bangunkan kalau berarti mati apalah arti karena semua memang tak berarti, maka
bangunkan
mimpi yang terlalu dalam membuat lupa dan ketagihan menjadi enggan, maka
bangunkan
bosan selalu berulang bertualang lalu kembali pulang pun tiada kesesuaian jalan, maka
bangunkan
lari tak kembali hanya kembali pada lari yang tak terhenti mungkin hanya bisa menunggu mati,
mimpi
Wednesday, January 29, 2014
Sunday, January 26, 2014
Penny Lan'e/d'
January 8, 2014 at 9:30am
ey ey ey..
penolakan keterjebakan, ditindak tersangka pemangkiran kejamakan
terdakwa ironi definisi idealis, yang didengki-i keterlepasannya
mengungkit definisi memaksa pasang acuan satu ke satu lain
ah.. menilai untuk mengerti, menghakimi saat gagal memahami
|parajamak |korbandefinisi pun bernyanyi |keseharusnyaan
then we'll be dancing with each own style
free style
semuanya.. semaaauuunya..
|samasamasaja |lalulupa
..Lucy in the Sky with Diamond..Lucy in the Sky with Diamond..
..Golden Slumbers fill your eyes..Sleep pretty darling do not cry..
..The Fool on The Hill..Sees the sun going down..See the world spinning around..
Baby you're a rich man..Baby you're a rich man..
baby you're a rich man too
You keep all your money in a big brown bag
inside a zoo
what a thing to do
Baby you're a rich man..Baby you're a rich man..
How does it fell to be
one of the beautiful
people
?
Baguslah, Sejuk..
Seharian hujan, dari pagi sampai petang,
dari gelap sampai terang
Haaa... Baguslah, sejuk..
Gemerisik tak berisik, seperti bantu buang pengusik,
yang selalu terlekat layang pikiran.
Arusnya menjadi kencang, karena beratnya bertambah,
jumlah yang meningkat maka menggenang.
Haaa... Baguslah, sejuk..
Seperti tak hidup juga tak mati, terjebak repetisi
lalu lupa laku lagi tradisi tra ada isi.
Bersungut sungut memaki, sumpah serapah terteriaki,
tirai air basahi bumi, mencuri indera sadari diri ~sendiri
Haaa... Baguslah, sejuk..
Langit rindu bumi setengah mati,
bersetubuh mereka peluhi hari,
Basah
Indah
Hapus
Luap
Sadari
Lalulupa
Kepenuhannya seperti duka
Kekosongannya menjadi suka
Penolakannya menjadi manusia
Untunglah hujan selalu setia.
Menanti memati-i
Baguslah, sejuk..
January 12, 2014 at 10:03pm
January 12, 2014 at 10:03pm
Saturday, January 25, 2014
PLeuK
Payung yang tergeletak terabaikan, tidak tak berguna,
karena terabaikan lah gunanya.
Angin yang berpLeuK hujan berdansa kasar, saking mesra
dan rindu keduanya, menggerus dunia.
Apalah yang lebih lembut daripada air, yang lebih
halus daripada angin, selain api.
Alirannya yang pasti dengan arah yang jelas, pasti ke
segala arah jelas tak tertebak, meledak.
Setarikan senyum yang melepaskan semuanya di hadapan
tatapan mata yang sungguh terasa pulang.
Jendela jiwa yang sekadar lolosan cahaya panasnya
lebih dari cukup menghangatkan di tengah hujan.
Senada dalam tarikan seirama dalam hembusan bernapas
yang terlupa menjadi disadari seperti amarah yang gelisah menemukan emosi yang
mewadahinya.
Api kecil menari ikuti angin bersama cahaya terbias
indah oleh butir air segudang cerita meluap lepas gegas tanpa bekas.
Hangatnya menyejukan, di antara dua batang dekapan yang
melindungi dari angin dan meneduhkan dari hujan ada api kecil menyala tenang; yang
lebih dari luas dari cukup, lebih pulang dari rumah , lebih indah dari
kematian.
Friday, January 24, 2014
Sekaleng Bintang
Gelap malam tanpa awan tanpa bulan berjerawat bintang. Manis, seperti gadis berbintik yang menggebu ingin tahu. Memandanginya, bintang bukan jerawat, seperti terlarut dalam jutaan rasa, hingga pada saatnya tersentak kalau rasa itu rasanya tak ada. Itu pun rasa.
