, karena kamu kami baku dempet. terimakasih cuaca hujaan, karena kamu aku jadi pahlawaan =)) (pop daerah Flores : Oto bis kayu)

makin jelek makin enak makin lubang makin goyang, terimakasiiih jalaan berlubaaaang... (pop daerah Flores : Oto bis kayu)

hanya superman, pahlawan yg paling jujur.. dia nyaman dengan celana dalam di luar.. pahlawan lain, kesiangan & bertujuan dapat selangkangan

aku pahlawan?? bukan! akulah yg menciptakan pahlawan, sang penjahat pemupus harapan..

tanpaku tiada gadis pirang berdiri di sisi jembatan penuh kegalauan, tanpaku tiada pahlawan yg mengambil kesempatan menuju selangkangan

yak aku lah sang pencipta pahlawan, sang penjahat pemupus harapan, sang penguji kemanusiaan, dan penanggung dosa harapan.. maaf, aku kuat!

yak aku lah sang pencipta pahlawan, sang penjahat pemupus harapan, sang penguji kemanusiaan, dan penanggung dosa harapan.. maaf, aku kuat.

kaleuummm.. lihat si 250cc 4valve sohc dulu... jisss seksiiiii.. O.O

malas lah untuk bilang "kan sudah kubilang" karena memang kehidupan itu repetisi tiada henti, terulang2.. sampai bertemu kesadaran, aku diam

bandung, 18 Desember 2012 / judul: sang pahlawan / oleh: amoure d'amurist



hukum dan kebenaran

>> ada tiga jenis kekuatan; massa, uang , & alam. yang terakhir ini yang mulai jarang ditemui namun paling diperlukan saat ini. bangkit butuh mati

>> vox pupuli vox dei

>> hukum itu, 1 tindakan yang dilaksanakan massa dalam jumlah besar. kebenaran itu, keyakinan massa tersebut. penegak hukum, pedang.

>> bersama membuat hukum dan kebenaran, mari... *ciyus

>>  obat daripada luka hanyalah dusta.