Tuesday, November 22, 2011

Aku dan Diriku


Semakin banyak penjelasan, semakin banyak kesalah pahaman. Apa yang ada dalam pikiranku, pemikiranku, terhalang oleh bahasa. Walaupun bahasa punya rasa, rasa bahasa selalu tak sempurna ceritakan rasa dalam logikaku kepada yang bukan aku. Tak mungkin dia menjadi aku, karena aku hanya satu dan aku adalah diriku. Namun diriku belum tentu aku. Saat diriku belum menjadi aku, itulah ketidak sadaran.

Perjuangan mencapai kesadaran tentu saja mengalami banyak halangan. Kemalasan, kenyamanan, harapan dan tuntutan. Manusia adalah penghalang bagi manusia lain, secara natural. Kesadaran hanya bisa didapatkan dengan perlawanan aku terhadap diriku. Penundukan aku terhadap diriku. Namun, kegagalan membuat aku berusaha menaklukan dan menundukkan kamu.

Ketidak siapan menerima kegagalan membuat harapan terwariskan. Ketidak siapan menerima keberhasilan membuat diri merasa tuhan. Aku lupa akan misi mengendalikan diriku. Diriku lahir dalam keterpaksaan, pilihan yang lahir dari tiada pilihan. Aku tidak pernah memilih dilahirkan. Aku hanya hadir dalam diriku dan sepanjang perjalanan hidupku tidak pernah lepas dari pilihan. Tidak ada pilihan lain, aku harus memilih.

Munafik, semua manusia munafik. Terutama aku. Aku tidak sungguh mengatakan apa yang ingin aku katakan, melakukan apa yang ingin aku lakukan. Diriku yang terkekang dengan kemanusiaan dan ikatan-ikatan, semakin menjauhkan diriku dari aku, akar kemunafikan. Munafik adalah naluri almiah manusia. Kemunafikan terbesar adalah berlaku tidak munafik, karena sesungguhnya dengan demikian aku munafik karena tidak munafik.

Aku berteriak-teriak bahwa aku tidak pernah meminta dilahirkan, aku tidak meminta kehidupan, aku tidak meminta kemanusiaan. Saat dunia menawarkan kepastian masa depan aku terdiam dalam buai kenyamanan. Diriku yang mengambil alih aku, buyar semua hakikat sang aku. Diriku yang merupakan manifestasi aku di dunia raga ini semakin terikat, terbuai, terhanyut jauh meninggalkan aku. Lalu, siapa aku?

Aku hanya ingin diakui, aku hanya ingin hadir dalam eksistensi yang penuh. Aku ingin menguasai diriku dan menempati posisi dimana kalian memandang aku. Mengakui dan menyanjungku. Meninggikan aku. Aku pun lalu bertemu dengan aku-aku yang lain. Diriku bertemu dengan diriku-diriku yang lain. Sampai aku ingin menguasai diriku dan dirimu. Aku-aku yang berhasrat menguasai lebih dari diriku-diriku pun bertemu.

Kesamaan melahirkan persaingan. Aku pun kembali terhanyut dalam perjuangan dan melupakan tujuan. Aku dan diriku terpisah entah bagaimana dan kemana. Lupa diri, tak sadar diri, aku tiada lagi. Hanya diriku yang mengikuti arus besar kemunafikan. Tak tahu lagi siapa aku, apa inginku, tujuanku. Awalnya adalah penentangan dan pencarian, akhirnya adalah menyerah namun tak berhenti. Tak juga mencari, hanya bergerak seperti yang lain. Menjadi kami. Kita. Sama-sama. Jamak. Normal, lurus, dan tergiring.

Seperti harapan melahirkan kekecewaan, penjelasan melahirkan kesalah pahaman. Yang tak menganalisa tak akan tersiksa. Untuk apa kau mengerti aku, pahami dirimu terlebih dahulu baru kau hadapi aku. Manusia membutuhkan idola untuk mencari tujuan, dan saat idolanya melakukan kesalahan, manusia itu menemukan tujuannya.


