Wednesday, July 30, 2014

Biarkan Pagi Bangun Kesiangan (cerpen)

30.07.2014/cimahi/amuristcave



Masyarakat ini seperti manusia-manusia yang kehilangan identitasnya, maksudnya kehilangan jati diri untuk menjadi seperti yang dipilih berdasarkan pengertian, bukan sekadar jadi seperti yang diinginkan. Definisi menjadi seperti yang diinginkan lah yang membuatnya kehilangan identitas, rasanya seperti dicabut dari pola hidup tradisional namun gagal masuk ke dalam pola hidup modern. Manusia-manusia ‘kampungan’ kalau para jamak bilang, untuk masyarakat asli yang teracuni modernisasi dan kemajuan teknologi komunikasi. Manusia-manusia ‘gak gaul’ kalau para jamak bilang, untuk masyarakat yang lahir dalam budaya baru, yang dinamakan modern ini, namun tidak bisa mengikuti gaya hidup dan tren yang saat ini sedang digandrungi. Satu lagi, ‘gak update’ untuk orang-orang yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan tren yang terjadi sekejap saja.

Anak-anak usia belasan, dengan dandanan berwarna warni, dengan simbol-simbol idealisme yang tidak dimengerti, dengan mengidolakan sosok yang sering muncul di televisi atau dalam pembicaraan komunitasnya, gaya hidup yang dirasa menolak keteraturan, kebebasan bahkan hingga perilaku kebablasan. Sekelompok anak muda mungkin belum kepala dua usianya, tiga lelaki dan satu perempuan, yang satu lelaki menuangkan minuman dalam botol dengan berbungkus plastik, yang satu memegang dua gelas yang sedang diisikan, sedangkan lelaki yang terakhir sedang menggesek-gesekkan pinggang bawahnya yang posisinya adalah kemaluannya ke pantat si perempuan yang tertawa-tawa. Definisi gaul untuk masyarakat di sisi kota besar memang seperti ini rasanya, sekarang jam tiga sore dan memang seperti ini yang seringkali kulihat kalau melewati jalan perkampungan ini.

Satu-satunya yang membuatku memilih jalan ini adalah udaranya yang masih sedikit lebih bersih daripada daerah kota yang sedang aku tuju ini, walaupun mengambil jalan memutar tidak masalah. Permukiman padat di tanah yang belum banyak perkerasan jalan, di tengahnya melintanglah jalan negara atas nama pembangunan dan modernisasi. Ada pembukaan jalan, akan ada pertemuan kebudayaan, ada pertemuan kebudayaan akan ada penyerapan dan penyesuaian, ada penyerapan akan ada perubahan, ada perubahan maka akan hadir kemunduran seiring dengan kemajuan. Keseimbangan seperti dalam pertarungan, bukankah inti dari kemenangan adalah yang berhasil mempertahankan keseimbangan dirinya paling lama. Tiba-tiba aku dengar teriakan dan makian, aku melihat spion dan mendapati seorang ibu mengusir kelompok anak-anak tadi, mereka pun pergi sambil tertawa. Sekilas aku melihat penis yang telah keluar dari celana menggantung dan si perempuan yang sedang menaikkan celananya. Yah begitulah manusia dengan kemanusiaannya.

Tangan kanan ini masih terasa cukup linu setiap motor melintasi jalan berbatu dan lubang yang cukup dalam. Sebulan sudah dari pertarungan terakhirku, ehmm… perkelahian berbayar lebih tepatnya. Dua puluh juta rupiah masuk ke dalam kantong pribadi, karena ternyata penonton hari itu bukan orang sembarangan. Apa pula definisi orang sembarangan dan bukan orang sembarangan. Apakah para haus darah yang memiliki uang berkelebihan dan mampu membuat manusia bertarung dengan manusia lainnya dan menikmati darah tanpa harus berdarah adalah bukan orang sembarangan.

Apakah anak-anak tadi yang mengidolakan gaya hidup bebas dan keren dari definisi televisi tentang kejantanan dan kebebasan, tentang emansipasi perempuan, dan keberanian yang terbukti dari kemampuan menenggak minuman keras oplosan (kimia sintetik) dan memanifestasikan perlawananan dan kemajuan jaman dengan perilaku seks bebas seperti anjing, adalah orang sembarangan. Lalu, manusia atau orang sepertiku yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang bekerja sebagai karyawan di perusahaan dan mendapatkan gaji tetap setiap bulannya, hanya caraku adalah mendapatkan uang sebulan satu kali untuk bertahan hidup dengan membuang darah dan mematahkan tulang, bukan bagian dari keduanya kah. Oh iya, mungkin istilahnya adalah orang biasa.

Jalan kecil sudah kulewati dan kini beralih ke jalan besar, banyak sekali mobil para pelarian yang melintas di jalan besar ini. Pelarian dari kepenuhan akan tuntutan pekerjaan, kehidupan, pemenuhan syarat keberadaan dan pengakuan, konflik dan ketakutan terlibat lebih dalam, peraturan dan ketidak berdayaan. Orang-orang biasa yang telah selesai menunaikan kewajiban pekerjaannya yang ingin sekadar menikmati suasana tenang dan udara pegunungan sambil mengisi perutnya di tempat makan. Hanya satu hal yang sedikit lucu, tempat mereka menuju telah ada banyak rumah makan dan beragam dari yang biasa saja sampai yang menawarkan kemewahan, juga mereka yang menuju tempat itu tidak hanya beberapa melainkan banyak dan selalu bertambah. Jadi, dimana ketenangan yang mereka cari kalau semua orang biasa sepulang kerja ke tempat itu dan dimana udara pegunungan kalau semua yang ke sana menggunakan kendaraan pribadi dan masing-masing menyumbang polusi dari mesin pembakar uang itu.

