Saturday, November 21, 2015

Kadar Kemonyetan




Manusia itu ternyata tidak berkemanusiaan, tapi berkemonyetan.

Kadarnya salah satunya ditentukan dari perilaku berkendaraannya.

Lawan arus, langgar rambu dan marka, curi-curi celah di lampu merah, naik trotoar, berhenti di marka penyeberangan, dan apapun lah itu yang intinya adalah mengambil kesempatan untuk menindas hak publik.

Makin sering hal tersebut dilakukan berarti kadar kemonyetannya tinggi.

Apa beda manusia dan monyet selain manusia bisa membuat alasan dan alasan.

Sisanya sama-sama memanfaatkan kesempatan untuk mengambil lebih.

Ingin selalu untung tapi tak mampu menghitung, saat lebih didapat maka ada kekurangan yang terjadi.

Semacam lintasan lebih bagi sepeda motor di trotoar adalah kekurangan lintasan pejalan kaki.

Semacam menindas karena ditindas, tidak mampu melawan jadinya mencari lawan tidak sepadan.

Coba turunkan pengemudi mobil yang seenaknya memotong jalur melawan arah, lihatlah monyet tanpa bulu yang berbusa-busa membuat alasan.

Tuesday, November 17, 2015

Untung Rugi

Kalau ada keuntungan, tandanya ada kerugian. Bisa di lingkup yang sama, bisa jadi di lingkup yang berbeda.

Kalau ada kemahalan, tandanya ada kemurahan. Bisa di lingkup yang sama, bisa jadi di lingkup yang berbeda.

Kalau ada tertipu, tandanya ada pembelajaran. Bisa di lingkup yang sama, bisa jadi di lingkup yang berbeda.

Kalau teridentifikasi ketidak adilan, tandanya ada keadilan. Karena semua gerak hanya aliran menuju keseimbangan.

Semua menjadi bernama karena diketahui dan diperbandingkan. Mahal murah, menang kalah, berat ringan, dan untung rugi.

Bisa di lingkup yang sama, bisa jadi di lingkup yang berbeda. Bukankah semuanya satu rangkaian satu dunia satu manusia.

Sunday, November 15, 2015

Berbuah Tuntutan

Berbusa-busa mulut menjelaskan dari berbagai dimensi dan fenomena saat ini, ternyata tidak sampai di hati. Kalau perasaan itu ilusi pikiran, maka tidak kena di hati berarti tidak masuk di pikiran. Mungkin yang dilihat dan dipikirkan hanya itu-itu saja.

Bukan berarti itu-itu saja artinya dangkal, malahan bisa jadi sangat dalam. Terlalu dalam sampai malas untuk meluaskan pandangan, batal meluaskan pikiran, gagal melapangkan perasaan. Bukan berarti perasaan lapang itu sensitif dan empati berlebihan, malahan bisa jadi sangat datar.

Kalau demikian bagaimana bisa mengetahui mana yang dalam, dangkal, luas, atau sempit.
Untuk apa mengetahui itu?

Untuk berkomunikasi dan berkolaborasi lah, gimana <em>sih</em>.
Kalau untuk demikian, ya tidak perlu mengetahui itu.

Maksud?!
Komunikasi dan kolaborasi hadir dari mau. Yang dalam dangkal luas atau sempit. Kalau mau ya mau, kalau ga mau ya ga mau.

Tapi banyak yang bilang mau tapi ternyata gak mampu, itu yang jadi dasar perlu mengetahui itu.
Oh.. itu. Yaa.. Itu sih, tidak mau.

Tapi mereka bilang mau dan itu persoalannya.
Persoalannya mungkin pada ketidak mau tahuan tentang "mau" dan keseharusnyaan berbuah tuntutan.

Siapa?
Kamu.

Monday, November 9, 2015

Kerumunan Gerombolan

Mudah untuk mengendalikan kerumunan manusia, apalagi yang warnanya sama. Semua dimulai dengan penyamaan saja, warna itu dalam arti sudut pandang dan pola pikir. Seunik-uniknya manusia sekarang, pola pikirnya begitu saja, lihatlah yang diamini sebagai sistem dan arus utama saat ini. Kalau bukan pengakuan akan sistem arus utama, untuk apa menolak dengan membuat dan menjalani arus sampingan kemudian membangga-banggakan perlawanannya. Bukankah dengan membicarakannya sebagai berbagi informasi itu saja sudah suatu kebanggaan.

