Tuesday, December 29, 2015

Admit Ignorance

Memang susah untuk menjadi sensitif dengan kondisi kalau seumur hidup sudah otomatis abai dan bebal.

Lalu gimana?
Ngaku aja abai dan bebal.

Bukankah lebih mengalir dan alami untuk mengakui pengabaian yang dilakukan oleh diri dan kebebalan yang menyertainya.

Daripada sok peduli dan bijaksana malahan tampak drama di tataran perilaku saja.

Setelah itu?
Jadi sadar, lalu memilih. Mana yang diabaikan mana yang dibebalkan, mana yang tidak.



Gak ada bedanya ah. Tetap melakukan hal yang sama.
Hmm... tipis sih. Bedanya di kesadaran saja. Dasman dan dassein pun sama-sama belanja di supermarket.

Keterjebakan.
Persis! Itulah dasar konsep kebebasan.

Knowing means know nothing, while admitting ignorance brings enlightenment.

Monday, December 21, 2015

Memonyetkan manusia

Tidak ada jawaban yang salah, hanya ada pertanyaan bodoh. Tentunya dalam konteks tanya jawab pada satu objek bahasan. Di luar itu, tidak ada tanya jawab hanya lempar persepsi tanpa koneksi.

Dalam alurnya, tidak pernah ada pertanyaan dan jawaban. Hanya ada ekspektasi dan tuntutan, hasil peran yang beriman definisi.

Lagipula, jawaban dari pertanyaan itu adalah pertanyaan. Kalau jawabannya tuntutan, jelaslah subjek penjawab bagian dari #parajamak #korbandefinisi yang tidak mampu namun penuh mau.

Ini terlalu menghakimi? Tak apalah, manusia menilai untuk mengerti dan menghakimi saat gagal memahami. Bagi yang ingin menjadi manusia, bukan monyet penggenap definisi.

Lagipula, kalau mau berpikir. Eh, kalau mampu berpikir. Apa beda menilai dengan menghakimi? Kalau mau bertanya dengan tidak bodoh, "Setipis apa beda menilai dengan menghakimi?"

Bisa jadi yang menghakimi adalah yang bilang "kau terlalu menghakimi" atau ini pun sekadar penilaian. Bisa jadi juga pada awalnya menilai, namun gagal paham jadi menghakimi. Ya, menghakimi bahwa orang lain menghakimi, pun suatu penghakiman bukan.

Tidak bisa tidak. Sok bijak lah, maka menjadi sekadar manusia. Menghakimi lah, maka melampaui kemanusiaan. Asal mampu melampaui penghakiman yang dilakukannya sendiri terlebih dahulu. Kalau tidak, ya #samasamasaja.

Saturday, December 19, 2015

Dangkal dan sederhana

Apa yang ditampilkan, itulah yang tampil adanya. Sekaligus apa inti dari yang tidak ditampilkan bukan ada pada yang tampil itu saja.

Seringkali, melihat dangkal pada yang sederhana malahan menampilkan kedangkalan karena tidak mampu melihat yang sederhana.

Kebalikannya, melihat sederhana pada yang dangkal malahan menampilkan kesederhanaan karena tidak mampu mengakui kedangkalan.

Melihat publikasi foto, tampak dangkal.
Melihat pernyataan pendapat, tampak sederhana.
Melihat pengambilan keputusan, tampak kosong.

Bagaimana kalau mencoba menutup mata, membuka telinga. Dangkal dan sederhana itu kosong kah? Atau, seperti sebentuk strategi untuk mempengaruhi.

Bukankah kita melihat yang ingin dilihat dan mendengar yang ingin didengar. Nah, makanya setelah melihat dan mendengar barulang mengendus. Karena aroma, apa adanya.

Friday, December 4, 2015

Sayang, Rasa.

Tugas kata memang untuk menguak memori, maka dewasa adalah saat kata tak meledakkan rasa. Bukankah manusia hanya gumpalan pekat memori, yang tersimpan dalam kotak-kotak otak. Bahkan otot-otot tubuh pun merupakan kotak penyimpanan memori, lihat bagaimana reaksinya saat punggungmu dibelai hangat.

Lalu apa itu rasa, kalau bukan nama dari kotaknya. Ah.. sayang, bukankah sudah dari dua ribu sembilan kita berbincang tentang ini, lupa kah. Raga hanyalah ruang, tempat meletakkan kotak rasa yang menyimpan memori. Sekaligus menyampaikannya kepada dunia.

Bukankah segala gerakan kita hanya pengulangan, hasil reaksi dari kata. Karena pada awalnya adalah kata, dan kata itu bersama-sama dengan dia. Dia juga lah kata itu. Dengarkanlah bagaimana kata menguak rasa, dibalik rasa ada memori, dan kita manusia pada dasarnya hanya gumpalan padatnya.

Gejolak memori menggerakkan raga, bukankah semua aksi kita hanya bentuk repetisi. Rangkaian yang diketahui bertemu ekspektasi bentukan baik dari lingkungan atau didikan. Berharap perubahan tapi pada dasarnya hanya melakukan pengulangan. Tidak bisa tidak, kita hidup hanya melakukan yang kita ketahui saja.

Kemudian, kita menemukan alasan. Karena apalah beda manusia dengan monyet kalau bukan pada akhirnya si manusia mampu melahirkan alasan. Alasan itu yang paling sering dikatakan adalah rasa. Raga diberi alasan rasa. Hasrat diberi alasan rasa. Ketagihan diberi alasan rasa.

Sayang, dewasa itu saat kata tak menyulut rasa. |2009|

Saturday, November 21, 2015

Kadar Kemonyetan




Manusia itu ternyata tidak berkemanusiaan, tapi berkemonyetan.

Kadarnya salah satunya ditentukan dari perilaku berkendaraannya.

Lawan arus, langgar rambu dan marka, curi-curi celah di lampu merah, naik trotoar, berhenti di marka penyeberangan, dan apapun lah itu yang intinya adalah mengambil kesempatan untuk menindas hak publik.

Makin sering hal tersebut dilakukan berarti kadar kemonyetannya tinggi.

Apa beda manusia dan monyet selain manusia bisa membuat alasan dan alasan.

Sisanya sama-sama memanfaatkan kesempatan untuk mengambil lebih.

Ingin selalu untung tapi tak mampu menghitung, saat lebih didapat maka ada kekurangan yang terjadi.

Semacam lintasan lebih bagi sepeda motor di trotoar adalah kekurangan lintasan pejalan kaki.

Semacam menindas karena ditindas, tidak mampu melawan jadinya mencari lawan tidak sepadan.

Coba turunkan pengemudi mobil yang seenaknya memotong jalur melawan arah, lihatlah monyet tanpa bulu yang berbusa-busa membuat alasan.

Tuesday, November 17, 2015

Untung Rugi

Kalau ada keuntungan, tandanya ada kerugian. Bisa di lingkup yang sama, bisa jadi di lingkup yang berbeda.

Kalau ada kemahalan, tandanya ada kemurahan. Bisa di lingkup yang sama, bisa jadi di lingkup yang berbeda.

Kalau ada tertipu, tandanya ada pembelajaran. Bisa di lingkup yang sama, bisa jadi di lingkup yang berbeda.

Kalau teridentifikasi ketidak adilan, tandanya ada keadilan. Karena semua gerak hanya aliran menuju keseimbangan.

Semua menjadi bernama karena diketahui dan diperbandingkan. Mahal murah, menang kalah, berat ringan, dan untung rugi.

Bisa di lingkup yang sama, bisa jadi di lingkup yang berbeda. Bukankah semuanya satu rangkaian satu dunia satu manusia.

Sunday, November 15, 2015

Berbuah Tuntutan

Berbusa-busa mulut menjelaskan dari berbagai dimensi dan fenomena saat ini, ternyata tidak sampai di hati. Kalau perasaan itu ilusi pikiran, maka tidak kena di hati berarti tidak masuk di pikiran. Mungkin yang dilihat dan dipikirkan hanya itu-itu saja.

Bukan berarti itu-itu saja artinya dangkal, malahan bisa jadi sangat dalam. Terlalu dalam sampai malas untuk meluaskan pandangan, batal meluaskan pikiran, gagal melapangkan perasaan. Bukan berarti perasaan lapang itu sensitif dan empati berlebihan, malahan bisa jadi sangat datar.

Kalau demikian bagaimana bisa mengetahui mana yang dalam, dangkal, luas, atau sempit.
Untuk apa mengetahui itu?

Untuk berkomunikasi dan berkolaborasi lah, gimana <em>sih</em>.
Kalau untuk demikian, ya tidak perlu mengetahui itu.

Maksud?!
Komunikasi dan kolaborasi hadir dari mau. Yang dalam dangkal luas atau sempit. Kalau mau ya mau, kalau ga mau ya ga mau.

Tapi banyak yang bilang mau tapi ternyata gak mampu, itu yang jadi dasar perlu mengetahui itu.
Oh.. itu. Yaa.. Itu sih, tidak mau.

Tapi mereka bilang mau dan itu persoalannya.
Persoalannya mungkin pada ketidak mau tahuan tentang "mau" dan keseharusnyaan berbuah tuntutan.

Siapa?
Kamu.

Monday, November 9, 2015

Kerumunan Gerombolan

Mudah untuk mengendalikan kerumunan manusia, apalagi yang warnanya sama. Semua dimulai dengan penyamaan saja, warna itu dalam arti sudut pandang dan pola pikir. Seunik-uniknya manusia sekarang, pola pikirnya begitu saja, lihatlah yang diamini sebagai sistem dan arus utama saat ini. Kalau bukan pengakuan akan sistem arus utama, untuk apa menolak dengan membuat dan menjalani arus sampingan kemudian membangga-banggakan perlawanannya. Bukankah dengan membicarakannya sebagai berbagi informasi itu saja sudah suatu kebanggaan.

Mudah untuk mengendalikan kerumunan manusia, dengan menggunakan kepercayaannya akan sEBarang idealisme dalam bentuk simbol yang dikagumi dan emosi dalam bentuk kemarahannnya akan suatu kondisi tidak ideal. Simbol menjadi sebuah bentuk yang mewakili kekuatan yang mampu membawa perubahan, karena diri tidak mampu walaupun merasa sangat mau untuk membuat perubahan dalam kehidupannya. Maka kagumi saja dan percaya buta bahkan sampai membela dengan jiwa dan raga.

Kemarahan menjadi sebuah bentuk pelampiasan yang menemukan alasan. Dengan menggunakan kata “seharusnya” difasilitasi oleh sebuah simbol yang diyakini tadi, maka alasan didapatkan saat simbol tidak diperlakukan seperti seharusnya. Kerumunan manusia yang sama setelah melalui proses penyamaan beberapa dekade belakang, melihat simbol yang sama, merasakan tekanan yang sama, tersulut api karena satu garis berbeda. Marah dan berkoar-koar alasan lah mereka, menjadi gerombolan yang merasa mengendalikan kondisi. Padahal, dikendalikan kondisi.

Setelah amarah mereda dan setelah kembali ke rumah, simbol memang masih melekat walau tidak kentara tampak. Berbicaralah dengan luas dan bebas, dengan penuh ketenangan jiwa dan lepas dari kontaminasi keseharian. Menemukan betapa mengertinya manusia ini secara personal, bukan secara kerumunan. Betapa luas pengetahuannya dan dalam pengertiannya, begitu inginnya jiwa mendapatkan pemahaman. Tapi, saat kembali ke dalam keseharian dan menjadi kerumunan dengan mudahnya dikendalikan menjadi gerombolan yang tidak sadar apapun selain dua hal ini. Simbol yang perlu dipaksakan dengan kemarahan.

Kemudian berjalan kemudian berulang, semakin lama semakin tumpul. Namun demi keseimbangan, selalu ada jalan untuk menyeimbangkan. Tumpul dalam pemikiran menjadi tajam dalam kemarahan. Tumpul dalam pemahaman menjadi tajam dalam pemaksaan. Tumpul dalam keberanian menjadi tajam dalam keberAHian. Sepertinya, memang terjebak dalam kerumunan terkondisi hingga hanya simbol dan bayangan saja yang mampu dimiliki. Tipis kemampuan mengenal diri, gesekan pada bayangan tadi membakar kerumunan menjadi gerombolan yang hati dan otaknya ketinggalan.