21 November 2011

Thursday, November 10, 2011

MUDA MUDI (1)


Sebagai pembuka, seperti biasa saya menjelaskan posisi saya. Saya melakukan kegiatan melihat, kemudian mengolah data secara rasional. Rasional dalam arti perbandingan dari ilmu dan wawasan yang telah saya dapat sampai saat ini, dengan situasi dan keadaan yang saya lihat saat ini. Olah pikir tersebutlah yang melahirkan opini saat ini. Opini ini kemudian saya kemukakan, dalam lingkup hasil dari proses rasionalisasi data. Mengenai latar belakang, status sosial, pekerjaan, pandangan politis, agama, dan sebagainya dalam ruang saya sebagai pribadi manusia, bukan menjadi pembahasan utama. Melainkan pembahasan sekunder, dimana itu semua berpengaruh dalam proses rasionalisasi saya, dan hasil tulisan saya saat ini. Saya sama seperti orang kebanyakan di zaman ini. Bedanya, saat saya beropini seperti ini, saya terlepas dari saya dan hanya rasio saya yang bekerja. Lepas bebas dan berkarya.

Orang muda. Anak muda. Orang dan anak. Istilah yang terasa bedanya. Klasifikasi berdasarkan usia. Terlintas kalimat “Orang-orang tua yang telah banyak berkelana dalam kehidupan seringkali belum tahu apa itu kehidupan. Kemudian kita, anak muda mengikuti jejak mereka dengan berbagai cara. Mulai dari meniru sampai dengan menentang melawan. Hasilnya, jejak mereka pun kita ikuti.” Klasifikasi berdasarkan usia ini rasanya seperti pengulangan yang memiliki tahapan kegiatan.

Dari kisah hidup Soe Hok Gie, yang pernah penulis lihat dari 2 sumber. Film dan buku. Ada tersurat bahwa saat itu, mahasiswa kerjanya hanya kuliah kemudian pulang. Bergaul dengan keasyikannya sendiri berdasarkan kepentingan sendiri. Kemudian menimbun ilmu sendiri dan digunakan untuk kepentingan sendiri. Demi pekerjaan yang menjanjikan kelimpahan material, kepastian alur kehidupan, dan kemudahan mendapatkan keinginan. Sepertinya, sama dengan mahasiswa saat ini. Karyawan muda saat ini. Bahkan mungkin orang-orang tua saat ini.

Ketakutan akan ketidak pastian masa depan membuat manusia jatuh kepada sisi buruk oportunisme dan utilitarianisme. Sehingga, kata-kata oportunis dan utilitarianis seakan najis, padahal ada sisi baik di dalamnya. Para pemaki itu pun sebenarnya melakukan dua hal ini. Oportunis dalam menajiskan oportunisme membuat mereka mendapatkan kesempatan “terpandang” oleh sekitar, dan dengan pengaruh ini mencapai kemudahan. Utilitarianis dalam menajiskan utilitarianisme membuat mereka mendapatkan kegunaan untuk bersosialisasi dengan para penentang, membuat jejaring berdasarkan kegunaan masing-masing dan mencari kesempatan untuk mewujudkan keinginan. Sama saja.

Eksistensialisme orang-orang muda. Merasa hebat dan menentang para orang tua. Tetap saja tujuannya adalah untuk menunjukkan kekuatan. Bukankah orang-orang tua pun memberi arahan untuk menunjukkan kekuatan. Teguh pendirian orang muda dan keras tak mau menerima masukan, dengan tujuan mencapai keinginan dan membuktikan diri mampu menaklukan kehidupan. Seperti orang tua yang membuat aturan yang harus dijalani untuk menaklukan kehidupan dan mengatasinya.

Orang-orang muda melihat para orang tua, yang melahirkan kekaguman bagi dirinya. Kemudian mengikuti jejaknya dan seringkali terjebak untuk menjadi sang idola dengan cara cepat. Aku harus menjadi dia, katanya. Seringkali pula terjebak dalam alur dan pola kehidupan orang lain yang dijalaninya. Alur dan pola kehidupan pribadinya terbuang. Semua demi satu hal, menjadi sosok yang diidolakan. Dengan, sayangnya seringkali membuang sosok alamiah dirinya.

