Thursday, May 26, 2011

I hate rain (no more) and she loves me (always)



_karenarasaadalahsegalanya2505201_

I hate rain but she loves me. Dari awal menyadari rasa benci dan suka, kalimat pertama tentang hujan adalah kalimat itu. Mungkin dulu saat masih beringus hijau dan berlari tanpa celana, hujan merupakan favorit. Saat sudah berseragam merah putih hingga celana jins sobek-sobek, yang selalu menjadi sasaran celaan cara berpakaian, hujan seakan selalu mengejar dan terkondisikan bertepuk sebelah tangan. Tirai air tergelar, bersetubuh bumi dan langit, aku terjebak di antaranya, basah. I hate rain but she loves me.
Hujan itu pencuri, ia mencuri penglihatan, membuat semuanya putih dan buram. Dengan gemerisiknya ia mencuri suara dari telinga. Dinginnya mencuri rasa nyaman dan teman. Aroma hujan buyarkan dan satukan semua, bukan membuat sama, namun menggabungkan semuanya, hidung pun bingung. Seperti kelu yang dirasakan lidah.
Semua yang dipunya serasa tercuri dan tak berharga saat ia turun. Ia menculik dan memiliki diri seutuhnya setotalnya, membuat terkurung dalam sunyi yang dalam, tenang, sendirian. Hanya aku dan hujan. Tiada yang lain, semua kepemilikan menjadi buram, tiada apa-apa dan tiada siapa-siapa.
Sekarang hujan turun, dan sekarang kepemilikan tidak bisa tercuri. Karena tidak ada. Memang tiada apa-apa dan tiada siapa-siapa, namun bukan hujan pencurinya. Tiada, hadir mendahului hujan. Malam ini hujan seperti menemani, malam ini diri belajar mengenai kesetiaan. Hujan, yang selalu dibenci, ternyata selalu mencintai. Hadir dan menemani tanpa syarat, hanya turun dan hadir begitu saja.
Dalam ketiadaan, tak ada yang bisa dicuri hujan. Dalam ketiadaan, hanya ia yang menemani dengan kesungguhan. I hated rain but she loves me, always. I hate rain (no more) and she (still) loves me. Selalu ada saat pertama, untuk jatuh hati pada hujan.
Mempertahankan kepemilikan, memuja keinginan dan keberadaan, mengejar eksistensi dan mengabadikan kekuasaan, melahirkan kehilangan. Bukan karena hujan cemburu dan mencuri, namun karena hujan selalu datang dengan cinta yang tak mengingini-memiliki, bukan cinta minta melainkan cinta kasih. Memberi.
Pemberiannya menyadarkan bahwa semua manusia adalah sendirian pada dasarnya. Ketidak siapan dan keterbuaian dalam ketergantungan naluriah, melahirkan kehilangan. Rasa tak nyaman menghadapi kenyataan, bahwa di dunia hanya ada ‘aku’ dan ‘jalanku’. Saat semua hasrat tiada lagi, saat diri dalam kondisi hakiki, yaitu sendiri, hujan memberikan makna yang sesungguhnya. Karena dari ketiadaan lah hati terbuka, dan tirai air tergelar, bersetubuh lah jiwa dengan dunia.
Hey kamu, aku sadar, sebelum membencimu, aku memujamu. Aku yang berselingkuh. Dengan kelima inderaku, membiarkan jiwa terbuai dunia. Kepemilikan menjadi raja, kekuasaan menjadi arah tujuan, dan kesendirian menjadi pengingkaran. I hated rain but she loves me always. I’d loved her before hated her. Terlepasnya hasrat, membuka mata jiwa, akui diri bahwa sendiri. Memiliki hanya kejar eksistensi, tembok tinggi yang penuh ilusi. Sesuatu yang harus terlampaui untuk menjadi diri yang sejati.
