Tuesday, December 31, 2019

Keseharusnyaan 10/16

Tiga puluh desember dua ribu sembilan belas. Membuka hari dengan minus satu energi kemudian membuat sarapan dan sambil menunggu lalulintas dapur mereda chin up dulu sepuluh kali lah ya, peregangan hamstring untuk meredakan emosi hasil persepsi dan keseharusnyaan alias ekspektasi pagi yang tenang. Ada pizza sisa semalam yang nampaknya menarik untuk dipanaskan bersama telur dadar maka jadilah demikian, aroma menarik seperti tarikan untuk mengirimkan fotonya kepada pemilik gelombang laut dan dua matahari cokelat terang itu. Suasana yang lumayan mulai tenang seiring berangkatnya yang kebanyakan untuk pemeriksaan kesehatan dan tersisa satu sang pemaksa berkuasa dengan lalu lintas panjat tangga dan permainan airnya, selalu berusaha menertibkan membersihkan dan mengaturkan segalanya bukan untuk siapa atau apa hanya untuk memenuhi otomatisme dalam diri saja yang sangat wajar karena demikianlah kebijaksanaan penuaan manusia.
Kemenyerahan itu keniscayaan dan karena keberisikan mereda akhirnya kekuatan hadir untuk bertahan, melewati pagi dengan menonton video yang belum sempat dilaksanakan semalam. Memang kadang tidak tahan dengan suara lalu lintas pemaksaan pemanjatan tangga dan pembersihan berulang-ulang, setidaknya hanya satu yang dihadapi dan bisa disalurkan dengan berpindah ruang sementara membuat cemilan yang ternyata kebanyakan. Lanjut mengonsumsi informasi dan gula kebanyakan jadinya pagi ini, sampai terkantuk-kantuk dan rebahan jadinya namun tidak lama karena lalu lintas pemaksaan itu terjadi lagi dalam pola pengulangannya. Merasa tanggung untuk tidur tak bisa dan berisik yang tanggung juga rasanya, mari tambahkan dengan aktivitas bersih-bersih juga yaitu membersihkan sepatu kulit yang akan dipakai esok hari dengan memberikannya pelembab dan pelindung sampai sekalian sepatu lain yang tersimpan pun dipoles karena tanggung dan tidak nyaman maka sekaliankan saja semuanya berbarengan. Penyaluran.
Keramaian mulai datang pertanda perlu segera pindah ruang demikianlah bersihkan badan dan persiapkan kepergian, rencana akan menyeruput kopi di kedai biasa lalu lanjut ke tempat kabur kebiasaan. Lalu lintas padat membuat sedikit berputar melalui jalan kecil tidak rata yang malahan lebih cepat daripada kemacetan dari pribadi tolol yang berhenti di tengah jalan hendak belok kanan tapi menghalangi arus di lajur kiri dengan tidak peduli, bukan jahat namun tidak mampu karena bodoh saja soalnya tidak pernah ada orang jahat hanya ada orang bodoh karena yang pintar akan berbuat kebaikan dengan perhitungan alias kepedulian. Sampai di lokasi kedai kopi yang ramai sepadat lalu lintas tadi, memesan kopi dan duduk di tengah area luar yang biasanya dihindari namun tak apa sesekali menantang diri oleh what doesn’t kill us makes us stronger (and leave a scar) di bawah naungan awan mendung.
Bersua kenalan pemilik tempat makan traumatis yang mengalahkan komunikasi relasional dengan semangkuk panas karbohidrat dan protein berkuah, niatnya mengadu candaan kering namun karena liburan pemikiran tidak terlalu terasah jadi tidak ada materi yang kering untuk dilemparkan kemana-mana dan membuat pendengarnya sakit jiwa jadi tidak lama lah perbincangan kami. Semakin mendung dan semakin tipis kopi dalam cangkir membuat mata melirik kendaraan langit terang yang pemiliknya entah dimana, satu seruputan akhir membawa badan berpindah ruang mengambil sepeda motor berbincang kilat dengan penjaga dan mendapatkan informasi keberadaan yang tadi hendak ditemukan namun tidak bersua kemudian melesat ke tempat kabur kebiasaan.
Seperti biasa mendengarkan kuliah online beberapa sosok yang sedang menarik perhatian saat ini, sambil tiduran dengan menikmati kehadiran seorang kawan yang memang tidak banyak berbincang karena masing-masing sibuk masing-masing di ruang yang sama dengan intensi serupa jadi koneksi sendirian namun ditemani cukup lah untuk saat ini. Bukan seperti yang sebenarnya dimana ada relasi lebih intim dari frasa barusan tapi setidaknya pada taraf permukaan sudah cukup menenangkan, kalau yang memuaskan semoga bisa dipenuhi esok hari atau mungkin di akhir minggu sebelum masuk ke dalam kesibukan yang tidak berdampak banyak namun sangat melelahkan. Lewat sore menuju malam kembali ke kandang tempat menumpang dengan lalulintas padat biasa dan dingin udara yang cukup menyenangkan. Menuju terlelap terlibat perbincangan mulai dari materi penelitian yang ditanyakan kawan, kenalan baru yang sedang terendam hormon adrenalin dan dopamin, sampai perbincangan menukar jadwal janjian untuk terhubung dalam pertarungan elok kemudian. Lalu ketiduran, di esok paginya yang adalah sekarang dan sebelum terlupa mari mengingat bahwa mimpi dalam tidur barusan adalah mengendarai sepeda motor membonceng seorang ibu yang hendak diturunkan namun mendadak bilang jadi perlu berhati-hati pindah lajur kanan ke kiri di posisi yang ditunjuknya tapi jelas akan terlewat karena arus di sebelah kiri lumayan padat sepeda motor dan untuk belok tentu perlu sambil maju kan maka keduanya mengomel, standar.

Keseharusnyaan 9/16

Dua puluh sembilan desember dua ribu sembilan belas. Minggu pagi dengan sedikit keberisikan kebiasaan kalau hendak bepergian, menunggu sejenak untuk kehadiran pagi yang tenang ternyata tidak dapat karena jadwal keluar yang berbeda sehingga satu berangkat satu masih ada dan satu pulang satu baru berangkat. Akhirnya ritual kopi, mencoba espresso kopi jawa barat dengan profil filter dicampur susu dan cokelat untuk mengurangi rasa asam. Melihat ponsel ada kabar kawan yang kerja di thailand sedang mampir di tempat kabur kebiasaan, termotivasi juga untuk kesana maka bersiap-siap lah karena kandang menumpang ini sudah mulai dilanda keramaian lagi.
Lalu lintas lumayan sepi sehingga perjalanan lancar normal seperti lalu lintas sepuluh tahun lalu rasanya, mendarat di tempat kabur dan menemukan ruang kosong karena sepertinya semua sedang berbelanja dan cari makanan. Mengisi waktu dengan memutar video yutub mencari tahu kabar terbaru pertandingan tinju hari ini, lumayan seru ternyata menang TKO dengan pertarungan yang elok. Pada duduk sejenak ada kawan menghampiri, tiga pemudi yang baru kembali dari makan dan salah satunya baru saja berkenalan dengan tatapan yang sepertinya membuka ruang tindak lanjutan perbincangan kemudian.
Si kawan pun datang dan pembahasan pun berjalan terus-terusan, dengan minuman soda dan keripik kemasan hingga sore menjelang. Kepergian pemudi tadi jadi jeda oleh sedikit basa basi yang jadi hiburan, kemudian kedatangan satu kawan pun memberi jeda juga oleh ajakan membeli ponsel. Sudah lama juga tidak jalan kaki dan terpapar udara terpolusi pusat kota termacet seindonesia ini maka memutuskan untuk ikut menemani, lumayan juga menemukan pemandangan kepadatan manusia yang berbelanja. Penuh dengan mentalitas serupa yang tidak bisa tidak untuk di arus utama saat ini, kapitalisme itu mentalitas dan konsumerisme itu paradigma yang mau bagaimana lagi tidak bisa tidak karena konteks adalah segalanya. Dalam perjalanan pulang mampir membeli karet bermain.
Sudah malam dan malas pulang sehingga pindah tempat jadi pilihan, roti bakar dan kopi di kedai yang penuh dengan manusia menjadi ruang. Pembicaraan berlanjut seputar gaya hidup masa sekarang dan situasi masa lalu, seperti biasa pola pertemuan kawan lama ya seperti ini. Terlintas pemikiran apa sihyang lebih dari ini, sambil wasapan dan berbincang-bincang. Memang perlu diakui bahwa kesendirian namun ditemani pada dasarnya adalah hanya butuh merasa ada respon lingkungan minimal, karena kalau tidak ada ataupun juga berlebihan rasanya malah tidak nyaman. Memang banyak maunya, bahkan dengan penggambaran kasar sebenarnya hanya butuh kehadiran untuk diabaikan agar merasa berkuasa. Will to power yang sangat remeh namun ternyata sangat berpengaruh terhadap situasi emosi dan ujungnya menentukan pengambilan keputusan, emotional authority kalau kata pendekatan human design.
Sekitar sebelas malam akhirnya pulang melewati jalan lengang dan udara dingin yang menyenangkan, dengan tetap waspada karena ada dua malam yang hendak dipenuhi di hari kemudian. Sampai kandang membasuh diri, mengunyah lagi sedikit, memindahkan data film two popes dan beberapa video yang tadi siang didapatkan. Niatnya hendak menonton beberapa video ringan namun ada pembicaraan mengenai penelitian dan mata memang sudah berat tak tahan, beberapa menit lewat tengah malam akhirnya merebahkan diri. Yah, malam ini menutup hari dengan minus satu.

