Cinta dan morfin, apa bedanya. Sama-sama candu yang
menenangkan dan membuai, membuat manusia jauh dari kesadaran. Ada hal yang
mendasar dari hidup manusia, dan manusia berkutat di permukaannya. Apakah salah
apakah benar. Tidak ada benar tidak ada salah, hanya ada aksi dan reaksi. sebab
dan akibat.
Sedikit contoh, pengulangan yang disadari tak tersadari.
Seorang manusia yang seharian bekerja di kantor dan kelelahan. Pulang ke rumah
menemukan cinta dalam keluarga, tenang, terbuai dan larut. Bangun pagi hari,
berjuang kembali dengan rutinitas dan kemudian hingga lelah, pulang kembali ke
rumah dan menghisap candu lagi. Begitu seterusnya.
Agama dan kemapanan, apa bedanya. Sama-sama candu masyarakat
yang menjanjikan dan menenangkan, menawarkan kepastian masa depan dan
mengabaikan ketidak terdugaan. Penyederhanaan manusia membawa pemikiran dan
perasaan kepada kematian, pergeseran tujuan dengan kedok kebahagiaan.
Tersingkap semua yang ada di balik layar, semua datar.
Sedikit contoh, bagaimana kesucian dan kesadaran hadir saat
beribadat. Tenang, dan terbuai dengan keagungan suatu peribadatan. Kemudian
keluar dari tempat ibadah, kembali memaki orang di jalanan padat kendaraan,
bersitegang dengan tetangga kubikal di kantoran dan bersaing dengan segala cara
mencuri materi. Kemudian pada waktunya kembali lagi ke rumah ibadat menghisap
candu.
Ketakutan karena ketidak tahuan. Ketidak tahuan pun
mengalami pergeseran makna. Semua tentang visualisasi dan bukti berdasarkan
ilmu yang saat ini berlaku. Tak terbukti berarti tak ada. Terbukti namun tak
diketahui adalah ancaman akan kehidupan. Manusia pun takut akan kesengsaraan
dan kematian.
Bukankah dengan berusaha untuk tahu dan mengerti,
berdasarkan ilmu yang saat ini berlaku (logika dan rasio) itu pun adalah
kesengsaraan. Betapa semua manusia seperti kerbau mengarah ke satu jalan yang
namanya pendidikan. Mengejar gelar untuk ditempelkan di badan layaknya kode
harga, seberapa nilai suatu manusia. Masuk ke dalam arus karir mengejar
kemapanan dan kemudian memastikan masa depan. Pun, melupakan kepastian masa
depan adalah kematian yang tak pasti kapan.
Kenapa manusia takut mati, sampai mencari kepastian masa
depan lewat kemapanan. Bukankah manusia hidup dalam beberapa saat sebelum mati.
Karena sampai saat hidup (dalam beberapa saat sebelum mati) itu tiba, kita
manusia tidak benar-benar hidup. Bahkan bernapas saja tidak kita sadari.
Kesadaran menjadi hal yang mengawang-awang dan abstrak.
Begitu banyak candu dan buaian yang membuat manusia menjauh dari kesadarannya.
Pendidikan, pekerjaan, pergaulan, dan gaya hidup. Teknologi, hiburan,
fasilitas, dan perjalanan. Bahkan perjalanan, yang sejatinya adalah untuk
meningkatkan kesadaran menjadi sarana pelarian. Tidak beda dengan teknologi
hiburan yang membantu manusia lari dari dirinya sendiri, perjalanan menjadi
sarana pencapaian gengsi.
Ada sebab ada akibat, ada aksi hadir reaksi. Semua demi
terjalinnya keseimbangan dan harmoni. Penderitaan dan kesulitan manusia di
dunia membuat banyak orang berusaha mecari jalan untuk kebahagiaan. Akhirnya
jalan hadir, sebanyak manusia yang mencarinya. Mana jalan yang benar, semuanya
benar bagi yang merasa itu benar. Kebenaran adalah keyakinan akan kebenaran
yang dianut manusia yang membenarkannya. Adu kebenaran, sudah biasa.