Mudah untuk mengendalikan kerumunan manusia, dengan menggunakan kepercayaannya akan sEBarang idealisme dalam bentuk simbol yang dikagumi dan emosi dalam bentuk kemarahannnya akan suatu kondisi tidak ideal. Simbol menjadi sebuah bentuk yang mewakili kekuatan yang mampu membawa perubahan, karena diri tidak mampu walaupun merasa sangat mau untuk membuat perubahan dalam kehidupannya. Maka kagumi saja dan percaya buta bahkan sampai membela dengan jiwa dan raga.

Kemarahan menjadi sebuah bentuk pelampiasan yang menemukan alasan. Dengan menggunakan kata “seharusnya” difasilitasi oleh sebuah simbol yang diyakini tadi, maka alasan didapatkan saat simbol tidak diperlakukan seperti seharusnya. Kerumunan manusia yang sama setelah melalui proses penyamaan beberapa dekade belakang, melihat simbol yang sama, merasakan tekanan yang sama, tersulut api karena satu garis berbeda. Marah dan berkoar-koar alasan lah mereka, menjadi gerombolan yang merasa mengendalikan kondisi. Padahal, dikendalikan kondisi.

Setelah amarah mereda dan setelah kembali ke rumah, simbol memang masih melekat walau tidak kentara tampak. Berbicaralah dengan luas dan bebas, dengan penuh ketenangan jiwa dan lepas dari kontaminasi keseharian. Menemukan betapa mengertinya manusia ini secara personal, bukan secara kerumunan. Betapa luas pengetahuannya dan dalam pengertiannya, begitu inginnya jiwa mendapatkan pemahaman. Tapi, saat kembali ke dalam keseharian dan menjadi kerumunan dengan mudahnya dikendalikan menjadi gerombolan yang tidak sadar apapun selain dua hal ini. Simbol yang perlu dipaksakan dengan kemarahan.

Kemudian berjalan kemudian berulang, semakin lama semakin tumpul. Namun demi keseimbangan, selalu ada jalan untuk menyeimbangkan. Tumpul dalam pemikiran menjadi tajam dalam kemarahan. Tumpul dalam pemahaman menjadi tajam dalam pemaksaan. Tumpul dalam keberanian menjadi tajam dalam keberAHian. Sepertinya, memang terjebak dalam kerumunan terkondisi hingga hanya simbol dan bayangan saja yang mampu dimiliki. Tipis kemampuan mengenal diri, gesekan pada bayangan tadi membakar kerumunan menjadi gerombolan yang hati dan otaknya ketinggalan.

Gumpalan mulut, kaki, dan tangan berkeliaran. Tanpa pemikiran tanpa perasaan . Tapi bisa merasa mengendalikan kondisi dengan segala argumentasinya. Apa namanya itu kalau bukan ditunggangi dan diberi kekang di pipi kanan kiri agar lurus ikuti kendali bajingan. Bajingan itu katanya adalah istilah masa dahulu untuk seseorang yang mengendalikan lembu. Kalau memang itu istilahnya, maka sesuailah asosiasi ini menemukan pola kemanusiaan, kerumunan, dan kegerombolan.

Mudah memang mengendalikan, cukup berikan ilusi perasaan mengendalikan pada yang dikendalikan maka terkendalikan itu alur yang berjalan saja. Peran pun selalu terisi, lembu dan bajingan.

Friday, November 6, 2015

Tak Berbekas

Makin hari, makin bulan, makin tahun kita menemukan bahwa masyarakat kita semakin dewasa. Yang dulu masyarakat pemberang dan adu bicara sampai bertarung di lapangan bola, kini mulai tenang dan tidak menanggapi provokasi.

Yang dulu mudah tersulut emosi dan meladeni tantangan yang jelas di luar kemampuan, kini mulai bisa menahan diri dan mengukur kesanggupan.

Yang dulu terseret ikut-ikutan mimpi orang, kini mulai sederhana dan membuat mimpi semampu diri.

Tapi, bagaimana kalau bukan masyarakat dan mentalnya yang berkembang. Melainkan, satu generasi ini saja yang pindah ruang dan peran.