Sunday, December 29, 2019

Keseharusnyaan 8/16

Dua puluh delapan desember dua ribu sembilan belas. Seperti biasa berisiknya, ada saja pembahasan di tengah persiapan yang semacam intsruksi berupa saran atau penolakan berupa pertanyaan filosofis kenapa. Bayangkan, sedang beraktivitas bersiap berangkat diajak berfilsafat. Belum lagi yang sibuk dengan keotomatisannya untuk mengisi air, bersih-bersih lantai, mencuci, dengan menabrak semua batas ruang aktivitas jalan terseok-seok dan bekerja tak peduli ada orang atau tidak. Semuanya otomatis dan berisik, bahkan keberisikan yang dirasakan ini pun suatu keotomatisan respon akan situasi yang dipersepsikan sebagai keberisikan.

Tidak mengingat mimpi atau memang tidak ada mimpi semalam karena lelah berlari dari keadaan jadi lelap ketiduran. Menunggu semua berangkat dan hilang dari ruang berharap keberisikan berganti ketenangan, karena rencananya perlu bekerja untuk mencicil beban kemudian. Keramaian yang mereda diisi dengan seduhan kopi ciwidey dengan metoda tuang menggunakan kalita flat bottom saja. Pasang posisi di area lega, mengantisipasi bolak balik lalu lalang raga tua yang masih berhasrat berkuasa memaksa gerak naik turun tangga berusaha mengendalikan semua dalam ketertiban kerapihan dan kebersihan sambil melanggar batas ruang karena tidak peduli akan keberadaan orang. Menulis rekaman hari kemarin sebagai pembuka aktivitas.

Tak bertahan lama, karena ternyata yang memaksa mulai masuk lahan dan memanen pisang dengan ketidak mau tahuan dan tanpa pemberitahuan. Di tengah ketikan teriakan pun terdengar, angkat pisang bersamaan dengan lalu lalang orang di jalanan dan permintaan dadakan yang tidak jelas dilafalkan semuanya serba memanfaatkan dengan jalur memaksakan badan. Ah, dimana kebijaksanaan? Bukan pada kelakuan melainkan pada respon terhadap kelakuan. Bukan padanya melainkan padaku, sehingga dengan demikian tidak bijaksana lah melainkan bijaksini. Ini pun batal, oleh marah yang jadi daya verbal bukannya day mekanikal. Menggerutu sambil mengangkat dua puluhan kilogram pisang sambil mengingat perlu jaga badan untuk rencana pertempuran akhir tahun nanti, tentulah tidak efisien karena tiada ketenangan tiada kebijaksanaan malahan tendangan ke barang-barang.

Merampungkan ketikan kemudian lalu menemukan badan dan jemari penuh getah, berhenti untuk mandi akan lebih baik daripada membersihkan layar dan papan ketik leptop kan. Waktu pun ditabrak pemaksaan oleh belas kasihan. Menenangkan diri dengan mengambil posisi rebah, hujan turun pun merespon dengan mengangkat jemuran yang luar biasa banyaknya ternyata hari ini. Matahari muncul hilang muncul hilang dan terakhir muncul dengan benderang tanpa awan di langit, keluarkan jemuran dan susun seadanya agar mudah diambil kalau tiba-tiba hujan lalu kembali berposisi mengatur napas. Tidak butuh waktu lama sampai keotomatisan memaksa menguasai ketertiban memanjat tangga dan berjalan bolak balik terseok seok namun tetap memaksa, tidak puas karena tidak melakukan dengan tangan sendiri maka semua jemuran diaturnya kembali. Turun sebentar mungkin untuk buang air lalu naik lagi dengan menyeret kaki dan memaksa raga, sungguh ketidak bijaksanaan yang membangkitkan ketidak bijaksinian akhirnya memutuskan meninggalkan daripada tersiksa persepsi dan ekspektasi. Kekalahan diri oleh diri, memang. Menyalurkan dengan minus satu. 

Menuju lokasi kedai kopi kebiasaan melalui jalan yang padat di awal dan lengang kemudian, lumayan seratus tiga belas kilometer per jam rasanya menyenangkan walau hanya sekejap karena mulai padat di simpang perempatan. Singgah dan meletakkan si merah kesayangan, memesan teh dan cemilan sebagai tenaga untuk membaca tulisan human design dari teman yang katanya menggambarkan struktur personalitas diri ini. Usai hujan dan menuju hujan kelihatan dari basahan meja dan warna biru kelabu langit sekarang, tak apalah di luar saja meletakan pantat ini. Tidak lama, berpapasan dengan lautan bergelombang dengan sepasang matahari cekolatnya yang tersenyum manis sekilas dan rasanya menyenangkan sampai lupa bahwa tempat ini adalat pelarian. Lalu sadar, melanjutkan bacaan. Kudapan banana chocolate nya enak ternyata, teh pilihan ini pun enak, hanya kehadiran gerombolan berbincang yang merusak ketenangan. Bedanya, di kandang penuh ekspektasi oleh karena relasi sedangkan di sini hanyalah basa basi bebas ekspektasi walaupun sama sama berisik. Pindah dan tinggalkan saja, mendekat kepada pemilik awan gelombang bermatahari cokelat sepasang mencuri pandang sambil melanjutkan bacaan. Rintik hujan mulai turun, para berisik mulai pindah, nanti menyusul kalau sudah lebat hujannya lah.

Mulai bosan, pindah posisi yang tetap bisa memandang sosok ajaib tadi, menutup bacaan dan mencari gambaran. Vishnu. Dari semua pengetahuan dan penceritaan yang didapatkan belakangan, semua mengarah kepada simbolnya. Membereskan bawaan berkehendak pindah ruang, melihat kamar kecil terisi memutuskan nanti saja di tempat kabur kebiasaan, menuju kasir untuk membayar dan akhirnya kesempatan bertatapan dengan sepasang matahari cokelat itu. Menemukan ada jejak ketinggalan di sisi kiri batang langitnya, menarik dan membuat tertarik perasaan. Melepas lambaian dan menuju ruang kabur selanjutnya, parkir langsung kamar kecil, letakan barang dan ambil ponsel, konfirmasi jejak dan terafirmasi adalah milik, sambil tiduran wasapan menunggu reda kemacetan jalan dan keberisikan kandang numpang untuk melanjutkan perpindah pindahan ini. Tahun depan perlu kontrakan. Ruang ini begitu paradoks, ada saatnya begitu menemani tapi kali ini yang ada saatnya selalu seperti, begitu sepi menusuk kesadaran akan kesepian diri. Akhirnya balik kandang. 

