Berlari-lari, bergerak tak mau berhenti. Menolak mati.
Ya, bergerak adalah hidup dan menyangkal mati dengan gerakan.
Berlari berpeluh berdengus hingga paru-paru seakan mengintip dari lubang hidung.
Jantung berdetak keras di kepala. Bergerak lah melawan mati.
Hidup dengan berlari, bergerak tanpa henti.
Saat kaki berlari, otak terhenti.
Lupa diri korban definisi, mungkin akan lebih indah kalau definisi diri.
Nyatanya, definisi jamak yang diamini.
Logika di sepasang kaki, yang terus berlari tanpa henti.
Bergerak dan berlari di tempat.
Hey... lupa kepala lupa mata.
Kaki dan kaki saja, seperti babi yang terdefinisi haram berjalan menunduk.
Bahkan babi lebih berharga karena geraknya maju melihat jalur.
Berlari-lari, bergerak tak mau berhenti. Menolak mati.
Di tempat yang sama.
Bergerak tak berpindah tempat.
Menolak mati dengan bergerak di satu titik.
Bergerak yang diam.
Hidup yang mati.
Diam adalah mati. Bergerak adalah hidup.
Makan lah definisi dan nikmati rakusnya konsep yang tak terbatas.
Tipui diri dengan bergerak dan berkaki. Di mana kepala? Di antara kaki.
Ya, birahi untuk menjadi.
Termakan menjadi pemakan, definisi mereduksi kesadaran diri.
"Adalah" oh "Adalah"
Tuhan lama yang baru.
Sadari telah mati semua kehidupan ini.
Telah diam lah semua pergerakan ini.
Untuk apa berlari di tempat di ditonton oleh aturan.
Tuhan telah mati dan manusia yang membunuhnya.
Manusia pun mati dan definisi yang menggerogotinya.
Berlari lah, bergerak tak berhenti.
Di tempat.
Matilah dengan bahagia dan tak terasa.
Bukankah semuanya begitu.
Friday, November 9, 2012
Wednesday, October 24, 2012
mati biru
ah, sayang.. terlalu banyak definisi kau telan
terlalu biar 'jangan' dan 'seharusnya' mengekang
tak perlu mengisi hal yang indah karena kosongnya
tak perlu pun berjuang kalau memang nyaman dengan tiduran
untuk apa pula keluar dari hal yang nyaman kalau akan kembali kepadanya
hanya mengulang-ulang dan terjamakkan lah dirimu
buang acuh kalau memang tak butuh
biarkan orang-orang mati dikubur bukit bertutup tanah rumput
kalau memang tak masalah, mari mati di selokan yang bermuara ke laut
yang berlomba menuju langit sudah berdesak bersesakan
kalau tak mau, tak perlu ikut dalam antrian
kalau tak masalah, lebih lega mati di selokan
menuju sungai, sungai, sungai dan laut
laut dan langit itu sama
biru..
terlalu biar 'jangan' dan 'seharusnya' mengekang
tak perlu mengisi hal yang indah karena kosongnya
tak perlu pun berjuang kalau memang nyaman dengan tiduran
untuk apa pula keluar dari hal yang nyaman kalau akan kembali kepadanya
hanya mengulang-ulang dan terjamakkan lah dirimu
buang acuh kalau memang tak butuh
biarkan orang-orang mati dikubur bukit bertutup tanah rumput
kalau memang tak masalah, mari mati di selokan yang bermuara ke laut
yang berlomba menuju langit sudah berdesak bersesakan
kalau tak mau, tak perlu ikut dalam antrian
kalau tak masalah, lebih lega mati di selokan
menuju sungai, sungai, sungai dan laut
laut dan langit itu sama
biru..
Friday, October 12, 2012
Merepotkan
kalau kalian lari kepada saya, saya lari kepada siapa?
kalau kalian menginginkan saya, rebutan lah saya dengan kalian untuk seonggok saya.
kalau kalian bergantung pada saya, bersiap terjungkal lah karena saya berdiri di atas angin.
kalau kalian kecewa pada saya, tidak pernah saya meminta kalian berharap pada saya.
kalau kalian menilai saya dan tidak sesuai, tak perlu jadikan saya alasan dalam drama kalian.
kalau kalian mengganggu hidup saya, seperti hak kalian untuk masuk
dalam hidup saya maka saya berhak membuang kalian seperti karya yang
gagal.
kalau kalian bilang ini tidak adil, ketidak seimbangan lah yang membuat pergerakan.
kalau kalian ingin datang kepada saya, datanglah tanpa pengharapan dan kepercayaan kepada saya, karena saya bukan tuhan kalian.