Gumpalan mulut, kaki, dan tangan berkeliaran. Tanpa pemikiran tanpa perasaan . Tapi bisa merasa mengendalikan kondisi dengan segala argumentasinya. Apa namanya itu kalau bukan ditunggangi dan diberi kekang di pipi kanan kiri agar lurus ikuti kendali bajingan. Bajingan itu katanya adalah istilah masa dahulu untuk seseorang yang mengendalikan lembu. Kalau memang itu istilahnya, maka sesuailah asosiasi ini menemukan pola kemanusiaan, kerumunan, dan kegerombolan.

Mudah memang mengendalikan, cukup berikan ilusi perasaan mengendalikan pada yang dikendalikan maka terkendalikan itu alur yang berjalan saja. Peran pun selalu terisi, lembu dan bajingan.

Friday, November 6, 2015

Tak Berbekas

Makin hari, makin bulan, makin tahun kita menemukan bahwa masyarakat kita semakin dewasa. Yang dulu masyarakat pemberang dan adu bicara sampai bertarung di lapangan bola, kini mulai tenang dan tidak menanggapi provokasi.

Yang dulu mudah tersulut emosi dan meladeni tantangan yang jelas di luar kemampuan, kini mulai bisa menahan diri dan mengukur kesanggupan.

Yang dulu terseret ikut-ikutan mimpi orang, kini mulai sederhana dan membuat mimpi semampu diri.

Tapi, bagaimana kalau bukan masyarakat dan mentalnya yang berkembang. Melainkan, satu generasi ini saja yang pindah ruang dan peran.

Bukankah kalau mau membuka mata, hal yang dikatakan dahulu terjadi, sekarang pun sedang terjadi. Oleh generasi lain yang datang setelah kita.

Bukankah kalau mau membuka mata, hal yang dikatakan kini terjadi, dahulu pun sedang terjadi. Oleh generasi lain yang datang sebelum kita.

Kita saja yang pindah ruangan dan melihat ruangan lain yang pernah dialami. Kemudian mengerdilkannya dalam suatu definisi bertajuk waktu.

Nanti pun kita akan mengomentari ruangan yang sekarang sedang kita tempati ini. Mungkin dengan berkata, masyarakat kini semakin tua. Yang dulu berapi-api mengejar ambisi, kini sadar kalau itu hanyalah suatu cara menanti mati.

Ah, kita berbicara masyarakat. Padahal kita berbicara gerombolan segenerasi. Kita berbicara kedewasaan mental masyarakat, padahal itu hanya perkembangan mental pribadi.

Lihat saja apa adanya, di saat ada yang sudah bergawai canggih dan komunikasi dalam jaringan. Bersamaan juga dengan ada yang menyampaikan pesan dengan berjalan kaki melewati puluhan kilometer perkerasan tanah.

Disaat yang bersamaan pun hadir pengertian bahwa media telah membohongi publik. Sekaligus, publik pun banyak yang mengimani kebohongan itu.

Lebih mengerucut lagi, di dalam seorang manusia terpelajar, terdidik, kaya, mapan dan berkuasa saat ini. Pada saat yang sama manusia itu pun masih melakukan ketololan 'mencuri mangga mentah tetangga' saat dulu, kini dalam bentuk korupsi.

Rasanya spesies ini hanya berjalan dengan pandangan sempit. Menjalani banyak ruang dalam periode perjalanannya. Kemudian menganggap pengalaman itu akumulasi.

Semakin hari semakin merasa luas, mendefinisi diri semakin bijaksana. Lalu mulai merasa besar. Bahkan dengan laku rendah hati dan tenang itu pun, merasa dominan sombong dan bijaksana bahkan meremehkan yang datang setelahnya.

Spesies ini memang hanya berjalan dengan pandangan sempit. Melalui jalan yang bahkan tidak masuk ke dalam pandangannya. Persepsi dari persepsi dari persepsi dari persepsi lalu menjadi memahami dan bijaksana.

Tidak. Bukan paham dan bijak. Melainkan sudah tidak mampu bergerak banyak saja maka menjadi tenang dan luas, untuk kemudian hilang tak berbekas.




Wednesday, November 4, 2015

Terbalik, Lalu Dibalik Lagi


Di saat terlalu banyak pengetahuan yang dimilikinya, menjadi terlalu sempit pemikirannya untuk sebuah kesatuan pemahaman. Hasrat untuk berkuasa yang tidak mampu diaplikasikan kepada pemikiran lain, dilaksanakan kepada pemikiran sendiri oleh ketat pengkotakan dan pelupaan intensif untuk yang tidak masuk akal. Bahkan pengabaian sendiri pun diabaikan, bahwa telah abai kalau hal yang tidak masuk akal hanyalah bentuk dari ketidak mampuan meniadakan kotak-kotak pemikiran untuk melihat sesuatu itu sebagai apa adanya tanpa persepsi. Di saat terlalu banyak pengetahuan yang dimilikinya, menjadi terlalu sempit pemikirannya oleh kotak-kotak kaku demi aplikasi hasrat untuk berkuasa.


Bahwa ‘tidak melakukan tindakan apa-apa pun suatu tindakan’ menjadi tidak masuk akal oleh banyaknya pengetahuan tentang kemapanan, kekayaan dan kesuksesan. Kotak definisi dan kotak keseharusnyaan. Bahwa suatu tindakan seharusnya menghasilkan sebuah daya yang menguntungkan bertemu dengan kotak definisi keuntungan, mengalir kepada kotak gambaran keberhasilan yang bersanding dengan kotak kekayaan material, itu semua pun ada di dalam suatu kotak bernama kotak pemikiran. Kotak di dalam kotak bagaimanapun tetaplah terkotakkan, terkekang.


Bahwa ‘pada dasarnya manusia berinteraksi hanya demi memenuhi rasa dominan berdasarkan perbandingan dengan manusia sekitarnya’ menjadi suatu hal yang sangat ditolak oleh banyaknya pengetahuan tentang kedewasaan, etika, moral dan kedamaian. Kotak definisi dan kotak keseharusnyaan. Bahwa kebersamaan itu terjadi apabila ada yang lebih baik dan ada yang lebih kurang, maka semuanya saling membutuhkan dan seharusnya yang ‘lebih’ ini menjadi yang bertanggung jawab atas semua hal bersama. Karena semua menyerah pada penyamaan dan kesamaan, maka merasa dominan itu kebutuhan dan merasa mampu memanfaatkan yang lain adalah suatu kehebatan.


Bahwa ‘pada realitanya segala pengetahuan itu menjadi alasan dan pembenaran untuk berargumentasi agar terlepas dari konsekuensi’ dinilai sebagai hal abstrak yang terlalu idealis, katanya hidup membutuhkan hal yang realistis saja. Kotak realistis di sini adalah mengenai keuntungan dan kerugian, oportunisme dan utilitarianistis menjadi dasar aksi tapi malu untuk diakui. Kotak keseharusnyaan berkata dalam dunia yang mengagungkan normativitas segala hal yang dilakukan harus berujung pada “bukan salah saya” dan menjelaskan pembelaan-pembelaan diri berdasakan hukum, norma, etika, keseharusnyaan, dan kesepakatan sosial lainnya secara kaku dan keras.


Bahwa ‘persamaan bukan penyamaan dan kebersamaan bukan kesamaan’ hanya menjadi teori yang diamini karena keindahannya, sedangkan teori yang diimani dan dilakukan adalah ‘beda itu dosa’. Saat diberi tahu bahwa para jamak hanya bermasturbasi imajinasi, mereka dengan segala pengetahuan dan kotak-kotaknya melemparkan pembenaran yang diteriakan sebagai kebenaran. Makin keras teriakan, makin sering dipamerkan, makin besar ditunjukkan. Makin benar, karena semua ketularan. Bukankah sejak lahir, pemikiran kita sudah dikondisikan. Pertama-tama oleh nama (harapan).


Akhirnya seiring berkurang periode hidup dalam arti semakin tua dan tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan, seperti monyet dalam kebun binatang, para jamak pun berkata bijaksana. Bahwa tidak melakukan tindakan apa-apa pun suatu tindakan, pada dasarnya manusia berinteraksi hanya demi memenuhi rasa dominan berdasarkan perbandingan, pada realitanya segala pengetahuan itu menjadi alasan dan pembenaran, persamaan bukan penyamaan dan kebersamaan bukan kesamaan. Dahulu dengan pengetahuan itu menjalani yang terbalik, kemudian nanti dibalik lagi dalam kutipan kebijaksanaan. Seiring bertambahnya angka (usia, uang, keturunan, dst) dan berkurangnya daya (membolak-balik pengetahuan membuat alasan dan pembenaran demi menggenapi definisi keuntungan).

Ngapain Aja?

Ngapain aja?

Akan menemukan jawabannya memuaskan saat melihat bahwa suatu kegiatan menghasilkan uang, atau karya baik bagi orang lain.
Selain dari itu, hanya dipandang sebagai gak ngapa-ngapain</em>.

Hal-hal yang manusiawi untuk bertemu dengan diri sendiri dianggap tidak produktif kalau dilakukan orang muda (usia produktif).

Kalau orang tua (non produktif) yang melakukan gak ngapa-ngapain ini, pastilah dianggap bijaksana.

KENAPA?

Mungkin, karena sebenarnya keinginan untuk gak ngapa-ngapain ini hadir sebagai bagian natural kemanusiaan.

Disikapi oleh yang muda dengan pengabaian karena ketidak mampuan melepaskan candu kemapanan.

Dijalani oleh yang tua dengan kepasrahan karena ketidak mampuan raga yang menanti mati.

Yang menjadi benang merah adalah, gak ngapa-ngapain ini tentang mengosongkan diri. Suatu hal yang sebenarnya sudah sangat dimengerti namun tidak mampu dijalani. Tidak mampu melepaskan diri.

Menghina yang seusia karena terkondisikan dengan doktrin beda itu dosa.

Memuja yang tua, karena semacam ada keterwakilan dalam melaksanakannya, puas setelah menyaksikan dan mengabaikan perlunya melakukan.

Tuesday, October 6, 2015

Standard Rasa

Di atas langit masih ada langit. Di bawah laut masih ada laut. Di samping kekasih masih ada selingkuhan. Halah..

Bicara tentang standar, bicara tentang penyamaan. Bicara tentang selera, bicara tentang persamaan. Sayang, persamaan bukan penyamaan.

Penyamaan itu seperti warnaku cokelat keemasan, maka warnamu pun cokelat keemasan. Itu semacam menipu diri karena reseptor cahaya di retina tidak mungkin tidak berbeda di tiap mata. Bagaimanapun, biruku bukan birumu.

Persamaan itu seperti, selera asik yang disepakati kalau rasanya memang asik. Asik, seperti ada karakter rasa buah nangka. Iya ada rasa legit buah lengkeng, asik. Seperti reseptor retina, reseptor lidah pun tidak mungkin tidak berbeda di setiap lidah.

Yah, tapi sebenarnya bukan tentang reseptor indera melainkan persepsi pikiran saja. Itu pun tentang membongkar memori. Semacam, bagaimana melakukan komparasi dengan buah nangka kalau belum ada memori tentang nangka.

Bisa juga, ternyata buah lengkeng di daerah tertentu rasanya nangka, bahkan namanya nangka. Seperti di suatu daerah warna yang pada umumnya biru dinamai cokelat. Daerah mana itu? Daerah yang mungkin saja ada.

Kalau semuanya adalah ketidak searahan dan keberagaman pengalaman bertemu ketidak terdugaan memori, maka dalam kebersamaan tidak bukan hanya permainan persepsi imajerial.

Menyatukan persepsi itu seperti hal yang mustahil sekaligus diagungkan. Mungkin lebih tepatnya kesepakatan persepsi. Baiklah ini asik, sepakat. Tapi soal biru cokelat nangka dan lengkeng, mungkin tidak. Hanya, kita bersama dalam asik itu.