Tidak ada yang salah dengan dunia, semua berjalan sejalan dengan seperti yang memang sedang berjalan, karena demikianlah jalannya. Posibilitas, probabilitas, dan kausalitas. Aku menyadari ada rasa muak, jengah, marah, menolak, dan ingin menghancurkan dan aku menyadari aku memiliki kesadaran untuk sadar bahwa aku merasa. Cukup menenangkan, apalagi dengan pengetahuan kalaupun ada satu mobil yang berhasil kubakar sebagai tanda perlawanan tidak akan mengubah alur pergerakan yang memang sudah demikian lah adanya. Aku mengambil arah yang berlawanan dengan orang-orang biasa yang sedang berburu suasana ini, yang biasa kupanggil dengan para jamak. Aku sedang menuju alam kota bukan alam pegunungan, ada janji yang harus kutepati. Bukankah memang janji hadir untuk memenuhi pilihan diingkari atau ditepati, tidak bisa tidak. Kita semua memang korban dari definisi.

Sebentuk keanggunan di bawah payung besar di teras halaman sebuah kedai kopi. Rambut panjang legam terurai jatuh begitu lembutnya, bibir yang berkilau lembab sepertinya sejuk embun pagi ada padanya, mata tajam yang menatap ingin tahu itu pasti diterjemahkan sebagai godaan bagi para pejantan yang membalas tatapnya, kulit cokelat yang manis dan lembut mulus seperti menyanyikan kehalusan sambil berbisik-bisik meminta untuk dibelai dengan perlahan. Ah, cantik! Maka karena cantik itu luka, tak lama kemudian sesosok pejantan mendekatinya dan meraih tangannya dan merangkul pinggulnya yang ternyata berkurva indah menuju meja kasir, sang luka yang menyender manja pada lelaki yang sedang membayar pesanan makanannya yang telah habis, sang lelaki yang berpunya untuk memenuhi fungsi penyedia pangan, transportasi, akomodasi, dan pengawal.

“Kemungkinan besar kau akan berpikir bahwa hubungan mereka adalah transaksi seksual kan.” Perkataan ini membuyarkan lamunanku. Aku tertawa dan membalas, “Yah.. pola nya memang seperti itu kan, dan memang tidak ada yang salah, seperti tidak ada yang benar, dengan hal itu. Alirannya memang begitu kan.” Dia meletakkan cangkir kopinya dan berkata, “Apakah kamu sudah mendapat pengertian atau ini hanya bagian dari kelakuan?”

“Entahlah, yang pasti aku merasa lebih tenang dan lepas karena pengaruh dari sekitar yang tidak lagi mendefinisi rasa apa yang perlu aku lakoni.” Jawabku.

“Hahaha… begitu pun tidak salah.” Tawanya manis, dan selalu mempesona. Juga, selalu aku suka. Cantik itu luka dan kecerdasan itu matahari, cantik itu luka dan ketenangan itu bulan purnama, cantik itu luka dan keramahan itu embun pagi, cantik itu luka dan penerimaan itu adalah rasa pulang. Entah bagaimana bentukmu aku sudah tidak tahu lagi, tapi saat kamu di dekatku aku tahu itu kamu, karena kamu berada maka aku berada, karena aku merasa maka kita bersama, kecerdasan yang mengimbangi tanpa memberi jawaban, ketenangan yang menjawab tanpa harus melakukan analisa, keramahan yang meredakan emosi tanpa harus berkata perintah, dan penerimaan yang begitu menenangkan tanpa harus mengukuhkan dan memaksa keberadaan. Itulah kamu, per-empu-an-ku.

Desah yang bercerita apa yang sudah dilewati, erangan yang meluapkan rasa-rasa yang terpendam, belum waktunya ketika itu untuk bercerita, belum waktunya ketika itu untuk meluapkan perasaan. Sekarang lah waktunya, diantara sentuhan lembut saling berbalas renggut, cumbuan berlanjut yang sejuk namun sekaligus sakit tapi juga yang tidak bisa terhentikan, pergumulan dengan drama dan peran pun kita lakukan sekarang dengan menggadaikan aturan dan keseharusnyaan menjadikannya sakral karena jiwa yang terlibat dalam pelukan-pelukan. Sejak kapan kita berpakaian, bukankah sejak semula kita telanjang, kedalaman masing-masing yang selalu terjamah oleh diam dan petualangan-petualangan yang terbagikan oleh kemalasan dan kemanjaan. Tak perlu bercerita apa yang sudah dilewati cukup kecupi saja bibir ini, tak perlu menahan dendam emosi karena peran lagi cukup sentuhi dan belai saja tubuh ini, tak perlu mengungkapkan makna apa yang didapatkan cukup mengeranglah kalau memang tak tertahankan, tak perlu menasehati dengan larangan dan perintah cukup mendesahlah untuk membagikan anjuran dan pilihan, tak perlu lagi mendefinisi cukup saling menyerahkan dan melepas terbangkan jiwa dan angan karena arah tujuan kita bersamaan, dan tak perlu lagi merasakan cukup tinggalkan semua indera bersamaan dengan persetubuhan yang mengalir seperti arus kehidupan mengalir ada adanya sedemikian begitunya saja.