Banyak pengalaman yang hadir dari usia. Banyak kisah-kisah hidup yang dapat menjadi rujukan dan perbandingan. Hal-hal inilah yang menjadi pisau bermata dua dalam kehidupan. Satu sisi menjadi sarana mengisi kehidupan dengan kebijaksanaan, dan di sisi lain mengosongkan kehidupan dengan membuat orang mengikuti alur dan pola tertentu untuk mencapai suatu kondisi dan bentuk tertentu. Setelah bentuk dan kondisi ini tercapai, makna mulai dipertanyakan. Sepertinya sepanjang hidup dari muda hingga tua, makna selalu menjadi hal yang terlupakan namun selalu melekat. Melekat dan terlupakan.

Orang muda, malas belajar dari pengalaman untuk melakukan aktualisasi dan kontekstualisasi. Mengikuti pola dan alur tercepat karena ingin cepat-cepat tua. Dalam lingkup definisi tua adalah mapan, memiliki posisi dalam kehidupan, mendapatkan yang diinginkan. Degradasi definisi ini pun akibat dari dua sisi tajam pengalaman.

Orang tua, merasa paling berpengalaman dan tidak mau melihat konteks. Melakukan penyama-rataan karena secara fakta memang pernah muda. Hanya tidak mau memandang muda pada tahun berapa, tanggal berapa dan dalam situasi dunia seperti apa. Sama saja. Orang tua dan orang muda, sama-sama dikendalikan hasrat untuk berkuasa.

Pengulangan-pengulangan pengalaman dan sejarah bukan menjadi hal yang aneh. Suatu kehidupan dengan pola yang sama, hanya dengan bentuk yang berbeda. Dengan jejak yang sama hanya dengan langkah yang berbeda. Dengan pesan yang sama, hanya saja yang satu dengan surat kertas dan satu lainnya dengan Blackberry messenger.

Orang-orang tua yang telah banyak berkelana dalam kehidupan seringkali belum tahu apa itu kehidupan. Kemudian kita, orang muda mengikuti jejak mereka dengan berbagai cara. Mulai dari meniru sampai dengan menentang melawan. Hasilnya, jejak mereka pun kita ikuti.

Dalam tahap awal, kehidupan serasa melepaskan diri seseorang dari kesadarannya. Yang ingin dikejar adalah kekuasaan dan penaklukan atas kehidupan. Tahap selanjutnya, pola-pola dan alur-alur yang hadir dari pengalaman, yang tadinya berniat untuk membantu para manusia mencapai jalan tercepat dalam  mencapai kesadaran mengatasi kehidupan, malah menjadi sistem penyamaan alur kehidupan. Setiap kesamaan akan menghasilkan persaingan. Seperti itulah kehidupan orang muda dan orang tua. Selalu berulang.


10 November 2011

Thursday, November 3, 2011

Senandung bunuh diri #2, #3, #4, #5

Senandung bunuh diri #2
tiganovemberduaribusebelas

Aku putus asa, sungguh putus asa
Karena sungguh asa harus diputus
Asa lahirkan kecewa seperti penjelasan lahirkan kesalah pahaman
Putuskan asa karena seperti tuhan lah ia, diciptakan manusia
Dibentuk dan dibesarkan manusia
Untuk kemanusiaan dan tak lama menjadi candu
Kemanusiaan untuk asa

Yang tak berharap, tidak akan terikat
Yang tak menganalisa, tidak akan tersiksa


Senandung bunuh diri #3
tiganovemberduaribusebelas

Kesempurnaan hadir dalam kemapanan
Kemanusiaan kecanduan kemapanan
Kemapanan menawarkan kepastian masa depan
Kemanusiaan takut akan ketidak pastian masa depan
Kolaborasi patah hati putus asa
Otomatisasi manusia

Definisi membangun ruang dalam kehidupan, pengerdilan kemanusiaan
Keluar dari ruang kehidupan, adalah jalan kembali keagungan kemanusiaan