Malam minggu yang penuh wasapan, rasanya ternyata cukup menenangkan ada kawan berbalas pemikiran walau tak bertatapan. Kurang tapi lumayan paling tidak imajinasi bersentuhan dan imaji terasa mengasyikan, dari perbincangan seksualitas sampai spiritualitas lagipula seksualitas itu sendiri adalah spiritualitas kan paling tidak sistem kepercayaan itu yang dipegang saat ini. Hingga larut dan ketiduran, sisa koneksi menjadi mimpi yang di subuh dini hari setengah terbangun oleh kegelisahan yang kemudian merespon dengan menempatkannya sesuai kebutuhan. Saat ini biarkan dulu bersenang senang sampai awal tahun baru kembali kepadada perjuangan, dengan kesadaran kalau semuanya sudah berbeda dan terima saja dengan jalankan sebaiknya semampunya sesehat sehatnya. Alur terus berjalan dan peran selalu terisi, pindahkan kesadaran ke depan oleh semua pengetahuan dan ketangguhan menunggu tenang. 

Saturday, December 28, 2019

Keseharusnyaan 7/16

Dua puluh tujuh desember dua ribu sembilan belas. Lupa mimpi semalam apa karena ini baru dituliskan setelah lewat sehari, padahal pagi harinya ingat. Yasudahlah, akhirnya mengucapkan yasudahlah yang sebenarnya adalah kata yang paling dibenci. Memulai hari dengan minus dua. Yasudahlah, ah kan. Dengan keramaian pagi seperti biasa yang kali ini lebih luar biasa karena padatnya penghuni kandang, menenangkan diri dan mengingat mimpi dengan jelas tapi luput menuliskannya sehingga lupa seiring dengan pantat terangkat dari kasur. Membiarkan keramaian bertubi-tubi berharap berlalu karena selalu ada waktunya untuk berakhir akan sesuatu yang mulai, benarlah berakhir keramaian itu terganti dengan bolak-balik kebiasaan puluhan tahun yang melekat terangkat oleh ketidak sadaran dan ketiadaan kebijaksanaan raga tua. Manjat tangga, bekerja dengan air, memaksa diri melakukan semuanya, hasrat mengendalikan yang tampak begitu kental. Tentu saja dari sudut mata diri yang usianya setengahnya, namun bukankah kebenaran sejati itu tidak diketahui dan kalau yang diketahui adalah kebenaran persepsi alias pembenaran.
Meledaklah walau tidak lepas karena jelas perlawanan yang hadir tidak akan indah, ego bertemu ego tanpa kesadaran intelejensia dan kebijaksanaan ketidak-tahuan diri hanya akan terjadi verbal argumentasi sporadis terdispersi. Akhirnya kadung membuat berisik suasana saja dengan musik keras dan bekerja keras mengisi perencanaan dalam bentuk formulir yang sudah disiapkan di awal bulan, juga sudah disebarkan namun berlandaskan ketidak percayaan bahwa yang mendapat akan seniat itu mengisinya. Isi saja sendiri, paling tidak ada satu yang lengkap terisi walau sangat subjektif. Yang penting sudah dibuka diajak diingatkan dan dititipkan harapan, tindak lanjutnya bebas dan konsekuensinya jelas. One who cannot command must obey kan.
Bosan juga dengan keberisikan yang dibuat sendiri, merebahkan sejenak dan hendak membuat kudapan siang eh keramaian kembali datang karena hujan membuat perjalan-jalanan batal dan menarik kembali ke kandang. Penuh jua lah kandang tempat menumpang ini, sialnya adalah hujan membuat dinding batasan gerakan meningkatkan kemalasan untuk kabur keluar. Telan sudah keberisikan dengan melawan dengan keberisikan juga, membuat kopi di tengah keramaian dan bolak-balik gerakan. Namun, tetap saja kalau bukan sejatinya yang meniru akan kalah juga. Tidak tahan, begitu hujan reda segera keluar dan mendarat di kedai kopi langganan.
Sepi, bagus. Duduk. Tenggelam dalam kenangan, sialan. Mobil merah mobil biru, rambut lurus rambut keriting, mata hitam mata cokelat, kata kata kata, argumentasi dan kesepakatan. Membuka video analisis tinju saja lah, sambil merasakan sisa energi yang terduplikasi darinya di dalam diri. Bahaya kalau bertemu pemicu, dan benar saja ada pemicu. Pembicaraan satu jam berakhir dengan pemesanan transportasi akomodasi perencanaan dan kesepakatan, nanti di akhir tahun. Menakutkan namun duplikasi energi yang tersisa membuat diri berani untuk melampaui, sempat melupakan risiko untuk teringat sekelebat jadi mengaktifkan tiga hukum sialan posibilitas probabilitas kausalitas. Menakutkan memang menakutkan, sekaligus membekukan. Hidup ya gini-gini aja, terlintas sekejap dengan kuat kata-katanya itu. Mengerti kalau semua adalah akumulasi memori yang terpicu momen sehingga dengan kehendak bebas yang sebenarnya tidak bebas tapi bebas itu melanggar batas, membuat kebebasan baru yang lebih luas yang lebih bablas yang lebih menakutkan. Ah iya, emang gini-gini aja.
Yang membentuk yang dibentuk, yang menjadi alasan yang menjadi tujuan, yang adalah akibat menjadi sebab, dan begitulah seterusnya, gini-gini aja kan. Demm! Menyelesaikan pesanan lalu beranjak pulang kandang di gelap malam yang ramai oleh lampu kendaraan baik di dalam oleh cahaya ponsel, dan di luar oleh lampu rem yang menyala kerap di jalanan kota termacet seindonesia ini. Hati-hati, ada hal yang perlu dipenuhi nanti maka tidak perlu sampai cidera dan membuyarkan semuanya. Seketika terlintas, bisa jadi kehadiran di saat ini atau hadir di momen saat ini bukanlah suatu sikap melainkan dampak. Dampak dari memiliki impian kuat di masa depan. Keyakinan. Atau bisa juga harapan. Seperti keyakinan bahwa hidup gini-gini aja itu adalah visi dimana di masa depan akan tetap begini sehingga saat ini begitu hadir di sini akan akan sampai di masa depan yang begini juga. Atau harapan bahwa di masa depan menjadi sosok sempurna dan keyakinan akan harapan itu begitu kuatnya, sehingga hadir di sini saat ini dengan penuh dalam rangka menjadikan diri seperti mimpi itu. Sadar tidak sadar, visi diri masa nanti yang begitu idealistis lah yang membuat kini di sini begitu realistis dan hadir menghidupi kenyataan saat ini. Penetapan label diri pun termasuk visi sih.
Sampai kandang dengan tenang namun dalam rasa menakutkan karena langkah baru saja keluar batasan kebebasan kebiasaan, membuat kudapan yang tadi siang tertunda, makan lagi duduk lagi. Duduk makan duduk makan, ngangkang makan ngangkang makan. Tiada penyangkalan, yak hasrat dan keinginan yang menguasai dan mengalir melalui energi dunia saat ini yang adalah uang. Jadikan semuanya semampunya semaunya seenaknya, karena senyamannya itu terlalu bijaksana untuk diraih saat ini. Dalam ketakutan, kehendak, dan keterbatasan hadirlah petualangan yang dalam satu malam mengubah kehidupan satu masa. Merebahkan diri setelah membasuh dan membersihkan sisa konsumsi sehari ini, meredakan yang terlalu bergejolak dan menggejolakkan yang terlalu rendah. Memang perlu di tengah, bagaimana rentan namun tidak rapuh juga tangguh namun tidak getas. Perkembangan adalah bekas luka yang tertutup dengan jaringan baru, kesadaran ada pada tidak membuka-buka luka dan membahas-bahasnya menghalangi terbentuknya jaringan baru juga tidak membiarkan begitu saja jaringan baru terbentuk menjadi jaringan parut yang lebih keras daripada berlian. Di tengah-tengah, kesadaran ada di tengah-tengah antara kewaspadaan dan kelepasan. Kaki sedang masuk ruang tengah, akan banyak kehilangan, banyak juga penemuan, banyak ancaman juga dukungan. Kalau semuanya banyak, yang sedikit apa dong? Di sini, saat ini.

Sang Kuring

Diantara kesesakan yang seakan tiada celah menghirup aroma, perlu mencuri jadinya.
Tidak mungkin tidak bernapas lah, tidak perlu senaif itu dengan menafikan kesaksian.
Akumulasi kenangan menjadi alasan dan pembenaran, momen pemicu menjadi pintu yang terbuka.
Langkah adalah kebebasan, iya atau tidak.
Tiada di tengah-tengah, karena sepuluh ribu alasan untuk mencintai adalah sepuluh ribu alasan yang sama untuk membenci.
Hadir dalam kehadiran dan hadir dalam ketidak hadiran, mengakuinya saja sudah cukup.