Malam ini bulan tiada, pertemuan terakhir kami adalah purnama. Remang-remang cahaya dari lalu lalang kendaraan di bawah sana cukup memberi suasana kehidupan di malam yang biasanya kelam. Bidadari sedang terlelap dan serigala kehausan sedang meminum sisa beer yang terabaikan selama persejiwaan kami. Beer yang sudah tidak dingin lagi itu seperti air kencing. Seperti berkasih-kasihan yang sudah tidak panas lagi itu seperti menyantap makanan sisa kemarin. Kaleng kosong kulemparkan ke tempat sampah, mataku mulai berat saatnya untuk melepas kesadaran. Hey, mendekatimu seperti membuka pintu rumah dengan kunci yang ada dalam genggaman, melingkarkan tanganku memelukmu seperti masuk ke dalam keheningan yang sakral, dan mengecup tengkuk dan bahumu adalah mengunci pintu agar tidak ada yang lain masuk ke dalam kesucian jiwa yang telah bersatu. Mari tidur dan biarkan pagi yang buta mengurus malam yang terabaikan, lalu nanti mari membiarkan pagi bangun kesiangan.

Tuesday, July 29, 2014

Amplop itu Cokelat, Cokelat itu Amplop (cerpen)

29.07.2014/cimahi/amuristcave

Menyebalkan memang, melihat para manusia berkumpul dan menggumpal di depan toko belanjaan. Bukan untuk memenuhi kebutuhan melainkan untuk menunaikan kewajiban. Kewajiban penerimaan sosial akan keberadaannya, yang sekarang rasanya di banding luruskan dengan daya beli. Ada suatu acuan produk yang perlu dimiliki sebagai bukti eksistensi, produk tersebut pun memiliki kelasnya yang biasa terindikasi dengan harga. Semakin tinggi harga maka semakin tinggi kastanya, maka penerimaan pun berlanjut pada pengelompokan. Dengan barang yang sama, kehadiran yang diakui dalam kelompok yang berbeda. Gumpalan tuntutan yang menggerakan kemanusiaan oleh dasar ketakutan. Memang lah ketakutan itu bukan pada hal yang tidak diketahui, namun pada takut akan kehilangan hal-hal yang diketahui.

Matahari jingga terik menusuk kulit, namun udara tetap dingin membelai bersama angin. Cuaca yang membuat perut ini seringkali mulas dan berakhir dengan kentut berbau tajam pada level minimal, mencret pada level maksimalnya. Motor ini melaju tersendat, terhalang gumpalan manusia yang keluar masuk toko pakaian dan aksesoris, belum penjual yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan. Cepat sekali perubahan terjadi, empat tahun lalu di jalan ini sangat jarang bisa ditemui manusia saking sepinya. Begitu muncul satu toko yang menjual syarat utama keberadaan seorang manusia muda, maka para kaum eksistensialis korban definisi ketakutan berbeda dan ditolak menjadi berkumpul di sini. Bahkan warung tempat biasa mengopi dan memaki kemanusiaan karena pengelas-kelasannya kini diisi dengan laki-laki dan perempuan muda saling memamerkan bukti keberadaan dan kelas keberadaannya.

Lepas dari kubangan definisi dan tuntutan yang berkompetisi untuk dipenuhi yang akan melahirkan sikap menghakimi, kulajukan besi merah berroda dua ini ke lokasi parkir yang paling sepi, sempit dan dekat jalan besar. Pertimbanganku; mudah keluar dan tidak akan ada motor lain yang parkir ganda. Kalaupun ada motor lain yang parkir itu berarti menghalangi, kalau menghalangi berarti akan kuseret seperlunya untuk membuat jalan keluar bagiku nanti. Ehm.. aku terdiam sejenak, memikirkan kemungkinan itu. “Pak, titip motor ya.. Saya hanya sebentar, jangan ada yang halangin. Sekalian titip helmnya ya.” Kataku kepada bapak tua tukang parkir yang kebetulan mendekat sambil kusisipkan uang dua ribu rupiah. Dia mengiyakan dengan senyumnya yang khas.

Dua ribu rupiah, sebesar itulah jasa merebut lahan umum menjadi fasilitas parkir kendaraan pribadi. Seharga itulah trotoar yang dikorupsi untuk menjadi tempat berdiri motor-motor para simpanse berjalan tegak yang sudah lupa bagaimana cara untuk berjalan. Termasuk Saya, monyet yang sedang berdrama sebagai manusia. Bukankah manusia sudah punah, seiring dengan dua ribu rupiah yang menjadi perkelahian tukang parkir yang menyebabkan tumpahnya darah satu dari mereka. Seharga dua ribu rupiah untuk membeli kerendahan hati mengalah sehingga makian yang keluar oleh pengendara mobil besar saat ada pejalan kaki yang berusaha menyeberang dan menghalangi posisi parkir mobilnya yang terlihat mahal namun tetap saja parkir di atas pedestrian.