Manusia membuat drama untuk melakukan kemauannya, lalu mencari manusia lainnya sebagai alasan.
Alasan itu pembenaran untuk melakukan kemauan tanpa terlalu dipersalahkan.
Seperti seorang sadomasokis yang menikmati penderitaan, beralasan latar belakang dan lingkungan padahal menderita itu kenikmatan yang diinginkan.
Oh, jiwa bebal manusia..
Melibatkan manusia sebagai alasan dalam drama sakit mental itu sungguh merepotkan!
kalau kalian bilang ini tidak adil, ketidak seimbangan lah yang membuat pergerakan.
kalau kalian ingin datang kepada saya, datanglah tanpa pengharapan dan kepercayaan kepada saya, karena saya bukan tuhan kalian.
Thursday, August 30, 2012
BAPA KAMI ~ Bimo Petrus - aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID)_1998
Bapa Kami yang ada di surga
Engkaulah Allah yang memihak orang melarat, bukan pada orang yang gila harta
Engkaulah Allah yang berdiri di sisi orang yang tertindas, bukan pada orang yang gila kuasa
Engkaulah Allah yang berbelas kasih pada orang yang hina, bukan pada orang yang gila hormat
Dimuliakanlah Nama-Mu
Di antara para petani, yang menggarap sawah – sawah tergadai
Di lingkungan para buruh, yang harus berteduh di gubuk kumuh
Di kalangan anak asongan, yang harus mandi di sungai tercemar
Di antara rakyat kecil, yang tergusur demi suksesnya pembangunan
Datanglah kerajaan-Mu
Yakni di dunia baru
Yang berlandaskan cinta kasih
Yang berhaluan kebebasan
Yang betatanan keadilan
Jadilah kehendak-Mu di atas bumi
Untuk memberi makan pada yang lapar
Untuk memberi minum pada yang haus
Untuk memberi tumpangan pada para pendatang
Untuk memberi pakaian pada yang telanjang
Untuk melawat mereka yang sakit
Untuk mengunjungi mereka yang ada dalam penjara
Untuk memperjuangkan hak – hak mereka yang tertimpa ketidakadilan
Seperti di dalam surga
Yang berpihak pada rakyat kecil
Yang mengutuk segala bentuk intimidasi
Yang menghilangkan segala upaya pembodohan masyarakat
Yang membongkar segala praktik bisnis tanpa moral
Yang membongkar segala praktik penyalahgunaan kekuasaan
Berilah kami rejeki pada hari ini
Agar kuat dan bekobar dalam membongkar budaya bisu
Agar kuat dan pantang mundur dalam melawan budaya takut
Agar kuat dan berani melawan budaya pakewuh
Dan ampunilah kesalahan kami
Karena kami diam, ketika hutan – hutan dibabat untuk arena balap mobil
Karena kami bungkam, ketika rumah dan ladang digusur untuk lapangan golf
Ketika kami bisu, ketika sawah –sawah dirampas untuk rumah mewah
Karena kami acuh, ketika rakyat kecil disingkirkan demi gemerlapnya keindahan
kota
Seperti kami pun mengampuni
Mereka yang bersalah pada rakyat
Melalui sistem pembodohan nasional
Sehingga rakyat hanya mampu berkata “ya”, ya dan ya”
Janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan
Sehingga kami ikut melakukan kekerasan, seperti mereka yang tidak mengenal Tuhan
Sehingga kami hanya mampu melontarkan kritik, tanpa kami sendiri bertindak adil, jujur dan bertanggungjawab
Sehingga kami berpihak dan membantu orang kecil, tetapi kami sendiri tidak terlepas dari permainan manipulasi
Tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat
Yakni pikiran untuk memonopoli kekayaan alam
Perkataan untuk memanipulasi pendapat umum
Perbuatan yang melecehkan keinginan rakyat
Amin.
Thursday, July 5, 2012
Terlalu Kecil
Kematian sejuta orang tiada artinya bagi alam
semesta. Terlalu kecil. Sebutir pasir di pinggir pantai tak terasa, kita semua
menyebutnya pasir. Adakah yang memberi nama tiap butiran itu, untuk
membedakannya satu sama lain? Ada, makhluk gila yang entah dimana pun
dimana-mana. Kita sebut makhluk itu tuhan. Kalau memang bentukannya adalah
makhluk. Siapa yang tahu kalau tuhan pun sebutir debu, sama seperti butiran
lain. Hanya makhluk sok tahu yang tahu, kita menyebutnya manusia.