Malam ini hujan, pertama kali merasai diri, karena tak terjebak memiliki-mengingini. Hujan menemani, dengan setia memeluk hangat dalam sejuknya. Tertawa-tawa riang dan berbincang dengan terbuka, membuka mata akan warna baru yang beraneka raya, mencumbu hingga lidah pegal dengan aroma tak terlupakan. Selalu ada saat pertama (secara sadar) untuk jatuh cinta dengan hujan (lagi).
Dalam diam yang hanya ada diri, tirai air membasuh semua kelelahan. Meringankan beban yang terpaku pada jiwa. Beban dari aliran seragam yang menguasai zaman, tempat semua orang berpijak terpisahkan dari semesta – seakan. Baik yang menyerah maupun yang melawan berpijak pada dasar yang sama.
Hakiki, bahwa diri selalu sendiri dengan jalan setapak hanya untuk sebuah pribadi. Jalan selangkah-habis selangkah-hilang, tak ada belakang dan depan, hanya pijakan sekarang. Kesejatian pun membutuhkan istirahat dalam kesendirian, dengan hujan sebagai teman.
Pelukan malam yang melegakan, menguatkan hadapi kesadaran. Hanya aku dan duniaku. Saat lelah diri terbaring lemah, bersandar pada peluk hujan yang selalu datang pada te(m)patnya yang pas. Tidak lebih tidak kurang, tak mencuri tak bisa dimiliki, hanya begitu saja. Seperti makna hadir diri, begitu saja.
Kesemuan yang hadir dari kesemuaan, kesendirian yang hadir dari keramaian, ketiadaan akibat kepemilikan, kehampaan adalah buah-buah keinginan. Hadir dengan penolakan sebagai dasar. Penolakan akan dasar kesejatian, perihal aku dan duniaku.
Ketiadaan membawa kepolosan dan kemurnian, tanpa ilusi mampu melihat diri. Ketiadaan terawali dengan langkah pertama yang esensial dan sensasional, melepas-relakan.
Saat pintu ketiadaan terbuka dan kaki melangkah menerima kesederhanaan yang jujur, hujan turun mengantarkan dengan ketulusan. Malam ini, tirainya membuka mata telinga rasa dan aroma. Menemani dengan mencucikan menyucikan diri dan kaki untuk melangkah. Membersihkan jalan yang kan terlewati, dan menemani saat lelah. Seperti malam yang terkatakan pencuri memori, seperti hujan yang yang dibilang juga pencuri, keduanya bersepakat memberi kesejenakan, yang isinya adalah keabadian.
Jiwa yang terlepas dan hati yang terbebas, logika dan raga seakan terdefinisi oleh kata-kata yang tak bisa dipahami. Malam ini hujan memberikan jalan, dan ketiadaan membuat diri melakoni penerimaan. Saat semua bersetubuh oleh tirainya yang lembut dan gelap selimut malam, satu langkah awal untuk melampaui terjadi. Menjadi diri yang mengungguli. Kesadaran akan hakiki yang adalah perihal diri. I hate rain (no more) and she (still) loves me (always).
Dengar napas dan rasakan aliran yang menghidupkan, denyutan yang menyebarkan, dan energi yang mempersatukan lewat keterpisahan. Kesejenakan yang penuh ilusi. Tentang diri adalah mengungguli. Hapuskan embun yang menghalangi cermin. Dalam kesederhanaan semua kompleksitas terjabarkan. Dalam ketiadaan, definisi terjadi begitu saja. Pengertian telah terlampaui, visi menemui wujud murni. Tentang bersatu dengan diri. Siapa yang mengajari? Hujan malam ini.