Bagaimana kalau karakter rasa lengkeng dan rasa nangka dengan balutan cokelat keemasan atau kebiruan itu tidak asik? Sederhana, persepsi seperti itu tidak akan dijumpai di kebersamaan ini lah. Karena bersama dalam asik, kalau tidak asik tidak bersama.

Tapi, bukan berarti tidak bisa bersama. Persamaan bukan penyamaan, kebersamaan bukan kesamaan. Bisa saja persepsi asik dan persepsi tidak asik pada karakter tersebut bersama dalam penasaran. Bukankah hal yang bertolak belakang mempunyai kemungkinan dan peluang sama besar dalam kebersamaan.

Yang biasanya jadi persoalan itu tidak bisa tidak bersama. Biasanya ini berakhir dengan pura-pura. Kesepakatan tidak berlangsung dan keterlibatan tidak penuh. Hanya sekadar ketagihan dan butuh pengalihan saja. Salah? Tidak. Wajar? Iya.

Tidak ada benar dan salah, hanya ada sebab akibat. Seperti lama menahan kehausan dengan melihat lukisan sungai, pada saatnya tak terbendung lagi air selokan pun dihabiskan juga. Wajar? Iya.

Thursday, September 17, 2015

Ungu Keabuan

Bulan senyum di atas awan. Awan warna abu keunguan, atau ungu keabuan.
    Banyak kendaraan tumpah di jalan, seperti tadi manusia tumpah dari pintu besi kotak warna muram.

Siluet pepohonan menggapai bulan, atau menggapai awan ya. Tapi itu semua hanya drama penggenapan, alur terus berjalan peran selalu terisi.
    Seperti gerombolan berseragam warna muram, apakah hanya sekadar mengisi peran pabrikan kah menggenapi era industrial.

Awan ya awan, bulan tetap bulan. Pohon akan selalu pohon, siluetnya hanya karena cahaya berganti posisi saja. Beda rupa, sama peran, dalam alur yang begitu adanya.
    Menolak dikatai mesin, tapi organisme ini seperti kehilangan isinya untuk lebih dari sekadar mesin.

Mata saja persoalannya, melihat rupa dua dari lima dimensi. Panjang, luas, volume, imaji, dan metafor. Mata pun gagal melihat dimensi ketiga, volume. Apalagi yang keempat dan lima.
    Ah, atau mata ini mulai menilai untuk mengerti tapi rentan menghakimi saat gagal memahami. Selalu ada rasa di setiap detil bertahan hidup rupanya, tujuan untuk berjuang dan alasan untuk bertahan.

Yang tampak ya tampak, yang anggapan jadi pembenaran. Ah, katakan saja pohon hendak menggapai bulan dengan awan sebagai tantangannya.
    Demikian lah kelas-kelas, kaum-kaum, pergolakan dan pergerakan, semuanya ada sedemikian memang ada. Kaki pasang dimana dengan isi ide yang ada, sepertinya seperlu itu saja.


Ignorance is a bliss.
    If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor. If an elephant has its foot on the tail of a mouse and you say that you are neutral, the mouse will not appreciate your neutrality. -Desmond Tutu-

Saturday, September 12, 2015

Semacam Heteronormativitas

Jangan-jangan, kehadiran anak menjadi beban pikiran orang tua bukan karena anak itu gagal memenuhi definisi sukses atau ekspektasi berhasil sang orang tua. Tapi, karena orang tua merasakan aura tidak bahagia yang menyelimuti sang anak.

Sayangnya, aura tersebut sering disandingkan dengan kondisi ekonomi mapan, pekerjaan tetap, dan pernikahan yang mendapatkan anak. Walau tidak banyak, ada juga yang: dengan tidak memenuhi heteronormativitas tersebut, sang anak dapat memancarkan aura bahagia dan sang orang tua tidak terlalu terbebani pikirannya.

Ya, tidak terlalu. Karena, manusia dengan pemikiran yang telah dikondisikan sejak lahir selalu memiliki ekspektasi, keinginan, dan hasrat menguasai.

Wednesday, September 9, 2015

Sengaja

Dengan sok merendahkan diri dan sok adaptasi, demikianlah meningkatkan ekspektasi. Dasarnya hanya ketakutan dipersalahkan, maka rela membudakkan diri pada kerepotan dengan kesal ditahan.

Menyusahkan diri dengan membawa yang tidak diperlukan, menepis kemungkinan kolaborasi karena hanya percaya pada diri sendiri. Saat yang dimanjakan tak balas memberi yang diinginkannya, menjadi musuh bersama karena dengan tololnya menghakimi.

Bebal memang, pembenarannya terlalu kental diendapkan zaman, terlalu banyak tahu tapi tak mampu merangkaikan pengetahuan. Lupa bahwa semua diawali kebodohan tak mampu menegaskan posisi diri.

Sengaja, karena sadar sedang menunggu mati dan jalan yang dipilih adalah mengisinya dengan kebodohan. Pada dasarnya, memang masokis lah manusia.

Tuesday, September 8, 2015

Tutup Rasa Sebelah Mata

Pesimis itu pun suatu optimisme, bukankah ia terus maju dengan pesimisme dan tidak berhenti berjuang demi sesuatu yang diperjuangkan, itu optimisme kan.

Optimis pun suatu pesimis, selalu mencari hal baik dari suatu kondisi dengan memberatkan pada sisi positif mengesampingkan yang negatif, bukankah keseimbangan butuh keduanya, pesimis sekali optimisme hingga lari pada sisi positif dan membuang yang negatif.

Berpikir positif menjadi suatu candu baru dengan dasar pengalihan berkedok penyaluran energi untuk suatu pencapaian.

Manusia menarik energi yang diinginkan, rasanya tidak sepakat dengan itu.

Manusia menarik energi yang adalah energinya, bukan we attract what we want, tapi we attract what we are.

Bukan mencapai karena berusaha, tapi karena pencapaiannya itu adalah niscaya maka hadirlah usaha.

Pemberatan pada satu sisi pandangan ini ketololan atau bukan entahlah, yang (relatif umumnya) pasti adalah hasil dari suatu bentukan, baik oleh lingkungan atau asuhan.

Penyamaan itu cara mudah menaklukan homo sapiens kan.

Dalam bias kita berada, oleh prasangka kita mengada, karena berpihak kita ada, lalu tutup rasa sebelah mata.

Wednesday, September 2, 2015

Secuil Anarkisme

“Kita semua egois, mencari kepuasan sendiri. Namun kaum anarkis mendapati kepuasan terbesarnya dalam perjuangan untuk kebaikan bersama, untuk mencapai masyarakat yang di dalamnya ia (demikian) dapat menjadi saudara di antara lainnya, dan diantara orang-orang yang sehat, cerdas, terdidik, dan bahagia. Namun ia yang dapat beradaptasi, yang puas hidup diantara budak dan mendapat keuntungan dari kerja budak tersebut, bukanlah, dan tidak bisa menjadi, seorang anarkis.” (Life and Ideas, hal 23)


“Penghapusan pengaruh mutual ini akan hilang. Dan ketika kita membela kebebasan massa, kita sama sekali tidak mengusulkan penghapusan pengaruh alami apapun yang digunakan individu atau kelompok. Yang kita inginkan adalah penghapusan pengaruh yang artifisial, legal, resmi, dan hak istimewa.”(dikutip oleh Malatesta dalam Anarchy, hal 50)


“Fakta seperti itu …bahwa seseorang memiliki kesadaran diri, akan perbedaannya dengan orang lain. Keinginan untuk kebebasan dan ekspresi diri sangat fundamental dan karakter yang dominan.”(Emma Goldman, Red Emma Speaks, hal. 393)


“Kebebasan, kemerdekaan dan otonomi yang dimiliki seseorang dalam periode sejarah tertentu merupakan hasil dari tradisi sosial yang panjang dan …sebuah perkembangan kolektif – yang tidak mengingkari bahwa individu memainkan sebuah peran penting di dalamnya, dan pada akhirnya diwajibkan melakukannya jika ingin bebas.” (Social Anarchism or Lifestyle, hal 15)


“Untuk mendapatkan arti sesungguhnya dari kehidupan, kita harus bekerja sama, dan untuk bekerja sama kita harus membuat kesepakatan dengan teman kita. Namun untuk berpendapat bahwa kesepakatan seperti itu beraarti juga pembatasan kebebasan dan sudah pasti merupakan sebuah absurditas; sebaliknya hal tersebut adalah pelaksanaan kebebasan.


“Jika kita akan menciptakan sebuah dogma bahwa membuat kesepakatan membahayakan kebebasan, maka pada akhirnya kebebasan menjadi tirani, karena melarang orang untuk bersenang-senang tiap harinya. Sebagai contoh saya tidak dapat berjalan-jalan dengan seorang teman karena melanggar prinsip kebebasan bahwa saya seharusnya sepakat untuk berada dalam tempat dan waktu tertentu untuk menemuinya. Pada akhirnya saya tidak dapat memperluas kekuasaan di luar diriku, karena untuk melakukannya saya harus bekerjasama dengan orang lain, dan kerjasama menunjukkan kesepakatan, dan hal ini melawan kebebasan. Akan terlihat bahwa pada akhirnya argumen ini absurd. Saya tidak membatasi kebebasanku namun sungguh-sungguh menggunakannya ketika menyetujui teman untuk berjalan-jalan.”


“Masyarakat kapitalis diatur dengan sangat buruk sehingga anggotanya yang beraneka ragam menderita: sama halnya seperti ketika kamu memiliki luka di beberapa bagian tubuh, seluruh tubuhmu terasa sakit dan kamu tidak enak badan…, tak satu anggota organisasi atau serikat-pun yang mungkin dapat bebas dari diskriminasi penindasan atau diabaikan. Membiarkannya sama dengan mengabaikan gigi yang sakit : kamu akan kesakitan pada seluruh tubuh.” (Alexander Berkman, ABC of Anarchism, hal 53)


“Ketidakpatuhan merupakan pondasi sejati. Orang yang patuh pastilah budak.”


“Semangat kekuasaan, hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, tradisi dan kebiasaan memaksa kita untuk menyembah-nyembah seperti biasa serta memaksakan sebuah kehendak kepada pria (atau wanita) tanpa kemerdekaan atau individualitas…Semua dari kita adalah korban, dan hanya pengecualian bagi mereka yang kuat untuk berhasil dalam menghancurkan rantainya, dan itupun tidak semua.” (The ABC of Anarchism, hal. 26)


“Kesetaraan tidak berarti sebuah kesetaraan dalam jumlah, melainkan kesetaraan kesempatan…Jangan sampai salah dalam mengenali kesetaraan dalam kebebasan dengan kesetaraan yang dipaksakan oleh lembaga permasyarakatan. Kesetaraan anarkis yang sesungguhnya menunjukkan kebebasan, bukan kuantitas. Bukan berarti bahwa setiap orang harus makan, minum atau mengenakan pakaian yang sama, juga melakukan hal yang sama, serta tinggal dengan cara yang sama. Berbeda dengan hal tersebut: dalam kenyataan menimbulkan hal sebaliknya.” Ia memberikan pendapatnya bahwa “ kebutuhan dan apa yang dirasakan individu tidak sama, karena selera yang berbeda. Kesetaraan kesempatanlah yang memuaskan mereka dan merupakan kesetaraan sejati…Kesempatan bebas untuk berekspresi dan memerankan individualitasmu sendiri berarti perkembangan perbedaan dan keanekaragaman yang alamiah.”(The ABC of Anarchism, hal. 25)


“Setelah kesetaraan dicapai dan ditegakkan, akankah keanekaragaman kemampuan individu dan tingkat energi mereka dihilangkan? Beberapa akan tetap ada, barangkali tidak sebanyak sekarang, namun tentu saja beberapa akan tetap eksis. Seperti kata pepatah bahwa pohon yang sama tidak akan pernah menghasilkan dua daun yang identik, dan hal ini mungkin akan selalu benar. Bahkan lebih benar lagi dengan menghormati manusia, yang lebih kompleks daripada dedaunan. Namun perbedaan ini tidak sepenuhnya jahat. Sebaliknya… perbedaan tersebut merupakan sumber bagi hubungan manusia. Terimakasih pada perbedaan, kemanusiaan merupakan kolektifitas yang didalamnya seorang individu melengkapi yang lain dan membutuhkannya. Hasilnya, perbedaan manusia yang tak terbatas adalah penyebab dasar dan fundamental bagi solidaritas mereka. Hal ini adalah argumen yang penuh kekuatan.” (“All-Round Education”, The Basic Bakunin, hal 117-8)


“Sekarang, apa menjadi ujung pangkal ketidaksetaraan ini?