Untuk apa berjuang kalau bukan mendapatkan, untuk apa berjalan kalau hanya menikmati kebetulan. Apakah harus semua sama sama bersaing dalam kepemilikan dan menjalani dalam mempertahankan. Sama namun tak bersama-sama.
Pandangi langit penuh bintang, menenangkan. Angin menepuk pundak berbisik manis, genggamlah dan reguklah betapa manisnya bintang. Teguk dengan kehausan dan nikmati kesederhanaan yang kompleks darinya. Kalengkan lah bintang untukmu seorang.
Tas plastik berlogo perusahaan, berisi sekaleng bintang dan hanya untuk seorang. Dinginnya yang menghangatkan, sepinya yang menemani, pahit yang mengerti dan kantuknya yang diharapkan. Untuk apa terus tersadar dalam mimpi, ingin tidur saja dan menikmati: kebebasan, yang selalu indetik dengan melarikan diri.
Sekaleng bintang seperti pesan, isinya sayang dari langit kepada ku seorang. Mari lupakan bumi dan melayang lah bersamaku, katanya. Memang, perselingkuhan itu menyenangkan. Kesementaraan yang mengabadikan, memori yang menenangkan di saat keterjebakan begitu menekan.
Pinjam jerawatmu gadis langit hitam manis, bintik terang yang menenangkan akan kukalengkan agar menyenangkan. Teman yang dingin menghangatkan, tak peduli penuh perhatian, tak selalu bersama namun selalu ada. Kesekadaran yang begitu mendalam. Hei, malam. Kubersulang untuk pertanyaan retoris what life is tanpa koma tanpa tanda tanya.
~menikmati tanpa menikahi.
~apa tu?
~menjanda bung.
~ah -_________-")
.genangankarawangduempatnolsatu'14.
Wednesday, January 22, 2014
ngeKasih
Kasih, yang tak terkenali namun terasakan.
Menanti, setiap suatu waktu tanpa perlu berjanji.
Senangkan, karena tidak pasti.
Tenangkan, terbebas dari ikatan dan terutama tuntutan.
Setiap keseharusnyaan sarat dengan keinginan, tuntutan.
Perbandingan menuntut kesesuaian demi penyederhanaan, degradasi.
Ketidak mau terimaan akan kompleksitas yang tak sejatinya tak perlu dibahas, jamak.
Kehadiran setitik danau untuk segelas cerita itu menyeimbangkan, kebebasan.
Tak perlu bongkar pasang sejarah diri, hanya buat waktu berlalu dan cinta mati menunggu.
Kasih, rasanya..
Tenggelam dalam aroma yang tak dikenali namun dalam tenang dan luas.
Peluk ingin.
Terkejut oleh kontak kilat sensasi yang melemparkan kepada klimaks enggan turun kembali.
Kecup ingin.
Terlarut lewat lembut perjalanan tanpa akhir dari setiap sudut cerita yang selalu baru.
Usap ingin.
Singgahi saja menemani, tanpa perlu bercerita diri.
Bersama dalam diam, untuk berusaha memang merepotkan.
Biarkan hanya dan saja, berdua seperiode keabadian bebas.
Rasanya, rasa-rasai saja..
Biar matahari yang mendefinisi.
Biar secangkir kopi yang menemani.
Biar bulan yang menyatakan.
Kasih seharian yang tak kan pernah terlupakan, kasih semalaman yang tak daya terluapkan, kasih sesorean yang tak ayal semacam keselama-lamanyaan.
Menanti, setiap suatu waktu tanpa perlu berjanji.
Senangkan, karena tidak pasti.
Tenangkan, terbebas dari ikatan dan terutama tuntutan.
Setiap keseharusnyaan sarat dengan keinginan, tuntutan.
Perbandingan menuntut kesesuaian demi penyederhanaan, degradasi.
Ketidak mau terimaan akan kompleksitas yang tak sejatinya tak perlu dibahas, jamak.
Kehadiran setitik danau untuk segelas cerita itu menyeimbangkan, kebebasan.