Kaki ini menaiki tangga samping bangunan dua tingkat yang sudah berdiri sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda. Kusam dan muram warna tangganya, tidak ada yang memerhatikan karena semua orang masuk melalui pintu depan yang terang dan berwarna, memesan makanan rumahan dengan harga kemahalan, duduk dan berbincang mengenai pendapatan dan pengeluaran, atau tentang apa yang sudah dimiliki saat ini, juga seringkali tentang berapa keperawanan perempuan kuliahan yang sudah diambil malam kemarin dan sasaran di malam-malam berikutnya. Kaum terpelajar yang tidak terdidik, orang pintar yang bodoh, generasi cemerlang yang tolol.

Pintu besi kuketok tiga kali dengan jeda satu detik kemudian dua kali dan terdengar suara berat kunci besi bergeser. Aku selalu kurang nyaman dengan ruangan ini walaupun aku menyukai kegelapan, aromanya terlalu darah. Ruanganku yang gelap dan kelam beraroma matahari dan kopi, memang ada aroma darah tapi tidak seperti ruangan ini, yang terlalu. Aku mengambil milikku, amplop cokelat standar pabrikan yang dengan halus membuat kita berpikir bahwa amplop adalah cokelat dan cokelat adalah amplop. Indoktrinasi lembut yang meracuni, bukankah kita semua memang sudah teracuni, bahkan sejak dari pikiran, kita sudah.

“Gak dilihat dulu isinya?” Si babi itu berkata. Aku memanggilnya babi bukan hanya karena perawakannya yang bagaikan perut semuanya, tapi karena ketamakannya dan sikap rakusnya yang luar biasa. “Bukannya sudah ada pegawaimu yang memastikan jumlahnya pas, untuk memastikan tidak lebih lah yang ada dalam amplop ini.” Aku menjawab dengan datar. Bukan sok datar, tapi karena memang datar. Semua hal ini sudah menjadi biasa bagiku, bukan karena terbiasa namun karena aku melihat dengan apa adanya. Terbiasa itu seperti suatu ketagihan akan ilusi yang membuat suatu penolakan dengan membuang. Lalu, makin kita membuang maka makin erat lah ikatan kita dengan hal itu.

“Hahahahaha... ya ya kau tau kan aku tidak rela kalau ada kelebihan satu rupiah pun dari jatah yang sudah seharusnya, keadilan kan seperti itu.” Katanya sambil tertawa. Aku kesal, aku merasa kesal, aku tau aku merasa kesal, dan aku pun tau tabiat dari si babi memang seperti itu, maka aku memilih untuk pergi dan sebelum melangkah keluar pintu aku berkata, “Kalau pun kurang, malam ini aku akan datang lagi dan bisa kutagih, kalau dipersulit ya aku tinggal cari bandar yang lain kan.” Ia mengacungkan jempolnya yang sebesar perut, karena memang ia babi dari posturnya yang adalah perut semua, lalu kembali tertawa.

Kumasukan amplop itu ke dalam tas pinggang sambil melangkah turun, aku berjalan ke arah motorku dan bersiap untuk berlalu. Malam ini akan merepotkan sepertinya, karena lawanku terkenal dengan kecepatannya dan berat daya serangnya dengan bobot 120 kg, tinggi 187 cm, mendalami teknik aikido untuk mengimbangi latihan kick boxingnya, laki-laki dengan umur 27 tahun. Secara hitungan kertas sepertinya taruhan malam ini akan lebih banyak kepadanya. Yah.. karena aku pasti menang, berarti malam ini aku akan untung besar. Hemm… sebuah perjalanan tampaknya sudah bisa kulakukan.



Lalu dengan tangan kanan yang patah, pelipis mata kiri pecah, hidung berdarah, aku bertanya bagaimana cara merubuhkan beruang boxing ini. Teriakan-teriakan semakin memenuhi ruangan, semuanya mengganas meminta darah muntah dan tulang patah. Tangan kanan yang tidak bisa lagi dipakai, tendangan kirinya tidak kusangka sekeras itu. Kalau tidak sambil melompat tadi, mungkin tulang tangan ini bisa keluar dari kandang dagingnya. Sialan, sakit. Mata kiri pun tidak bisa terbuka, terhalang darah mengering. Harus cepat selesai dan bukan aku yang rubuh pastinya. Aku mencari amarah dari gumpalan perasaanku, aku mencari ketakutan dari pikiranku yang meronta, aku butuh keduanya untuk energi melepaskan serangan terakhir.

Pertahanan terbaik adalah serangan, saat ini hanya itu yang ada di pikiranku. Aku belum tau bagian mana yang akan kuhancurkan untuk merubuhkan manusia satu ini. Ia mulai mendekatiku yang sedang memegangi tangan kanan dan kesulitan melihat dengan sebelah mata. Aku berusaha berdiri dengan telapak bagian depan kakiku dan meminimalisir kontak tumit dengan lantai papan ini agar reaksiku bisa cepat, tapi rasa sakit cukup membuat sulit. Lagipula ini bukan saatnya untuk bereaksi, bukankah dalam pertarungan, reaksi adalah kekalahan karena yang namanya reaksi selalu hadir setelah aksi. Keterlambatan adalah kematian.