Senandung bunuh diri #4
tiganovemberduaribusebelas

Manusia hidup menunggu mati, dan kebanyakan mengisinya dengan kebodohan
Kesalahan itu dasar dari kehidupan, dan ketakutan lah yang menggerakannya
Kehilangan makna diri, manusia mengikuti tujuan jamak
Manusia merasa membutuhkan suatu hal karena diperintah untuk membutuhkan hal itu
Oleh siapa? Oleh kebanyakan, kejamakan
Omong kosong dengan objektivitas, kolektivitas adalah kebenaran
Tuhan
Atas kemanusiaan

Persamaan bukan penyamaan
Sayang, berbeda adalah dosa



Senandung bunuh diri #5
tiganovemberduaribusebelas

Apa beda manusia dengan kerbau yang bergerombol tergiring kemana-mana?
Tidak ada!


Tujuan hidupku terbentuk dari kebaikan-kebaikan yang diciptakan pendahuluku dan terpatri oleh zaman menjadi kebenaran sejati.
Tujuan sejatiku adalah kesalahan dan perlawanan terhadap arus zaman yang memutar balikkan kemanusiaan.
Kematian, adalah anugerah terbesar kehidupan. Kebebasan.

senandung bunuh diri

duanovemberduaribusebelas

> apa yang salah dengan hidup tanpa tujuan?
> salah, karena sedikit yang seperti itu
> apa yang salah dengan diam dan menunggu dengan tenang?
> salah, karena yang kebanyakan bergerak berdasar ketakutan
> apa yang salah hidup dengan melawan ke-jamak-an?
> salah, karena yang jamak takut untuk mati
> kenapa harus hidup seperti air, mengalir mengalur menuju lautan diam?
> karena yang hidup seperti batu, yang diam layaknya lautan, sedikit
> apa esensi dari ada
> tiada

yang tak membutuhkan harta kekayaan, tidak akan berkekurangan harta kekayaan
yang tak membutuhkan tujuan, tidak akan hidup penuh kekurangan

Wednesday, November 2, 2011

real cinderella steel man


Hal kecil yang kebetulan terlihat dari film-film tinju adalah tentang kemanusiaan. Kemanusiaan paling jelas terlihat dari pertarungan. Pertarungan dalam definisi apapun, selama yang bertarung adalah manusia. Karena saya kebetulan laki-laki yang katanya adalah makhluk visual, maka pertarungan dalam tontonan menjadi semacam sarana pembelajaran. Makanya saya suka "film tinju".

Dua 'film tinju' yang mengganjal di pikiran dan perasaan saya sampai sekarang adalah Cinderella Man (CM) dan Real Steel (RS). Dalam CM, saya melihat seorang laki-laki yang telah 'dewasa' dan 'matang', dimana hidupnya adalah kehidupan bagi orang lain. Pertarungan-pertarungan ia lakukan dalam memenuhi kemanusiaanya sebagai makhluk sosial.

Dalam RS, saya melihat laki-laki yang 'kurang dewasa', dimana hidupnya untuk dirinya sendiri. Pertarungan-pertarungan ia lakukan dalam memenuhi kemanusiaanya sebagai makhluk individu. Setelah menonton film ini, saya teringat slogan "Laki-laki tidak pernah dewasa dan wanita terlalu cepat dewasa."

Perempuan, selalu muncul dalam sejarah manapun. "Dibalik kebesaran seseorang ada perempuan yang mendukungnya, dan dibalik kejatuhannya pun ada perempuan". Satu hal yang relatif~mutlak selalu ada dalam film tinju* (yang pernah saya tonton dan tidak banyak) adalah perempuan, dengan kesetiaannya, mendewasakan laki-laki. Laki-laki dengan keegoisannya, memanusiakan perempuan. Dalam arti, membuat perempuan mengerti, bahwa kemanusiaan bukan suatu hal yang bisa dikendalikan dan diatur sesuai keinginan.