Friday, May 20, 2011

JEMARI BUMI


Karenarasaadalahsegalanya20052011
Berdua di bawah rimbunnya, sejuk di tengah panas dunia. Hangat di dalam tubuh yang teduh, hati terkoneksi lewat genggam jemari dan peluk nyaman. Sang lelaki memberi cincin bunga, perempuan tersenyum menggelayut manja. Dunia milik berdua, yang lain hanya ngontrak.

Penuh emosi dengan pisau di tangan. Mengukir kisah indah yang diharap kan abadi. Membuat nama di jemari bumi, yang tertulis di sini tak terhapuskan. Inisialku dan inisialmu. Biar bumi menjadi saksi, selama masih kaki berpijak, selalu kita akan bersama.
****

“Hey kamu, perempuan yang waktu itu. Gandengan dan pelukanmu, ciri khasmu. Manja dan tawa itu, hanya milikmu. Tatapan dalam itu, sedalam ukiran di tubuhku. Namun dimana lelakimu? Orang yang kini mendekap dan menciummu bukan lelaki yang mengukir kisah kalian di tubuhku.”
****

Tirai air terurai deras. Bersetubuh langit dan bumi, kita terjebak di antaranya. Basah. Berdua berpayung jemari bumi, pohon yang biasa dijadikan buku harian. Kisah mereka ada di sini. Selalu abadi di kulit yang mematri memori. Sang lelaki memberikan tanda. Melingkar emas di tangan sang puteri, dengan batu berkilau secemerlang niat sang pangeran.

“Would you marry me?”
“Yes, I do.”
Kiss kiss kiss hueeeeksssss.. – jijay alay *hanya komentar
****
“Kita mau kemana?”
“Ke tempat biasa.”
“Ngapain?”
“Mengabadikan hari ini. Seperti hari pertama kita menyatakan kebersamaan kita dalam pembelajaran, kini kita telah menyatakan kebersamaan kita dalam kehidupan.”

Sang lelaki berlari dengan jas pengantinnya. Ia tampak gagah. Sang perempuan dengan gaun pengantinnya, ia tampak kerepotan. Dengan pisau yang sama, ia mengukir nama dan tanggal di jemari bumi.
****

Berpuluh terik telah terlewati, berpuluh hujan tak bisa dihindari. Dimana dua insan kesukaanku, yang biasa mengadu dan bercerita di bawah naunganku. Yang kisahnya telah terpatri abadi di lapisan kulit masa mudaku. Yang terlindungi karena waktu mengabadikannya lewat keras kulitku, lapis melapisi.
****

“Aku yang salah. Diamku buat aku kehilangan. Ketidak jujuranku menghancurkan hidup kami. Aku tak menyangka. Semua kebohongan pasti akan terungkap. Seandainya aku bilang aku pernah berhubungan dengan laki-laki itu. Laki-laki lain yang mencuri perhatianku saat aku telah berjanji dengan lelakiku. Laki-laki yang ternyata hanya menginginkan kesucianku, yang membuatku kehilangan sang lelaki yang sungguh mencintaiku.” Perempuan itu tersungkur sambil berusaha memeluk pohon besar. Ia terisak dan tak peduli dengan banyak orang yang melihatnya.
****

“Daerah ini yang dulu sunyi, perbukitan yang tenang. Kini telah menjadi taman kompleks perumahan. Pohon itu sudah ada sejak lama. Lebih baik kita tidak menebangnya. Pohon itu menjadi maskot kawasan ini. Lihatlah pada badannya, banyak terukir nama-nama. Mungkin di sini dulu menjadi tempat memadu kasih para kekasih. Maka, konsep tamanlah yang kami pilih,” Seorang laki-laki berbicara dalam suatu presentasi. Lelaki yang memimpin rapat ini mengangguk dengan dingin.

Derap langkah kaki keluar ruang rapat. Sang laki-laki yang adalah arsitek kompleks perumahaan ini menghentikan langkahnya, saat suara lelaki yang menjadi perwakilan pemilik lahan, sang pemimpin rapat, memanggilnya.

“Ada apa, Pak?”
“Konsepmu mengenai taman itu bagus. Penjelasanmu tentang sejarah dan maskot itu pun menarik. Benar katamu, pohon itu menyimpan banyak sejarah.”
“Terimakasih, Pak.”
“Termasuk sejarahmu.”
“Maksud Bapak?”
“Sejarahmu dengan seorang perempuan yang dulu kau manfaatkan.”

Sang laki-laki tercekat. Tak bisa bicara. Hal yang selama ini ia sembunyikan terkuak. Sang perempuan kah pelakunya? Pasti. Tidak mungkin pohon itu yang berbicara.