Bukankah kalau mau membuka mata, hal yang dikatakan dahulu terjadi, sekarang pun sedang terjadi. Oleh generasi lain yang datang setelah kita.

Bukankah kalau mau membuka mata, hal yang dikatakan kini terjadi, dahulu pun sedang terjadi. Oleh generasi lain yang datang sebelum kita.

Kita saja yang pindah ruangan dan melihat ruangan lain yang pernah dialami. Kemudian mengerdilkannya dalam suatu definisi bertajuk waktu.

Nanti pun kita akan mengomentari ruangan yang sekarang sedang kita tempati ini. Mungkin dengan berkata, masyarakat kini semakin tua. Yang dulu berapi-api mengejar ambisi, kini sadar kalau itu hanyalah suatu cara menanti mati.

Ah, kita berbicara masyarakat. Padahal kita berbicara gerombolan segenerasi. Kita berbicara kedewasaan mental masyarakat, padahal itu hanya perkembangan mental pribadi.

Lihat saja apa adanya, di saat ada yang sudah bergawai canggih dan komunikasi dalam jaringan. Bersamaan juga dengan ada yang menyampaikan pesan dengan berjalan kaki melewati puluhan kilometer perkerasan tanah.

Disaat yang bersamaan pun hadir pengertian bahwa media telah membohongi publik. Sekaligus, publik pun banyak yang mengimani kebohongan itu.

Lebih mengerucut lagi, di dalam seorang manusia terpelajar, terdidik, kaya, mapan dan berkuasa saat ini. Pada saat yang sama manusia itu pun masih melakukan ketololan 'mencuri mangga mentah tetangga' saat dulu, kini dalam bentuk korupsi.

Rasanya spesies ini hanya berjalan dengan pandangan sempit. Menjalani banyak ruang dalam periode perjalanannya. Kemudian menganggap pengalaman itu akumulasi.

Semakin hari semakin merasa luas, mendefinisi diri semakin bijaksana. Lalu mulai merasa besar. Bahkan dengan laku rendah hati dan tenang itu pun, merasa dominan sombong dan bijaksana bahkan meremehkan yang datang setelahnya.

Spesies ini memang hanya berjalan dengan pandangan sempit. Melalui jalan yang bahkan tidak masuk ke dalam pandangannya. Persepsi dari persepsi dari persepsi dari persepsi lalu menjadi memahami dan bijaksana.

Tidak. Bukan paham dan bijak. Melainkan sudah tidak mampu bergerak banyak saja maka menjadi tenang dan luas, untuk kemudian hilang tak berbekas.




Wednesday, November 4, 2015

Terbalik, Lalu Dibalik Lagi


Di saat terlalu banyak pengetahuan yang dimilikinya, menjadi terlalu sempit pemikirannya untuk sebuah kesatuan pemahaman. Hasrat untuk berkuasa yang tidak mampu diaplikasikan kepada pemikiran lain, dilaksanakan kepada pemikiran sendiri oleh ketat pengkotakan dan pelupaan intensif untuk yang tidak masuk akal. Bahkan pengabaian sendiri pun diabaikan, bahwa telah abai kalau hal yang tidak masuk akal hanyalah bentuk dari ketidak mampuan meniadakan kotak-kotak pemikiran untuk melihat sesuatu itu sebagai apa adanya tanpa persepsi. Di saat terlalu banyak pengetahuan yang dimilikinya, menjadi terlalu sempit pemikirannya oleh kotak-kotak kaku demi aplikasi hasrat untuk berkuasa.


Bahwa ‘tidak melakukan tindakan apa-apa pun suatu tindakan’ menjadi tidak masuk akal oleh banyaknya pengetahuan tentang kemapanan, kekayaan dan kesuksesan. Kotak definisi dan kotak keseharusnyaan. Bahwa suatu tindakan seharusnya menghasilkan sebuah daya yang menguntungkan bertemu dengan kotak definisi keuntungan, mengalir kepada kotak gambaran keberhasilan yang bersanding dengan kotak kekayaan material, itu semua pun ada di dalam suatu kotak bernama kotak pemikiran. Kotak di dalam kotak bagaimanapun tetaplah terkotakkan, terkekang.