Manusia yang bergerombol, berkumpul di bumi
seperti pasir di pantai. Hanya menyesakkan di sebuah ruang dan waktu, kemudian
menjadi alas kaki sesuatu yang lebih besar. Seperti manusia yang menginjakkan
kakinya di pasir pantai, membentuknya menjadi istana dan menjadi raja. Terlalu kecil
pasir melawan manusia. Terlalu kecil manusia melawan semesta. Kematian berjuta
orang tiada artinya bagi alam semesta.
Butiran menciptakan pasir, pasir menciptakan
manusia, manusia menciptakan dewa, dewa menciptakan raksasa, raksasa
menciptakan sistem, sistem menciptakan butir pasir. Terlalu kecil butir pasir
melawan manusia. Kebebasan hanya ada di sekotak ruang dan waktu yang
dinominalisasi. Di luar dari pada itu adalah perang, perlawanan. Lebih besar
lagi, tiada apa-apa. Sangat kecil. Terlalu kecil. Seperti matahari menatap butir
pasir. Dia bilang, tiada apapun di sana.
Teriakan penuh amarah, kepalan tangan pun
meninjui udara. Tendangan ke bumi, tamparan kepada samudera. Biar anak panah
itu menembus kepala menghancurkan otak, teriakan penuh amarah tidak akan pernah
berhenti. Terlalu kecil untuk melawan, emosi pun tersapu begitu saja. Kaki-kaki
raksasa menginjak dan meremukan badan, hingga tulang belakang keluar dari
pantat bersama dengan taik. Biarkan, tetap berdiri melawan. Ada apa di sana? Tidak
ada apa-apa. Terlalu kecil.
Melawan dengan jantung yang dipompa tangan
sendiri, hanya untuk menambah periode perlawanan yang tidak berarti dan gerak
perlawanan yang tidak berasa. Terlalu kecil, seperti matahari menatap butir
pasir, ia berkata tiada apapun di sanan. Kematian berjuta manusia tiada artinya
bagi semesta.
Biar mata berdarah hingga bolanya menggelinding
keluar meleleh panas, terus melawan walau terlalu kecil. Telinga pun telah
tiada, ia hangus dibakar dogma yang mereduksi. Tak perlu lagi reduksi, apa lagi
yang bisa diamputasi dari sebutir pasir, apa lagi yang bisa ditimbang dari
seonggok daging yang menggunakan peniti untuk mengikat jiwa agar jangan dahulu
pergi. Biar..! Biarkan terbakar hingga menjadi abu, menjadi butir. Pun terus
melawan merongrong menerkam dengan ganasnya hingga muncul pertanyaan ‘apa itu?’.
Jawabannya, tiada apapun.
Kaki yang patah, cabuti tulangnya menjadi
tongkat bagi kaki satunya untuk tetap berdiri. Mengepalkan tangan kepada tuhan
dan menantangnya berkelahi. Ada pedang, dari tulang tangan yang telah membusuk
dagingnya, dibantu para belatung. Pedang untuk mengoyak perut semesta agar
isinya muntah ruah dan membusuk di depan mata. Mata yang tinggal sebiji dan
bernanah.
Pita suara terakhir pun putuslah, hanya mulut
menganga tak bisa lagi menggeram. Injakan pun menekan lebih keras, meninggalkan
tapak dalam bagai di pantai. Menghancurkan tubuh lebih dalam. Rahang yang telah
terputus dari sendi tengkorak bukan halangan, justru bantuan agar selalu
berteriak melawan tanpa halangan mulut. Tenggorokan memuntahkan darah bersama
dengan udara dari paru-paru yang pecah, menggantikan suara yang terlalu kecil
untuk didengarkan.
Terus meninju semua yang ada sekuatnya,
menendang menampar, meludah dan menebas, berteriak dengan darah. Sekuat-kuatnya
membabi buta-tuli-bisu. Terlalu kecil untuk melawan artinya adalah perlawanan
yang terus terus dan terus. Hingga terbuka mata tak hingga itu dan menganga
mulutnya berteriak keras melelehkan seluruh tubuh dan menginjaknya tak berasa.
Apa itu?! Apakah itu. Hanya sesuatu yang sedang
lewat dan berlalu. Begitu saja. Bukan perlawanan bukan pembelaan diri, hanya
lewat dan begitu saja. Hancur semua raga, lepas peniti yang mengaitkan jiwa. Hembusan
angin lalu yang lewat menghanguskan butir jiwa yang lepas, dalam sepersejuta embusan.