“Sudah tak usah khawatir, kenangan pahit itu biarlah menjadi urusan pribadi kami. Lagipula kami sudah bercerai.” Lelaki itu bicara dengan tenang. “Besok, akan dilakukan penebangan pohon dan penghancuran taman. Lokasi yang kita bicarakan tadi, lebih menguntungkan untuk dibuat lokasi hiburan dan perbelanjaan. Karena posisinya tepat di tengah kompleks. Konsep perumahan ini adalah kegembiraan dan kenikmatan kan. Lokasi taman sudah ditentukan.”

“Tapi atasan saya meminta saya menyampaikan…”
“Sudahlah, atasanmu sudah menyetujui rancangan ini. Kamu ke sini karena sudah terlanjur janji pertemuan seminggu yang lalu. Dua hari lalu saya bertemu atasanmu. Konsep yang dipakai adalah yang tadi saya katakan. Tapi kedatangan kamu dan timmu tidak sia-sia, beberapa konsep akan kami terapkan di taman pada lokasi baru itu.”

“Boleh saya tau dimana lokasi taman yang baru itu Pak? Karena atasan saya tidak memberitahu.”
“Yaaa, saya senang kamu menanyakan itu. Atasanmu memang saya minta untuk tidak memberitahumu. Lokasi yang baru ada di pinggiran lokasi kompleks, minggu kemarin kami baru membeli lahan milik seorang ibu tua. Katanya anaknya bekerja di perusahaan perumahan sebagai arsitek. Dengan bujukan, akhirnya ibu itu mau melepaskan lahannya. Sekarang dia sepertinya sedang menikmati sore di rumah anaknya yang sangat berbakti. Tidak seperti pohon yang semakin tua semakin keras kokoh berdiri, manusia semakin tua semakin lunak, tak mampu berdiri.”

Sang laki-laki berteriak, “Kurang ajar, ternyata kamuu..! Kamu yang menggusur rumah ibuku, kamu yang bertindak dengan kekerasan. Kamu yang mematahkan kakinyaaaa… setaaaan! Bajingan! Arrrrrggghhh….!”

“Keamanan! Tolong diurus.”

Sang lelaki memunggungi laki-laki yang memaki. Tak sempat tersentuh sama sekali, karena dua pengguna seragam telah siaga sejak awalnya. Teriakan semakin hilang. Senyum tanda terbalaskan dendam semakin mengembang. Saatnya untuk menghapus memori, katanya dalam hati.

Manusia, kalian seperti pohon. Makin tua makin keras, tak peduli dan kaku. Lembutmu yang dulu, tak kurasa lagi. Walau kau rajah kulitku dengan pisau, namun indah dan bangga kurasakan. Karena rasa dalam memori dan asa dalam tindakan kau sertakan di pisau itu. Kini kau datang dengan gergaji mesin. Penuh amarah dan dendam kamu bilang, “Tebang, sekarang.” Keras hatimu hai lelaki, karena tak mampu membuang memori, kau hancurkan aku tempatmu mengukir asa abadi.

Pohon itu tumbang dengan keras. Saat ia membentur tanah, semua buih buih kenangan terhempas keluar dan pecah. Kenangan akan tawa, janji setia, kesalahan, kebohongan, tangis perempuan dan amarah lelakinya menyebar di udara. Hilang sudah satu jemari bumi. Satu lambang memori telah luruh. Namun, rasa yang ada di dalam hati selalu abadi. Jemari lain akan membangkitkan memori, yang dimana rasa terkandung di rahimnya. Seperti jemari bumi yang menyentuh relung hati, perlahan namun pasti.

Salam, jariii jariiiiii…

Piring si Piden ti Tas


Karenarasaadalahsegalanya-19052011


I’m a man on a word. Prinsip dan jati diri. Kami ini seperti ini, kami adalah itu. Prinsipku begini dan begitu. Nilaiku begini dan begitu. Seharusnya begini dan begitu. Kami? Kalian kalee.

