Monday, February 2, 2015

Karena rasa ... (cerpen)


01.02.2015/Jakarta/matraman-salemba



Repetisi tiada henti, bukankah kontradiksi yang membuat gerakan. Kalau manusia tidak munafik tidak akan pernah ada lah perkembangan sebagai akibat dari gerakan. Kehancuran pun suatu perkembangan, awal perkembangan mungkin tepatnya. Lagipula apa itu kehancuran, semata konsep atas perubahan yang tidak sesuai dengan ekspektasi subjektif korban definisi.

Kalau melihat secara terbalik, kehancuran di jaman ini bukanlah hancurnya rawa dan pepohonan menjadi kompleks perumahan para jamak, melainkan pecahnya perkerasan jalan akibat tumbuhnya benih pohon dari dalam tanah. Atau, akibat perkembangan akar pohon besar yang mencari nutrisi dari tanah yang ditutupi aspal atau hamparan komposisi beton dengan perbandingan 1:2:3 untuk semen:pasir:kerikil kalau tidak salah. Atau, perbandingan pengetahuan:keserakahan:ketololan.

Kalau dilihat secara terbalik mungkin demikian, kalau dilihat secara lurus ya ketololan itu adalah perjalanan melintasi berbagai tempat tanpa tahu tujuan dan bukannya mengumpulkan harta demi persiapan hidup di masa depan. Sekilas terlintas kutipan “manusia itu hidup menunggu mati dan banyak yang mengisinya dengan kebodohan.” Ah, apa pula itu kebodohan. Subjektif dan terlalu relatif. Seperti kematian.

Mati menurut siapa dalam konteks apa dengan batasan apa dan untuk keperluan apa. Mati menurut dokter adalah saat organ vital penunjang kehidupan tidak lagi berfungsi, seperti jantung yang tidak berdetak memompa darah ke seluruh tubuh. Mati menurut teknisi mekanik adalah saat tidak adanya gerakan lagi dari suatu unit, katakanlah unit manusia. Lalu manusia yang bergerak tanpa jantung yang berdetak membuat kematian relatif. Ah, simplifikasi atau ketololan kah opini semacam ini?

Satu orang mati, seratus orang menghadiri pemakaman. Sembilan puluh sembilan sepakat bahwa orang ini mati, satu orang berkata orang itu tidak mati hanya hibernasi dan akan bangun lagi nanti. Maka kematian pun menjadi tidak mutlak. 99 orang pun bersekongkol menyingkirkan si 1% ini, alih-alih kematian menjadi mutlak, kematian pun menjadi politik.

Kebenaran itu pembenaran, objektivitas itu semu, subjektivitas relatif mutlak, kolektivitas lah yang kita amini sebagai kebenaran, dan itu pun relatif. Ke-relatif mutlak-an lain adalah, makin banyak makin benar. Banyak sekali orang mencari kebenaran sejati, mudah saja sebenarnya. Kumpulkan lah semua orang-orang yang mencari kebenaran sejati itu dan sepakati satu hal maka jadilah itu kebenaran. Lima milyar homo sapiens, dari delapan milyar yang menjangkiti bumi, berkata matahari terbit dari Barat dan tenggelam di laut maka demikianlah kebenaran yang tidak bisa disangkal.

“Lalu, dimana Timur?”

“Tidak ada lagi Timur, karena lima milyar ini bersepakat menghilangkan kata timur dari kamus bahasa mereka.”

“Ahahahaha… tadinya aku berpikir kau semacam kaum sofis modern yang mengimani segala hal relatif dan yang terpenting adalah bagaimana cara berbicara sehingga orang-orang meyakini hal tersebut adalah kebenaran.”

“Tadinya ya.” Ujarku sambil menyeruput kopi ini dengan memberi nada tanya yang tanggung dan tidak berharap jawaban walau membuka kemungkinan untuk mendapatkan respon balik.

“Yap. Tapi rasanya akan lebih tepat kalau mengkategorikanmu sebagai kaum pesimis, yang sinis menghadapi dunia dan saat lapar menjadi sarkastik. Mungkin seorang nihilis. Seperti merasa terjebak dalam kemanusiaan yang dibenci karena tidak bisa tidak adalah seorang manusia. Kelucuan yang menurutku keluguan, manusia yang membenci manusia karena tidak terima dirinya adalah manusia. Hal ini biasanya akan berkaitan dengan latar belakang, kekecewaan, dendam, perilaku tidak adil, dan…”

“Oi.. oi..” Aku menghentikan racauannya yang seksi. Bukan tidak mau menerima tapi, “Aku tidak mengerti terlalu jauh kalau kau mengupas dengan pisau psikologis seperti itu, yang aku tau tentang hal semacam itu hanyalah manusia saat ini adalah akibat dari mimpi dan imajinasi seksual mereka, seperti kaum banyak bicara (sambil menunjuk diriku dan dirinya) yang katanya adalah akibat kekurangan kepuasan oral saat masih kecil, yah.. mungkin sang ibu hanya sebentar menetekinya. Tapi itu pun samar, aku hanya sekilas dengar.”