“Seperti yang kita lihat … ujung pangkalnya adalah realisasi dalam masyrakat dengan tiga abstraksi ini: kapital, kerja, dan bakat.


“Karena masyarakat membagi dirinya dalam tiga kategori warga negara, menanggapi tiga term dari formula tersebut… perbedaan kasta selalu terjadi dan setengah dari umat manusia memperbudak lainnya…sosialisme berasal dari pereduksian formula aristokratis dari kapital -kerja- bakat ke dalam formula kerja yang lebih sederhana!…untuk membuat setiap warga negara secara simultan, equal dan berada dalam tingkat yang sama dengan kapitalis pekerja dan pakar atau artis.”(No Gods, No Master, hal 57-8)


“Cinta yang paling berharga, sejati dan murni dalam umat manusia adalah mencintai diri sendiri. Aku ingin bebas! Aku berharap untuk berbahagia! Aku ingin menapresiasikan semua keindahan dunia. Namun kebebasanku hanya diperoleh ketika melihat orang lain disekelilingku bebas. Aku hanya dapat berbahagia ketika semua orang disekelilingku berbahagia. Aku hanya akan bersuka ria ketika semua orang yang aku lihat dan temui di dunia matanya penuh dengan kegembiraan. Dan aku hanya dapat makan kenyang dengan kebahagiaan sesungguhnya ketika aku tahu pasti bahwa orang lain juga makan dengan kenyang seperti halnya diriku. Dan karena alasan itulah, menjadi sesuatu yang menyenangkan diriku, hanya bagi diriku sendiri, ketika aku memberontak melawan setiap bahaya yang mengancam kebebasan dan kebahagiaanku….”[Ret Marut (a.k.a. B. Traven), majalah The BrickBurner dikutip oleh Karl S. Guthke, B. Traven: The life behind the legends, hal 133-4]


“Ketika kita berpikir mengenai kerjasama…kita cenderung untuk menghubungkan konsep dengan idealisme pemikiran yang kabur…hal ini mungkin merupakan hasil dari kebingungan antaar kerjasama dengan altruiesme…kerjasama struktural menentang dikotomi egoisme/altruisme biasa. Kerjasama struktural menyusunnya sedemikian rupa sehingga dengan menolong Anda, saya sekaligus juga menolong diri saya sendiri secara bersamaan. Kerjasama merupakan suatu strategi yang baik dan terbukti sering berhasil-sebuah pilihan pragmatis yang sering berhasil dalam pekerjaan dan sekolah, bahkan lebih efektif dari kompetisi… Ada juga bukti yang bagus bahwa kerja sama lebih kondusif bagi kesehatan psikologis dan kebahagiaan satu sama lain.” (No Contest: The Case Againts Competition, hal 7)


“Sejarah mengatakan bahwa setiap kelas yang tertindas (atau kelompok atau individu) meraih kebebasan sejati dari majikannya melalui usaha sendiri.”(Red Emma Speaks, hal.142)


“Adanya sub ordinasi semacam itu melatih kapasitas mereka untuk refleksi diri secara kritis setiap harinya-itulah mengapa para majikan terhalang, tertekan, dan kadang-kadang dijatuhkan. Namun tak akan ada refleksi kritis yang akan mengakhiri kepatuhan mereka dan membawa menuju kebebasan, kecuali jika para majikan digulingkan, atau kaum yang subordinat tersebut terlibat dalam aktivitas politik. (Carole Pateman, The Sexual Contract, hal. 205)


“Sistem yang fasis… (merupakan) kekuasaan absolut dari atas ke bawah… negara yang ideal memiliki kendali dari atas ke bawah dengan rakyat yang mematuhi perintah secara esensial.


“Kita lihat sebuah korporasi…(jika) anda melihat, kekuasaan datang dengan keras dari atas ke bawah, dari meja direktur ke manajer, lalu ke manajer lebih rendah, dan akhirnya kepada orang-orang di lantai bawah, pengetik pesan dan lain-lain. Tidak ada arus kekuasaan atau perencanaan dari bawah ke atas. Orang dapat mengacaukan dan memberi pendapat, hal yang sama juga terjadi dalam masyarakat budak. Struktur kekuasan bersifat linear dari atas ke bawah.” (Keeping the Rabble in Line, hal. 237)


“Sebagian besar perusahaan menyerupai kediktatoran militer. Mereka yang berada di bawah adalah prajurit, supervisor adalah sersan, dan pada tingkat atas melalui hierarki, organisasi dapat memerintah segalanya dari pakaian kita dan gaya rambut, sampai pada bagaimana kita menghabiskan sejumlah besar waktu dalam hidup kita, selama bekerja. Organisasi tersebut dapat memaksa sampai di luar waktu kerja; mensyaratkan kita ke dokter perusahaan jika memiliki masalah medis; melarang kita menggunakan waktu bebas untuk terlibat dalam politik; dapat menekan kebebasan berbicara, pers dan berkumpul – menggunakan kartu identitas dan polisi keamanan bersenjata dengan TV yang memiliki sirkuit tetutup untuk mengawasi kita; menghukum pelanggar dengan “penghentian disipliner”(seperti yang disebut GM), atau dapat memecat kita. Kita dipaksa, oleh keadaan, untuk menerima ini, atau bergabung dengan jutaan penganggur…Di hampir setiap pekerjaan, kita hanya memiliki “hak” untuk berhenti. Kaputusan utama dibuat di puncak dan kita diharapkan mematuhinya, baik kita bekerja di menaar gading maupun terowongan pertambangan.” [“For Democracy Where We Work: A rationale for social self-management”, Riventing Anarchy, Again, Howard J. Ehrlich (ed.), hal. 193-4]


“Untuk menggambarkan orang-orang yang membuat kontrak dengan pekerja, sebagai contoh, sebagai pihak yang setara dan merdeka satu sama lain adalah mengabaikan ketidaksetaraan yang serius dalam posisi tawar yang ada di antara pekerja dan yang mempekerjakannya. Kemudian untuk menggambarkan hubungan subordinasi dan eksplotasi secara wajar sebagai akibat dari simbol kebebasan merupakan ejekan bagi kebebasan individu dan keadilan sosial.” (ibid.)


“Dalam masalah hukum, kita akan membuat kontrak (contoh: kesepakatan bebas).- Tak ada lagi hukum yang ditentukan oleh mayoritas atau bahkan dengan suara bulat sekalipun; masing-masing warga negara, kota, serikat industri, membuat sendiri hukumnya.” (The General Idea of the Revolution, hal. 245-6)


“Jika mayoritas bertindak tidak jujur… (maka) minoritas harus mengambil tindakan politis, termasuk tindakan-tindakan ketidakpatuhan politis jika diperlukan, untuk mempertahankan kewarganegaraan dan kebebasannya serta asosiasi politis itu sendiri… Ketidakpatuhan politis merupakan suatu pernyataan yang mungkin dari kewarganegaraan yang aktif, yang menjadi dasar demokrasi dengan pengelolaan sendiri…Praktek sosial dari janji-janji meliputi hak untuk menolak atau mengubah komitmen; demikian pula dengan praktek kewajiban politis yang dibebankan oleh diri sendiri, menjadi tak berarti tanpa pengakuan praktis terhadap hak minoritas untuk menolak atau menarik kembali persetujuan, atau jika perlu, tidak patuh.” (The Problem Of Political Obligation, hal 162)


“Tentu saja kaum anarkis mengakui bahwa di manapun hidup dan tinggal bersama, seringkali perlu bagi minoritas untuk menerima pendapat mayoritas. Ketika terdapat kebutuhan yang nyata atau kegunaan dalam melakukan sesuatu dan, untuk melakukannya dibutuhkan kesepakatan semua pihak, beberapa orang harus merasakan kebutuhan untuk beradaptasi dengan keinginan orang banyak…Namun adaptasi seperti itu di satu sisi harus bersifat resiprokal, sukarela, dan berasal dari sebuah kesadaran akan kebutuhan dan niat baik untuk mencegah kelumpuhan proses sosial, karena kekeraskepalaan. Hal tersebut tidak dapat dipaksakan sebagai prinsip atau norma yang berdasrkan undang-undang…” (op.cit. hal 100)


“Seseorang tidak dapat berharap, atau menginginkan, orang yang telah diyakinkan bahwa tindakan mayoritas membawanya ke dalam bencana, akan mengorbankan keyakinannya dan secara pasif menyaksikan, atau lebih buruk lagi, mendukung kebijakan yang ia anggap salah.” (Life and Ideas, hal. 132)


“(u)ntuk …menciptakan konsensus penuh pada suatu keputusan, minoritas yang tidak sepakat seringkali didorong dengan halus atau mengalami pemaksaan secara psikologis untuk menolak memberikan suaranya pada isu yang menjadi masalah, karena penolakan tersebut sama dengan memberi veto. Kejadian ini dalam proses konsensus Amerika disebut “menghindar”, semua pihak terlalu sering melibatkan intimidasi terhadap pihak yang tidak sepakat dengan tujuan mereka akan mengundukan diri dari proses pembuatan keputusan, daripada membuat suatu pernyataan yang berkelanjutan dan terhormat mengenai penolakan mereka melalui voting, bahkan sebagai minoritas, sesuai denagn pandangan mereka. Setelah mengundurkan diri, mereka menghentikan bersikap politis- sehingga dengan demikian “keputusan” dapat dibuat….’(K)onsensus akhirnya dicapai setelah anggota-anggota yang memberikan penolakan mengundurkan diri sebagai partisipan dalam proses.


“Pada tingkat teoritis, konsensus menghilangakn aspek terpenting yaitu semua dialog, yaitu dissensus. Penolakan yang terus menerus, dialog yang penuh semangat dan masih terus berlangsung bahkan setelah minoritas ikut serta sementara waktu untuk keputusan mayoritas,…(dapat)digantikan…oleh monolog yang membosankan-dan tidak bertentangan serta meredam suara konsensus. Dalam pembuatan keputusan mayoritas, minoritas yang terkalahkan dapat memutuskan untuk menggagalkan keputusan dimana mereka dikalahkan—mereka bebas secara terbuka dan terus-menerus untuk mengartikulasikan alasan dan ketidaksepakatan. Konsensus, tidak menghormati minoritas, melainkan mematikan mereka demi ‘sebuah’ kelompok ‘konsensus’ metafisis.” (“Communalism:The Democratic Dimension Of Anarchism”, Democracy and Nature, no. 8, hal. 8)


“Banyak yang telah dikatakan mengenai peran masing-masing insiatif individu dan tindakan sosial dalam kehidupan dan kemajuan masyarakat manusia…(S)etiap hal yang dipertahankan dan terus dilaksanakan dalam dunia manusia berterimakasih pada insiatif individu…Makhluk yang sebenarnya adalah manusia, individu. Masyrakat atau kolektivitas- dan negara atau pemerintah yang mengklaim untuk mewakilinya – jika bukan merupakan suatu abstraksi palsu, pastilah tersusun oleh individu. Semua pemikiran dan tindakan manusia pasti memiliki asal-usulnya dalam organisme setiap individu, dan dari individu, pemikiran dan tindakan tersebut menjadi pemikiran dan tindakan kolektif, ketika diterima oleh banyak individu. Oleh karena itu, tindakan sosial bukanlah negasi ataupun komplemen dari inisiatif individual, melainkan hasil dari inisiatif, pemikiran, dan tindakan semua individu yang menyusun masyarakat… (H)al tersebut tidak benar-benar mengubah hubungan antara masyarakat dan individu…(H)al tersebut mencegah beberapa individu dari penindasan terhadap yang lain; memberi hak yang sama dan sarana bertindak yang sama kepada setiap individu; dan menggantikan inisiatif beberapa orang (yang didefinisikan Malatesta sebagai aspek kunci pemerintah / hierarki), yang merupakan hasil dari penindasan terhadap orang lain…” (Anarchi, hal 36-37)