Satu persamaan lain antara CM dan RS, kehadiran seorang anak. Anak, seringkali menjadi jembatan antara laki-laki dan perempuan. Kedewasaan yang longgar seorang lelaki dan kedewasaan yang ketat seorang perempuan ditempatkan sesuai porsinya dengan kehadiran seorang anak. Namun, dibalik itu perlu diingat latar belakang kondisi yang menjadi matriks hubungan laki-anak-perempuan. Misalnya dalam dua film di atas, matriksnya adalah tinju (hobi/pekerjaan) dan ekonomi.

Berlanjut kepada dasar, dasar dari sebuah film tinju umumnya adalah cinta dan keluarga. Keduanya dalam arti universal, bukan cinta dan keluarga dalam arti sempit seperti sinetron kejar tayang yang marak di stasiun lokal. Kekuatan dari film tinju adalah dalam kepalan seorang petinju, baik laki-laki maupun perempuan, ada cinta dan keluarga.

Drama yang kuat, aksi yang keras, pesan yang dalam, pengertian yang beragam-bergantung orang. Keluasan dan kedalaman itulah yang membuat saya menyukai film tinju. Sama seperti saya menyukai kopi dan beer. Imajinasi seakan dipertemukan dengan kenyataan, idealisme dengan realitas dan pemahaman pun hadir.

Seandainya film ini dirangkai berdasarkan perjalanan kedewasaan seorang petinju, laki-laki terutama, mungkin RS adalah masa ababil sang petinju dan CM adalah masa dewasa sang petinju. Masa puber kedua petinju mungkin ada di film lain, mungkin million dollar baby, mungkin against the ropes. Yang pasti lebih lengkap, pentalogy (bener ga nih istilahnya-ngasal.co.id) film "Rocky" sudah sangat mewakili perjalanan kemanusiaan seorang manusia.

*dimana petinjunya adalah laki-laki


Friday, October 21, 2011

Thursday, October 20, 2011

CANDU


Cinta dan morfin, apa bedanya. Sama-sama candu yang menenangkan dan membuai, membuat manusia jauh dari kesadaran. Ada hal yang mendasar dari hidup manusia, dan manusia berkutat di permukaannya. Apakah salah apakah benar. Tidak ada benar tidak ada salah, hanya ada aksi dan reaksi. sebab dan akibat.

Sedikit contoh, pengulangan yang disadari tak tersadari. Seorang manusia yang seharian bekerja di kantor dan kelelahan. Pulang ke rumah menemukan cinta dalam keluarga, tenang, terbuai dan larut. Bangun pagi hari, berjuang kembali dengan rutinitas dan kemudian hingga lelah, pulang kembali ke rumah dan menghisap candu lagi. Begitu seterusnya.

Agama dan kemapanan, apa bedanya. Sama-sama candu masyarakat yang menjanjikan dan menenangkan, menawarkan kepastian masa depan dan mengabaikan ketidak terdugaan. Penyederhanaan manusia membawa pemikiran dan perasaan kepada kematian, pergeseran tujuan dengan kedok kebahagiaan. Tersingkap semua yang ada di balik layar, semua datar.

Sedikit contoh, bagaimana kesucian dan kesadaran hadir saat beribadat. Tenang, dan terbuai dengan keagungan suatu peribadatan. Kemudian keluar dari tempat ibadah, kembali memaki orang di jalanan padat kendaraan, bersitegang dengan tetangga kubikal di kantoran dan bersaing dengan segala cara mencuri materi. Kemudian pada waktunya kembali lagi ke rumah ibadat menghisap candu.

Ketakutan karena ketidak tahuan. Ketidak tahuan pun mengalami pergeseran makna. Semua tentang visualisasi dan bukti berdasarkan ilmu yang saat ini berlaku. Tak terbukti berarti tak ada. Terbukti namun tak diketahui adalah ancaman akan kehidupan. Manusia pun takut akan kesengsaraan dan kematian.