Kita (kami) beradu dalam abu-abu, tidak hitam tidak putih sekaligus iya hitam dan iya putih.
Kita (kami) beradu tidak di tengah tengah, iya adalah iya dan tidak adalah tidak.
Kita (kami) beradu tidak melulu, ada jeda yang iya hadir atau tidak hadir.
Kita (kami) beradu dengan penuh kehadiran, juga dengan penuh ketidak hadiran.
Kita (kami) beradu dalam keberadaan yang tersentuh, penuh iya berganti penuh tidak dengan penuh.

Lembutnya terasa aromanya terhirup suaranya jelas dan gerakannya tegas.
Aliran yang perlahan semakin kuat kemudian melembut tiba-tiba menyerang lalu meneduhkan.
Seperti perang yang bersenjatakan pedang dan kembang oleh gelombang mahkota dan cokelat terang semestanya.
Kepenuhan dalam dekapan yang mengisi semua ruang dan kesemuanya tersedia semampunya.

Sebesar apa kemampuan tidak pernah terukur karena selalu ada yang lebih dari yang paling.
Takkan habisnya karena satu manusia satu dunia sedangkan kehendak untuk melahap semua dunia.
Di tengah pergantian satu dunia bersua satu dunia yang ternyata cukuplah itu saja namun sekonyol itukah petualangan semua untuk yang sisa satu.

Iya atau tidak adalah iya dan tidak, senyuman pagi dan aroma yang khas jadi jejak langkah perjalanan.
Berbekas dan membekas, bersatu dan menyatu, menjadi dan dijadikan, saling dan selalu.

Yang terbuka tetap terbuka, yang tertutup akan terbuka, dalam pertemuan yang mendamaikan, walaupun ketemuan seringkali menghadirkan perang.


karenarasabisakadaluarsa20191225

Thursday, December 26, 2019

Keseharusnyaan 6/16

Dua puluh enam desember dua ribu sembilan belas. Memulai hari dengan nyalanya sesuatu yang tidak terdefinisi yang selama ini coba dicari tetapi selalu terhalangi ego dan definisi, di awal hari lewat tengah malam ini menyala dengan tidak terduga sama sekali. Bahkan imajinasi tidak berani mengimajikan situasi ini, sepertinya ada yang melebihi kemandirian persepsi yang membangkitkan pengingatan bahwa alur terus berjalan dan peran selalu terisi.
Sampai hampir tengah hari, lalu lewat tengah hari kembali kepada realita. Menghindari keramaian kandang tempat menumpang, kembali menghabiskan uang di kedai kopi langganan. Beruntung akan kehadiran biji kopi kerinci yang biasanya manis dan memang terasa manis, hot plate daging sapi karena membutuhkan asupan protein yang ternyata bersamaan dengan telur yang terlalu lama dibiarkan jadi sedikit gosong namun tak apalah, ditutup dengan kue cokelat yang begitu melekat penuh membuat kesadaran waktu hilang. Kalau saja tidak ada suara gelegar petir menyadarkan, mungkin sudah ketiduran di lantai kayu kedai kopi ini. Habiskan santapan, tukarkan dengan tabungan, memindahkan badan ke tempat kabur kebiasaan, letakkan pantat dan nikmati hujan sambil menyiksa mata dengan yutuban.
Mulai bosan, pulang kandang, seperti dugaan, kepenuhan keramaian keberisikan kepadatan kesesakan. Basuh semua sisa petualangan semalam dan kembali mengisi perut dengan makanan yang kali ini tinggi karbohidratnya, kemudian melemparkan diri ke kasur dan kembali menyiksa mata. Ada pesan darinya yang semalam begitu lekat dalam pelukan dan peluhan, gerhana matahari yang terlupakan. Lelah badan lega pikiran jadinya ingin makan, lagi. Segelas kafe latte bikinan sendiri dan sepiring ketan daging pun jadi santapan sambil menuangkan catatan keseharusnyaan enam belas hari yang akan menjadi saksi transformasi.

Keseharusnyaan 5/16


Dua puluh lima desember dua ribu sembilan belas. Bangun terlalu pagi dan terlintas untuk melarikan diri namun perlu menunggu matahari untuk mengatur posisi dan lokasi, tertidur kembali dan tetap terbawa mimpi. Sampai waktunya tiba, menggunakan kotak pesan untuk bertanya dimana dan bagaimana. Gerak cepat keputusan tegas dan syarat jelas, lewat tengah hari pelarian akan dimulai. Sambil menunggu mencoba menghabiskan waktu, mengingat mimpi semalam sepertinya tidak ada karena isi kepala adalah bagaimana dan dimana. Berselancar dalam jaringan internet sambil menunggu keramaian pagi yang seperti biasa yang menjadi alasan melarikan diri mereda, mengonsumsi informasi dari yang sensasional sampai yang sensual, dari yang elektrik sampai mekanikal, dari yang dalam biasa sampai luar biasa.
Melihat mendengar dan merasakan cuaca akan hujan, memutuskan perlu berangkat lebih agar tidak keduluan hujan. Seperti perlu memutuskan ruang ketiga kesepakatan berjuang agar tidak keduluan bosan. Berusaha memberikan yang terbaik dengan mandi serius dengan ampas kopi, biasanya hanya air saja. Bersepatu baru hasil informasi diskon dan keputusan impulsif untuk membeli, biasanya bersepatu sendal tank baja segala medan. Berpakaian rapi kaos katun lengan panjang semi formal dan jins cokelat rapi walau kebesaran, biasanya sedapatnya saja pakaian yang ada. Tengah hari berangkat mendahului awan hujan ke pusat kota termacet seindonesia, berhenti sejenak di tempat kabur biasa sambil menunggu rintiknya turun agar saat tiba di lokasi pelarian tidak terlalu lama menunggu. Karena menunggu adalah aktivitas paling menyenangkan sedunia. Pret!
Sampai satu jam sebelum waktunya untuk bisa masuk goa, tepat setelah mendarat rintik hujan turun dan semakin besar. Tak apa lah menunggu satu jam daripada kehujanan, menunggu yang menunggu karena benar menunggu bukannya melakukan sesuatu sampai habis batas waktu. Bedanya, menunggu ya menunggu sedangkan melakukan sesuatu sampai habis batas waktu ya melakukan apapun itu kecuali melakukan tindakan menunggu. Sengaja untuk tidak terlalu tepat waktu, menambah waktu menunggu dengan keputusan baru akan masuk goa pada saat waktu menunjukkan tanggal lahir saja. Tiba waktunya, mengambil kartu akses dan terbang ke langit ketiga karena langit yang lebih tinggi sepertinya sudah penuh dihuni para suci berdana lebih. Karena berdana lebih lah mereka jadi suci. Ah, prasangka. Yah, biarkan saja.
Melemparkan badan dan melemparkan pesan, menunggu ketukan dan pelepasan. Goa pelarian yang sebenarnya bukan pelarian, memang sudah waktunya saja namun selalu terjadi pergantian karena keputusan untuk tidak membuat keputusan pun adalah keputusan. Yang lama bersama batal berjuang dan berhenti di satu langkah sebelum buah siap dipertik, sehingga yang baru datang langsung memetik buahnya tanpa melewati perjuangan yang ini. Perjuangan yang lain, relatif pasti lah terlewati karena buktinya bisa ada di sini di waktu ini dalam situasi begini. Yang ada ya ada, yang tidak ada ya tidak ada. Tidak lama ternyata, lengkap semua persiapan pelarian dan dimulailah petualangan perjalanan penemuan dan pembentukan. Dua puluh empat jam kemudian.
https://leoamurist.blogspot.com/2011/09/november-christmas-tree.html

