Saturday, June 28, 2014

menari api

Kesayangan kekasihan kebersamaan kemanusiaan.

Sepertinya lupa, bukankah semua sudah diketahui. Sepertinya luka, dengan segala pengertian rasa itu masih menyakiti.

Mari menari di atas api, bukan api yang murni melainkan bara yang menyala. Rasakan duka pada telapaknya, rasakan pilu pada tiap langkahnya. Seperti itu melaluinya, yang tidak bisa tidak.

Melihat hujan yang biasanya menenangkan jadi tak berdaya. Merasakan kopi yang getirnya menyenangkan jadi tak berarti. Merasakan sendiri yang biasanya membebaskan jadi begitu mengekang. Ah, jatuh rasa di luar kendali memang namun bukankah setelahnya yang memegang peranan.

Peran apa yang dipegang, reaksi apa yang lahir dari keniscayaan. Seringkali jatuh dalam pengulangan, maka keterbuangan pun kembali berulang. Pemaafan diuji menjadi sebuah teori yang indah atau laku perih yang mengiris per garis demi garis.

Pengetahuan hanyalah pengetahuan, seperti perasaan hanya lah perasaan. Tak berarti tanpa ditunjukkan, bukankah berbagi yang memberi arti, bukan makan kekenyangan hingga mati sendiri.

Seringkali kita menjauh dengan tak berbagi arti, berharap dengan membuang harapan, menanti tanpa diketahui, menginginkan ketiada keinginan, merindu bulan tapi tak berani bernyanyi seperti serigala wolverine, lalu dengan lantang menuduh mereka yang meninggalkan.

Mari menari di atas api, rasanya memang masokis sekali. Berdalih bebas namun menginini kesemuaan, berdalih mengerti namun tak mengaplikasi, berdalih kasih namun tak kasih, munafik dan naif itu setipis lingeri seperti berarti dan tidak itu hanya sebenang merah kesepakatan hati.

Saat relativitas adalah mutlak, penentuan batas adalah kebebasan, takkan hilang dahaga seorang manusia kehausan dengan sedanau air terindah di muka bumi, ia akan terus mencari hingga segelas air di tangan.

Setitik api sangat berarti, karena apa lain lah yang lebih lembut daripada air. Segudang bara api malah biasa saja karena jelas panas membakar tiada menenangkan.

Mari menari api, bukan menginjak bara api, hanya memeluknya dan dengan ketenangan, karena apalah yang lebih lembut daripada air.

Monday, June 2, 2014

...

Apa yang tersisa selain kecewa dari janji yang dilupai.
Apa yang tersisa dari raga yang telah dilumat habisi namun masih berdiri.
Apa yang terisa dari memori yang penuhi ruang hingga sesak penuh perbandingan.
Apa yang tersisa dari pecahan cerita yang terulang diulang dan berulang mengulang.

Tak mampu lepaskan namun tak mau terlibat ikatan.
Tak mampu pastikan namun tak rela membebaskan.
Tak mampu menerima namun tak mampu kehilangan.

Ingin tapi tak bisa karena tak terbiasa dengan rasa dilupakan kemudian diingat kembali.
Berarti akan ada saat nanti dilupakan kembali, pengulangan pengulangan.

Kecewa dalam memori, runtuh dalam ekspektasi, terluka dalam rasio, terjebak dengan rasa yang membabi-tuli kini, karena membabi-buta itu saat semula.