“Kamu merupakan apa yang kamu lakukan. Jika kamu melakukan pekerjaan yang membosankan, bodoh dan monoton, mungkin kamu akan mengakhiri kebosanan, kebodohan dan kemonotonan tersebut. Kerja merupakan eksplanasi yang lebih baik mengenai kretinisasi yang terjadi secara perlahan di sekeliling kita daripada mekanisme yang membodohkan kita secara signifikan seperti televisi dan pendidikan. Orang-orang yang diatur seluruh hidup mereka, menerima pekerjaan dari sekolah, terkurung oleh keluarga pada awalnya dan rumah jompo pada akhirnya, terbiasa terhadap hierarki dan perbudakan psikologis. Bakat mereka untuk otonomi dihentikan pertumbuhannya sehingga ketakutan mereka akan kebebasan berada di antara phobia-phobia yang tidak terlalu rasional. Kepatuhan mereka pada saat bekerja di bawa ke dalam keluarga, tempat mereka memulainya, dan kemudian mereproduksi sistem dengan lebih dari satu cara, ke dalam politik, budaya dan lain-lain.setelah kamu menyalurkan vitalitas dari tempat kerja,mereka mungkin akan tunduk kepada hierarki dan pakar-pakar di segala bidang. Mereka digunakan untuk itu.” (The Abolition of Work)


“Ketika aku melihat banyak orang-orang liar yang sama sekali telanjang menolak kegairahan orang-orang Eropa dan menahan lapar, api, pedang, dan kematian hanya demi mempertahankan kemerdekaan mereka, aku merasakan bahwa hal tersebut tidak mencerminkan tingkah laku budak karena alasan mereka mengenai kebebasan.” (dikutip oleh Noam Chomsky, “Anarchism, Marxism and Hope for the future”, Red and Black Revolution, no.2)


“terdapat sebuah kebenaran yang tak dapat disangkal lagi bahwa orang-orang di jalanan selalu tampak lupa, ketika ia menyalahkan kaum anarkis, atau kejadian apapun yang menimpa bete noirenya saat itu, akan penyebab terjadinya kebiadaban tersebut. Fakta yang tak dapat disangkal ini menunjukkan pada kita bahwa kebiadaban, dari waktu yang lalu, merupakan jawaban dari kelas yang putus asa dan tertekan, serta individu yang putus asa dan tertekan, terhadap kesalahan dari teman-teman mereka, yang mereka rasa tak dapat ditoleransi. Tindakan seperti itu merupakan recoil kejam dari kekerasan, baik segresif maupun represif…penyebabnya tidak berada dalam keyakinan tertentu apapun, melainkan kedalaman …sifat manusia itu sendiri. Keseluruhan peristiwa sejarah, politik, dan sosial, penuh dengan bukti mengenainya.” (dikutip oleh Emma Goldman, op.cit., hal 213)


“Semua kemajuan berawal dari penghapusan sesuatu; setiap perbaikan terletak pada beberapa kesalahan; masing-masing pemikiran baru didasarkan pada ketidakcukupan bukti pemikiran lama.”


“tak ada teori, sistem yang siap pakai, buku yang telah ditulis akan menyelamatkan dunia. Aku tidak menggantungkan diri kepada sistem apapun. Aku merupakan pencari sejati.”


“Kegagalan budaya modern terletak bukan pada prinsip individualisme, bukan pada pemikiran bahwa kebajikan yang besar merupakan hal yang sama dengan pengejaran kepentingan pribadi, namun pada kemerosotan makna kepentingan pribadi tersebut; bukan bahwa mereka tidak memberikan perhatian pada kepentingan pribadi mereka, melainkan bahwa mereka tidak cukup memperhatikan kepentingan pribadi yang sesungguhnya; dalam kenyataan bukan bahwa mereka terlalu egois, melainkan bahwa mereka tidak mencintai dirinya sendiri.” (Man for Himself, hal 139)


“Apakah itu berarti bahwa moralitas, yang menyusun masyarakat manusia dan hewan, memperjuangkan, jika bukan sebagai perlawanan terhadap dorongan-dorongan egoisme yang picik, dan mengungkapkan kemanusiaan dalam semangat perkembangan altruisme? Pernyataan ‘egoisme’ dan ‘altruisme’ seperti itu tidak tepat karena altruisme yang murni tidak dapat muncul tanpa percampuran kesenangan individu– dan akibatnya tanpa egoisme. Karena itu hampir tepat jika mengatakan bahwa etika bertujuan mengembangkan kebiasaan sosial dan melemahkan kebiasaan personal yang picik. Hal yang disebutkan terakhir membuat individu kehilangan pandangan sosialnya karena rasa hormatnya kepada kepribadian yang dimiliki, dan karenanya mereka tetap gagal mecapai tujuan mereka, misalnya kesejahteraaan individu, sementara perkembangan kebiasaan kerja bersama, dan saling membantu, membawa serangkaian hasil yang bermanfaat dalam keluarga seperti jalanya dalam masyarakat.” (Ethics, hal. 307-8)

Thursday, August 27, 2015

Apresiasi Diplomatif Mata

Sepertinya saat ini benar budaya mata, indikatornya adalah pengagungan pada keutamaan proses, bukan hasil. Manusia menjadi ternama dan tersohor oleh proses yang ia tunjukkan kepada banyak orang untuk memenuhi definisi suatu hasil, namun hasilnya tidak sesuai definisi.


Dengan alasan apresiasi, proses menjadi lebih penting daripada hasil, yang penting sudah berusaha terlepas dari hasilnya dekat atau jauh dari sempurna (definisi/ideal). Tapi, bukankah yang kita butuhkan adalah hasilnya. Juga, bukankah proses itu suatu hasil. Hanya proses adalah rangkaian hasil, hasil pengetahuan, hasil latihan, hasil kualitas mental, dll.


Kalau mengaggungkan proses, kopi nikmat menjadi hanya diplomasi apresiatif mata. Hasil yang penting, kopi yang nikmat, bukan kesempurnaan proses yang diseruput kan. Kalau tidak enak ya tidak enak apapun prosesnya, seagung apapun prosesnya. Itu hanya apresiasi diplomatif, alias bohong.


Tombak yang buruk pun tidak akan berguna, sesempurna apapun prosesnya. Bukan berarti menolak proses sempurna, tapi fokus pada hasil. Juga kesadaran bahwa proses pun adalah suatu hasil.


Dengan kecenderungan pada bentuk dan bukan fungsi, maka mata menjadi dominan daripada rasa. Apresiasi lebih pada kata pujian, bukan pada pilihan selalu menggunakan, ahli pedang tidak memuji tapi menggunakan pedang bagus itu bahkan dalam tidurnya.

Berdasarkan pemahaman tersebut di atas, maka: Rasa, bukan mata! Hasil, bukan proses!

Saturday, August 22, 2015

Petualang, pejalan, dan penduduk.

Dalam perjalanan, biasanya seorang pejalan akan bertemu penduduk di suatu wilayah. Bukankah seperti para pejalan, para penduduk itu pun bagian dari suatu perjalanan (travelling). Sang pejalan berpindah untuk menemukan pengetahuan yang tampaknya adalah dunia sang penduduk. Sedangkan sang penduduk menerima pengetahuan yang tampaknya adalah dunia si pejalan ini. Tanpa perlu berpindah tempat, pengetahuan itu diantarkan. Setiap kali berfoto dengan penduduk, apakah pejalan merasa lebih hebat dan lebih tinggi derajatnya hanya karena ia bergerak berpindah tempat sebagai salah satu indikator adanya perjuangan, sehingga mengabaikan bahwa esensi dari perjalanan adalah suatu penemuan akan hal baru yang tidak lebih rendah atau tertinggal. Bukahkah diam pun memiliki perjuangan dalam konsistensi agar tidak terjebak repetisi. Bukankah (lagi) perjalanan adalah suatu cara menarik konsistensi yang telah terlanjur terjebak dalam repetisi. Konsistensi berbeda dengan repetisi walau bentuknya sama yaitu rutinitas, pada umumnya. Bergerak lebih dalam pada suatu penemuan, bukankah tidak ada hal yang baru, kita saja yang baru mengetahui keberadannya. Kesadaran itulah yang sepertinya ingin diberikan perjalanan. Mengapa kita kaum modern yang lebih sering melakukan perjalanan daripada kaum tradisional, karena kita kaum yang telah terkondisikan secara instan berorientasi produk namun mengagungkan proses secara semu, sehingga sulit untuk melihat apa adanya karena proses dan produk dilihat terpisah & dihakimi sebagai hal yang berbeda. Mereka para penduduk yang menetap dan merasa tak butuh perjalanan, mungkin tidak sesulit itu. Kalau perjalanan untuk membersihkan pandangan, bersihnya pandangan tak seketagihan itu pada perjalanan. Bukankah hasil adalah proses dan proses adalah hasil. Demi keseimbangan, maka berbagi pengetahuan pun niscaya hadir. Sang Penduduk yang dibawakan pengetahuan oleh sang pejalan dalam suatu gerak perjalanan dan sang pejalan mengambil pengetahuan yang diletakan diam ber-ada dari sang penduduk. Kedua-duanya sama-sama membawa pengetahuan ini pulang. Bukan sebagai tambahan koleksi melainkan untuk menemukan suatu reduksi dengan keluasan bahwa semuanya hanyalah satu hal besar dan kita terjebak dalam mengaggungkan bagian-bagiannya saja, terjebak dalam ketagihan mengoleksi memori. Mungkin baik untuk menyebut istilah pejalan dan penduduk karena keduanya sama-sama petualang, satu bertualang dalam diam, yang lain bertualang dalam gerakan. Tiada beda, seperti tidak ada yang baru di bawah matahari. Lalu bagaimana dengan peziarah, musafir, pengelana yang selalu berpindah. Mungkin mereka mencari tempat pulang bersamaan dengan membawa isi rumahnya, yaitu kumpulan pengetahuannya sekaligus. Saat menemukan tempat, ia mendirikan rumah dan langsung mengisinya, dua misi dalam sekali terpenuhi. Apakah pengembara melakukan kedua peran pejalan dan penduduk bukan hal yang tidak mungkin, walau jelas tidak akan sedalam mengalami salah satunya saja. Dalam perjalanannya dia mengambil sekaligus mengantarkan pengetahuannya. Dalam pendudukannya yang menetap walau sementara, ia diantarkan pengetahuan sekaligus memberikan pengetahuan kepada pejalan. Hingga menemukan perhentiannya yang selalu kita sebut pulang. Bukannya kita semua mencari tempat pulang, dengan menetapkannya dari menemukannya terlebih dahulu. "Manusia hidup menunggu mati dan kebanyakan mengisinya dengan kebodohan."-Amuristism-. Bahkan penemuan pulang pun bisa jadi bukan menemukan setelah pencaharian, melainkan menemukan setelah berhasil membuang segala hal yang menghalangi keberadaanya. Bukankah itu selalu ada di situ. Kalau memang begitu, diam dan bergerak adalah sama. "Pikiran yang orisinil bukanlah pikiran yang melihat hal baru, melainkan yang menemukan hal-hal yang niscaya ada dari hal2 yang dianggap baru oleh zaman." -F. Nietzsche-.

Wednesday, August 5, 2015

Apteur Test.



Diam itu ternyata berdasarkan pemahaman, bukan penahanan.

Penyederhanaan berfokus pada laku membuat diam menjadi represif bukannya membebaskan.

Semakin dipuja dan diagungkan, semakin direndahkanlah kesejatiannya.

Jujurkah pada diri, diam mana yang menenangkan karena paham atau yang menggelisahkan karena nahan.

Apakah kita benar2 korban definisi terjebak keseharusnyaan?