Tuesday, December 24, 2019

Keseharusnyaan 4/16

Dua puluh empat desember dua ribu sembilan belas. Mimpi semalam tentang apa ya, lupa. Bangun pagi dengan plus satu energi, lumayan juga bertahan sampai selama ini di situasi nyaman karena biasanya bocor tidak tahan. Seperti biasa dengan keriuhan pagi yang tidak kunjung henti suara dari aktivitas cuci-cuci, dengan tambahan personil yang meramaikan tidak terlalu signifikan karena berisik sudah jadi kebiasaan. Bermalasan sekalian peregangan badan di kasur, membereskan leptop, mempersiapkan buku bacaan, bersiap untuk nongkrong di kedai kopi biasa dan kali ini dengan niat yang penuh. Mandi, berpakaian, meraih bawaan, menuju kendaraan, sedikit pelumasan dan pemanasan mesin, berangkat sudah. Jalan akses lewat kompleks perumahan istana grup ditutup, ada pekerjaan pemasangan saluran septic tank kolektif tampaknya. Balik arah lewat jalur gunung batu saja, yang tumben sekali hari ini sepi dan lancar jaya sampai lampu merah sukawarna. Pasteur pun lengang, naik jalan layang menyenangkan, turunan cikapayang yang tidak bisa tidak padat pun bisa dilewati tanpa kesusahan, mendarat di lokasi dengan pasti.
Seperti biasa, magic biakbiak dengan cemilan ontbijtkoek untuk tenaga melahap kisah dracula di terangnya pagi jam sembilan kurang. Kehadiran itu pengalihan dan kebersamaan itu ketagihan, dimakan sendiri oleh ketidak tahanan berbagi situasi kepada kakak di jakarta lewat foto kopi dan komentar tidak penting. Tapi dibutuhkan. Selewat satu babak, melihat beberapa kenalan lewat dan beberapa teman mendekat. Teman lama yang terlalu lama tidak terhubung, kaget dengan kedatangan namun tidak heran karena memang sedang mematikan nomor kontak yang biasanya digunakan. Katanya sudah mengabari tapi tiada respon, iyalah… dimatikan. Hehe… 
Berdua mereka dan salah satunya yang pernah bersimpan kisah sekilas namun ternyata cukup dalam pengaruhnya. Terlibat obrolan panjang yang semakin memanjang dengan kedatangan satu kawan senior yang meramaikan obrolan. Entahlah dengan materinya karena fokus pada kesadaran, cukup merasa puas dengan keluasan cakupan kesadaran hari ini dalam obrolan. Pengendalian yang pas, ah seandainya kesadaran ini bertahan seterusnya setiap obrolan kemudian. Hmmm… latihan. Lumayan, lebih enam jam pertemuan yang ternyata menyegarkan. Memang, penyangkalan akan kehadiran dan kebersamaan ditelan bulat-bulat hari ini. Untungnya tidak tersedak tapi malah lepas lega dan merasa bebas. Di sinilah muncul tantangan seperti biasa, overthinking yang menimbang-nimbang. Tapi jadi teringat kalau overthingking itu tidak ada, yang ada hanyalah kurang luasnya memandang dan berpikir. Karena kalau sudah luas, tidak akan berputar-putar dan berhenti melainkan membuat keputusan. Penemuan dari obrolan, bahwa pembatasan tidak melulu dari kebiasaan, pengetahuan, keyakinan, melainkan terutama dari pengaruh orang-orang di lingkaran dalam.
Ada hal yang perlu dilanjutkan namun tidak sekarang, tidak sore ini, tidak malam ini, mungkin kemudian entahlah yang penting perlu meredakan euforia pelepasan terlebih dahulu. Perjalanan pulang pun lengang, hujan belum datang, sampai kandang numpang dengan cukup senang. Sampai menyadari kalau ternyata sore ini pun masih ramai karena semuanya tidak mengikuti perayaan malam natal, diluar dugaan bahwa situasi akan sepi. Baiklah maka memutuskan untuk segera mandi, mengambil makanan, dan duduk di kursi depan memandang tanaman yang terselimuti kegelapan. Kenangan duduk bersama di setahun lalu tidak terlalu mengganggu sekarang, mungkin karena energi pertemuan tadi yang cukup mendukung diri menghadapi ingatan dan harapan. Sederhana ternyata, sadari saja sifat alamiah diri dan mengendalikannya bukan dengan penguasaan melainkan dengan keluasan pandangan dan pemikiran untuk membuat keputusan. Keputusannya, membuka ruang untuk kembali menantang diri di area yang selama ini dihindari namun dikehendaki secara naluri. Masukan langkah pertama, mulai bersiap perhitungan, dan nikmati tantangannya dalam naungan kesepakatan dan kesadaran.
Terlintas lagi, bahwa semuanya adalah persoalan mengungkapkan. Kadang bisa memimpin kadang bisa mengikuti yang penting mengungkapkan dengan orientasi membuat kesepakatan, resiprokal itu memang menyenangkan kalau dilakukan dengan tujuan bersama. Tidak perlu besar, sesederhana kehadiran yang berbagi aroma dan berselaras napas saja. Setiap harinya, intensi khusus dan atensi penuh. Tidak kalah dengan makanan dan ajakan untuk makan. Atau cemilan dan ketagihan pendupaan pengusiran setan sisa makanan. Seratus dua puluh menit melepaskan pemikiran dan mengajak serta mengingatkan melepas pemikiran, dengan cara menenangkan. Tidak perlu metoda, niat saja cukup membuka langkah dan mengarahkan intensi dan atensi dengan selayaknya. Dengan demikian hal yang menenangkan hadir dengan sebegitunya saja sih. Ternyata memang persoalan komunikasi. Jadi selama ini tertahan di mana? Di satu tertahan membuat yang lain menahan dan yang mendapat respon penahanan jadilah kecanggungan yang membosankan. Perlu satu yang meledakkan dan tidak sekali dua kali tiga kali, tapi konsisten berkali-kali. Itulah fondasi ekspektasi dari relasi. Kalau interaksi, sesederhana kesepakatan mutualisme saja dan pertukaran manfaat sesuai kesepakatan. Jadi, interaksi atau relasi. Lagi-lagi perlu pengungkapan kan. Karena diam, tidak menghadirkan kejelasan malah kesesatan yang semakin dalam dan penundaan akan keruntuhan yang sudah niscaya. Aih, lama. Sekarang saja!