Terlalu kecil. Saat satu embusan selesai, sejuta kematian terjadi dan itu bukan
apa-apa bagi semesta.
Bercak darah, daging, bubuk tulang, lendir,
organ dalam, dan abu jiwa menempel pada bekas tapak kaki yang berlalu itu. Menggesturkan
perlawanan, tangan terkepal, mulut mengaga, mata melotot, dan tubuh tegas
berdiri. Pada bidang datar yang rata. Hening. Hampa. Apa itu? Tiada apa-apa di
situ.
Kelahiran seseorang adalah sebutir sesuatu bagi
semesta, pada butir itulah titik kehancuran berdiri. Kematian semua orang tiada
artinya bagi semesta, karena begitulah adanya ketiadaan. Titik kehancuran yang
berdiri menantang tiada artinya bagi semesta, seperti kematian menciptakan
kelahiran, kelahiran melawan kehidupan, kehidupan menghasilkan kematian. Sebutir
pasir proses keberadaan, peneguh ketiadaan. Terlalu kecil.
esensisensasi 05072012
Monday, April 16, 2012
B(er)EGO
Karenarasaadalahsegalanya16042012
Aku adalah tuhan untuk diriku. Dalam duniaku. Ruang dan waktuku. Ruang dan waktu yang terbatas, dibatasi oleh pembatasan, batas-batas yang diciptakan ketuhananku demi menjadi kemanusiaan. Kemanusiaan yang tidak dibatasi sungguh tak berati, karena bukanlah kemanusiaan. Melainkan tuhanku adalah aku.
Satu manusia satu tuhan. Satu wilayah dan satu kekuasaan. Intervensi wilayah melahirkan perang. Pun dewa berperang, apalagi manusia yang merasa tuhan. Batasan yang dilewati, membuat wilayah kekuasaan disesaki dua ego. Aku adalah tuhan atas diriku dan wilayah kekuasaanku, masuknya tuhan yang lain ke wilayahku adalah pelanggaran dan penurunan harkatnya. Karena di sini aku adalah tuhan, dia hanya manusia yang b(er)ego.
Tindakan pun dilakukan, diawali peringatan. Mengingatkan. Memberi tahu tentang batasan. Sang pengintervensi tidak terima, merasa diri adalah tuhan. Melakukan yang mau dilakukan. Lupa, tuhan dalam konteks dan lingkupnya, dalam definisinya, dalam ruangnya, lupa ia berada di wilayah tuhan yang lain. Sang terintervensi siap bertarung, memberikan auman tanda kekuasaan dan kewaspadaan untuk berperang.
Sang terintervensi unjuk pasang posisi, hey pengintervensi keluarlah dari wilayahku, pulanglah ke tempatmu. Di sini egoku, egomu di sana. Sang pengintervensi akhirnya merasa wilayahnya terlewati, karena cara, sekali lagi lingkup dan wilayah cara dari sang terintervensi yang tidak sesuai dengan idealisme sang pengintervensi yang bilang seharusnya caranya blah bleh bloh, bukan bloh blah bleh… Definisi menurut yang satu, tak sama dengan yang lain.
Pengintervensi merasa terintervensi, perang antar tuhan terjadi. Dengan cara masing-masing, dengan definisi masing-masing, tanpa ada kesepakatan definisi, tanpa ada kesepakatan lingkup dan ruang, tanpa ada sehelai benang merah. Masing-masing bertarung dengan dirinya sendiri dan melibatkan orang lain. Sungguh manusia yang b(er)ego.
Peduli tuhan dengan pemikiran, peduli setan dengan penilaian. Pemikiran dan penilaian yang berbuah penghakiman pun tidak bermasalah selama ruang ketuhanan manusia b(er)ego yang satu tidak dilampaui manusia b(er)ego lainnya. Masing-masing dengan tuhan masing-masing dengan ego masing-masing, dengan bego masing-masing, dengan wilayah kekuasaan masing-masing. Bagaimana bisa bertemu? Dengan kesepakatan definitif, ruang, lingkup, dan titik acuan yang sama. Karena kesepakatan bukan tentang sama-sama mendapatkan, namun sama-sama tidak mendapatkan, reduksisasi wilayah pribadi menjadi wilayah bersama.
wilayah kekuasan dengan sang penguasa dan sang pencipta di dalamnya. Selalu berusaha menjaga dan kalau bisa memperluas kekuasaan dan wilayahnya, dengan menciptakan batasan dan menggerakannya. Menggerakan batasan dengan ilmu. Seluas mana kekuasaan bisa didapatkan. Sungguh dasar dari kemanusiaan adalah hasrat untuk berkuasa.