Berlomba-lomba manusia mencapai tujuan yang telah terbentuk
atas dasar kesepakatan bersama, yaitu kebahagiaan. Banyak jalan menuju
kebahagiaan, akhirnya jalan pun menjadi sumber kebahagiaan. Pendidikan yang
sejatinya meluaskan pandangan manusia justru mengebiri pandangan manusia dan menjadikan
manusia terjebak di dalamnya. Kini, pendidikan adalah ilmu tertentu yang
berguna dalam dunia kerja. Kerja yang juga tertentu untuk bidang-bidang itu
saja. Lalu pada akhirnya kehidupan yang sempurna adalah tertentu dan terkotak
pada syarat mapan, kaya, tunjangan masa depan dan kepastian pendidikan
keturunan.
Candu candu candu canda. Canda siapa yang membuat manusia
menjadi kecanduan. Manusia yang membuatnya dan manusia yang terbuatnya, seperti
lingkaran yang tak terputus. Manusia untuk, untuk manusia, manusia untuk –
untuk manusia – manusia untuk – dan seterusnya tak pernah berhenti.
Candu membuai kesadaran manusia dengan merasuk kepada
kepercayaan manusia yang dianut saat ini. Logika dan rasio, yang adalah agama
manusia sebenarnya. Bagaimana manusia mencapai konsep tuhan, selalu dengan
agama (logika dan rasio). Pendekatan kepada sesuatu yang agung selalu dilakukan
dengan pengabaian-pengabaian kecil. Akhirnya dimana banyak pengabaian kecil
terjadi, pengabaian besar pun lahir. Membawa pisau mengebiri kemanusiaan dan
menyeret manusia jauh dari kesadaran.
Bukankah semua kegiatan kita manusia saat ini adalah
pelarian dari kesadaran akan manusia. Manusia itu apa, siapa, untuk apa, dan
bagaimana. Semua buyar, dengan adanya agama yang membawa kebahagiaan. Lewat
kepastian masa depan, pengotak-kotakan, pengebirian, dan pengabaian akan adanya
hal-hal yang secara logika tidak ada.
Arus besar karir dengan candu kemapanan bertemu dengan
kemudahan dan fasilitasi teknologi. Semuanya membuat dunia baru yang jauh dari
dunia sebenarnya manusia. Manusia menyadari kehidupan yang akan diakhiri dengan
kematian. Dalam mengisi rentang waktu ini manusia terpancing untuk berkarya dan
berkuasa. Memastikan eksistensi dan mengharapkan keabadian.
Menghadirkan surga dan kebahagiaan. Lewat memastikan jalan
hidup dengan jelas dan seperti peran yang telah disusun dengan rapi dan
diketahui akhirnya, manusia mulai bermain drama tanpa jiwa. Saat kegelisahan
akan kebutuhan kesadaran muncul, candu-candu tak mau mengalah.
Promosi jabatan, perjalanan liburan, televisi, teknologi,
cerita-cerita kepahlawanan, mimpi-mimpi, dunia-dunia dalam film dan semua
keterbukaan akan segala kemungkinan. Sejatinya adalah pengetahuan dan cambuk
bagi manusia untuk sadar akan hakikatnya menjadi sadar dan mencapai kesadaran
kemudian menyadarkan. Namun, sifat sebuah ilmu yang dimana bila kurang menjadi
bego dan bila berlebih menjadi ego bertemu dengan sifat manusia yang malas
sekaligus tidak pernah puas. Kesadaran menjadi candu karena tidak pernah
mendapat porsi yang pas.
Manusia yang kurang ilmu menjadi penurut dan pengikut,
seperti kerbau yang ikut arus masa kini dan memasuki peran-peran dalam drama
kepastian masa depan, berdasarkan ketakutan akan ketidak pastian. Manusia yang
berlebih ilmu menghadirkan candu-candu yang membawa semua manusia menjadi
seperti kerbau yang berbahagia dengan fasilitas yang dipuja melebihi dewa.
Dengan alasan menghadirkan kebahagiaan.
Candu, bahkan menulis pun menjadi candu. Pelarian dari
kesadaran yang pada awalnya adalah untuk menjadi pembangkit kesadaran. Ketika
tulisan menjadi ruang pelarian, sang penulis pun masuk ke dunianya dan lari
dari kesadaran, terbuai oleh candu yang diciptakannya sendiri. Dimana
kesadaran? Saat sesuatu belum sempat menjadi candu.
karenarasaadalahsegalanya-Semarang17102011//17:11wib