Monday, December 23, 2019

Keseharusnyaan 3/16

Dua puluh tiga desember dua ribu sembilan belas. Bangun dengan posisi energi plus satu, walaupun tergoda untuk meminuskannya karena memori akan rasa bersama begitu kuat dan imaji yang terlalu lekat. Kekuatan niat perlu disandingkan dengan pengetahuan untuk mendapatkan pengendalian diri, mungkin ini salah satu penerapan being human is to know what I know. Menggunakan pengetahuan untuk merealiasikan harapan ke depan, bukan menjadikan alasan untuk mengulang-ulang ke-seenaknya-an. Sebagai tipe generator menurut pendekatan human design jadi diingatkan untuk meminimalisir penyangkalan, bahwa diri ini merespon situasi baik lingkungan maupun orang lain. Pentingnya imajinasi ya di sini sepertinya, membuat lingkungan dan orang lain itu di dalam tataran imaji karena otak tidak pernah tahu mana yang nyata mana yang ilusi yang penting dipercaya maka itulah kebenarannnya. Mengingat-ingat mimpi semalam, hanya satu suasana yang teringat yaitu kebersamaan yang porsi menenangkan dan menyenangkannya pas. Ada beberapa sosok yang rasanya familiar tapi entah siapa, lupa.
Ekspektasi awal pagi ini adalah bertengger di kedai kopi biasanya, di sudut dekat pagar pinggir jalan sambil bercumbu dengan matahari. Tapi tidak jadi karena badan masih terasa berat karena penyesuaian tegangan tinggi ke tegangan yang lebih tinggi lagi di minggu liburan ini, jadi memilih ngopi di kandang saja dengan harapan bisa tenang. Tapi seperti biasa, pagi tenang yang diharapkan selalu tidak pernah terwujud dengan kesibukan di kandang tempat menumpang ini. Suara mesin air, suara kucuran air, suara cucian, obrolan, perdebatan akan hal kecil, dan terlalu banyak definisi akan kehidupan sehari-hari yang sebenarnya cukup jalani saja toh masih pagi. Untungnya tidak perlu bersiap mengisi peran kerjawan hari ini, maka menunggu dengan sumpalan lagu di telinga jadi pilihan bijaksana. Hwaaa… dari dahulu memang persoalan ruang jadi kendala. Sepertinya yang menenangkan diri adalah ruang luas yang ada dalam jangkauan pengendalian, seperti aula yang terjangkau mata dengan beberapa barang esensial saja biar tidak berisik telinga dan mata. 
Lewat waktunya mengisi baterai dengan badan sudah terasa ringan dan mata tidak dapat lagi terpejam, keriuhan masih berlanjut tapi kelamaan kalau masih menunggu jadi hajar saja lah. Turun dengan sigap dan membuat telur ceplok dengan meminta orang-orang keluar dari area masak untuk beberapa saat. Kehadiran yang tidak dikehendaki adalah beban, rebutan oksigen soalnya dan belum lagi kalau terlalu banyak keseharusnyaan tambahan. Dari dalam diri saja sudah cukup lah keseharusnyaan ini, buktinya banyak orang yang pergi setelah melihat aslinya pribadi yang sedang dalam proses menyeimbangkan diri ini. Keseimbangan kan bukan berarti tidak ada daya, justru semakin banyak daya semakin seimbang karena semuanya akan menihilkan. Kalau belum seimbang berarti belum cukup daya yang menimpa diri, masih perlu menambah pembelajaran bisa jadi. Telur pun jadi dengan sempurna, tumben. Taburan garam himalaya di atas nasi panas jadi temannya, indah seperti sang pemberi garam himalaya ini dahulu. Teh lokalan jadi seduhan, bosan juga dengan kopi disamping terlalu riuh untuk melaksanakan ritual membuat kopi secara memuaskan. Seadanya saja lah pagi ini, yang penting suasana hati tenang karena kalau goyang tidak ada penyaluran sehat yang menenangkan.
Berangsur mulai sepi, barulah merasakan diri sendiri. Dengan kesebalan memori dan imaji muncul tak terkendali, akhirnya berseluncur di dunia internet saja lah mengonsumsi informasi. Lagi-lagi. Namun kali ini membatasi diri hingga tengah hari untuk melanjutkan membereskan bacaan dracula yang sudah setahun belum tuntas. Bacaan yang jadi teman saat aroma kehilangan mulai tercium di awal-awal, yang sampai saat ini aroma itu sudah tidak ada lagi karena memang sudah benaran hilang pun bacaannya belum selesai. Rencana awal adalah membaca di kedai kopi biasa dengan teman teh kesukaan. Kenyataannya, terdampar di tempat kabur biasa karena melihat tempat kopi itu terlalu padat manusia dan kondisi mental sedang dalam suasana kehilangan tameng untuk berebutan oksigen dengan banyak orang. Daripada tewas diam-diam lebih baik menyelamatkan diri dengan kembali kepada kebiasaan lama, duh… yang dibenci yang dilakukan sendiri karena tidak memiliki apa lagi selain yang diketahui saja. Yasudahlah, bereskan dulu satu babak buku dracula ini sambil meminum seduhan teh pabrikan beraroma melati seadanya.
Bosan setelah dua jam, memutuskan pindah ke kedai kopi langganan awal si tulang hitam. Yang katanya sudah berganti nama dan semakin terkenal, benar saja karena tempat yang biasanya lengang itu kini padat dengan kehadiran. Jadi ingat perkataan teman bahwa sebelah kantornya ada kedai kopi kecil yang biasanya sepi, akhirnya mendarat di lokasi itu. Benar, sepi. Terlalu sepi. Pesan kopi, numpang toilet, mencecap magic dengan arabika garut yang rasanya biasa. Malahan sepertinya seduhan di kandang dengan susu bubuk lebih mantap, ah ini kan selera saja. Hal menarik dari kopi bersajak biru ini adalah dekorasinya yang asik, juga gelasnya yang unik. Ditemani kawan yang baru keluar kantornya, terdiam. Sepi menarik kenangan, liburan yang bernuansa kehilangan tahun ini. Tahun lalu nuansanya pencarian jalan tengah yang menenangkan. Dua tahun lalu nuansanya bromo dan malang. Tiga tahun lalu nuansanya usaha jualan kopi di simpang dago. Empat tahun lalu nuansanya mengakui kerentanan diri. Wah, cepat juga waktu menghilang. Tak perlu dipikirkan kata si kawan, bawa saja semuanya dalam menjalani saat ini. Seperti kisahnya yang sudah enam tahun bertahan dalam perjuangan akan persinggahan untuk menemukan ruang pulang semacam rumah. Jadi terlintas untuk melanjutkan rencana awal mencari kontrakan, di daerah tempat kedai kopi ini berada tampaknya menarik.
Nostalgia melelahkan perlu diakhiri sebelum adzan maghrib berkumandang. Angkat pantat, bayar minuman, tunggangi kesayangan, lanjut menembus kemacetan. Jalur lama yang tidak dilewati kini dilewati lagi, biarlah nostalgia lagi hanya kali ini penuh perjuangan beradaptasi dengan kemacetan jalanan dan keliaran pengendara skuter metik. We are what we ride, indeed. Kesadaran proses, kenangan nostalgia, pemahaman akan pola, dan usaha menerima terutama kebodohan diri, berlangsung sepanjang jalan layang perbatasan kota macet se-indonesia ini ke arah kota hijau yang bukan karena tumbuhan tapi karena seragam. Banyak hal yang salah sebagai pemula dalam kerentanan berelasi terulang-ulang kembali di ingatan, semacam belajar di saat sedang berkendara. Tidak mengapa karena selalu seperti ini proses mendapatkan inspirasi bagi si penyangkal ini. Mungkin selanjutnya akan lebih dewasa menyesuaikan dengan usia, karena kemarin adalah yang pertama dan perdana. Harapan. Muncul harapan. Ah, oke tidak baik untuk terlalu menyangkal. Jadi terima saja bahwa ada harapan, ada penyangkalan, ada juga kesadaran, muncul bersamaan pas membelokan sepeda motor ini masuk ke komplek kandang tempat numpang.
Keramaian membawa diri duduk di kursi depan sambil makan malam, kursi yang di tahun lalu dan mungkin saja di tanggal yang sama ada sosok yang berusaha diperjuangkan. Walaupun dengan cara kekanakan yang banyak marah-marahnya karena baru pertama kali, mau mengusahakan jalan tengah yang menenangkan sampai belakangan baru tahu kalau usaha itu dipahami sebagai terlalu menahan diri dan tidak menampilkan keinginan memperjuangkan. Yah… yang selanjutnya lah lebih seimbang, antara mengusahakan dan menampilkan. Tapi saat ini, biarkan saja nostalgia meraja. Sesak juga rasanya, antara kekenyangan karena terlalu banyak mengambil porsi makanan ini dengan kesebalan karena terlalu banyak terlintas kenangan dan evaluasi akan terlalu banyak langkah salah pemula yang kecil namun sangat mengganjal. Membiarkan kesepian merasuk kembali setelah setahun ditinggalkan, untungnya itu masih setia kembali. Bagaimana tidak, berpuluh tahun menghinggapi. Tapi tetap saja, perlu penyesuaian walaupun jeda setahun itu sebentar dibandingkan kebersamaan berpuluh tahun. Bikin malas akhirnya terdampar di pulau kapuk dengan gundah yang hening, terlalu hening.
Tidak bisa tidur dong. Ambil peralatan ritual kopi untuk membalas rasa tidak puas akan kopi di kedai sore tadi, mumpung sepi. Sekalian uji coba distilasi vinegar yang tidak sengaja terbuat karena kelupaan proses menyaring saat dua tahun lalu mencoba membuat wine buah. Bersamaan, ya bersamaan walaupun multitasking itu ilusi tapi nyambi itu realita. Gimana aja yang bilang menunggu tapi sambil mengisinya dengan yang lain. Itu ilusi karena tidak menunggu kan, kalau menunggu ya tidak perlu mengisinya dengan yang lain. Kalau mengisi dengan yang lain, itu sih namanya nyambi. Dapet syukuri, gak dapet sukurin, kalau bosan ya tinggalin. Demm!! Oke lanjut, ternyata distilasi menggunakan mokapot itu gagal. Yasudah, paling tidak seduhan latte kopi brazil dengan susu bubuk full cream nya enak. Cuci-cuci bereskan semuanya, sambil menyeruput kopi susu sambil menuliskan kisah keseharusnyaan hari ketiga ini. Malam ini coba niatin mengingat mimpi lagi ah… seperti biasa, selalu mulai dari awal lagi dengan periode yang semakin berkurang dan angka yang semakin bertambah.