“Dan itu pun tidak tepat, jadi… “

“Ah.. gak usah dibahas, kau bisa membuatku mabuk tanpa minuman beralkohol nanti.”

“Hahahahah… Baiklah.” Tawanya manis juga.

“Bukankah nihilis pun masuk kaum sofis yah.”

“Hey, katamu tidak usah dibahas, sendirinya.” Katanya sambil menyenggol lenganku kemudian tertawa manis. Manis dan nakal, dengan mata penasaran dan telinga yang kehausan. Seakan ingin membongkar semua isi pemikiran manusia di depannya dengan melepas liarkan semua pemikirannya sebagai pancingan, melalui bibir manis dengan titik tahi lalat mungil di sudut bibir atasnya. Rapi dalam balutan pakaian kerja wanita yang entah lah apa namanya, bahkan istilah blouse dan blazer saja membingungkan. Namun, sewaktu-waktu mampu untuk menerkam melumat hancurkan tanpa menelan lawan bicaranya.

Kedai kopi ini tidak nyaman. Kopi tidak enak, terlalu banyak manusia, walau semuanya tidak saling menghiraukan dan sibuk masing-masing tetap saja, kita semua berebut udara yang sama. Ya berebut, bukan berbagi. Sepertinya budaya masa kini sedemikian merasuk ke dalam manusia, hingga ke titik bagaimana manusia bernapas mencerminkan budaya kompetisi yang sedang mengalir deras saat ini.

Kebersamaan bukan kesamaan, persamaan bukan penyamaan. Sayang, dewasa itu saat kata tak menguak emosi. Waktu berlalu begitu cepat, segala hal hanya sekejap lewat, tiada yang mengganggu dan tiada yang menakuti. Kehadiran saja sudah cukup lah. Kata-kata ini tertempel dengan indah sebagai hiasan dalam bingkai di dinding utama ruangan ini. Bukan kata-kata yang indah hanya tertempel dengan indah, seperti meledek kontradiksi sekaligus mengagungkannya.

Kaum yang memuja kesamaan dan para jamak yang mengusahakan penyamaan. Para pengkhawatir masa depan yang membuang masa kini. Selalu berbicara nanti bagai kecanduan kemapanan dan ketakutan. Kita semua memang masokis namun hanya sedikit yang mau menggunakan kata ini sebagai pengakuan, istilah kerennya adalah keluar zona nyaman. Seperti menarik siput untuk keluar dari rumahnya dan memaksanya jadi tangguh di bawah paparan ultra violet yang jatuh menerpa secara perpendikular.

Keluar zona nyaman untuk berjuang dan di dalamnya untuk berkarya. Dalam perjuangan ada pengalaman, dalam pengalaman ada pembelajaran. Dalam karya ada perlawanan, dalam perlawanan ada aktualisasi diri. Kini semua orang dipaksa untuk berjuang, berpengalaman, dan belajar tanpa sempat berkarya. Demi memenuhi fungsi produksi monopoli, dengan manusia sebagai sumber daya. Kalau semua berkarya, tidak akan ada kelompok yang menjadi kaya.

“Kemapanan itu candu yah.” Katanya sambil memberikan beberapa dokumen permintaanku. “Semua orang bekerja dengan tujuan menjadi mapan untuk memiliki simpanan masa depan dan menggadaikan masa sekarang. Dalam drama jenjang karir dan prestise berdasarkan akumulasi harta, kita semua berkompetisi.” Lanjutnya.

“Yah, sama-sama saja. Kemapanan seperti itu saja sebenarnya yang terlalu digembar-gemborkan. Bukankah kemapanan bisa juga untuk seorang ibu penjaga kios bertahun-tahun dan semua kebutuhan yang dia perlukan terpenuhi. Mungkin yang kita lihat anaknya tidak bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan, namun bukankah pendidikan anak pada dasarnya adalah kebutuhan orang tua dan bukan anak itu. Bahkan pada aslinya adalah kebutuhan perusahaan dan dengan kebutaan kita menjadikannya kebutuhan. Lalu untuk menyembuhkan atau menghindari kebutaan tersebut kita pun menjadi perlu pendidikan. Ah lingkaran setan sialan dan bisa saja ternyata ibu penjaga kios itu dengan kemapanannya adalah satu dari banyak orang yang terbebaskan dari jebakan rasa membutuhkan pendidikan untuk anaknya.” Aku meracau sambil sekilas memeriksa dokumen ini.

“Kau seksi saat meracau, mau melanjutkan racauan itu di tempatku malam ini? Daripada susah lagi mencari penginapan.” Katanya. Aku memandanginya, perempuan matang usia tiga puluhan, dengan kebebasan dan pilihan, dengan penentangan dan perlawanan, dengan kebanggaan dan kekuasaan. Bukan menjadi musuh dari dunia namun merupakan bagian dari dunia ini. Dunia adalah gerakan dan kontrakdiksi lah dasarnya. Demi keseimbangan, peran “wanita” perlu didampingi peran “perempuan”.