Perluasan wilayah yang satu memperkecil wilayah kosong yang bebas, pun mampu memperkecil wilayah lain yang telah bertu(h)an. Pembuktian diri dan ego ketuhanan seorang manusia adalah sumber pergerakan. Konflik menjadi buah aksi reaksi sebab akibat. Itulah gerakan, begitulah kehidupan, bergerak.
Perebutan wilayah dan kekuasaan adalah bego, menjaga perbatasan dan mempertahankan adalah ego. Batas tipis yang sering disalah definisikan oleh kekakuan dalam bERego. Mengabaikan unsur emosi dan rasio yang sesungguhnya adalah dwitunggal, membuang E dan R tersebut menjadikannya BEGO.
Kepedulian ternyata bukanlah pelepasan ego yang membuangnya, melainkan pelepasan yang membuat ego lepas bebas meluas dan membesar. Hingga egoku bukan aku, melainkan pula diriku pemikiranku jiwaku dirinya pemikirannya jiwanya dunia isinya alam pepohonan batu air dan hewan-hewan yang berada di dalamnya. Manusia, bukankah manusia itu animal rationale yang animal loquens. Hewan juga.
Perluasan wilayah, intervensi kekuasaan, pembuktiaan kemanusiaan, egoisme ketuhanan diri. Konflik keras dan peperangan para dewa yang menurun pada perkelahian antar manusia. Salah satu bagian dari definisi kaku dan pertahanan diri otomatis. Tuhan tidak pernah salah. Aku adalah tuhan. Definisi yang telah ditetapkan akan selalu tetap tidak berubah. Tentunya dalam wilayah kekuasaan sang pendefinisi. Diluar itu, ingatlah adanya tuhan yang berkuasa penuh di wilayah kekuasaan yang lain. Kaku sungguh kaku, dasar dari kemanusiaan yang b(er)ego.
Pelepasan yang melembutkan, kesepakatan hanya secuil dari kelembutan dari banyak bagian dimana salah satunya adalah ketenangan dalam mendengarkan. Hanyut yang tidak larut membuat keras dan tegas juga tak kaku, minyak dalam air mampu bergerak bebas tanpa hilang ke-minyak-annya. Memperluas wilayah dengan sukaci(n)ta. Seperti membuat tuhan yang lain, yang berkuasa atas wilayah tuhan tersebut, menjadi wilayah kekuasaan sang tuhan yang lembut.
Memperbesar ego dengan fleksibilitas menjadikan ego yang lain menjadi bagian dari ego yang satu. Egoismenya adalah egoku dan ketuhanannya adalah wilayah kekuasaanku. Seorang manusia b(er)ego yang melepaskan egonya memperluas egonya hingga seluruh dunia ,termasuk ego dan ketuhanan masing-masing dunia itu menjadi ego seorang manusia b(er)ego ini. Saat ego menjadi bagian dari ego tanpa mematikan ego, para tuhan adalah kepemilikan dari manusia, teriikat oleh ikatan kemanusiaan yang luas. Kekuasaan adalah kepemilikan egoisme yang sangat luas tak terbatas, oleh melepaskan ikatan kekakuan. Sesuatu diikat untuk dilepaskan.
Ber-ego. Terlalu sedikit jadi bego, terlalu banyak jadi ego. Terlalu ego jadi bego.
Monday, March 26, 2012
cinta
sumpah, aku tak pernah meminta cinta
aku pun tak pernah ingin mengagungkannya
aku ingin lepas dari kutukan itu
cinta
sumpah, bagiku cinta adalah derita
karena kutuk itu menyakiti semua yang ada padaku
sekitarku
kamu
cinta
demi keseimbangan, harus selalu ada yang mengutuk cinta
dan dengan keras, aku adalah salah satunya
aku pun tak pernah ingin mengagungkannya
aku ingin lepas dari kutukan itu
cinta
sumpah, bagiku cinta adalah derita
karena kutuk itu menyakiti semua yang ada padaku
sekitarku
kamu
cinta
demi keseimbangan, harus selalu ada yang mengutuk cinta
dan dengan keras, aku adalah salah satunya
Thursday, March 15, 2012
nada
seringkali teringat suara itu
nyanyian
yang manja juga keras
yang tajam juga hangat
seperti batu juga selimut
hujan bernyanyi
seringkali
yang baginya mungkin hanya sesekali
nyanyian
yang manja juga keras
yang tajam juga hangat
seperti batu juga selimut
hujan bernyanyi
seringkali
yang baginya mungkin hanya sesekali
rindu..