Keseharusnyaan 2/16

Dua puluh dua desember dua ribu sembilan belas. Membuka mata pagi hari dengan lumayan lega, karena tidak ada rasa perlu masuk bekerja dan mulai masuk fase jeda. Energi berhasil masuk kepada plus satu, karena mengondisikan pikiran dengan metoda niat melampaui pemikiran. Tapi badan masih terasa cukup lelah, mungkin penyesuaian tidur tidak efektif di dua bulan belakangan karena pikiran penuh dengan keseharusnyaan. Membuat telur dadar dengan metoda katel panas minyak sedikit, sudah lama tidak membuat yang seperti ini. Menyeduh kopi ciwidey blue diamond yang katanya jarang dengan air yang usai dijerang, sudah lama juga tidak membuat yang seperti ini. Rasanya cukup puas namun belum puas, ada totalitas yang tidak tersalurkan karena kemampuan konsentrasi yang rendah. Fokus pun masih hilang-hilangan, belum lagi isi pikiran dengan pemikiran akan rasa sakit dibuang ditinggalkan diam-diam. Secara pengertian, mengerti memang ini semua adalah keseimbangan dan sebab akibat saja. Secara rasa, merasa sedih marah rindu sayang benci tidak rela juga sekaligus membuang.
Selesai sarapan badan ingin rebahan tapi tidak tenang, karena keceriaan yang hadir tidak tepat waktu sama seperti penyerahan diri yang diberikan kepada orang yang tidak tepat. Selalu salah ruang, jadi teringat kalau memang kemampuan yang jarang digunakan adalah membentuk ruang. Syaratnya konsentrasi terjaga tanpa pengalihan dan fokus tajam tanpa keraguan. Melihat informasi di media sosial internet sampai melihat narasi dari aplikasi the pattern sampai kekenyangan informasi, tiada yang tercerna baik badan pun semakin lelah. Akhirnya memutuskan untuk pindah ruang, pilihan seperti biasa hanya ada dua antara kedai kopi langganan atau oasis di tengah kompleks tinggal kaum biarawan. Tapi sebelumnya, jajan juga odading dan gorengan yang membuat perut kepenuhan. Kemudian datang martabak manis yang semakin membuktikan bahwa hasrat ragawi berdasarkan memori masih mendominasi. Mental konsumen. Mungkin penyangkalan melalui puasa untuk mengatasi hal paling mendasar ini, agar saat naik kepada cakra sakral yang muncul adalah pengendalian diri menggunakan hasrat bukan penaklukan diri oleh pemuasan hasrat.
Pilihan dibuat berdasarkan kecenderungan kebiasaan yaitu ke ruang kabur biasanya, oasis di tengah kota termacet se-indonesia. Dalam perjalanan ada keberhasilan kecil, mentransformasi emosi menjadi mantra ringan pelepasan alih-alih marah memukul spion mobil orang yang berhenti sembarangan menghalangi jalan. Mantranya, "Yang menghalangi akan dihalangi, yang terhalangi akan menghalangi, perhitungkan saja untuk menghindari halangan." Siang hari mencapai lokasi, situasi sepi dengan satu kenalan yang terlihat, ternyata ada dua kenalan lama senior yang seperti biasanya datang menenangkan diri juga. Masing-masing sibuk masing-masing, sepi yang ditemani seperti ini yang ternyata memang menenangkan. Cukup ada saja, sebagai teman. Tidak perlu kebanyakan namun tidak benar-benar sendirian juga, maksimal tiga orang memang. Kalau yang lebih dari teman, rasanya memang tidak bisa tidak berpelukan dan selalu ingin melekat erat dan hanya lepas kalau hendak mengambil napas. Seperti berenang, satu atau nol seluruhnya tidak ada di tengah karena basah tidak bisa setengah-setengah. Kena air ya basah, tidak ada kurang basah tidak ada lebih basah hanya ada basah atau tidak basah. Seperti kedatangan junior yang bisa diceburi kalau ingin basah, tapi karena tidak ingin basah tidak boleh setengah maka tidak menceburkan diri padanya. Seperti biasa, duduk dengan kegiatan masing-masing dalam kesendirian yang ditemani.
Lagi-lagi kebiasaan mengonsumsi mendominasi, membeli pepes ayam dan es campur untuk makan padahal perut masih kenyang. Mungkin belum kekenyangan maka belum berhenti, seperti mungkin karena merasa ada kesempatan lain makanya memutuskan tidak bertahan dalam perjuangan. Melupakan kapasitas pencernaan dan waktu yang diperlukan untuk berproses, melupakan usia yang semakin tipis dan angka yang semakin bertambah sebagai pengingatan yang selalu diabaikan. Memento mori. Kemudian hujan dan mengisinya dengan bacaan, mulai dari dracula hingga artikel internet kemana-mana. Menyenangkan, namun kurang menenangkan. Memang ada kursi panjang untuk rebahan baik tengkurap telentang sampai menyamping dan meregangkan badan, namun tanpa pelukan rasanya kurang. Bertahun mampu bertahan setahun kurang dibongkar dengan mudah, setelah itu ditinggalkan tanpa persiapan rasanya seperti kalah perang tanpa sempat berperang. Kalau begitu untuk apa menabuh genderang, kesucian malah jadi kebohongan. Sambil membaca buku agama asli suku nias dan seperti biasa inspirasi muncul dari bacaan, seperti kunci membuka penggambaran yang sulit dibahasakan namun perlu dibahasakan karena dengan demikian pengertian menjadi pemahaman. Kalau tidak dibahasakan, ya halusinasi.
Pengertian hadir dari perhatian, demikianlah kehausan ini membuat gerak badan kurang terkondisikan. Bolak balik mencari posisi, sampai peregangan otot belakang dengan posisi yoga di depan beberapa orang. Jelas akan menimbulkan kesalah pahaman, karena pemahaman bukan orang terdekat berdasarkan mentalitas selektif bukan adaptif. Bedanya, yang selektif akan dengan mudah berseloroh apa sih dengan ekspresi yang memang benar merendahkan. Sedangkan yang adaptif akan berseloroh geje kan dengan ekspresi menerima dan mengingatkan dengan lembut untuk melampaui kebiasaan. Jadi ingat perumpamaan, semua ingin perubahan, setengahnya yang mampu mengubah, hanya satu yang benar berubah. Mental selektif ingin perubahan, mental adaptif berkehendak berubah. Yang mampu mengubah, mental jamak sih bukankah semua orang begitu ramai mengubah-ubah dan berubah-ubah ya.
Demikian sampai akhir hujan dan hujan lagi, selesai hujan bersiap pulang, hujan lagi malahan. Tidak larut sore hujan berhenti dan sebelum pulang sempat terlibat perbincangan mengenai perjalanan luar kota menggunakan sepeda motor. Tujuan untuk berjuang dan alasan untuk bertahan banget ini. Jadi ingat, makhluk hidup didesain untuk aktif mencari makna dan hanya manusia yang mampu membuat alasan untuk memberi makna melalui kepasifan. Wajar saja banyak penyakit muncul di badan makin berkuasa badan buatan bernama lembaga kesehatan, makin pasif orang-orang mengonsumsi makin aktif segelintir berkuasa dan mengendalikan. Wow, apakah perlu mencoba perjalanan jauh dengan sepeda motor sendirian. Sangat menakutkan, untuk berkendara berdua saja sudah sangat keluar zona nyaman apalagi sendirian. Atau jangan-jangan keberduaan itu yang memberi tujuan untuk berjuang dan alasan untuk bertahan. Yah, jebakan fisiologis manusia adalah makhluk individu sekaligus sosial. In-dividuus, not-divisible. Hmmm… Akhirnya berkendara pulang kandang melewati jalur yang lama tidak dilewati untuk mendapati sensasi ngeri namun punya harapan, yak rasa ini! Perjuangan itu tidak perlu hebat ternyata, sederhana dan sangat sederhana. Sesederhana kesadaran bahwa sepuluh ribu alasan untuk mencinta adalah sepuluh ribu alasan yang sama untuk membenci, dan intinya bukan alasan-alasan itu melainkan sesuatu yang hendak digambarkan oleh sepuluh ribu definisi itu.
Sebelum terlelap, mengetik merampungkan tumpahan hari pertama yang terlewat dan tidak sempat. Perlu dibahasakan perlu diungkapkan perlu dikatakan, agar tidak terjebak pengulangan dan ketidak sadaran akan kesadaran. Seusai menuntaskan satu langkah pengungkapan kebenaran bahwa diri terjebak delusi, sedikit menonton si manusia laba-laba yang jauh dari rumah dan terjebak ilusi dalam kerangka one who cannot command, must obey yang sangat jelas. Yang tidak bisa memimpin pastilah mengikuti, baik mengikuti pemimpin terdekat atau mengikuti definisi lain yang dibuat pemimpin lain yang jelas mengikuti karena tidak bisa memimpin. Tidak mampu memanfaatkan cakra kreasi di tenggorokan untuk mengubah gagasan menjadi firman yang mewujud, akhirnya menelan kegundahan dengan bantuan makanan-makanan kekinian yang terus menerus ditelan. Pencernaan urusan belakangan karena persoalan selangkangan bisa minta bantuan orang di saat ada kesempatan untuk saling silang selangkang lalu hilang bersamaan dengan penyangkalan. Sebelum terpejam mata, pengingatan hadir dalam satu frasa sederhana yang terngiang. Mengingat mimpi semalam sangat penting untuk mengambil alih kendali diri dari kebiasaan lama. Okelah besok pagi dicoba…