Aromanya adalah tendangan ke arah kepala, cepat dan rasanya kuat. Tengkorakku tidak akan sanggup meredam benturannya. Arahnya kuyakin dengan pasti akan menyerang kepala kiriku dengan tendangan kanan karena mata kiriku sudah mati terkena pukulannya tadi. Amarah dan ketakutan yang kucari rasanya samar, apakah aku mulai terbiasa sehingga rasa menjadi kadaluarsa. Bahan bakar untuk energi benar-benar kubutuhkan saat ini. Dia semakin mendekat, semakin cepat dan langkahnya mulai masuk ke dalam area jangkauanku, dan “reaksi adalah keterlambatan dan keterlambatan adalah kematian, hanya kematian lah yang berarti kekalahan bagi seseorang yang sudah masuk lumpur pertarungan bayaran, menang atau mati,” maka lakukan aksi.

Aku menjatuhkan diriku karena betis sudah tidak bisa mengangkat tumit, kulempar tangan kiriku ke belakang agar bisa berguling cepat dengan bahu ini dan mendekati kaki kanan miliknya yang mulai terangkat lepas dari lantai alas pertarungan. Dengan segenap ketidak tahuan, ketidak pastian, ketidak adaan pilihan, aku beraksi hanya dengan tujuan mematahkan lutut kanan yang ada dalam area jangkauanku saja. Dapat! Lutut kanan yang terjepit antara kedua kakiku, secepat mungkin tangan kiri kugunakan sebagai penyaluran berat badanku dan sedikit putaran dengan hentakan seluruh kemarahan dan ketakutanku, suara ledakan pun terdengar keras seperti batang pohon yang patah. Lalu erangan yang menggelegar dan teriakan yang terhenti, sunyi.

Whhoooaaaaa… tidak ada lima detik kesunyian, teriakan penonton kembali begemuruh. Emosi dan semangat para manusia-manusia haus darah yang tidak ingin terkena darah jangankan seciprat, setitik pun tidak mau, kembali tumpah dan kini lebih ruah. Aku berhasil mematahkan lutut kanan si beruang boxing ini, dan sekarang ia sedang mengerang memegang lututnya, menatap penuh dendam. Aku berdiri, merasakan kesenangan dan kemarahan yang berubah menjadi kepuasan, seketika muncul rasa ingin meminum darah. Aku hanya merasakan saja, rasanya kuat sekali. Aku hanya merasakannya saja. Sambil berdiri dan menatap beruang yang sedang mengerang memupuk dendam, aku menang.

Amplop itu cokelat dan cokelat itu amplop. Manis yang aslinya adalah pahit, bukankah dengan kemasan semua hal bisa berubah dengan mudah, bahkan yang bertolak belakang. Keseharusnyaan itu membangkitkan rasa perlawanan, itu saja yang kusadari dan kurasakan karena demikianlah adanya.

Saturday, July 26, 2014

Apa Perkara nya (cerpen)

25.07.2014/cimahi/amuristcave

All you need is love.. all you need is love.. all you need is love, love.. love is all you need..* terdengar jelas di samar-samar pemandangan dalam remang merah cokelat ruangan. Seorang lelaki muda terduduk sendiri dengan botol beer ketiga, Ia permainkan bibir botol dengan jari telunjuknya sambil ikut bernyanyi bisik-bisik melantunkan lagu ini. Sepasang kekasih tampak sedang bercerita dengan mesra, tangan perempuan yang tak lepas dari bahu lelakinya dan senyum keduanya yang terlalu dalam untuk disaksikan, tidak jarang wajah mereka bertemu dalam kecup-kecupan yang rasanya pun menyebalkan.

“Hey, what does it matter?” Apa perkara nya, apa urusannya. Ah, iya. Bukankah suatu kewajaran. Sepasang manusia yang sedang mengalami peningkatan kinerja hormon ditambah rangsangan-rangsangan indera dan definisi yang telah tertanam dalam. Seorang manusia yang tertekan oleh keinginan dan tuntutan dan menjadikannya terlalu pribadi oleh definisi-definisi yang diimaninya, bertemu dengan kodaya masa kini dimana semua tergantung pada distraksi, salah satunya minuman yang sedikit keras. Lalu aku di sini sedang apa? Seketika kesadaranku muncul.

Lalu lintas padat di akhir pekan, semua orang berebutan mencari jalur yang terus berjalan, menambahkan kesemrawutan sebagai aroma khas kepadatan jalan. Perlahan namun pasti, walaupun banyak kendaraan memaksa masuk dari sisi kiri kanan dan memperlambat laju motor ini, tapi tetap saja motor ini akan maju. Permasalahan bukan ada pada motor yang menyusul dari sisi kiri kanan merebut ruang lajur lain atau trotoar, kemudian memaksa masuk ke celah tipis antara mobil di depan dan motor yang sedang kukendarai. Masalah muncul saat pemikiranku bernyanyi keseharusnyaan dan marah karena ekspektasi tidak terjadi, menyalahkan realita karena tidak sesuai ide, yang membuatku menekan klakson lama dan memaki, kalau perlu turun dari motor dan berkelahi dengan para bajingan koruptor ruang jalan.

Namun, aku diam. Bukankah aku tetap maju walau sedikit lebih lambat karena terhambat. Bukankah natural manusia seperti itu, selalu ingin berkuasa. Kompetisi dan perebutan adalah hal yang sangat manusiawi. Lalu, apa perkaranya? Sejenak ada rasa lucu saat pengendara ini dengan kencang merebut lahan, kemudian kembali masuk ke jalurnya dengan merebut jalurku, dan kemudian kembali di posisi mengantri sama sepertiku. Begitu ada kesempatan lagi, mereka melakukan perebutan ruang lagi, dan memaksa kembali ke jalurnya dan pemaksaan masuk ke celah sempit dan kembali kepada posisi mengantri lagi. Apa tidak lelah? Apa tidak sadar kalau itu melelahkan? Apa tidak merasa boros? Atau apakah tidak sadar kalau itu semacam pemborosan? Energi, emosi, dan pikiran. Yah, sudahlah. Apa perkaranya, bukankah memang seperti itu adanya.