Tak perlu bongkar pasang sejarah diri, hanya buat waktu berlalu dan cinta mati menunggu.
Kasih, rasanya..
Tenggelam dalam aroma yang tak dikenali namun dalam tenang dan luas.
Peluk ingin.
Terkejut oleh kontak kilat sensasi yang melemparkan kepada klimaks enggan turun kembali.
Kecup ingin.
Terlarut lewat lembut perjalanan tanpa akhir dari setiap sudut cerita yang selalu baru.
Usap ingin.
Singgahi saja menemani, tanpa perlu bercerita diri.
Bersama dalam diam, untuk berusaha memang merepotkan.
Biarkan hanya dan saja, berdua seperiode keabadian bebas.
Rasanya, rasa-rasai saja..
Biar matahari yang mendefinisi.
Biar secangkir kopi yang menemani.
Biar bulan yang menyatakan.
Kasih seharian yang tak kan pernah terlupakan, kasih semalaman yang tak daya terluapkan, kasih sesorean yang tak ayal semacam keselama-lamanyaan.
Tuesday, January 21, 2014
H(e)A(r)Ti
Ikutilah kata hati, hati yang telah terdoktrinasi.
Apakah definisi dari rasa, biasanya rasa yang didefinisi.
Kesesuaian dengan keseharusnyaan itu benar rasanya, ah.. betapa reduksi.
Ilusi dari pemikiran, dengan melupakan dinamakan perasaan.
Apakah definisi dari rasa, biasanya rasa yang didefinisi.
Kesesuaian dengan keseharusnyaan itu benar rasanya, ah.. betapa reduksi.
Ilusi dari pemikiran, dengan melupakan dinamakan perasaan.
Rasio perbandingan idealisme dan kenyataan, rentang antaranya lah yang dirasakan.
Mungkin tipis sangat antara keinginan dan kemampuan, kalau sungguh ingin terkatakan.
Marah dan senang, marah atau senang.
Mungkin tipis sangat antara keinginan dan kemampuan, kalau sungguh ingin terkatakan.
Marah dan senang, marah atau senang.
Sama-sama saja ketakutan, akan kesesuaian dalam keseharusnyaan.
Perasaan merupakan produk dari pemikiran, pemikiran yang penuh pengendapan.
Ikutilah kata hati, hati yang telah terdoktrinasi.
Perasaan merupakan produk dari pemikiran, pemikiran yang penuh pengendapan.
Ikutilah kata hati, hati yang telah terdoktrinasi.
Memori-memori yang abadi, buah dari cabang-cabang pengalaman.
Rasa mengelilinginya bak lalat pada mayat, seperti aroma perawan ranum dari buah yang tak bisa mati.
Hanya memori yang abadi, terpendam erat dengan rasa melekat.
Rasa mengelilinginya bak lalat pada mayat, seperti aroma perawan ranum dari buah yang tak bisa mati.
Hanya memori yang abadi, terpendam erat dengan rasa melekat.
Momentum ruang waktu seperti kail, siap mengangkat rasa yang menganga dari manusia.
Memento hadir mengangkat rasa, menguak memori dan akhirnya menggetarkan hati.
Perasaan itu produk dari pemikiran, ilusi kalau mau sungguh dikatakan.
Memento hadir mengangkat rasa, menguak memori dan akhirnya menggetarkan hati.
Perasaan itu produk dari pemikiran, ilusi kalau mau sungguh dikatakan.
Pemikiran itu memori bertemu persepsi, persepsi pun adalah gerakan memori yang terkuak rasa.
Akumulasi memori-memori mengendap, menggumpal dalam nama jiwa.
Manusia, gumpalan memori berkerak mengendap yang berselimutkan aroma rasa.
Akumulasi memori-memori mengendap, menggumpal dalam nama jiwa.
Manusia, gumpalan memori berkerak mengendap yang berselimutkan aroma rasa.
Menunggu terkail momentum memento yang mengangkat menguak semua, hati tergetar katanya.
Perasaan produk pemikiran, definisi satu kata bagi kompleksitas rasio kondisi.
Idea dan realita jarak diantaranya sejauh cerita, sebuah cerita dalam satu kata; rasa.