Keseharusnyaan 1/16

Dua puluh satu desember dua ribu sembilan belas. Memulai hari dengan minus satu, karena tidak tahan dengan emosi dan hasrat yang begitu menggebu. Kenangan akan aktivitas intim yang pernah dilalui begitu lekatnya, hingga keinginan untuk mengalaminya begitu tidak tertahan. Bersamaan dengan rasa kecewa pada diri sendiri akan kesalahan perilaku yang membuat relasi kemarin runtuh. Setelah minus satu, tidak ada efek dopamin yang menenangkan malahan kelelahan. Bolak-balik kasur untuk tidur tapi tidak bisa karena suasana memang liburan dan keceriaan yang datang di waktu yang kurang pas lumayan mengganggu. Akhirnya memutuskan untuk keluar, mungkin akan ke kedai kopi untuk duduk dan mendengarkan siaran kuliah Jordan Peterson. Namun berakhir di tempat kabur biasa yang kebetulan sepi dan menyenangkan, maka membeli bali hai diablo dengan muffin cokelat sebagai teman.
Kenangan-kenangan membangkitkan kemarahan, sambil mengunduh anime menggerutu di twitter mengenai diri sendiri. Kemarahan akan kebodohan diri, jadi mengerti soal memaafkan diri. Untunglah kemarahan ini bukan yang perlu dimaafkan karena menyalahkan diri sendiri, melainkan bentuk analisis yang perlu disalurkan. Tidak menahan, tidak menyangkal, tidak menenang-nenangkan, meledakannya saja dengan perkataan. Ya, semakin banyak penjelasan semakin banyak kesalah pahaman. Namun, kita hanya melakukan hal yang kita ketahui saja kan. Maka, meracau lah menyerang imaji yang dibentuk oleh memori di dalam benak sendiri sebagai respon atas pengalaman yang telah dialami. Entah refleksi entah proyeksi, dengan kesadaran ini menjadi mengerti bahwa menjadi manusia itu memang perihal mengetahui apa yang diketahui.
Kemudian menjadikannya, seperti motto tempat kerja sekarang ini. Nyaho can tangtu ngarti, ngarti can tangtu bisa, bisa can tangtu tuman, tuman can tangtu ngajadi. Langkah pertama memang mengetahui apa yang kuketahui, kedua adalah mengetahui apa yang tidak kuketahui, dan situasi yang perlu disadari adalah ketidak tahuan akan hal yang tidak kuketahui. Dengan demikian proses ngajadi bisa jadi adalah mengetahui apa yang kuketahui, dan pengetahuan pertamanya adalah mengenai pengetahuan akan tiga level pengetahuan yang barusan disebutkan. Berarti mengetahui apa yang diketahui bisa jadi adalah menjadikannya penuh sampai taraf optimal. Menjadi manusia adalah menjadi manusia optimal semaksimal kemampuan imajinasi diri membentuk visi diri. Potensi tidak terbatas yang perlu diraih dengan membatas-batasi.
Lewat tengah hari, sepi berangsur pergi seiring kedatangan orang-orang yang hendak berteduh dari keramaian kota yang semakin keluar batas toleransi keberisikan. Ada janji sore ini untuk mengambil pesanan buku mengenai nias, walau baru mendapat mengenai agama asli yang bertendensi kristenisasi tak mengapa lah. Berangkat dengan mengukur waktu agar tepat sampai di lokasi, meminimalisir menunggu karena dalam benak adalah efisiensi tanpa banyak basa-basi. Apalagi lokasi pertemuan ada acara bedah buku dan diri sedang merasa tidak bersemangat untuk terlibat. Walaupun di dalam benak terlintas bisa saja ada peluang kecil yang berlanjut pada potensi relasi, terima saja lah apa adanya toh pengalaman sebelumnya sudah banyak membuka imaji pola situasi seperti ini.
Sampai lokasi pertemuan bersamaan dengan kedatangan penjual buku jadul kenamaan dan suasana masih sepi. Basa-basi, transaksi, beli buku tambahan mengenai intisari filsafat india, basa-basi lagi, langsung beranjak pergi dengan alasan menghindari kehujanan, memang suara gelegar petir sudah terdenger susul menyusul di langit. Perjalanan beranjak dari lokasi ini rasanya seperti perjalanan menuju lokasi ini, nostalgia dua ribu sepuluh dan dua ribu tiga belas saat masih di karitatif bandung. Suryalaya memang jadi daerah yang familiar waktu itu, juga lokasi pertemuan itu ada di jalur mobilisasi personil bangunan cemerlang kalau mengadakan pelatihan dan terakhir waktu menyambut tim kasih merespon banjir di bandung. Yah, nostalgia lah ya seperti begitulah rasanya.
Rencana awal hendak membaca buku di kedai kopi langganan, tapi selain alasan menghindari hujan pun pencernaan rasanya tidak nyaman oleh rasa penuh di lambung dan migren di kepala. Akhirnya memutuskan pulang melalui jalur tercepat yang biasanya yaitu jembatan layang, tidak heran dengan kemacetan karena memang waktunya dan memang budayanya demikian sekarang ini. Cukup tergesa namun perhitunganlah cara membawa sepeda motor belakangan ini, seperti kembali ke masa muda namun dengan kesadaran bahwa kemampuan tidak sama dan suasana pun tidak sama. Maka tetap terjaga dan waspada, benar memang lebih baik menghindari daripada kerepotan menanggapi. Emosionalitas yang perlu selalu diolah, lalu teringat bahwa proses pengolahan emosi yang tidak seiring se-amplitudo ini lah yang meruntuhkan bangunan relasi kemarin. Sampai di rumah, malas mandi jadi hanya cuci-cuci, berusaha membuang hasil pencernaan tapi belum waktunya tak bisa dipaksa, akhirnya bermain dengan macbook saja. Menonton beberapa episode yang diminati.
Gerah, memutuskan mandi. Menyudahi aktivitas hari ini dengan merasa ada yang perlu dilewati dari diri, terutama mengenai batasan zona nyaman yang mengekang. Melemparkan badan pada kasur setelah membersihkan diri dan bersiap tidur, menjauhkan ponsel dan memejamkan mata. Mencoba menarik konsentrasi pada diri, namun karena terlalu lama tidak melatih pikiran masih saja kenangan-kenangan beterbangan bergabungan. Kembali pada napas dan berserah saja, tidak sempat menulis jurnal harian di hari pertama ini rencananya besok pagi. Frasa penting hari ini, diriku sendiri sudah cukup untuk diriku sendiri. Tapi ingat, kutipan bukanlah intinya melainkan pemicu. Konteks adalah segalanya. Sadar.