Ironi dan paradoks, mungkin peringatan untuk kerentanan suatu "kata".

Karena inti dari kata adalah apa yg tidak terkatakan, namun tetap harus melalui perkataan.




Seperti kekasih seniman yang bercerita tentang definisi karyanya:

Jawaban datang saat diri tenang, bukankah kebutuhan jawaban hadir dari ketidak tenangan, ntar aja lah tunggu "iklan lewat" katanya. Perjumpaan menghasilkan karya, perpisahan menghasilkan mahakarya. Lalu, perjalanannya menghasilkan apa? Tanpa karya.



"Menyukai kopi tanpa gula (pahit) itu firasat, ke-ditinggal-pergi-an, tidak ada yg tidak pernah ditinggalkan dari secangkir rasa.



Lihat aroma, apakah tetap berada? Yang tersisa hanya 'rasa setelah' yg dalam Bahasa Sunda nya, "apteur test".

Monday, July 20, 2015

Ketagihan Lingerie


"Sebenarnya, hanya dua hal di dunia ini yang bikin ketagihan, kalau bukan kehadiran ya kesendirian, emang kamu ngebeer ngopi nyuntik ngesex ngegame bahkan travelling itu bisa kah tak sendiri atau tak bersama; tidak bisa tidak kan kalau bukan sendiri ya bersama, dan itu tidak masalah, see widely my dear, kita hanya mencari pembenaran toh perbedaannya di kesadaran saja, sadar ga kalau terjebak, berbahagialah yang tidak sadar, karena ketololan itu menyenangkan dalam pengulang-ulangannya dan bukankah semua orang masokis, sudah tau sakit menyakiti masih saja diulang lagi lalu lagi dan diulangi lagi, dengan laku abai & bebal, karena tidak bisa tidak itulah mari kita kalau tidak menyerah ya berserah, tipis kan perbedaan menyerah dan berserah, setipis lingerie ini. Jadi, kau akan berdiri di sana saja atau kemari samaku, jangan bilang terserah, itu tidak ada dalam pilihan." Thus spoke the astronaut.

Monday, July 13, 2015

Bagaimana Kalau

. Bagaimana kalau ternyata perjalanan & perjumpaan dengan alam adalah untuk kita meracau dan alam mendengarkan semuanya

. Sedangkan yang kita lakukan hanyalah diam tenang dan mendengarkan alam berbicara, apa yg kita dengar? Toh alam diam karena ingin mendengarkan kita bercerita

. Cerita tentang apa yang kau alami sebagai manusia selama ini

. Atau kita malah merayakan pencapaian pertemuan dengan alam dan tidak memenuhi tugas kita, bercerita kepada alam semesta

. Kalau setiap perjalanan petualangan itu membebaskan, kita tidak akan pernah bertemu lagi di tempat yang sama bukan

. Kalau ingin kembali lagi dan lagi, melakukan lagi dan lagi, berarti ada yang belum tuntas

. Dan itu adalah tugas kita bercerita kepada alam tentang apa yang kita alami sebagai manusia selama ini

. Kita pun malah diam, mendengarkan alam. Bukankah itu membalikan fakta & melempar tanggung jawab

. Yah, sekadar "bagaimana kalau," saja

. #seruputganas

Saturday, July 11, 2015

Lari kah, lari lah.

11juli2015, tambak, jakarta.



Hentakan yang tidak asing namun sepaham apapun, rasa tetaplah rasa, terasa. Cipratan darah telah mendarat di lantai. Mata yang lebam dan bengkak menutupi pandangan, mungkin kini telah sebesar bola tenis. Bagaimana aku tahu bahwa cipratan itu telah mendarat dengan mata yang tak mampu melihat, terdengar saja entah bagaimana.


Ah, bohong.. sebenarnya tidak kedua mata ini yang terbutakan, masih ada satu mata terbuka. Mata yang melihat kepalannya menuju kepalaku, tujuannya satu dan jelas, mengkanvaskanku. Sepaham apapun, semengerti apapun rasa tetaplah rasa, terasa. Aku tau bahwa setelah tinjunya menghantam kepalaku, lutut akan menyambut di liverku dan ditutup dengan kuncian pada kakiku yang akan membuatku jatuh tak mampu berdiri lagi.


Apa adanya demikian, demikianlah adanya terjadi. Badan yang telah lama tidak dilatih tidak bisa mengimbangi kecepatan penglihatan. Semua terjadi seperti prediksi dan yang bisa kulakukan adalah menepuk lantai tiga kali sebelum kaki patah atau lutut lepas dari sendinya. Lebih baik menyerah daripada tidak bisa berjalan pulang kan. Pertarungan selesai, teriakan kembali terdengar. Apapun itu, pujian, makian, kekecewaan, kesenangan, sama sama saja. Teriakan.


Kekalahan bukanlah yang pertama, materi yang dibawanya mungkin telah dipahami hingga sela-selanya. Namun, rasa tetaplah rasa, terasa. Kekalahan itu seperti sesak dan rasa tidak nyaman di tengah dada, katanya. Uang yang kuterima tidak banyak namun untukku ini lebih dari cukup. Bukan keuntungan yang kucari namun kehadiran yang perlu kuisi, sepertinya aku ketagihan dengan kehadiran. Perkelahian dan teriakan, kebanggaan dan uang kumal dalam amplop cokelat. Jauh-jauh dari itu membuatku tak tahan. Sepertinya benar, ketagihan.


Aku kembali ke kontrakanku, kamar yang cukup luas dengan harga murah, yang menyewakan seorang nenek tua yang hanya butuh sedikit keramaian karena anak-anaknya telah pindah. Kamar mandi menjadi tujuan pertama, menghilangkan kotoran dan bercak darah sebelum mengeras dan berkerak hingga terlalu sulit dilepaskan. Rasanya, seperti kenangan, terlalu lama dibiarkan dan ketika hendak dibuang kulit pun ikut terkelupas perih, membuat luka baru.


Dengan hanya handuk yang membungkus bagian bawah badan, kulemparkan amplop cokelat dengan jumlah setengah dari biasanya kudapat ke sisi kasur dan kulemparkan badanku ke kasur. Kekalahan itu menyesakan memang, walau bukan hal yang baru, tetap saja. Apalagi merasakan berat amplop yang jauh lebih ringan dibandingkan selama ini. Rasanya bobot massa gumpalan uang memiliki kemampuan menghina saat bobotnya ringan dan memuji saat bobotnya berat.



Di luar mulai ramai, sepertinya telah tengah hari karena kamar ini telah menjadi terang. Aku mengumpulkan kesadaran dan perlahan ingatan mulai kembali. Sepertinya tadi malam aku ketiduran dengan handuk yang entah dimana sekarang. Ketelanjangan ini membuatku melihat luka semalam, sekaligus membuka memori tentang perempuan itu. Hemmhh... memori itu kotak penyimpanan rasa, dan tersimpan di sudut-sudut bentuk dan waktu yang kita bilang suasana. Saat bertemu format suasana serupa, terbukalah kunci kotak itu. Juga, manusia itu gumpalan memori.


Aku mendapati diriku di dalam cermin dan segelas air telah kuminum. Udara yang masuk ke paru-paruku menyegarkan badan sekaligus menyadarkan bahwa benturan semalam pada sisi kanan perut cukup telak ternyata. Kondisi membentuk manusia dan waktu menyatakannya, pernyataannya kali ini adalah tentang pelarian. Pertanyaan retoris pun terlontar, “apa yang sedang aku lakukan disini?”



Setelah memutuskan untuk pindah dunia, meninggalkan yang lama dan masuk kepada yang baru, mengapa aku masih melakukan hal yang sama. Pertarungan jalanan, hanya kali ini tidak ada hati dan rasanya hampa. Memang, kita hidup dengan cara yang kita tahu saja, tapi rasanya pengulangan tanpa isi seperti ini hanyalah pelarian dan kesekadaran saja. Rasanya hanya menghabiskan energi yang sebenarnya tidak terpakai dimana-mana lagi, seperti penantian di satu sisi yang tidak diberi jiwa oleh kata “saling”.


Pada awalnya memang menyenangkan, ada rasa petualangan dan seperti ada secercah cahaya harapan. Aku bisa menjadi seorang yang aktual dan nyata, di dunia baru yang lebih bersih dari segala kotornya memori lampau dan sesaknya ketidak diakuinya keberadaan, pada awalnya. Pada akhirnya, aku sadar bahwa kekotoran memori itulah aku sendiri dan kesesakan itulah yang selalu kubawa berlari dan berakhir di sini. Mengulangi ketololan dalam aktualisasi diri, pengulangan tak ada isi sekadar merepetisi untuk menipu diri kalau semua ini benar. Lari kah?


Lari lah. Mungkin itu yang akan dia katakan kalau sekarang melihat kondisi ini. Sudah tidak mungkin lagi untuknya menjahit luka di badan dan mengompres lebam di wajah. Ia telah berlalu. Ah, bukan... Ia telah kutinggalkan berlalu. Dengan keangkuhanku yang tinggi, dengan kepercayaan diri yang terlalu, dan kebanggaan semu hasil penyangkalan kemungkinan, aku membuangnya dengan mengondisikan bahwa dia yang membuangku.



Aku berjalan dengan cukup sesak, sepertinya trauma pada liver ini masih cukup besar efeknya. Setelah menghabiskan segelas air, aku menjatuhkan badan yang telah habis ini ke sofa dan membiarkan linu mengisi sendi, dan perih membelai kulit. Apa yang tersisa dari ini, dan apakah hanya sisa yang nanti akan bisa kuberikan. Telah habis diri ini, bahkan kalau tak menyangkal, telah kuhabiskan diri ini untuk hal yang sebenarnya dari awal tidak kuinginkan. Tapi, aku ketagihan dan tidak bisa tidak untuk menolaknya.


Rasanya ingin kembali, mungkin dengan segala yang telah berbeda. Tidak akan ada hal yang sama, paku yang telah tertancap saat dicabut pun akan meninggalkan bekas. Kalau terus aku berada dalam pelarian ini, tidak akan ada hal lain selain pengulangan dan kesekadaran. Belum waktunya untuk rutinitas bertahan hidup. Energi ini masih ada untuk suatu perubahan dan perkembangan. Kali ini aku tidak ingin menyangkal. Lebih baik berada dalam kesungguhan, walau penolakan sebagai bayarannya.


Kembali, kembalilah. Bukan kepada organisasi, bukan kepada tipu-tipu aktualisasi diri oleh kekuatan dan keterjebakan keputus asaan yang terimplementasi dalam pemusnahan. Namun sungguh kembali ke awal, kepada kesungguhan yang ada jauh sebelum kisah ini. Sebelum aku menjadi aku, saat aku masih adalah aku sendiri. Sekarang atau tidak akan bisa lagi sama sekali. Sekarang, saat masih ada energi untuk kembali dengan kaki sendiri.


Pintu diketuk, namaku disebut. Rupanya empunya kosan datang membawakan makanan. Kue manis yang melengkapi pencerahaan pagi ini. Terimakasih kuucapkan. Barang yang sedikit ini kukemas sambil melahap kue. Uang dalam amplop kusisihkan untuk membayar sewa dan biaya perjalanan. Sebelum ada alasan-alasan dan pembenaran hadir, lebih baik segera pergi dari sini. Lari kah? Lari lah. Kali ini, aku berlari pulang. Kepada pulang, yang ada jauh sebelum awalan.


Luka di badan cukup menyulitkan, setidaknya sampai dengan stasiun. Aku hanya perlu bertahan sepuluh jam ke depan, karena saat pulang selalu ada dua kemungkinan, sambutan yang hangat yang melegakan atau sambutan keras yang menunjukkan sisa paku yang telah tertancap di memori. Apapun itu, demikian lah adanya. Sebelum semakin jauh tersesat, lebih baik sekarang pulang.