Bagi saya, seorang laki-laki harus menjadi penjaga wanita dan menghormatinya. Wanita adalah makhluk terhormat dan saya pun lahir darinya. Bentuk penjagaan kepada perempuan itu bagaimana? Tanyaku. Saya beri contoh, saat wanita pulang malam dan tidak ada yang mengantarkan, saya sebagai pria seharusnya mengantarkannya. Dalam kondisi apapun? Tanyaku. Tentu saja tidak, selalu ada syarat kondisi, jawabnya. Kamu sendiri gimana? Ia bertanya padaku.

Aku sih tergantung mood, kalau lagi mau ya antar, kalau malas yaudah. Berarti kamu tidak punya prinsip mengenai wanita dong. Gak tau, aku hanya ikuti rasa. Seperti kata “perempuan” yang aku gunakan, lebih berasa daripada kata “wanita”. Untuk saat ini sih. Nanti, lihat nanti.


Manusia harus punya visi ke depan, katanya. Aku punya visi. Seusai lulus dari kampus ini, aku akan bekerja di perusahaan minyak, mendapatkan gaji besar, membeli rumah, mobil, dan menikah. Anakku harus sekolah di sekolah terbaik.

Mmm… kamu udah ada calon istri? Tanyaku. Belum, tapi saat aku jadi orang kaya, perempuan mudah lah. Kamu sendiri gimana? Tanyanya padaku. Aku jawab, yaa… ga tau, sekarang sih lagi begini aja. Visi ke depan yaaa.. secukup dan seperlunya saja. Sekarang bisa makan yaudah, pengen punya rumah ya sambil jalan, kalau tiba-tiba besok mati juga rumahku kan kuburan atau laut. Apa yang aku perlukan pasti akan aku dapatkan.
Preeet…

Kita harus mampu memanfaatkan situasi. Kalau ada suatu kondisi tertentu, maka kita harus bereaksi sedemikian sehingga kita bisa bertahan dan tetap menjaga eksistensi dan identitas kita. Maksudnya? Aku bingung. Kita berada di zaman modern, arus yang mengalir adalah karir. Hal ini perlu demi masa depan yang cerah. – sepertinya aku mengerti definisi masa depan cerah itu – Kita harus bisa bersaing dengan banyak orang. Kita harus memiliki keahlian, yang bisa menjual diri kita kepada perusahaan yang akan membayar mahal. Kita harus mapan.

Yang riilnya? Aku meminta contoh. Saat aku bertemu dengan seseorang, pastikan ia memiliki daya guna, fungsi dalam kehidupanku. Kalau ia berdaya guna, maka itulah pintu kesempatan emas kita – kenapa gak kesempatan berlian, lebih mahal kan – nah, kalau orang itu tidak memiliki daya guna, cukup menjadi relasi saja. Waktu itu cepat berlalu, kita harus memanfaatkannya dengan cepat, tepat dan bermanfaat. Kamu bagaimana? Ia bertanya.

Waktu sih hanya representasi dari salah satu sifat manusia. Refleksi mungkin malah. Manusia adalah waktu. Aku sih yang bisa aku lakuin sekarang dan yang aku mau ya aku lakukan. Itu pun akan bersinggungan dengan yang ‘perlu’ aku lakukan. Hehehe…


Kita harus punya identitas. Pandangan yang jelas,dan keyakinan akan kebenaran yang pasti. Diluar kebenaran itu, kesalahan dan dosa. Yang harus kita musnahkan dalam hidup kita. Ia berkata dengan penuh api. Sayang aku tidak membawa wajan dan telur, aku sedang ingin makan telur dadar. Aku berkata, bukankah itu yang sering menjadi sumber konflik dalam bermasyarakat? Ia bilang, benar. Karena kebenaran tiap orang berbeda-beda dan tiap orang mempertahankan kebenarannnya – termasuk meluaskan kekuasaan kebenaran itu – ucapku dalam hati.