Memori dan persepsi diamini, yang mengimani membentuk imajinasi sempurna.
Idea dan realita jarak diantaranya sejauh cerita, sebuah cerita dalam satu kata; rasa.
Memori dan persepsi diamini, yang mengimani membentuk imajinasi sempurna.
Komparasi pikiran dan badan, jarak di antaranya lah perasaan.
Jarak demikian bercerita dalam sekata senang, jarak sedemikian lain bercerita sekata marah.
Jarak yang berdemikian tetaplah jarak, ketakutan yang menggerakan; hidup.
Ikutilah kata hati, hati yang telah terdoktrinasi.
Jarak demikian bercerita dalam sekata senang, jarak sedemikian lain bercerita sekata marah.
Jarak yang berdemikian tetaplah jarak, ketakutan yang menggerakan; hidup.
Ikutilah kata hati, hati yang telah terdoktrinasi.
Gumpalan memori persepsi, seiring waktu mengimaji oleh imajinasi.
Idealisme (imaji sempurna) yang menjadi acuan, dalam peraturan kesesuaian keseharusnyaan.
Apakah yang membentuk idea kalau bukan pemasukan, indoktrinasi.
Idealisme (imaji sempurna) yang menjadi acuan, dalam peraturan kesesuaian keseharusnyaan.
Apakah yang membentuk idea kalau bukan pemasukan, indoktrinasi.
Apakah pemikiran kalau bukan perbandingan, rasional.
Apakah perasaan kalau bukan tanggapan akan jarak yang (seakan) memisahkan, ilusi.
Gumpalan pengulangan, mengendap berkerak terlekat.
Apakah perasaan kalau bukan tanggapan akan jarak yang (seakan) memisahkan, ilusi.
Gumpalan pengulangan, mengendap berkerak terlekat.
Memori-memori yang terrepetisi, mengendap berkerak terlekat.
Rasa-rasa yang terdefinisi, keseharusanyaan dan kejamakan dalam arus besar penguasaan.
Korban definisi pemenuh genapan kesesuaian keseharusnyaan, persamaan dalam kejamakan.
Rasa-rasa yang terdefinisi, keseharusanyaan dan kejamakan dalam arus besar penguasaan.
Korban definisi pemenuh genapan kesesuaian keseharusnyaan, persamaan dalam kejamakan.
Persaingan dalam kesamaan untuk mendapatkan kemapanan, yang telah terdiktekan bentuknya.
Kecanduan akan kemapanan, yang telah menjadi iman terdalam kata hati kebenaran; pembenaran.
Maka Ikutilah kata hati, hati yang telah terdoktrinasi.
Kecanduan akan kemapanan, yang telah menjadi iman terdalam kata hati kebenaran; pembenaran.
Maka Ikutilah kata hati, hati yang telah terdoktrinasi.
Atau mari bernyanyi dalam #senandungbunuhdiri.
Friday, January 17, 2014
ka(R)ya
Perputaran cerita, pengulangan
kisah, dan keterjebakan sukarela. Korban definisi. Awal mulanya adalah
perjalanan bersama yang membuat serupa pemikiran, namun tak sama. Hadirlah kesepakatan
terikat dari perbincangan bebas, hadirlah jalan lurus tertentu dari petualangan
radial impulsif tak teratur. Para pejuang pulang membawa cerita dan
kebijaksanaan bersama dengan pendapat bebas dan kesepakatan tegas terbatas.
Legenda lalu terjadi dari kombinasi
kompilasi yang diamini lalu diimani. Penyederhanaan dengan alasan kemudahan dan
percepatan mencapai tujuan pun terangkai atas nama kebahagiaan. Tujuannya,
legenda (karya) itu.
Keindahan langit mulai terdefinisi, ter-reduksi, dengan putih biru kuning jingga dan segala defini tentang warna. Keluasan warna terkekang oleh definisinya. Warna-warni ber-nama, memaksa keluasan langit tak terbatas masuk ke dalam kanvas. Sejatinya sekotak bahasa dalam warna adalah semacam lubang pengintip dimana segaris cahaya masuk dan menggoda untuk tau apa yang ada di balik selaput definisi. Ajakan untuk mengalami bukan hanya mengamati, mungkin itulah arti awal visualisasi.