Bukankah dengan berusaha untuk tahu dan mengerti, berdasarkan ilmu yang saat ini berlaku (logika dan rasio) itu pun adalah kesengsaraan. Betapa semua manusia seperti kerbau mengarah ke satu jalan yang namanya pendidikan. Mengejar gelar untuk ditempelkan di badan layaknya kode harga, seberapa nilai suatu manusia. Masuk ke dalam arus karir mengejar kemapanan dan kemudian memastikan masa depan. Pun, melupakan kepastian masa depan adalah kematian yang tak pasti kapan.

Kenapa manusia takut mati, sampai mencari kepastian masa depan lewat kemapanan. Bukankah manusia hidup dalam beberapa saat sebelum mati. Karena sampai saat hidup (dalam beberapa saat sebelum mati) itu tiba, kita manusia tidak benar-benar hidup. Bahkan bernapas saja tidak kita sadari.

Kesadaran menjadi hal yang mengawang-awang dan abstrak. Begitu banyak candu dan buaian yang membuat manusia menjauh dari kesadarannya. Pendidikan, pekerjaan, pergaulan, dan gaya hidup. Teknologi, hiburan, fasilitas, dan perjalanan. Bahkan perjalanan, yang sejatinya adalah untuk meningkatkan kesadaran menjadi sarana pelarian. Tidak beda dengan teknologi hiburan yang membantu manusia lari dari dirinya sendiri, perjalanan menjadi sarana pencapaian gengsi.
Ada sebab ada akibat, ada aksi hadir reaksi. Semua demi terjalinnya keseimbangan dan harmoni. Penderitaan dan kesulitan manusia di dunia membuat banyak orang berusaha mecari jalan untuk kebahagiaan. Akhirnya jalan hadir, sebanyak manusia yang mencarinya. Mana jalan yang benar, semuanya benar bagi yang merasa itu benar. Kebenaran adalah keyakinan akan kebenaran yang dianut manusia yang membenarkannya. Adu kebenaran, sudah biasa.

Berlomba-lomba manusia mencapai tujuan yang telah terbentuk atas dasar kesepakatan bersama, yaitu kebahagiaan. Banyak jalan menuju kebahagiaan, akhirnya jalan pun menjadi sumber kebahagiaan. Pendidikan yang sejatinya meluaskan pandangan manusia justru mengebiri pandangan manusia dan menjadikan manusia terjebak di dalamnya. Kini, pendidikan adalah ilmu tertentu yang berguna dalam dunia kerja. Kerja yang juga tertentu untuk bidang-bidang itu saja. Lalu pada akhirnya kehidupan yang sempurna adalah tertentu dan terkotak pada syarat mapan, kaya, tunjangan masa depan dan kepastian pendidikan keturunan.

Candu candu candu canda. Canda siapa yang membuat manusia menjadi kecanduan. Manusia yang membuatnya dan manusia yang terbuatnya, seperti lingkaran yang tak terputus. Manusia untuk, untuk manusia, manusia untuk – untuk manusia – manusia untuk – dan seterusnya tak pernah berhenti.

Candu membuai kesadaran manusia dengan merasuk kepada kepercayaan manusia yang dianut saat ini. Logika dan rasio, yang adalah agama manusia sebenarnya. Bagaimana manusia mencapai konsep tuhan, selalu dengan agama (logika dan rasio). Pendekatan kepada sesuatu yang agung selalu dilakukan dengan pengabaian-pengabaian kecil. Akhirnya dimana banyak pengabaian kecil terjadi, pengabaian besar pun lahir. Membawa pisau mengebiri kemanusiaan dan menyeret manusia jauh dari kesadaran.

Bukankah semua kegiatan kita manusia saat ini adalah pelarian dari kesadaran akan manusia. Manusia itu apa, siapa, untuk apa, dan bagaimana. Semua buyar, dengan adanya agama yang membawa kebahagiaan. Lewat kepastian masa depan, pengotak-kotakan, pengebirian, dan pengabaian akan adanya hal-hal yang secara logika tidak ada.

Arus besar karir dengan candu kemapanan bertemu dengan kemudahan dan fasilitasi teknologi. Semuanya membuat dunia baru yang jauh dari dunia sebenarnya manusia. Manusia menyadari kehidupan yang akan diakhiri dengan kematian. Dalam mengisi rentang waktu ini manusia terpancing untuk berkarya dan berkuasa. Memastikan eksistensi dan mengharapkan keabadian.