Kalau kita tidak memegang salah satu keyakinan itu bagaimana? Tanyaku. Berarti kamu bukan manusia, jawabnya. Kamu tidak punya identitas. Apa yang membedakan kamu dengan dia, aku, dan yang lain? Kita punya identitas untuk membedakan satu sama lain. Jati diri yang jelas dan tegas, eksistensi yang abadi. Kamu sendiri gimana? Tanyanya.

Aku sih berpegang pada diriku. Kebenaran itu adalah apa yang aku bilang benar, dan punya periode. Saat satu selesai, yang satu mulai. Hanya mengalir mengikuti angin saja. Mungkin semua yang ada di dunia ini relatif. Subjektivitas itu inti, objektivitas itu ilusi, kolektivitas lah kenyataan. Ia mengambil garpu, hendak menusukku. Aku tangkis dengan kepalaku. Kuat. Tentu. Aku pakai helm SNI.


Yah, begitulah. Katanya sambil menyeruput kopi yang aneh ini. Tapi enak. Ada alkohol di dalamnya. Iya, kataku, enak. Bukan kopinya yang gue maksud, perempuan itu berkata sambil menghembuskan asap rokok. Manusia menjadi manusia karena manusia bertemu manusia lainnya. Menurutmu, apa dasar dari manusia? Kopi alkohol, jawabku.

Ia diam dan memandangku. Kamu bisa mati kalau tiap hari minum seperti ini. Bukan mati karena minuman, tapi mati kena amukan orang yang sedang bicara namun tidak serius kau tanggapi. Katanya sinis. Hehe.. iya, maap Bu. Menurutku, dasar dari manusia adalah hasrat untuk berkuasa.

Lah, kamu masih ingat pertanyaannya toh? Aku aja udah lupa. Aku hanya ingat kamu gak tanggapi serius pertanyaanku. Sekarang giliran aku yang kesal -____-“ fak!

Oke serius, katanya. Yak, hasrat untuk berkuasa. Kali ini aku sependapat denganmu. Kita mencari jati diri, karena dalam suatu komunitas kita bertemu dengan manusia lain. Secara naluriah, manusia selalu berkomunitas. Kita ingin berbeda dan kita ingin memiliki kuasa. Yang tentu saja tidak berbagi kuasa, kalau bisa malah menguasai semuanya. Maka itulah yang melahirkan prinsip, pandangan, dan jati diri. Eksistensi diri harus bisa setangguh mungkin.

Aku meletakan cangkir kopi, karena pegal dari tadi aku pegang. Aku suka baunya. Prinsip dan identitas itu dibuat manusia sebagai awalan. seperti aturan dan syarat suatu kondisi. Seperti fungsi pemograman. Lo ngerti pemograman? Kata perempuan di depanku. Gak, hanya dulu pernah ikut kelas excel, katanya fungsi “if” itu mirip dengan pemrograman. Mirip dengan prinsip manusia. Jika begini maka begitu. Diluar itu, invalid function. Bahasa gaulnya ‘dosa’. Halah..

Berarti manusia seperti robot atau robot seperti manusia? Robot lah yang seperti manusia. Banyaknya variabel dan persamaan matematis dalam seorang manusia tentu memiliki kompleksitas yang jauh di atas ilmu matematika saat ini. Ia bicara panjang dan aku memilih untuk tidak mendengarkan. Penjelasan ini bikin mataku keluar dan meluncur ke dalam cangkir kopi rasanya. Ia merasa tidak diacuhkan dan diam. Yes!
Ah, ngomong ama lo bikin cape, katanya sambil menyeruput kopi itu. Udah dingin, alkoholnya makin kerasa ya. Ujarku becanda. Ia diam. Haha.. ngambek. Gak ngambek, hanya bete, ngomong ma lo gak semua mau didengerin.

