Semakin banyak penjelasan, semakin banyak kesalah pahaman. Apa yang ada
dalam pikiranku, pemikiranku, terhalang oleh bahasa. Walaupun bahasa punya
rasa, rasa bahasa selalu tak sempurna ceritakan rasa dalam logikaku kepada yang
bukan aku. Tak mungkin dia menjadi aku, karena aku hanya satu dan aku adalah
diriku. Namun diriku belum tentu aku. Saat diriku belum menjadi aku, itulah
ketidak sadaran.
Perjuangan mencapai kesadaran tentu saja mengalami banyak halangan.
Kemalasan, kenyamanan, harapan dan tuntutan. Manusia adalah penghalang bagi
manusia lain, secara natural. Kesadaran hanya bisa didapatkan dengan perlawanan
aku terhadap diriku. Penundukan aku terhadap diriku. Namun, kegagalan membuat
aku berusaha menaklukan dan menundukkan kamu.
Ketidak siapan menerima kegagalan membuat harapan terwariskan. Ketidak
siapan menerima keberhasilan membuat diri merasa tuhan. Aku lupa akan misi
mengendalikan diriku. Diriku lahir dalam keterpaksaan, pilihan yang lahir dari
tiada pilihan. Aku tidak pernah memilih dilahirkan. Aku hanya hadir dalam
diriku dan sepanjang perjalanan hidupku tidak pernah lepas dari pilihan. Tidak
ada pilihan lain, aku harus memilih.
Munafik, semua manusia munafik. Terutama aku. Aku tidak sungguh
mengatakan apa yang ingin aku katakan, melakukan apa yang ingin aku lakukan.
Diriku yang terkekang dengan kemanusiaan dan ikatan-ikatan, semakin menjauhkan
diriku dari aku, akar kemunafikan. Munafik adalah naluri almiah manusia.
Kemunafikan terbesar adalah berlaku tidak munafik, karena sesungguhnya dengan
demikian aku munafik karena tidak munafik.
Aku berteriak-teriak bahwa aku tidak pernah meminta dilahirkan, aku
tidak meminta kehidupan, aku tidak meminta kemanusiaan. Saat dunia menawarkan
kepastian masa depan aku terdiam dalam buai kenyamanan. Diriku yang mengambil
alih aku, buyar semua hakikat sang aku. Diriku yang merupakan manifestasi aku
di dunia raga ini semakin terikat, terbuai, terhanyut jauh meninggalkan aku.
Lalu, siapa aku?
Aku hanya ingin diakui, aku hanya ingin hadir dalam eksistensi yang
penuh. Aku ingin menguasai diriku dan menempati posisi dimana kalian memandang
aku. Mengakui dan menyanjungku. Meninggikan aku. Aku pun lalu bertemu dengan
aku-aku yang lain. Diriku bertemu dengan diriku-diriku yang lain. Sampai aku
ingin menguasai diriku dan dirimu. Aku-aku yang berhasrat menguasai lebih dari
diriku-diriku pun bertemu.
Kesamaan melahirkan persaingan. Aku pun kembali terhanyut dalam
perjuangan dan melupakan tujuan. Aku dan diriku terpisah entah bagaimana dan
kemana. Lupa diri, tak sadar diri, aku tiada lagi. Hanya diriku yang mengikuti
arus besar kemunafikan. Tak tahu lagi siapa aku, apa inginku, tujuanku. Awalnya
adalah penentangan dan pencarian, akhirnya adalah menyerah namun tak berhenti.
Tak juga mencari, hanya bergerak seperti yang lain. Menjadi kami. Kita.
Sama-sama. Jamak. Normal, lurus, dan tergiring.
Seperti harapan melahirkan kekecewaan, penjelasan melahirkan kesalah
pahaman. Yang tak menganalisa tak akan tersiksa. Untuk apa kau mengerti aku,
pahami dirimu terlebih dahulu baru kau hadapi aku. Manusia membutuhkan idola
untuk mencari tujuan, dan saat idolanya melakukan kesalahan, manusia itu
menemukan tujuannya.
21 November 2011