Kebodohan menurutku mungkin kepandaian buat yang lain, kesabaran menurutku mungkin kebodohan untuk yang lain, dan kesadaran menurutku merupakan ketidak berdayaan bagi yang lain. Lalu apa perkaranya, karena itu memang seperti itulah adanya. Apa masalahnya karena bukan itu masalahnya, sekalipun memang ada masalah tidak lain pikiran definitifku yang teradu dengan definisi mereka yang membuat rasa tidak nyaman yang merupakan manifestasi dari definisi juga yang mengantarkan kepada konflik, pertentangan, bahkan hingga perkelahian. Lalu dengan sukses aku pun tertarik ke dalam level mereka. Ah, maka dengan kesadaran pun aku memilih diam dan mengakui memang begitu adanya, aku tidak menertawakan atau merendahkan pemotor yang daritadi menyalip menyusul melawan arus dan memaksa ambil posisi dan meninggalkan aku tadi di belakang, kini berhenti di garis lampu merah yang sama, tepat di sebelahku. Apa perkaranya, memang begitulah adanya, kebodohan itu nyata. Tugasku hanya menyadarinya saja.

Lampu hijau menyala, para pembalap pun berlomba siapa duluan yang melewati garis untuk menyeberang ke jalan di depan, lalu berhenti seketika karena ada mobil di depannya. Dengan sewajarnya aku maju dan terhenti juga di posisi mereka menunggu mobil ini melaju. Aku mengambil sisi kanan jalan untuk masuk ke dalam kompleks perumahan yang aku tuju. Belokan semakin dekat, laju motor semakin kulambatkan kemudian ambil belokan kanan.

Dua rumah, dua pemilik, satu urusan. Kini aku berada di depan rumah tujuanku. Sebenarnya urusanku dengan dua orang, kebetulan saja kedua orang ini tinggal di rumah yang berhadapan terpisah jalan kompleks. Untung saja kompleks ini kecil, cukup malas juga kalau selesai dengan urusan di rumah yang satu perlu melakukan perjalanan untuk ke rumah yang lainnya. Baiklah, mulai dari yang mana? Aku melihat rumah mana yang termudah untuk aku masuki dan aku memilih yang satu ini. Pagar putih cukup tinggi dengan mata tombak di ujung pagar sebagai pengaman sekaligus hiasan. Jarak antara mata tombak dengan balkon di lantai atas lebih renggang dibandingkan rumah yang satunya. Baiklah rumah yang ini dulu.

Tanganku menggenggam erat bagian atas pagar, lutut kutekuk, betis dan paha siap untuk berkontraksi. Seketika aku menghentakkan kaki dan menarik tubuhku dengan tangan yang mencengkeram pagar dengan cepat, mengatur posisi tubuh agar muat di celah antara mata tombak dan sisi bawah balkon lantai atas, dan kemudian aku berhasil masuk ke dalam rumah ini dengan pendaratan yang sempurna. Tidak ada mata tombak yang merobek pakaianku, baguslah kalau begitu. Malas juga rasanya kalau harus menjahit.

“Hey, ngapain kau!?” teriakan si pemilik rumah yang sadar kalau aku baru saja berhasil melompati pagarnya. “Aku sudah berjanji, dan itu perlu ditepati. Bukan perkara kan, karena memang sudah seperti itulah alurnya,” kataku sambil mengambil balok kayu yang kebetulan terlihat di sisi tembok rumah ini. Dia tampak panik dan berusaha menutup pintu, namun aku berhasil menahan pintu itu tetap terbuka dengan melemparkan balok kayu yang menghalangi pintu bertemu dengan kusen. Belum sempat si pemilik rumah kaget, langsung kutendang pintu itu hingga ia terpental masuk ke dalam rumahnya.

Anak dan istrinya terkejut, aku pun terkejut. Balok kayu kuambil kembali dan sekejap aku melompat maju dan menghantam kepala si pemilik rumah. Ia pingsan, istrinya berteriak histeris, anak lelakinya beringas. Menerjangku dengan amarah, dan yah melawan manusia yang sedang marah itu terlalu mudah. Satu tendangan kiriku ke pelipis kanannya membuatnya tidur dan tidak mengganggu urusanku. Aku berjalan ke dapur, mencari pisau daging dan segayung air. Sang istri masih berteriak meracau histeris, dan itu sangat mengganggu.

Kusiramkan segayung air itu ke muka istri berisik dan membuatnya diam, lalu melihat tajam ke tangan kananku yang memegang pisau daging. “Berteriak lagi, kupotong lehermu, “ kataku dan dia diam. Baguslah. Ah, apakah perbuatan ini salah? Tiada salah tiada benar, ada sebab ada akibat, bukankah alur kehidupan memang seperti itu, alur kemanusiaan pun seperti itu adanya, bukankah janji memang dibuat untuk ditepati. Apa masalahnya? Apa perkaranya? Bukankah memang seperti itu. Pilihan selalu ada saat kita telah membuat pilihannya. Memang begitu adanya dan apa lah masalah kalau bukan mempermasalahkan yang sebenarnya sudah memang seperti itu adanya.