Monday, February 2, 2015

Karena rasa ... (cerpen)


01.02.2015/Jakarta/matraman-salemba



Repetisi tiada henti, bukankah kontradiksi yang membuat gerakan. Kalau manusia tidak munafik tidak akan pernah ada lah perkembangan sebagai akibat dari gerakan. Kehancuran pun suatu perkembangan, awal perkembangan mungkin tepatnya. Lagipula apa itu kehancuran, semata konsep atas perubahan yang tidak sesuai dengan ekspektasi subjektif korban definisi.

Kalau melihat secara terbalik, kehancuran di jaman ini bukanlah hancurnya rawa dan pepohonan menjadi kompleks perumahan para jamak, melainkan pecahnya perkerasan jalan akibat tumbuhnya benih pohon dari dalam tanah. Atau, akibat perkembangan akar pohon besar yang mencari nutrisi dari tanah yang ditutupi aspal atau hamparan komposisi beton dengan perbandingan 1:2:3 untuk semen:pasir:kerikil kalau tidak salah. Atau, perbandingan pengetahuan:keserakahan:ketololan.

Kalau dilihat secara terbalik mungkin demikian, kalau dilihat secara lurus ya ketololan itu adalah perjalanan melintasi berbagai tempat tanpa tahu tujuan dan bukannya mengumpulkan harta demi persiapan hidup di masa depan. Sekilas terlintas kutipan “manusia itu hidup menunggu mati dan banyak yang mengisinya dengan kebodohan.” Ah, apa pula itu kebodohan. Subjektif dan terlalu relatif. Seperti kematian.

Mati menurut siapa dalam konteks apa dengan batasan apa dan untuk keperluan apa. Mati menurut dokter adalah saat organ vital penunjang kehidupan tidak lagi berfungsi, seperti jantung yang tidak berdetak memompa darah ke seluruh tubuh. Mati menurut teknisi mekanik adalah saat tidak adanya gerakan lagi dari suatu unit, katakanlah unit manusia. Lalu manusia yang bergerak tanpa jantung yang berdetak membuat kematian relatif. Ah, simplifikasi atau ketololan kah opini semacam ini?

Satu orang mati, seratus orang menghadiri pemakaman. Sembilan puluh sembilan sepakat bahwa orang ini mati, satu orang berkata orang itu tidak mati hanya hibernasi dan akan bangun lagi nanti. Maka kematian pun menjadi tidak mutlak. 99 orang pun bersekongkol menyingkirkan si 1% ini, alih-alih kematian menjadi mutlak, kematian pun menjadi politik.

Kebenaran itu pembenaran, objektivitas itu semu, subjektivitas relatif mutlak, kolektivitas lah yang kita amini sebagai kebenaran, dan itu pun relatif. Ke-relatif mutlak-an lain adalah, makin banyak makin benar. Banyak sekali orang mencari kebenaran sejati, mudah saja sebenarnya. Kumpulkan lah semua orang-orang yang mencari kebenaran sejati itu dan sepakati satu hal maka jadilah itu kebenaran. Lima milyar homo sapiens, dari delapan milyar yang menjangkiti bumi, berkata matahari terbit dari Barat dan tenggelam di laut maka demikianlah kebenaran yang tidak bisa disangkal.

“Lalu, dimana Timur?”

“Tidak ada lagi Timur, karena lima milyar ini bersepakat menghilangkan kata timur dari kamus bahasa mereka.”

“Ahahahaha… tadinya aku berpikir kau semacam kaum sofis modern yang mengimani segala hal relatif dan yang terpenting adalah bagaimana cara berbicara sehingga orang-orang meyakini hal tersebut adalah kebenaran.”

“Tadinya ya.” Ujarku sambil menyeruput kopi ini dengan memberi nada tanya yang tanggung dan tidak berharap jawaban walau membuka kemungkinan untuk mendapatkan respon balik.

“Yap. Tapi rasanya akan lebih tepat kalau mengkategorikanmu sebagai kaum pesimis, yang sinis menghadapi dunia dan saat lapar menjadi sarkastik. Mungkin seorang nihilis. Seperti merasa terjebak dalam kemanusiaan yang dibenci karena tidak bisa tidak adalah seorang manusia. Kelucuan yang menurutku keluguan, manusia yang membenci manusia karena tidak terima dirinya adalah manusia. Hal ini biasanya akan berkaitan dengan latar belakang, kekecewaan, dendam, perilaku tidak adil, dan…”

“Oi.. oi..” Aku menghentikan racauannya yang seksi. Bukan tidak mau menerima tapi, “Aku tidak mengerti terlalu jauh kalau kau mengupas dengan pisau psikologis seperti itu, yang aku tau tentang hal semacam itu hanyalah manusia saat ini adalah akibat dari mimpi dan imajinasi seksual mereka, seperti kaum banyak bicara (sambil menunjuk diriku dan dirinya) yang katanya adalah akibat kekurangan kepuasan oral saat masih kecil, yah.. mungkin sang ibu hanya sebentar menetekinya. Tapi itu pun samar, aku hanya sekilas dengar.”

“Dan itu pun tidak tepat, jadi… “

“Ah.. gak usah dibahas, kau bisa membuatku mabuk tanpa minuman beralkohol nanti.”

“Hahahahah… Baiklah.” Tawanya manis juga.

“Bukankah nihilis pun masuk kaum sofis yah.”

“Hey, katamu tidak usah dibahas, sendirinya.” Katanya sambil menyenggol lenganku kemudian tertawa manis. Manis dan nakal, dengan mata penasaran dan telinga yang kehausan. Seakan ingin membongkar semua isi pemikiran manusia di depannya dengan melepas liarkan semua pemikirannya sebagai pancingan, melalui bibir manis dengan titik tahi lalat mungil di sudut bibir atasnya. Rapi dalam balutan pakaian kerja wanita yang entah lah apa namanya, bahkan istilah blouse dan blazer saja membingungkan. Namun, sewaktu-waktu mampu untuk menerkam melumat hancurkan tanpa menelan lawan bicaranya.

Kedai kopi ini tidak nyaman. Kopi tidak enak, terlalu banyak manusia, walau semuanya tidak saling menghiraukan dan sibuk masing-masing tetap saja, kita semua berebut udara yang sama. Ya berebut, bukan berbagi. Sepertinya budaya masa kini sedemikian merasuk ke dalam manusia, hingga ke titik bagaimana manusia bernapas mencerminkan budaya kompetisi yang sedang mengalir deras saat ini.

Kebersamaan bukan kesamaan, persamaan bukan penyamaan. Sayang, dewasa itu saat kata tak menguak emosi. Waktu berlalu begitu cepat, segala hal hanya sekejap lewat, tiada yang mengganggu dan tiada yang menakuti. Kehadiran saja sudah cukup lah. Kata-kata ini tertempel dengan indah sebagai hiasan dalam bingkai di dinding utama ruangan ini. Bukan kata-kata yang indah hanya tertempel dengan indah, seperti meledek kontradiksi sekaligus mengagungkannya.

Kaum yang memuja kesamaan dan para jamak yang mengusahakan penyamaan. Para pengkhawatir masa depan yang membuang masa kini. Selalu berbicara nanti bagai kecanduan kemapanan dan ketakutan. Kita semua memang masokis namun hanya sedikit yang mau menggunakan kata ini sebagai pengakuan, istilah kerennya adalah keluar zona nyaman. Seperti menarik siput untuk keluar dari rumahnya dan memaksanya jadi tangguh di bawah paparan ultra violet yang jatuh menerpa secara perpendikular.

Keluar zona nyaman untuk berjuang dan di dalamnya untuk berkarya. Dalam perjuangan ada pengalaman, dalam pengalaman ada pembelajaran. Dalam karya ada perlawanan, dalam perlawanan ada aktualisasi diri. Kini semua orang dipaksa untuk berjuang, berpengalaman, dan belajar tanpa sempat berkarya. Demi memenuhi fungsi produksi monopoli, dengan manusia sebagai sumber daya. Kalau semua berkarya, tidak akan ada kelompok yang menjadi kaya.

“Kemapanan itu candu yah.” Katanya sambil memberikan beberapa dokumen permintaanku. “Semua orang bekerja dengan tujuan menjadi mapan untuk memiliki simpanan masa depan dan menggadaikan masa sekarang. Dalam drama jenjang karir dan prestise berdasarkan akumulasi harta, kita semua berkompetisi.” Lanjutnya.

“Yah, sama-sama saja. Kemapanan seperti itu saja sebenarnya yang terlalu digembar-gemborkan. Bukankah kemapanan bisa juga untuk seorang ibu penjaga kios bertahun-tahun dan semua kebutuhan yang dia perlukan terpenuhi. Mungkin yang kita lihat anaknya tidak bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan, namun bukankah pendidikan anak pada dasarnya adalah kebutuhan orang tua dan bukan anak itu. Bahkan pada aslinya adalah kebutuhan perusahaan dan dengan kebutaan kita menjadikannya kebutuhan. Lalu untuk menyembuhkan atau menghindari kebutaan tersebut kita pun menjadi perlu pendidikan. Ah lingkaran setan sialan dan bisa saja ternyata ibu penjaga kios itu dengan kemapanannya adalah satu dari banyak orang yang terbebaskan dari jebakan rasa membutuhkan pendidikan untuk anaknya.” Aku meracau sambil sekilas memeriksa dokumen ini.

“Kau seksi saat meracau, mau melanjutkan racauan itu di tempatku malam ini? Daripada susah lagi mencari penginapan.” Katanya. Aku memandanginya, perempuan matang usia tiga puluhan, dengan kebebasan dan pilihan, dengan penentangan dan perlawanan, dengan kebanggaan dan kekuasaan. Bukan menjadi musuh dari dunia namun merupakan bagian dari dunia ini. Dunia adalah gerakan dan kontrakdiksi lah dasarnya. Demi keseimbangan, peran “wanita” perlu didampingi peran “perempuan”.

“Hahahahaha… baru saja kita ketemu tiga kali. Ini lah pertemuan yang ketiga kan.” Aku membalas bingung. Karena aku mau sekaligus aku tidak mau. Bukankah ini hanya repetisi-repetisi tiada henti yang tidak bisa tidak akan mengalir sedemikian adanya. Dengan atau tanpa keterlibatan subjek, peran akan terisi dan alur akan terus mengalir, dengan melibatkan subjek-subjek yang dengan ketidak sadaran malah menjadi objek. Aku adalah subjek bagi objek yang juga adalah aku. Aku itu apa.

“Lalu?” Tanyanya.

“Mau?” Balasku.

“Mau.” Tegasnya.

“…” Terdiam saking banyaknya gerakan dalam pemikiran dan perasaan.

“Hahahhaa.. senyamanmu lah.” Akhirnya Ia bersuara, “Dasar pemikir, tidak bisa kah kau lepaskan dirimu pada perasaan dan melepaskan kendali pada liarnya hasrat dan naluri pelepasan itu sendiri.”

“Perasaan itu ilusi pemikiran. Kita semua korban definisi.”

“Ya, makhluk-makhluk terkondisi yang penuh dengan hasrat untuk berkuasa.” Ia menambahkan kutipan.

“Gumpalan padat memori, yang adalah kotak penyimpanan rasa yang dengan mudahnya kita reduksi dengan definisi.” Aku menambahkan opini.

“Hahahaha.. kau. Aku suka kamu.”

“Aku pun suka kamu.”

“Mari menginap lah di tempatku malam ini kalau begitu, mungkin tiga empat malam ke depan juga.”

“Kenapa tidak sekalian kau ajak aku untuk tinggal selamanya bukan semalam saja kalau untuk mengikuti perasaan yang adalah segalanya itu.”

“Karena rasa bisa kadaluarsa.”

“Hahahahaha…” Aku kaget bahwa kata-kata itu akhirnya kutemukan juga. Menemukan manusia sejenis dalam arus drama yang terlalu berlebihan memuja rasa sehingga malahan mereduksinya. Seperti ciuman yang dilakukan sesekali dengan ciuman yang dilakukan sejam sekali. Rasanya, terbiasa jadi biasa.

Pemeriksaan dokumen telah selesai, semuanya lengkap. Aku tinggal mempersiapkan diri. Dokumen ini semacam surat perjanjian yang merupakan hal umum dalam aturan pertarungan jalanan. Tentang kemampuan diri, perjanjian keuangan, ikatan-ikatan kode etik pertarungan di dalam dan di luar arena dan asuransi. Begitulah.