Pengertian dengan pembatasan ber-nama, memaksa memasukan danau ke dalam satu gelas. Bukan kah pada awalnya segelas kopi untuk membawa manusia kepada suatu hutan kopi yang komplikasi, lalu pada akhirnya segelas kopi lah kompilasi kepentingan tanpa perlu mengalami hutan. Seruput saja dan puas lalu.
Pada awalnya adalah bahasa, bersama-sama dengan cara, dan bahasa itulah caranya. Karya ber-cara dengan bahasa, menampilkan segaris cahaya dari dunia dibalik kotak, ajakan untuk mengetahui, melupakan, lalu memahami. Namun sejalan dengan usia dan penuaan, karya pun mengalami reduksi –seperti dimana karya dibuat dengan mereduksi demi kepentingan definisi– dengan kehilangan unsur R menjadi kaya.
Perjalanan panjang pendakian mencapai titik puncak, darimanapun dataran di bawah untuk memulai pertemuan tetap di satu titik itu. Cerita pun tak jauh dari puncak, semua berkarya dengan definisinya menggambarkan puncak yang adalah, adalah, dan adalah.. ada laaaah…
Sedikit yang mampu ceritakan bagaimana perjalanan dari bawah menuju atas, sedikit pula yang ma(mp)u mengerti bagaimana perjalanan menuju puncak. Lebih mudah mendeskripsikan puncak dimana semua pendaki berakhir pada titik yang sama, karena komplikasi dan keragaman perjalanan yang didefinisikan hanya membawa kebingungan bukan kemudahan. Kesepakatan dalam definisi puncak kemudian menjadi tujuan, karya, lukisan, cerita, nada dan ketagihan.
Ketagihan yang membuat melupakan. Lalu lupa pada bahwa puncak tiada lah tanpa dasar, karya deskripi puncak tiada lah tanpa proses pendakian para pejalan yang entah darimana bagaimana dan bertemu di sana. Dengan kehilangan unsur R, sekadar lah kaya. Dengan kehilangan unsur Rasa dan peRasaan. Karya menjadi kaya, ekstasi kemudahan yang begitu menjebak membuat jalan jadi tujuan, media jadi pesan dan keterjebakan sukarela para jamak tak terhindarkan. Mari mabuk bersama karena kehidupan terlalu sederhana, sedangkan yang dibutuhkan adalah kerumitan yang membuat ketagihan.
Berpegang pada karya berusaha menjadi kaya, karena definisi karya memang dengan kekayaan. Betapa kaya langit yang tak tergambarkan digambarkan oleh bahasa kata definisi yang mereduksinya dengan warna. Betapa kaya puncak gunung yang dilalui oleh berbagai jalan pendakian, tergambarkan oleh cerita serupa tentang pemandangan. Tiga ratus enam puluh derajat dari satu sudut pandang adalah reduksinya, sebuah pendekatan putaran yang menggambarkan kekayaan perjalanan. Ketakjuban dan keinginan pun melupakan tentang apa selanjutnya setelah sampai puncak, bukankah akan turun kembali.
Apa lah fungsi semua pembatasan kalau bukan untuk dibuang, apalah fungsi definisi kalau bukan untuk dilangkahi, dan apa fungsi jembatan kalau bukan untuk ditinggalkan. Karena keterjebakan itu membuat ketagihan, menjadikannya sukarela dalam keseharusnyaan berinti otomatisme yang memfasilitasi kemudahan, yang esensinya adalah jalan namun akibat sensasinya menjadi tujuan. Kemudahan yang sejatinya media karya, malah menjadi karya itu sendiri. Wajar.
Sewajar ekstasi garis cahaya yang ingin dimiliki tanpa mau membongkar dinding berlubang yang meloloskan cahaya. Karena segaris ketakjuban adalah karya yang memperkaya, semua ingin melihatnya, semua harus berusaha. Biarkan satu bertahan mengokohkan kemapanan dinding berlubang sementara yang lain berlomba melihat garis cahaya. Bukankah itu suatu karya dalam rangka berkuasa. Bagaimana sistem yang awalnya dibuat untuk manusia menjadikan manusia seakan terbuat untuk menggenapinya. Karya rotasi repetisi, adiktif. Hasrat berkuasa. Kaya.