Wednesday, March 14, 2012
Dendam
Pembalasan dendam tidak mampu mengadilkan, menyeimbangkan, bahkan
menyamakan. Akan ada kelebihan di pihak pembalas, kemudian sang terbalas
merasa tidak puas. Maka, bertransformasilah sang terbalas menjadi
pembalas. Pembalasan dendam dilakukan, tidak menemukan penyamaan,
pengadilan, dan penyeimbangan. Ada hal yang lebih, dilakukan sang
pembalas. Sang terbalas pun menjadi pembalas lagi.
Berjuta-juta
rencana terlintas untuk membalas dendam. Sadar dengan tidak disadari,
rencana telah tersusun rapi. Menunggu waktu yang paling tepat untuk
meledakannya. Semua serapah adalah rencana yang telah terpatri dengan
tidak disadari. Alur yang telah dibuat dan siap untuk dijalankan.
Tinggal menunggu waktu yang paling tepat untuk berjalan seperti rencana.
Sungguh,
tidak ada niatan untuk membalas dendam. Hanya kecewa dan merasa tidak
adil. Tidak terima akan hal ini. Tidak layak diperlakukan seperti ini.
Mampu untuk melakukan hal yang sama. Rasa dan logika. Saling menipu,
saling menutupi, saling mematikan, juga saling mendukung untuk membuat
satu alur. Pembalasan dendam. Sadar tidak sadar, tidak ada yang namanya
tidak sadar dan sadar, semuanya sama. Tidak ada siap tidak ada tidak
siap, semuanya mengalir seperti begitu adanya.
Tiada
tidak ada, dan tiada ada. Semuanya terbentuk begitu saja, juga tidak
begitu saja. Ketuhanan dalam diri manusia adalah kesetanan kemanusiaan.
Setiap zahra dari rasa dan logika adalah pembalasan dendam kepada dunia,
kepada manusia, kepada setan juga tuhan. Eksistensi yang dikejar demi
kemanusiaan. Pengakuan dan pembuktian diri. Perlawanan dan penghancuran
diri, untuk menghancurkan dunia dan semua manusia yang ada di dalamnya.
Saat aku membunuh diriku, aku membunuh semua manusia, seluruh dunia,
mematikan setan dan memusnahkan tuhan.
Keterlaluan
menghilangkan kedasaran. Seperti kesadaran yang muncul setelah melakukan
sesuatu akibat ketidak sadaran. Paradoksial, paradoks sial! Terlalu
tuhan menjadi setan, terlalu setan menjadi tuhan, terlalu sayang menjadi
benci, terlalu benci menjadi cinta. Terlalu manusia menjadi binatang.
Pikiran
adalah monyet yang mengamuk dan ketidak sadaran adalah kuda berahi yang
mengamuk. Pembalasan dendam adalah jalan yang terbentuk dari pernikahan
amukan monyet dan kuda, melahirkan babi. Sungguh kebabian manusia.
Kebabian manusia membutuhkan kenabian. Sang penyelamat, sang nabi,
manusia terkutuk yang digantungi harapan manusia-manusia babi.
Penyangkalan
muncul setelah pembalasan dendam terjalani. Penyesalan membawa kembali
kesadaran akan ketidak sadaran yang terjadi. Tak mampu kembali, membuat
keras diri. Penyangkalan lahir dari kemauan untuk menjadi mandiri dan
sendiri. Perasaan mampu untuk menghadapi dan menaklukannya sendiri.
Menanggung semuanya sendiri dan kemudiaan kesadaran ini melahirkan
ketidak sadaran. Kebiasaan melahirkan otomatisasi, ketidak sadaran.
Logika
dan rasa kembali berperan dan berperang. Terulang kembali, saling
menipu, saling menutupi, saling mematikan, juga saling mendukung untuk
membuat satu alur. Pembalasan dendam. Sadar tidak sadar, tidak ada yang
namanya tidak sadar dan sadar, semuanya sama. Tidak ada siap tidak ada
tidak siap, semuanya mengalir seperti begitu adanya.
akutidakmenulistapimengamuk 14032012/11:30wib
Tuesday, February 14, 2012
Tuhanku, Aku (CERITA)
entah apa yang membuatku kecewa
juga entah apa yang membuatku
ketakutan
terlalu banyak energi yang bekerja
sehingga menghasilkan diam
terlalu banyak yang layak
dipedulikan sehingga melahirkan ketidak acuhan
tuhan
tuhan
tuhan?
apakah kubangan tempatku berawalan
atau malah akhir dan keabadianku
Aku
menghadap Tuhan. Tuhan, aku tahu Kau mengerti yang sedang aku alami. Mungkin
jauh lebih mengerti daripada aku, yang mengalaminya sendiri. Kesadaranku
mungkin masih belum penuh, sehingga terkadang aku mengutuk kemanusiaanku
sebagai kelemahan. Pembatas yang membuatku begitu tak berdaya.