Aku mendengarkan yang mau aku dengarkan, aku melihat yang mau aku lihat. Bukan kah semua manusia seperti itu. Bedanya, yang aku lihat dan yang kamu lihat dan yang mereka lihat, seringkali tidak sama. Terus, saat aku berbeda dalam arus yang tak sama, aku dianggap tidak ada. Dalam arti identitasku tidak ditemukan. Jadi perbedaan yang mereka maksud adalah masih dalam satu arus yang sama dan terdefinisi oleh ilmu yang saat ini menjadi ilmu pasti, relatif mutlak di periode ini. Di luar itu, sesuatu yang di luar arus, adalah yang tak terdefinisi. Maka bukan menjadi berbeda, melainkan tidak ada. Dalam arti singkatnya, tiada masa depan.

Seperti fungsi pemrograman. “Sama” adalah suatu kondisi dimana semua syarat adalah sama, indentik dan persis. “Berbeda” adalah kondisi yang berbeda dalam bentuk dan penampilan (fenotipe berbeda), namun masih dalam satu lingkup kondisi global (genotipe sama). “Tidak ada” adalah yang di luar itu. Ia menyeruput kopi, menghisap rokok dan menghembuskannya dengan nikmat ke arah bulan. – sial, aku dibalas –

Monday, May 16, 2011

Dari Balik Bayangan

Matanya menatap dua orang yang sedang berbincang. Katanya potensi negri ini ditutup-tutupi dari mata rakyatnya. Seiring dengan kepentingan politis, dibuka perlahan-lahan. Mata luar negri yang tajam mungkin telah lama memandang. Mungkin juga sebelum kita tahu potensi negri ini, mereka telah menikmatinya. Tentu saja dengan cipratan ke orang-orang negri ini di posisi strategis. Seperti pribumi yang berpihak pada kompeni.
Namun dia tak ambil pusing. Ia menyendok nasi gorengnya dengan semangat, karena lapar sangat perutnya dan asam sudah mulutnya. Dua orang yang berbincang tadi masih ada. Terlintas dalam pikiran tentang kata pribumi dan kompeni.
Sekarang ini, kata “pribumi” telah menjadi alat pemanfaatan oleh beberapa orang untuk menggerakan beberapa kelompok. Pribumi juga mungkin telah bergeser definisi. Dari penduduk asli yang telah mendiami suatu daerah tertentu dalam jangka waktu yang lama, menjadi penduduk kebanyakan yang sama taraf ekonomi dan kesamaan pakaian. Terutama kesamaan taraf ekonomi, sama-sama rendah.
Yang berjumlah banyak, ekonomi terjepit, mirip secara penampilan, adalah pribumi. Yang berjumlah sedikit, kaya, berbeda secara fisik (lebih bersih), gaya hidup kelas premium, itu bukan pribumi, kompeni mungkin istilahnya. Haaaa.. ia pun memukulkan sendok nasi goreng ke dahinya. Terlalu banyak berpikir. Hentikan.
“Kenapa, Mas?” Tanya salah satu dari dua orang yang sedang mengobrol ini, “Koq mukul kepala pakai sendok?”
“Nyamuk. Jakarta panas. Tanggung mau lepas sendok, sikat aja sekalian.”
“Emangnya asli darimana, Mas?”
“Saya dari Bandung.” Sambil meminum the tawar pekat.
“Ooh… kerja di sini ya?”
“Yahh gitu lah, bantu bantu teman aja. Mungkin dua sampe tiga bulan udah gitu pulang lagi. Beli nasi goreng juga mas? Makan sini?”
“Iya, tapi dibungkus, makan di rumah aja.”
“Daerah sini ya rumahnya, soalnya jalan kaki aja.”
“Iya. Hehe.. eh udah jadi nih mas, mari kami duluan.”
“Oiya, silakah.” Senyum palsu, basa basi. Setidaknya basa basi nasi goreng dibungkus tadi menghentikan pertanyaan ke ranah pribadi, pikirnya.