Menghadirkan surga dan kebahagiaan. Lewat memastikan jalan hidup dengan jelas dan seperti peran yang telah disusun dengan rapi dan diketahui akhirnya, manusia mulai bermain drama tanpa jiwa. Saat kegelisahan akan kebutuhan kesadaran muncul, candu-candu tak mau mengalah.

Promosi jabatan, perjalanan liburan, televisi, teknologi, cerita-cerita kepahlawanan, mimpi-mimpi, dunia-dunia dalam film dan semua keterbukaan akan segala kemungkinan. Sejatinya adalah pengetahuan dan cambuk bagi manusia untuk sadar akan hakikatnya menjadi sadar dan mencapai kesadaran kemudian menyadarkan. Namun, sifat sebuah ilmu yang dimana bila kurang menjadi bego dan bila berlebih menjadi ego bertemu dengan sifat manusia yang malas sekaligus tidak pernah puas. Kesadaran menjadi candu karena tidak pernah mendapat porsi yang pas.

Manusia yang kurang ilmu menjadi penurut dan pengikut, seperti kerbau yang ikut arus masa kini dan memasuki peran-peran dalam drama kepastian masa depan, berdasarkan ketakutan akan ketidak pastian. Manusia yang berlebih ilmu menghadirkan candu-candu yang membawa semua manusia menjadi seperti kerbau yang berbahagia dengan fasilitas yang dipuja melebihi dewa. Dengan alasan menghadirkan kebahagiaan.

Candu, bahkan menulis pun menjadi candu. Pelarian dari kesadaran yang pada awalnya adalah untuk menjadi pembangkit kesadaran. Ketika tulisan menjadi ruang pelarian, sang penulis pun masuk ke dunianya dan lari dari kesadaran, terbuai oleh candu yang diciptakannya sendiri. Dimana kesadaran? Saat sesuatu belum sempat menjadi candu.


karenarasaadalahsegalanya-Semarang17102011//17:11wib

Friday, October 14, 2011

Ketidak pastian kepastian


Ketidak pastian adalah kumpulan kepastian-kepastian yang membentuk suatu alternatif. Dengan batasan syarat, lingkup, tujuan dan sasaran terlihatlah suatu kepastian. Dengan banyaknya lingkup, syarat, tujuan dan sasaran muncullah banyak kepastian. Kepastian-kepastian bergerombol dan melahirkan alternatif yang menuntut tindakan pemilihan. Lihatlah, ketidak pastian kepastian. Pilihan, lagi-lagi pilihan.

Berkata lah orang-orang: kepastian masa depan adalah yang terpenting. Perjuangan masa kini demi masa depan yang jelas. Sungguh pengebirian kepada kebebasan dan pengerdilan kepada kehadiran. Kepastian hadir dari pembatasan dan pengabaian, seperlunya. Begitu banyak pembatasan dan pengabaian yang diamini banyak orang membentuk budaya seragam yang menenangkan sekaligus menyebalkan.

Kenyamanan hadir dari keseragaman, banyak yang sejalan artinya saat jatuh kita semua bersama. Berteman dalam kubangan. Persaingan bukan hal yang aneh, saat kesamaan bertemu hasrat ingin berkuasa dan keputusan dalam menentukan pilihan yang menyangkut kebersamaan – kesamaan dan persamaan - penyamaan.

Dimana kepastian, bahkan untuk menemukannya kita bergumul dengan ketidak pastian. Banyak jalan yang pasti, bukankah itu adalah ketidak pastian jalan. Kesederhanaan pun kehilangan makna, bukan dari pilihan untuk mengambil yang diperlukan namun pemangkasan untuk menemukan kepastian. Kontekstualitas menjadikan kalau A pasti jadi B, kalau C pasti jadi D. Terus yang pasti itu A atau C?

Apa yang pasti, ketidak pastian kah? Yang tidak pasti apa dong?


Karenarasaadalahsegalanya14102011/10:07wib