Begitu
banyak yang aku inginkan, namun aku sadar tidak semua bisa aku dapatkan. Aku memandang Tuhan, dia tersenyum dengan
wajah lembut. Hhhh… Kau selalu tahu, betapapun aku menipu diriku dengan
kalimat itu, Kau tau yang sebenarnya. Aku mampu mendapatkan semua yang aku
inginkan, tapi aku aku belum tau apa yang aku inginkan. Malah membuat
pembenaran tidak semua yang aku inginkan aku dapatkan. Tuhan pun tersenyum.
Kembali aku menatap Tuhan. Banyak hal
yang ada di pikiranku, rasanya semua menyerangku dan menantangku. Bersamaan.
Aku ingin menaklukan semuanya, mendapatkan semuanya, aku ingin menyeruput
lautan kemenangan. Aku memerlukan itu, aku menginginkan itu. Semuanya. Kali ini aku menatap Tuhan dengan dalam.
Tuhan balas menatap dalam, tenang dan kemudian menutup
matanya. Aku pun sadar, aku marah maka aku kalah. Aku tahu, Tuhan. Yang aku
bilang ‘semuanya’ adalah bukan ‘segalanya’. Aku terlalu naif mengatakan danau
adalah lautan. Hidupku, duniaku, aku jadikan kacamata untuk melihat dunia yang
luas ini, dengan menyamakannya. Aku memang munafik, bilang menginginkan semua.
Padahal, aku tidak menginginkan memiliki dua jenis kelamin sekaligus. Munafik,
karena aku bilang semua, padahal tidak semuanya.
Tuhan,
aku membodohi diriku sendiri. Aku
tertawa, kemudian memandang Tuhan. Dia tertawa dan kami pun terbahak-bahak.
Naif dan munafik. Hahahaha… Aku harus
menjadi orang yang kaya dan berpengaruh, mengendalikan orang lain dan
mendapatkan yang aku inginkan. Aku lupa, apa aku menginginkannya atau tidak.
Aku hanya bilang mau, dan kemudian marah saat tidak mendapatkannya. Aku menatap Tuhan, dalam. Aku sadar,
bagaimana mungkin aku mendapatkan yang tidak aku inginkan. Ia tersenyum.
Aku
butuh ini, butuh itu. Ingin ini, itu, semuanya, semaunya. Seharusnya begini
begitu dan ini adalah itu. Jika begini maka begitu. Kemudian, saat semuanya
berkumpul, aku tak kuasa untuk melahap semuanya. Ya Tuhan, aku tahu, “Gak perlu
yang gak perlu”. Aku tahu, aku menipu diriku lewat pikiranku tentang “Perlu”.
Aku tahu, aku sadar, semua mengalir, seperti aku yang mengalir.
Lahir-tumbuh-berbuah-selesai.
Tapi,
Tuhan. Apakah hanya sekadar itu saja hidupku. Sepertinya singkat, dan hanya
menunggu mati saja. Lalu untuk apa? Semua akan musnah, tidak ada yang aku
dapatkan. Semua tak bermakna semuanya… semuanyaaa.. aku menghentikan kalimatku dan tak mampu memandangNya. Haaahh..
susah sekali untuk berbohong di depanMU. Hehehe… aku hanya meratap dan
mengasihani diri, aku menikmatinya. Karena dengan begitu aku merasa ada. Aku
sadar, Tuhan. Eksistensi tidak hanya bisa dilakukan dengan meratap begitu. Aku
juga sadar, periode itulah yang menyatakan eksistensi. Sesuatu yang abadi,
memiliki arti dia tidak ada. Karena tidak memiliki periode yang adalah ciri
dari keberadaan.
Aku mulai mengerti, aku mulai memahami. Aku tenang dan
kami saling menatap. Tuhan dan aku. Terdengar suara dari balik selimut, “Sayang, kenapa
dari tadi kamu ngelihatin cermin dan bermimik ganti-ganti seperti itu?”. “Aku
sedang berbicara dengan Tuhan, sayang.” “Hhhh… aneh.” “Karena aku aneh, maka
kamu sayang aku kan.” Keduanya tenggelam dalam tawa lembut dan gemerisik
selimut di atas lembut pulau kotak tak berbatas.