Bahwa ‘pada dasarnya manusia berinteraksi hanya demi memenuhi rasa dominan berdasarkan perbandingan dengan manusia sekitarnya’ menjadi suatu hal yang sangat ditolak oleh banyaknya pengetahuan tentang kedewasaan, etika, moral dan kedamaian. Kotak definisi dan kotak keseharusnyaan. Bahwa kebersamaan itu terjadi apabila ada yang lebih baik dan ada yang lebih kurang, maka semuanya saling membutuhkan dan seharusnya yang ‘lebih’ ini menjadi yang bertanggung jawab atas semua hal bersama. Karena semua menyerah pada penyamaan dan kesamaan, maka merasa dominan itu kebutuhan dan merasa mampu memanfaatkan yang lain adalah suatu kehebatan.


Bahwa ‘pada realitanya segala pengetahuan itu menjadi alasan dan pembenaran untuk berargumentasi agar terlepas dari konsekuensi’ dinilai sebagai hal abstrak yang terlalu idealis, katanya hidup membutuhkan hal yang realistis saja. Kotak realistis di sini adalah mengenai keuntungan dan kerugian, oportunisme dan utilitarianistis menjadi dasar aksi tapi malu untuk diakui. Kotak keseharusnyaan berkata dalam dunia yang mengagungkan normativitas segala hal yang dilakukan harus berujung pada “bukan salah saya” dan menjelaskan pembelaan-pembelaan diri berdasakan hukum, norma, etika, keseharusnyaan, dan kesepakatan sosial lainnya secara kaku dan keras.


Bahwa ‘persamaan bukan penyamaan dan kebersamaan bukan kesamaan’ hanya menjadi teori yang diamini karena keindahannya, sedangkan teori yang diimani dan dilakukan adalah ‘beda itu dosa’. Saat diberi tahu bahwa para jamak hanya bermasturbasi imajinasi, mereka dengan segala pengetahuan dan kotak-kotaknya melemparkan pembenaran yang diteriakan sebagai kebenaran. Makin keras teriakan, makin sering dipamerkan, makin besar ditunjukkan. Makin benar, karena semua ketularan. Bukankah sejak lahir, pemikiran kita sudah dikondisikan. Pertama-tama oleh nama (harapan).


Akhirnya seiring berkurang periode hidup dalam arti semakin tua dan tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan, seperti monyet dalam kebun binatang, para jamak pun berkata bijaksana. Bahwa tidak melakukan tindakan apa-apa pun suatu tindakan, pada dasarnya manusia berinteraksi hanya demi memenuhi rasa dominan berdasarkan perbandingan, pada realitanya segala pengetahuan itu menjadi alasan dan pembenaran, persamaan bukan penyamaan dan kebersamaan bukan kesamaan. Dahulu dengan pengetahuan itu menjalani yang terbalik, kemudian nanti dibalik lagi dalam kutipan kebijaksanaan. Seiring bertambahnya angka (usia, uang, keturunan, dst) dan berkurangnya daya (membolak-balik pengetahuan membuat alasan dan pembenaran demi menggenapi definisi keuntungan).

Ngapain Aja?

Ngapain aja?

Akan menemukan jawabannya memuaskan saat melihat bahwa suatu kegiatan menghasilkan uang, atau karya baik bagi orang lain.
Selain dari itu, hanya dipandang sebagai gak ngapa-ngapain</em>.

Hal-hal yang manusiawi untuk bertemu dengan diri sendiri dianggap tidak produktif kalau dilakukan orang muda (usia produktif).

Kalau orang tua (non produktif) yang melakukan gak ngapa-ngapain ini, pastilah dianggap bijaksana.

KENAPA?

Mungkin, karena sebenarnya keinginan untuk gak ngapa-ngapain ini hadir sebagai bagian natural kemanusiaan.

Disikapi oleh yang muda dengan pengabaian karena ketidak mampuan melepaskan candu kemapanan.

Dijalani oleh yang tua dengan kepasrahan karena ketidak mampuan raga yang menanti mati.

Yang menjadi benang merah adalah, gak ngapa-ngapain ini tentang mengosongkan diri. Suatu hal yang sebenarnya sudah sangat dimengerti namun tidak mampu dijalani. Tidak mampu melepaskan diri.

Menghina yang seusia karena terkondisikan dengan doktrin beda itu dosa.

Memuja yang tua, karena semacam ada keterwakilan dalam melaksanakannya, puas setelah menyaksikan dan mengabaikan perlunya melakukan.