Kematian sejuta orang tiada artinya bagi alam
semesta. Terlalu kecil. Sebutir pasir di pinggir pantai tak terasa, kita semua
menyebutnya pasir. Adakah yang memberi nama tiap butiran itu, untuk
membedakannya satu sama lain? Ada, makhluk gila yang entah dimana pun
dimana-mana. Kita sebut makhluk itu tuhan. Kalau memang bentukannya adalah
makhluk. Siapa yang tahu kalau tuhan pun sebutir debu, sama seperti butiran
lain. Hanya makhluk sok tahu yang tahu, kita menyebutnya manusia.
Manusia yang bergerombol, berkumpul di bumi
seperti pasir di pantai. Hanya menyesakkan di sebuah ruang dan waktu, kemudian
menjadi alas kaki sesuatu yang lebih besar. Seperti manusia yang menginjakkan
kakinya di pasir pantai, membentuknya menjadi istana dan menjadi raja. Terlalu kecil
pasir melawan manusia. Terlalu kecil manusia melawan semesta. Kematian berjuta
orang tiada artinya bagi alam semesta.
Butiran menciptakan pasir, pasir menciptakan
manusia, manusia menciptakan dewa, dewa menciptakan raksasa, raksasa
menciptakan sistem, sistem menciptakan butir pasir. Terlalu kecil butir pasir
melawan manusia. Kebebasan hanya ada di sekotak ruang dan waktu yang
dinominalisasi. Di luar dari pada itu adalah perang, perlawanan. Lebih besar
lagi, tiada apa-apa. Sangat kecil. Terlalu kecil. Seperti matahari menatap butir
pasir. Dia bilang, tiada apapun di sana.
Teriakan penuh amarah, kepalan tangan pun
meninjui udara. Tendangan ke bumi, tamparan kepada samudera. Biar anak panah
itu menembus kepala menghancurkan otak, teriakan penuh amarah tidak akan pernah
berhenti. Terlalu kecil untuk melawan, emosi pun tersapu begitu saja. Kaki-kaki
raksasa menginjak dan meremukan badan, hingga tulang belakang keluar dari
pantat bersama dengan taik. Biarkan, tetap berdiri melawan. Ada apa di sana? Tidak
ada apa-apa. Terlalu kecil.
Melawan dengan jantung yang dipompa tangan
sendiri, hanya untuk menambah periode perlawanan yang tidak berarti dan gerak
perlawanan yang tidak berasa. Terlalu kecil, seperti matahari menatap butir
pasir, ia berkata tiada apapun di sanan. Kematian berjuta manusia tiada artinya
bagi semesta.
Biar mata berdarah hingga bolanya menggelinding
keluar meleleh panas, terus melawan walau terlalu kecil. Telinga pun telah
tiada, ia hangus dibakar dogma yang mereduksi. Tak perlu lagi reduksi, apa lagi
yang bisa diamputasi dari sebutir pasir, apa lagi yang bisa ditimbang dari
seonggok daging yang menggunakan peniti untuk mengikat jiwa agar jangan dahulu
pergi. Biar..! Biarkan terbakar hingga menjadi abu, menjadi butir. Pun terus
melawan merongrong menerkam dengan ganasnya hingga muncul pertanyaan ‘apa itu?’.
Jawabannya, tiada apapun.
Kaki yang patah, cabuti tulangnya menjadi
tongkat bagi kaki satunya untuk tetap berdiri. Mengepalkan tangan kepada tuhan
dan menantangnya berkelahi. Ada pedang, dari tulang tangan yang telah membusuk
dagingnya, dibantu para belatung. Pedang untuk mengoyak perut semesta agar
isinya muntah ruah dan membusuk di depan mata. Mata yang tinggal sebiji dan
bernanah.
Pita suara terakhir pun putuslah, hanya mulut
menganga tak bisa lagi menggeram. Injakan pun menekan lebih keras, meninggalkan
tapak dalam bagai di pantai. Menghancurkan tubuh lebih dalam. Rahang yang telah
terputus dari sendi tengkorak bukan halangan, justru bantuan agar selalu
berteriak melawan tanpa halangan mulut. Tenggorokan memuntahkan darah bersama
dengan udara dari paru-paru yang pecah, menggantikan suara yang terlalu kecil
untuk didengarkan.
Terus meninju semua yang ada sekuatnya,
menendang menampar, meludah dan menebas, berteriak dengan darah. Sekuat-kuatnya
membabi buta-tuli-bisu. Terlalu kecil untuk melawan artinya adalah perlawanan
yang terus terus dan terus. Hingga terbuka mata tak hingga itu dan menganga
mulutnya berteriak keras melelehkan seluruh tubuh dan menginjaknya tak berasa.
Apa itu?! Apakah itu. Hanya sesuatu yang sedang
lewat dan berlalu. Begitu saja. Bukan perlawanan bukan pembelaan diri, hanya
lewat dan begitu saja. Hancur semua raga, lepas peniti yang mengaitkan jiwa. Hembusan
angin lalu yang lewat menghanguskan butir jiwa yang lepas, dalam sepersejuta embusan.
Terlalu kecil. Saat satu embusan selesai, sejuta kematian terjadi dan itu bukan
apa-apa bagi semesta.
Bercak darah, daging, bubuk tulang, lendir,
organ dalam, dan abu jiwa menempel pada bekas tapak kaki yang berlalu itu. Menggesturkan
perlawanan, tangan terkepal, mulut mengaga, mata melotot, dan tubuh tegas
berdiri. Pada bidang datar yang rata. Hening. Hampa. Apa itu? Tiada apa-apa di
situ.
Kelahiran seseorang adalah sebutir sesuatu bagi
semesta, pada butir itulah titik kehancuran berdiri. Kematian semua orang tiada
artinya bagi semesta, karena begitulah adanya ketiadaan. Titik kehancuran yang
berdiri menantang tiada artinya bagi semesta, seperti kematian menciptakan
kelahiran, kelahiran melawan kehidupan, kehidupan menghasilkan kematian. Sebutir
pasir proses keberadaan, peneguh ketiadaan. Terlalu kecil.
esensisensasi 05072012