“Hahahahaha… baru saja kita ketemu tiga kali. Ini lah pertemuan yang ketiga kan.” Aku membalas bingung. Karena aku mau sekaligus aku tidak mau. Bukankah ini hanya repetisi-repetisi tiada henti yang tidak bisa tidak akan mengalir sedemikian adanya. Dengan atau tanpa keterlibatan subjek, peran akan terisi dan alur akan terus mengalir, dengan melibatkan subjek-subjek yang dengan ketidak sadaran malah menjadi objek. Aku adalah subjek bagi objek yang juga adalah aku. Aku itu apa.

“Lalu?” Tanyanya.

“Mau?” Balasku.

“Mau.” Tegasnya.

“…” Terdiam saking banyaknya gerakan dalam pemikiran dan perasaan.

“Hahahhaa.. senyamanmu lah.” Akhirnya Ia bersuara, “Dasar pemikir, tidak bisa kah kau lepaskan dirimu pada perasaan dan melepaskan kendali pada liarnya hasrat dan naluri pelepasan itu sendiri.”

“Perasaan itu ilusi pemikiran. Kita semua korban definisi.”

“Ya, makhluk-makhluk terkondisi yang penuh dengan hasrat untuk berkuasa.” Ia menambahkan kutipan.

“Gumpalan padat memori, yang adalah kotak penyimpanan rasa yang dengan mudahnya kita reduksi dengan definisi.” Aku menambahkan opini.

“Hahahaha.. kau. Aku suka kamu.”

“Aku pun suka kamu.”

“Mari menginap lah di tempatku malam ini kalau begitu, mungkin tiga empat malam ke depan juga.”

“Kenapa tidak sekalian kau ajak aku untuk tinggal selamanya bukan semalam saja kalau untuk mengikuti perasaan yang adalah segalanya itu.”

“Karena rasa bisa kadaluarsa.”

“Hahahahaha…” Aku kaget bahwa kata-kata itu akhirnya kutemukan juga. Menemukan manusia sejenis dalam arus drama yang terlalu berlebihan memuja rasa sehingga malahan mereduksinya. Seperti ciuman yang dilakukan sesekali dengan ciuman yang dilakukan sejam sekali. Rasanya, terbiasa jadi biasa.

Pemeriksaan dokumen telah selesai, semuanya lengkap. Aku tinggal mempersiapkan diri. Dokumen ini semacam surat perjanjian yang merupakan hal umum dalam aturan pertarungan jalanan. Tentang kemampuan diri, perjanjian keuangan, ikatan-ikatan kode etik pertarungan di dalam dan di luar arena dan asuransi. Begitulah.

“Kenapa?” Tanyanya dalam satu kata kunci yang membongkar paketan cabang pertanyaan dan ekor-ekornya. Aku mengerti maksudnya.

“Bukan uang, hanya rindu saja. Bukankah kita menjalani hidup dengan cara yang kita tahu dan hanya begitu saja. Aku rindu aroma keringat dan darah. Benturan dan suara retak tulang. Hal-hal menjijikan dan mengerikan menurut opini jamak. Tapi sekali lagi kan, kita menjalani hidup dengan cara yang kita tahu. Saja.”

“Ya, rindu. Seperti memori yang membawa rasa rindu. Rindu yang katamu adalah definisi yang sebenarnya mereduksi rasa itu sendiri, rasa yang sebenarnya tidak perlu didefinisi yang terkandung dalam memori. Iya kan.” Senyumnya sungguh, liar seperti hutan dan nyaman seperti gunung. Apa pula liar itu, bukankah itu definisi juga. Aduh, pikiran. Memang, pikiran manusia itu seperti monyet liar yang tidak bisa diam dan meloncat kesana kemari.

“Malam ini, Aku bisa ikut beristirahat di tempatmu?” Aku bertanya hal retoris dengan rasa sebagai pijakannya, sialan.

Tatapan dalam yang menantang namun tak mengalahkan, meneduhkan dan tidak mengurangi kewaspadaan, keterbukaan akan segala kemungkinan, bergaris-garis cahaya yang menembus rimbun dedaunan melukiskan kehangatan yang juga dingin, kebersamaan yang hadir dari kemampuan untuk tegar berdiri masing-masing. Keagungan yang menggoda awan dan menyentuh sudut bibirnya, belaian angin sentuhan lembut pipi langit oleh jemari bumi.

Senyumnya sungguh, liar seperti hutan dan nyaman seperti gunung. Gestur yang mengajak mengikuti, gandengan yang tidak berniat melepaskan, rangkulan yang memberi rasa seperti pulang. Bukankah kita pergi untuk pulang dan pulang untuk pergi kembali. Repetisi oh repetisi, kali ini berhenti sejenak dalam rasa adalah segalanya, sebelum nanti rasa kadaluarsa.