Thursday, July 5, 2012

Terlalu Kecil

Kematian sejuta orang tiada artinya bagi alam semesta. Terlalu kecil. Sebutir pasir di pinggir pantai tak terasa, kita semua menyebutnya pasir. Adakah yang memberi nama tiap butiran itu, untuk membedakannya satu sama lain? Ada, makhluk gila yang entah dimana pun dimana-mana. Kita sebut makhluk itu tuhan. Kalau memang bentukannya adalah makhluk. Siapa yang tahu kalau tuhan pun sebutir debu, sama seperti butiran lain. Hanya makhluk sok tahu yang tahu, kita menyebutnya manusia.

Manusia yang bergerombol, berkumpul di bumi seperti pasir di pantai. Hanya menyesakkan di sebuah ruang dan waktu, kemudian menjadi alas kaki sesuatu yang lebih besar. Seperti manusia yang menginjakkan kakinya di pasir pantai, membentuknya menjadi istana dan menjadi raja. Terlalu kecil pasir melawan manusia. Terlalu kecil manusia melawan semesta. Kematian berjuta orang tiada artinya bagi alam semesta.

Butiran menciptakan pasir, pasir menciptakan manusia, manusia menciptakan dewa, dewa menciptakan raksasa, raksasa menciptakan sistem, sistem menciptakan butir pasir. Terlalu kecil butir pasir melawan manusia. Kebebasan hanya ada di sekotak ruang dan waktu yang dinominalisasi. Di luar dari pada itu adalah perang, perlawanan. Lebih besar lagi, tiada apa-apa. Sangat kecil. Terlalu kecil. Seperti matahari menatap butir pasir. Dia bilang, tiada apapun di sana.

Teriakan penuh amarah, kepalan tangan pun meninjui udara. Tendangan ke bumi, tamparan kepada samudera. Biar anak panah itu menembus kepala menghancurkan otak, teriakan penuh amarah tidak akan pernah berhenti. Terlalu kecil untuk melawan, emosi pun tersapu begitu saja. Kaki-kaki raksasa menginjak dan meremukan badan, hingga tulang belakang keluar dari pantat bersama dengan taik. Biarkan, tetap berdiri melawan. Ada apa di sana? Tidak ada apa-apa. Terlalu kecil.

Melawan dengan jantung yang dipompa tangan sendiri, hanya untuk menambah periode perlawanan yang tidak berarti dan gerak perlawanan yang tidak berasa. Terlalu kecil, seperti matahari menatap butir pasir, ia berkata tiada apapun di sanan. Kematian berjuta manusia tiada artinya bagi semesta.

Biar mata berdarah hingga bolanya menggelinding keluar meleleh panas, terus melawan walau terlalu kecil. Telinga pun telah tiada, ia hangus dibakar dogma yang mereduksi. Tak perlu lagi reduksi, apa lagi yang bisa diamputasi dari sebutir pasir, apa lagi yang bisa ditimbang dari seonggok daging yang menggunakan peniti untuk mengikat jiwa agar jangan dahulu pergi. Biar..! Biarkan terbakar hingga menjadi abu, menjadi butir. Pun terus melawan merongrong menerkam dengan ganasnya hingga muncul pertanyaan ‘apa itu?’. Jawabannya, tiada apapun.

Kaki yang patah, cabuti tulangnya menjadi tongkat bagi kaki satunya untuk tetap berdiri. Mengepalkan tangan kepada tuhan dan menantangnya berkelahi. Ada pedang, dari tulang tangan yang telah membusuk dagingnya, dibantu para belatung. Pedang untuk mengoyak perut semesta agar isinya muntah ruah dan membusuk di depan mata. Mata yang tinggal sebiji dan bernanah.

Pita suara terakhir pun putuslah, hanya mulut menganga tak bisa lagi menggeram. Injakan pun menekan lebih keras, meninggalkan tapak dalam bagai di pantai. Menghancurkan tubuh lebih dalam. Rahang yang telah terputus dari sendi tengkorak bukan halangan, justru bantuan agar selalu berteriak melawan tanpa halangan mulut. Tenggorokan memuntahkan darah bersama dengan udara dari paru-paru yang pecah, menggantikan suara yang terlalu kecil untuk didengarkan.

Terus meninju semua yang ada sekuatnya, menendang menampar, meludah dan menebas, berteriak dengan darah. Sekuat-kuatnya membabi buta-tuli-bisu. Terlalu kecil untuk melawan artinya adalah perlawanan yang terus terus dan terus. Hingga terbuka mata tak hingga itu dan menganga mulutnya berteriak keras melelehkan seluruh tubuh dan menginjaknya tak berasa.

Apa itu?! Apakah itu. Hanya sesuatu yang sedang lewat dan berlalu. Begitu saja. Bukan perlawanan bukan pembelaan diri, hanya lewat dan begitu saja. Hancur semua raga, lepas peniti yang mengaitkan jiwa. Hembusan angin lalu yang lewat menghanguskan butir jiwa yang lepas, dalam sepersejuta embusan. Terlalu kecil. Saat satu embusan selesai, sejuta kematian terjadi dan itu bukan apa-apa bagi semesta.

Bercak darah, daging, bubuk tulang, lendir, organ dalam, dan abu jiwa menempel pada bekas tapak kaki yang berlalu itu. Menggesturkan perlawanan, tangan terkepal, mulut mengaga, mata melotot, dan tubuh tegas berdiri. Pada bidang datar yang rata. Hening. Hampa. Apa itu? Tiada apa-apa di situ.

Kelahiran seseorang adalah sebutir sesuatu bagi semesta, pada butir itulah titik kehancuran berdiri. Kematian semua orang tiada artinya bagi semesta, karena begitulah adanya ketiadaan. Titik kehancuran yang berdiri menantang tiada artinya bagi semesta, seperti kematian menciptakan kelahiran, kelahiran melawan kehidupan, kehidupan menghasilkan kematian. Sebutir pasir proses keberadaan, peneguh ketiadaan. Terlalu kecil.


esensisensasi 05072012