Para awalan membawa cerita dari perjalanan yang beragam pada satu titik pertemuan. Karya tentang keadaan hasil dari perjuangan yang mengajak untuk mengalami perjalanan beragam dengan akhir yang seragam. Karya kekayaan ‘titik sampai’, yang pada dasarnya dan pada mulanya adalah ajakan untuk kembali padanya melalui jalan yang belum terbuka. Bukankah dari awal sudah dikatakan, beragam perjalanan untuk perhentian yang seragam. Kemudahan hadir dalam karya ‘cerita kebersamaan perhentian’ sebagai ajakan, bukan keseharusnyaan untuk melalui ‘seragam perjalanan demi kesamaan.’
Kemudahan pun melahirkan kemabukan ketakjuban yang melupakan ajakan, mengabaikan tepatnya. Terbius oleh keindahan dan kekayaan, terjebak oleh definisi dan memilih pengulangan. Kemudahan yang hadir bagi manusia pun berubah menjadi manusia yang perlu hadir bagi kemudahan, sistem namanya. Sukarela terjebak dalam puncak-puncak yang diceritakan, hasrat keinginan yang melupakan dan memabukkan: apalah arti karya kalau bukan kaya. Warna, cerita, lukisan, prosa, puisi, lagu, nada yang kaya adalah karya dan kesanalah pertarungan mengarah, karena tampaknya indah. Harus(nya) indah. Berebutan karena se-lajur perjalanan.
Karya memang tentang kaya, kekayaan puncak gunung yang mengajak mengalami perjalanan. Perjalanan untuk mengalami kekayaan lalu kembali pada pulang. Bukan untuk kaya dan terjebak dalam karya warna bersama puisi bernada puncak gunung dan ketagihan lupa pulang. Mungkin.
Keindahan langit mulai terdefinisi, ter-reduksi, dengan putih biru kuning jingga dan segala defini tentang warna. Keluasan warna terkekang oleh definisinya. Warna-warni ber-nama, memaksa keluasan langit tak terbatas masuk ke dalam kanvas. Sejatinya sekotak bahasa dalam warna adalah semacam lubang pengintip dimana segaris cahaya masuk dan menggoda untuk tau apa yang ada di balik selaput definisi. Ajakan untuk mengalami bukan hanya mengamati, mungkin itulah arti awal visualisasi.
Pengertian dengan pembatasan ber-nama, memaksa memasukan danau ke dalam satu gelas. Bukan kah pada awalnya segelas kopi untuk membawa manusia kepada suatu hutan kopi yang komplikasi, lalu pada akhirnya segelas kopi lah kompilasi kepentingan tanpa perlu mengalami hutan. Seruput saja dan puas lalu.
Pada awalnya adalah bahasa, bersama-sama dengan cara, dan bahasa itulah caranya. Karya ber-cara dengan bahasa, menampilkan segaris cahaya dari dunia dibalik kotak, ajakan untuk mengetahui, melupakan, lalu memahami. Namun sejalan dengan usia dan penuaan, karya pun mengalami reduksi –seperti dimana karya dibuat dengan mereduksi demi kepentingan definisi– dengan kehilangan unsur R menjadi kaya.
Perjalanan panjang pendakian mencapai titik puncak, darimanapun dataran di bawah untuk memulai pertemuan tetap di satu titik itu. Cerita pun tak jauh dari puncak, semua berkarya dengan definisinya menggambarkan puncak yang adalah, adalah, dan adalah.. ada laaaah…
Sedikit yang mampu ceritakan bagaimana perjalanan dari bawah menuju atas, sedikit pula yang ma(mp)u mengerti bagaimana perjalanan menuju puncak. Lebih mudah mendeskripsikan puncak dimana semua pendaki berakhir pada titik yang sama, karena komplikasi dan keragaman perjalanan yang didefinisikan hanya membawa kebingungan bukan kemudahan. Kesepakatan dalam definisi puncak kemudian menjadi tujuan, karya, lukisan, cerita, nada dan ketagihan.