Hingga
ia berkata, “Sayang, kapan kamu putus? Aku menunggumu, aku menginginkan kamu
sepenuhnya. Seperti ini, sungguh aku tak bisa. Aku mencintai kamu.” Dengan
dalam dan penuh harapan, kental dengan rasa.
Aku,
galau. Rasa pun meraja. Sungguh, Tuhan. Kau hadir dalam berbagai rupa, juga,
rasa.
10 Feb 2012
Tuhanku, Aku
entah apa yang membuatku kecewa
juga entah apa yang membuatku
ketakutan
terlalu banyak energi yang bekerja
sehingga menghasilkan diam
terlalu banyak yang layak
dipedulikan sehingga melahirkan ketidak acuhan
tuhan
tuhan
tuhan?
apakah kubangan tempatku berawalan
atau malah akhir dan keabadianku
Segalanya
membingungkan, segalanya tampak hadir dan menyerang. Semuanya tak bisa
terkendalikan dan semuanya tak tertahan. Tak sanggup untuk membuang, tak mampu
untuk menaklukkan, berakhir sebagai beban pikiran.
Ikatan-ikatan.
Keinginan dan kebutuhan. Tuhan dan manusia. Tak bisa manusia menjadi Tuhan,
namun Tuhan mampu menjadi manusia. Tidak adil? Tidak! Tidak adil! Manusia
seakan mainan yang digerakkan oleh tiupan dari mulutnya, dan terseok dan
terkapar, dan menggalau kebingungan.
Ingin
begini, harus begitu, terjadilah.. terjadilah, namun tidak terjadi.
Tuhaaaaaaannn…. teriaknya manusia menahan emosi. Seandainya Kau ada di sini
akan kuhantam kepalaMu dengan tinjuku. Dimana Kau, aku ingin ini, itu, begini,
begitu, tapi aku tak mampu menenggak semua isi lautan ini. Tuhan, kenapa aku
harus memilih. Aku tak punya pilihan, aku harus memilih.
Jika
begini maka akan begitu, jika begitu maka akan begini. Opsi opsi opsi,
alternatif tiada henti. Manusia mengerti dan mampu mempelajari, lalu berteriak
Tuhaaaaaaaann... mana yang harus kupilih. Dengan tanpa sadar bahwa ia telah
memiliki semua jawaban dalam bentuk kemungkinan.
Siang
dan malam. Terpisah oleh pilihan. Mengapa tak digabungkan, biar dalam siang ada
malam dan dalam malam ada siang. Apa namanya nanti? Jikalau bisa kuminum
seluruh lautan akan kuhabiskan hingga aku puas. Pun, jikalau aku bisa melewati
siang dan malam bersamaan, aku telah menjadi tuhan.
Apa
itu malam, apa itu siang. Apa itu tuhan. Apakah aku. Semua menjadi nol, namun
tidak kosong. Karena semuanya saling menyeimbangkan, mengisi kekosongan dan
melahirkan nol. Nol, yang juga siap untuk menjadi kekosongan, yang bisa diisi
oleh kesemuaan selanjutnya dan begitu seterusnya. Ternyata, aku adalah tuhan.
Manusia
mendefini untuk menggambarkan hal tentang rasa yang dialami. Mendefinisi memang
mereduksi. Namun, selama tidak terjebak di dalamnya, dari secangkir air lautan
manusia bisa mengerti apa itu air lautan tanpa harus menghabiskannya.
Dari
meyakini siang adalah malam, dan sebaliknya, maka terjadilah demikian. Satu
manusia satu dunia, satu tuhan. Menikmati siang dengan memperlakukannya sebagai
malam, pun sebaliknya. Sungguh permainan sederhana yang terlupakan, karena
manusia telah terkontaminasi kejamakan. Beda itu dosa. Kenapa mesti dosa? Oleh
tuhan yang mana hal itu dosa? Bukankah aku adalah tuhan.
Semua
yang datang dalam duniaku ternyata dari aku, oleh aku, dan untuk aku.
Seringkali melupakan itu, aku pun mempersalahkan diriku dengan berteriak
Tuhaaaaaaan, Kau yang salah! Padahal aku adalah tuhan itu. Kuasanya ada padaku,
dengan hal itu aku membentuk duniaku seperti mauku.
10 Feb 2012
Subscribe to:
Posts (Atom)