Ia merogoh kantong celananya, mengeluarkan uang delapan ribu, dan membayar makan malam yang sekaligus adalah makan siangnya. Kembali ia melangkah ke arah jalan besar. Malam ini kira-kira pukul sembilan. Ramainya terang malam sangat jauh dari keinginannya, untuk menikmati kesunyian. Langkah kaki terus berjalan, melawan arus sendirian, di trotoar sisi jalan penuh lubang.
Apa aku pulang saja? Batinnya. Keberadaannya di sini karena kejenuhan. Bimbang, gamang, tak melihat tujuan. Untuk apa aku di sini. Kenapa aku harus menjalani ini. Semuanya tampak sama searah. Apa tak ada sisi yang berjalan dengan arus yang bukan seperti ini? Semua orang turun ke lapangan untuk berlomba memenangkan pertandingan. Pialanya adalah ‘masa depan’. Seperti yang biasa digambarkan secara jelas, ‘masa depan’ adalah suatu kondisi ‘sedemikian’. Orang sepertiku mungkin akan dikatakan tidak memiliki ‘masa depan’.
Tiba-tiba, lampu terang menyorotnya dengan tajam. Membuatnya buta. Diangkatnya tangan menghalangi tusukan cahaya, sambil melompat ke sisi jalan mencari bayangan. Mobil itu kemudian berhenti dan keluarlah seorang perempuan setengah baya.
“Kamu di sini rupanya. Pulanglah.”
Ia menyesuaikan diri dengan benderang yang dulu terlalu sering dilihatnya. Beberapa bulan ini ia berada dalam gelap bayangan. Mendapatkan cahaya seketika, terkejutlah ia. “Pulang kemana?” Tanyanya tanpa arah.
“Rumah lah. Kamu udah empat bulan pergi ga ada kabar. Kamu tinggal dimana, kerjamu apa, makanmu gimana, sekarang kamu kayak gembel di ibukota.”
“Kamu bertanya atau marah?”
“Keduanya! Bodoh! Kenapa kamu pergi, hidupmu sudah mapan. Karirmu sedang menanjak. Kamu malah keluar kerjaan, sekarang menggelandang. Kamu lulusan universitas ternama. Pekerjaanmu yang kemarin menghasilkan banyak uang. Kamu tinggal melanjutkan maka kamu akan punya masa depan. Sekarang, kamu malah seperti ini. Kamu membuat semua orang sedih! Stress. Kamu menyiksa banyak orang.”
Ia terdiam, dipandangi mobil itu yang tadi menusuknya dengan cahaya. Ia yang membelinya enam bulan lalu. Mobil dengan penggerak empat roda.
“Pulanglah. Kelakuanmu membuat semua orang terluka. Lelah memikirkanmu, hidupmu, masa depanmu. Kamu masih muda. Masih banyak harapan.”
Ia bergeming. Kenapa hidupku menjadi beban orang lain. Kenapa saat aku menginginkan jalan yang berbeda menjadikan diriku seorang pendosa. Kenapa kalau aku muda dan punya harapan, berarti menjadi gantungan harapan semua yang mengenalku. Kenapa saat aku tak seperti ‘seharusnya’, seperti alur yang diciptakan dari budaya masa kini – budaya yang adalah ciptaan manusia seperti aku – aku menjadi hina dan beban pikiran orang lain. Sepertinya aku adalah suatu benda yang dibentuk mereka, kamu, dia, kalian agar menjadi sesuatu yang ‘normal’ dan ‘seharusnya’ seturut alur arus budaya umum, kebanyakan. Aku adalah penyambung harapan semua, dan harus membuang harapan dan bentukan diriku sendiri. Padahal aku adalah aku, bukan aku adalah refleksimu, dia, mereka, kalian.
“Hey, ayolah kita pulang. Banyak yang menunggumu, banyak yang berharap padamu. Kamu punya masa depan.”
Ia bergerak, mendekati mobil itu, masuk dan duduk dengan diam. Menyerah. Mungkin selamanya, mungkin sementara, mungkin hanya lelah, mungkin benar menyerah. Yang pasti, saat ini ia merasa terdesak. Mata yang terpejam, mulut yang terkatup, telinga yang tertutup. Pikirannya melayang menembus semua keinginan, kebutuhan, harapan, beban, warisan, tuntutan, keharusan, kenormalan, kebenaran, kebiasaan, kehidupan, kesemuanya yang menjenuhkan.