Ketagihan yang membuat melupakan. Lalu lupa pada bahwa puncak tiada lah tanpa dasar, karya deskripi puncak tiada lah tanpa proses pendakian para pejalan yang entah darimana bagaimana dan bertemu di sana. Dengan kehilangan unsur R, sekadar lah kaya. Dengan kehilangan unsur Rasa dan peRasaan. Karya menjadi kaya, ekstasi kemudahan yang begitu menjebak membuat jalan jadi tujuan, media jadi pesan dan keterjebakan sukarela para jamak tak terhindarkan. Mari mabuk bersama karena kehidupan terlalu sederhana, sedangkan yang dibutuhkan adalah kerumitan yang membuat ketagihan.
Berpegang pada karya berusaha menjadi kaya, karena definisi karya memang dengan kekayaan. Betapa kaya langit yang tak tergambarkan digambarkan oleh bahasa kata definisi yang mereduksinya dengan warna. Betapa kaya puncak gunung yang dilalui oleh berbagai jalan pendakian, tergambarkan oleh cerita serupa tentang pemandangan. Tiga ratus enam puluh derajat dari satu sudut pandang adalah reduksinya, sebuah pendekatan putaran yang menggambarkan kekayaan perjalanan. Ketakjuban dan keinginan pun melupakan tentang apa selanjutnya setelah sampai puncak, bukankah akan turun kembali.
Apa lah fungsi semua pembatasan kalau bukan untuk dibuang, apalah fungsi definisi kalau bukan untuk dilangkahi, dan apa fungsi jembatan kalau bukan untuk ditinggalkan. Karena keterjebakan itu membuat ketagihan, menjadikannya sukarela dalam keseharusnyaan berinti otomatisme yang memfasilitasi kemudahan, yang esensinya adalah jalan namun akibat sensasinya menjadi tujuan. Kemudahan yang sejatinya media karya, malah menjadi karya itu sendiri. Wajar.
Sewajar ekstasi garis cahaya yang ingin dimiliki tanpa mau membongkar dinding berlubang yang meloloskan cahaya. Karena segaris ketakjuban adalah karya yang memperkaya, semua ingin melihatnya, semua harus berusaha. Biarkan satu bertahan mengokohkan kemapanan dinding berlubang sementara yang lain berlomba melihat garis cahaya. Bukankah itu suatu karya dalam rangka berkuasa. Bagaimana sistem yang awalnya dibuat untuk manusia menjadikan manusia seakan terbuat untuk menggenapinya. Karya rotasi repetisi, adiktif. Hasrat berkuasa. Kaya.
Para awalan membawa cerita dari perjalanan yang beragam pada satu titik pertemuan. Karya tentang keadaan hasil dari perjuangan yang mengajak untuk mengalami perjalanan beragam dengan akhir yang seragam. Karya kekayaan ‘titik sampai’, yang pada dasarnya dan pada mulanya adalah ajakan untuk kembali padanya melalui jalan yang belum terbuka. Bukankah dari awal sudah dikatakan, beragam perjalanan untuk perhentian yang seragam. Kemudahan hadir dalam karya ‘cerita kebersamaan perhentian’ sebagai ajakan, bukan keseharusnyaan untuk melalui ‘seragam perjalanan demi kesamaan.’
Kemudahan pun melahirkan kemabukan ketakjuban yang melupakan ajakan, mengabaikan tepatnya. Terbius oleh keindahan dan kekayaan, terjebak oleh definisi dan memilih pengulangan. Kemudahan yang hadir bagi manusia pun berubah menjadi manusia yang perlu hadir bagi kemudahan, sistem namanya. Sukarela terjebak dalam puncak-puncak yang diceritakan, hasrat keinginan yang melupakan dan memabukkan: apalah arti karya kalau bukan kaya. Warna, cerita, lukisan, prosa, puisi, lagu, nada yang kaya adalah karya dan kesanalah pertarungan mengarah, karena tampaknya indah. Harus(nya) indah. Berebutan karena se-lajur perjalanan.
Karya memang tentang kaya, kekayaan puncak gunung yang mengajak mengalami perjalanan. Perjalanan untuk mengalami kekayaan lalu kembali pada pulang. Bukan untuk kaya dan terjebak dalam karya warna bersama puisi bernada puncak gunung dan ketagihan lupa pulang. Mungkin.
Subscribe to:
Posts (Atom)