Karena segayung air yang kuniatkan untuk menyadarkan si pemilik rumah telah kugunakan untuk menyiram muka istrinya dan aku malas untuk mengambil air lagi, kutampar saja dia hingga sadar. Plak.. plak.. plak.. dan pada tamparan ketiga matanya terbuka. Terbelalak malahan. “Ingat janjiku kan, bapak monyet,” kataku sambil tersenyum dan memegang jempol tangan kanannya sambil mendekatkan pisau. Ah, sekilas aku menyesal mengapa pisau daging yang kuambil dan bukannya gunting besar. Namun, itu bukan masalah, yang menjadi masalah adalah kalau aku mempermasalahkan hal ini, bukan kah adanya adalah pisau daging di tangan kananku dan jempok si bapak monyet di tangan kiriku. Apa masalahnya? Apa perkaranya? Selain ketidak terimaan pikiran dan pemikiranku akan keadaan yang memang adanya demikian.

Karena berontak, kutamparkan sisi pisau yang tumpul ke wajah si bapak monyet dan ia terdiam. Bukan karena sakitnya namun karena terkejut bahwa mukanya ditampar dengan pisau. Dalam pikirannya pisau itu tajam dan bila mengenai muka tentu saja akan merobek kulitnya dan membelah daging mukanya, ia tidak memerhatikan bahwa aku menampar dengan sisi tumpul pisau dan ia terlalu sibuk dengan pikiran dan definisinya tentang pisau dan muka.

Kesempatanku, selagi ia diam kuarahkan tangan kanannya ke lantai dan kutekan dengan tanganku menyisakan jempol yang terbuka bebas. Pisau daging kudekatkan, dengan sedikit tekanan lepas lah jempol kotor itu dari tangan sang penjilat yang biasa kupanggil dengan gelar si bapak monyet. Darah tertumpah ke lantai keramik putih, terciprat ke beberapa bagian rumah saat si bapak monyet menarik tangan kanannya ke arah dada dan menekannya dengan tangan kirinya. Ia kesakitan, kaget, ketakutan, marah, dan tidak berdaya. Apa masalahnya? Apa perkaranya? Bukankah memang begitu adanya.

“Kenapaaa? Kenapaaaa..!” Sang istri mulai berkata dengan gemetar dan histeris, ia tidak berteriak. Berarti ancamanku tadi melalui siraman air segayung berhasil. Aku menjawab, “Kami pernah ada janji, kalau sampai kebun yang kutanami ini ada satu saja pohon yang ditebang untuk dijadikan garasi bagi untuk keperluan bisnis pengelasan besi miliknya, akan kupotong jarinya. Itu janjiku. Waktu itu dia pun bilang bahwa kebun itu akan menjadi garasi apapun yang terjadi. Itu janjinya. Ia telah menepati janjinya, menyewa orang saat aku tidak sedang mengawasi kebunku, sudah ada dua pohon besar yang dimatikan. Satu pohon telah tumbang, yang satunya masih berdiri dan sempat kuhentikan walau harus mematahkan hidung salah satu orang suruhannya. Maka, karena dia telah menepati janjinya, aku menepati janjiku, kan. Apa masalahnya? Apa perkaranya? Bukankah memang demikian adanya, demikian alurnya, dan adanya demikianlah peran yang kita sedang mainkan.”

Sang istri mulai terisak, menangis, marah, dendam, dan tak berdaya. Kehidupan memang berjalan dengan hukum posibilitas, probabilitas, dan kausalitas. Pembalasan dendam salah satu bentuknya, seperti sorot mata perempuan yang sekarang sedang memeluk lelakinya, terlepas dari benar atau salah karena memang tiada benar atau salah hanya ada sebab akibat dan yang paling mutlak hanyalah pemutlakan dan yang paling benar adalah pembenaran. Pikirannya sedang teracuni pembenaran akan pembalasan dendam kepadaku, namun apakah itu masalah? Apakah perkaranya? Memang demikian lah adanya bukan. Kita semua berperan dan tugas kita hanya menyadari kalau peran itu kita lakukan dan kita melakukannya dengan kepenuhan.

Tiba-tiba dari belakangku muncul sesosok lelaki yang bergegas masuk namun langkahnya terhenti seiring dengan gerakan menolehku dan tatapan mataku kepadanya. Ia, yang kupanggil dengan nama si bapak tikus. Koruptor yang pernah punya dendam kepadaku karena aku membongkar tindak korupsinya mencuri uang komunitas tempat aku pernah bernaung di dalamnya. Sepertinya Ia mendengar keributan dan kemudian keluar rumah dan kemari. Rumahnya tepat di depan rumah ini, rumah yang juga aku punya urusan dengan pemiliknya, ya dia, si bapak tikus. Ah, beruntungnya aku tidak perlu masuk ke rumahnya karena kini dia sudah di sini.

Belum sempat ia bergerak, aku sudah menerjang lututnya dengan tumitku. Patah. Ah, terlalu keras sepertinya tendanganku, bunyi patahnya seperti ranting yang rapuh, mungkin bukan terlalu keras tendanganku tapi dia yang sudah tua. Apa perkaranya, memang begitu adanya. Kuambil pergelangan tangan kanannya, kukunci dan tekan di lantai, pisau daging masih di tangan kananku. “Aku berjanji pada dua orang, suamimu: si monyet dan orang ini: si tikus.” Kataku sambil memandang istri yang menangis menguatkan suaminya yang darahnya masih mengalir dari tangan kanannya yang semakin menularkan merah ke bagian dada kaos yang dipakainya.

Please don’t spoil my day, I’m miles away, and after all I’m only sleeping…* kini yang terdengar jelas di samar-samar pemandangan dalam remang merah cokelat ruangan. Seorang lelaki muda terduduk sendiri dengan botol beer keempat, masih Ia permainkan bibir botol dengan jari telunjuknya sambil ikut bernyanyi bisik-bisik melantunkan lagu ini. Sepasang kekasih tampak masih bercerita dengan mesra, tangan perempuan yang masih tak lepas dari bahu lelakinya dan senyum keduanya yang masih terlalu dalam untuk disaksikan, tidak jarang wajah mereka bertemu dalam kecup-kecupan yang rasanya pun menyebalkan.

Aku merasakan ada rasa jijik dalam pikiranku atas tindakan ini dan ada hasrat untuk memberikan mereka saran agar mencari ruangan untuk sang lelaki menumpahkan spermanya ke si perempuan. Seperti anjing yang mengencingi wilayah kekuasaannya, demi kepuasan birahi keduanya agar tenanglah gejolak manifestasi definisi dalam pikiran dua manusia yang sedang dipenuhi hormon ini. Namun, kesadaran yang sama pun berkata apa masalahnya? Apa perkaranya? Bukankah memang demikian adanya. Kesadaran memanggil pengertian, dan pengertian memanggil kesadaran.

Aku melepaskan pandanganku dari pasangan itu, juga dari beberapa orang yang baru datang yang dengan refleks tadi aku melihat kepada mereka, aku juga melepaskan pandangan dari beer dalam botol pesananku yang ada di depanku ini yang sudah kuminum setengahnya. Oh iya, aku baru ingat kenapa aku ada di sini. Sepanjang perjalanan selesai menunaikan janjiku, aku merasa kesal dan rasa kesal itu tidak bisa serta merta hilang. Bukan kah tidak baik untuk membuang rasa itu, seperti menekan rasa itu pun tidak baik. Maka, beer menjadi satu hal yang terlintas dan menawarkan bantuan dalam menerima rasa kesal itu. Bersamanya kulalui rasa kesal ini, kemudian menerimanya, dan merelakannya karena bukan masalah lah suatu rasa itu karena memang begitu adanya.

Sudah satu jam sepertinya aku di sini sambil memandangi jam tanganku dan mengambil bungkusan dari tas pingganggku. Rasa kesalku yang muncul karena pilihanku mengambil pisau daging dan bukannya gunting besar kini sudah selesai, mereda dan lenyap seiring dengan penerimaan bahwa memang begitu adanya. Kubuka bungkusannya untuk memastikan dua jempol tangan kanan itu masih ada dan darahnya tidak mengotori tasku, karena sebelumnya kedua jari itu kubakar di bagian terpotongnya dengan menempelkannya pada leher knalpot motorku yang panas baru kemudian aku pergi dari lokasi tugasku.

Masih ada dan bersih. Oke. Kubungkus dengan rapi, kembali kumasukan ke dalam tas dan menutup risletingnya dengan baik dan sadari saat melakukannya. Aku menghabiskan sisa setengah botol beer pesananku. Pusing juga rasanya, aku memang tidak kuat minum tapi bukan berarti aku tidak menyukai minum. Lagipula tidak perlu menjadi kuat minum untuk menikmati minuman. Bukan menolak bahwa kekuatan dan daya tahan menenggak minuman pun salah satu cara menikmati minuman, hanya membuka pandangan kalau bukan hanya itu satu-satunya cara menikmati minuman dan buktinya adalah aku, yang menikmati minuman dengan cara yang jauh dari daya tahan dan kekuatan. Setelah membayar di kasir aku beranjak dengan kuda besi merah ini, warnanya darah dan baunya pun masih darah, ah.. kenapa tadi kubakar jempol itu dengan menempelkannya ke leher knalpot, terlintas namun tidak menjadi masalah, dan bukan perkara, karena begitulah adanya.

*lirik dari lagu the beatles

Monday, July 14, 2014

Day#1 "Sang Pendendam"

12 Juli 2014

Manusia menilai untuk mengetahui lalu menghakimi saat gagal memahami. Saat pertarungan abadi berlangsung, yaitu antara apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan, saat itulah tindakan menjadi penuh dengan penghakiman. Bahkan, lebih menghakimi dari perkataan. Saat kata-kata adalah menusuk jiwa hingga manusia terkapar terluka tak berdaya di tanah, perbuatan dan tindakan menghakimi adalah menginjak remuk hancurkan manusia tak berdaya itu tanpa ampun. Dari debu menjadi debu, dari abu kembali pada abu, dari keinginan menjadi penghakiman, dari harapan menjadi penghukuman. Apakah tindakanku ini sebuah penghakiman atau penghukuman. Siapakah aku selain pembalas dendam, karena aku tidak bijaksana lah untuk menjadi seorang hakim dan tidak pandai lah untuk menjadi seorang algojo.

-Sang Pendendam-