“Kenapa?” Tanyanya dalam satu kata kunci yang membongkar paketan cabang pertanyaan dan ekor-ekornya. Aku mengerti maksudnya.

“Bukan uang, hanya rindu saja. Bukankah kita menjalani hidup dengan cara yang kita tahu dan hanya begitu saja. Aku rindu aroma keringat dan darah. Benturan dan suara retak tulang. Hal-hal menjijikan dan mengerikan menurut opini jamak. Tapi sekali lagi kan, kita menjalani hidup dengan cara yang kita tahu. Saja.”

“Ya, rindu. Seperti memori yang membawa rasa rindu. Rindu yang katamu adalah definisi yang sebenarnya mereduksi rasa itu sendiri, rasa yang sebenarnya tidak perlu didefinisi yang terkandung dalam memori. Iya kan.” Senyumnya sungguh, liar seperti hutan dan nyaman seperti gunung. Apa pula liar itu, bukankah itu definisi juga. Aduh, pikiran. Memang, pikiran manusia itu seperti monyet liar yang tidak bisa diam dan meloncat kesana kemari.

“Malam ini, Aku bisa ikut beristirahat di tempatmu?” Aku bertanya hal retoris dengan rasa sebagai pijakannya, sialan.

Tatapan dalam yang menantang namun tak mengalahkan, meneduhkan dan tidak mengurangi kewaspadaan, keterbukaan akan segala kemungkinan, bergaris-garis cahaya yang menembus rimbun dedaunan melukiskan kehangatan yang juga dingin, kebersamaan yang hadir dari kemampuan untuk tegar berdiri masing-masing. Keagungan yang menggoda awan dan menyentuh sudut bibirnya, belaian angin sentuhan lembut pipi langit oleh jemari bumi.

Senyumnya sungguh, liar seperti hutan dan nyaman seperti gunung. Gestur yang mengajak mengikuti, gandengan yang tidak berniat melepaskan, rangkulan yang memberi rasa seperti pulang. Bukankah kita pergi untuk pulang dan pulang untuk pergi kembali. Repetisi oh repetisi, kali ini berhenti sejenak dalam rasa adalah segalanya, sebelum nanti rasa kadaluarsa.

Friday, January 16, 2015

KO/tbah/Pi di Atas Bukit (cerpen)

KOtbahPI di Atas Bukit.

15.01.2015/Jakarta/freedom-proklamasi


Gersang dan berdebu, panas dan penuh pelari yang bertahan dalam kebergerakan. Banyak sekali yang takut akan diam, sepertinya jeruji definisi begitu menyiksa laku tenang berjalan daripada liar bergerak. Kera-kera-kera.. yang begitu diagung-agungkan saat ini. Aktif bergerak adalah peribadatan tertinggi kepada agama angka dan akumulasinya menentukan martabat kemanusiakeraannya.

Kompetisi dimulai dari tembakan mulai bintang fajar, cahaya dari timur, raja dari raja yang yang tersangkalkan namun diidolakan. Satu jalan beribu kendaraan berjuta manusianya, bergerak bersamaan karena beda itu dosa. Ah sayangnya, persamaan kini menjadi penyamaan dan kebersamaan adalah kesamaan. Penyederhanaan memang menjadi rumit, bukan karena keragamannya namun karena keseragamannya dan gumpalan kesamaan yang memuakkan tak terelakan.

Tidak bisa tidak, derap kaki seperti tentara berpacu di depan pintu kamar kayu. Sengaja cermin terpasang untuk penerangan karena cahaya telah dimonopoli gedung tinggi. Anjing! Ah salah, makian ini sudah tidak aktual lagi. Monyet! Hemm.. rasanya masih kurang juga. Manusia! Mungkin spesies ini lebih pas sebagai makian saat ini. Tidak ada obrolan hanya ketergesaan, buru-buru tidak ada lagi digantikan buru memburu. Seperti manusia jaman batu berburu babi hutan, manusia modern berburu angkutan terpadu yang sekali telan bisa dua ratus orang.

Keluar dari penangkaran masuk ke dalam kandang perahan. Bagaimana kalian menjalani kemanusiaan, sempat kuintip beberapa kali setiap pagi kalah cepat dengan kembalinya kesadaranku. Ah seperti babi, menunduk merendahkan pandangan menatapi langkah tak rela terpaksa namun penuh bangga. Mungkin babi bukan menunduk malu pada dirinya namun malu pada manusia yang meniruinya.

Kebanggaan yang diumbar lewat kotak suara, yang bahkan saat ini tidak lagi menjadi kotak bagi suara. Ia disangkal sebagai media suara menjadi media visual dengan berbagai sosial dalam jaringan yang membuat manusia seperti kuda terikat tali pada kursi plastik yang bahkan tak tertancap di tanah. Mentalitas budak dalam budaya angka, memang begitu seharusnya dan apa masalahnya. Mempermasalahkannya lah yang menjadi masalah. Kita hanya berbeda.

Kemanusiaanmu yang di pagi hari berburu angkutan masal dengan tertunduk memandangi layar ponsel pintar, dengan kemanusiaanku yang terpaksa bangun untuk melemaskan otot untuk menghindari sakit di leher. Kemanusiaanmu di siang hari yang memandangi keluasan dunia yang terlalu luas namun serupa tapi tak sama dengan layar monitor yang melaju kencang kemana pun sesukanya, dengan kemanusiaanku yang hanya seputar dua puluh kilometer dengan keberagaman namun berpola dari laku manusia dari bawah selokan hingga atap bangunan.

Beda itu dosa, klasifikasi berdasarkan berat recehan di dalam selangkangan pada budaya angka oleh iman kepada agama kuasa membuat dua nilai bagi kemanusiaan yaitu jelas dan tidak jelas. Mungkin kemanusiaanmu yang jelas dan kemanusiaanku yang tidak jelas. Bahkan aku menjadi manusia tidak jelas sedangkan kau manusia jelas. Akan menjadi jelas bagiku untuk menjadi sama denganmu karena kamu adalah kalian, karena kejamakan adalah banyak dan kebenaran sebanding dengan kuantitas.

Belokan kanan di pertengahan perjalanan ini selalu membuat penasaran, terlalu sering diabaikan tapi rasanya kali ini waktunya untuk melewati. Hari ketujuh di sini berarti sudah enam kali mengabaikan, kali ketujuh ini rasanya bolehlah menjadi yang pertama. Aku mengambil belokan ke kanan, jalan kecil menanjak yang selalu membuat penasaran dan terabaikan. Sekilas terlintas para jamak dengan moto kera dan laku babinya, tidak salah dan tidak masalah pun adalah cerminan bahwa spesies bias identitas itu mengandung aku di dalamnya.

Mau kemana? Tanya bapak tua yang sedang mengambil rumput di semak pinggi jalan. Mau ke atas pak, ada apa ya di sana? Anda baru di sini? Iya Pak, Saya hanya penasaran saja untuk ke sana. Oh yasudah hati-hati lah, katanya. Di sana ada restoran yang selalu ramai di akhir pekan oleh mobil-mobil dan orang-orang yang mencuri hiburan. Ya, mencuri. Bahkan daerah terpencil pun selama ada akses jalan tidak akan lepas dari jamahan monyet-monyet muda di dalam babi besi. Jika arah yang kau lalui telah memiliki jalurnya, berarti kau sedang mengikuti jejak orang lain. Seperti ini kah maksud perkataan itu, lalu apakah harus ku melalui semak belukar di sisi kiri kanan jalan ini dan membuat jalur yang baru. Merepotkan. Kaki ini melangkah menyusuri tanjakan mengikuti jalan. Tujuanku hanya untuk tau saja.

Napas sedikit terengah, otot kaki masih mampu walau rasanya tidak seperti biasa. Seminggu ini terlalu longgar aku menggunakan badan ini. Seperempat tahun dengan kebiasaan itu apakah masih bisa tangan ini mematahkan leher dengan sekali ayunan, atau sapuan kaki ini mengeluarkan isi lutut dengan satu putaran. Apakah masih mampu melakukan akselerasi mendadak masuk ke dalam area pertahanan lawan sebelum sikap siaga bertahan pertarungan sempat dilakukan. Ah, memori dan repetisi, lintasan pikiran yang telah menjadi kebiasaan segera berhenti seiring dengan kesadaran bahwa aku sedang merepetisi memori. Manusia memang gumpalan memori dengan karya yang hanya lah repetisi. Tidak bisa tidak terlarut di dalamnya, untuk tak hanyut hanya berharap pada kesadaran keterlarutannya. Itu pun kalau tidak lupa.

Aku melihat suatu rumah yang kecil di atas bukit itu. Jalan setapak berbatu yang padat pun terlihat seiring dengan langkahku menyelesaikan pendakian yang kira-kira tiga kilometer dari belokan jalan besar tadi. Tiga kilometer tanjakan curam berkelok. Aku mulai bisa melihat kota ini dari posisi sekarang, sepertinya berada di puncak bukit tempat warung tersebut aku bisa melihat keseluruhan kota ini. Pantas saja jamak mengincar lokasi ini untuk mencuri hiburan, karena dengan demikian jamak bisa lepas dari kemanusiaannya yang telah terdefinisi angka dan berkutat dengan drama kompetisinya. Lucu, kalau tidak suka mengapa menjalani dan berkeras pada pembenaran-pembenaran definitif, pun telah sadar bahwa kebenaran tersebut adalah kolektif. Tidak lucu, karena semua terjadi oleh kebebasan dan keterjebakan pun bentuk kebebasan dalam memilih untuk terjebak. Wajar adanya dan demikianlah alurnya. Kera dalam pikiranku berlonjakan.

Kaki ini tidak melangkah ke jalan setapak perkerasan batu yang tadi kulihat melainkan memasuki semak dan mencari pohon kuat yang ada di sana. Tidak jauh kalau memanjat, tidak apalah sedikit menguji kemampuan tubuh ini, lama tidak terbentur dan tergores, hanya saja kali ini tumbuhan dan bebatuan bukan pukulan tendangan dan senjata yang bermaksud mematikan. Satu lompatan, beberapa tarikan, sejumlah tolakan, dan rasanya begitu melegakan. Badan ini masih bisa kukendalikan, mungkin tidak seterampil jemari yang menari di atas layar sentuh dan sesigap mata yang menangkap pemberitahuan di pojok perambahan dalam jaringan internet, namun kemampuan tiap orang berbeda kan. Aku mampu melemparkan tubuh ini ke atas pohon dan dengan tepat menangkap dahan kuat untuk menarik badan menambah ketinggian, sedangkan ada yang lain yang mampu cepat menangkap pemberitahuan komentar dari unggahan fotonya untuk kemudian bereaksi dengan komentar tepat di bawahnya sebelum komentari lain menduduki posisi itu.

Srak.. srak.. hap.. tap! Suara itu tampaknya membuat wanita penjaga warung menoleh ke belakangnya dan menemukan ku. “Kamu datang dari semak itu?” Ia bertanya. “iya,” kataku, “memanjat pohon.” Sambungku sebelum pertanyaan standar ‘bagaimana?’ muncul. Ia diam, sebelum sempat bertanya sudah kujawab.

“Warungnya buka?” Aku bertanya.

“Iya, hanya karena bukan akhir pekan tidak semua menu ada.”

“Tidak apa, aku hanya ingin segelas kopi yang bukan sachetan.”

“Ada. Pakai gula atau tidak”

Aku terdiam dengan pertanyaan ini, bukan bingung menentukan berapa takaran gula yang akan kuajukan tapi karena di kejamakan bentukan definisi yang membentuk pertanyaan ‘berapa sendok gulanya?’ ada bentukan definisi lain yang mungkin tidak banyak yang menanyakan hal ini. Memang, pertanyaan ‘berapa sekop gulanya?’ pun termasuk kedalam keunikan yang jauh lebih unik. Hanya, sepertinya kasus pertanyaan itu sangat jarang diketemukan dalam skenario meminum kopi. “Tidak usah pakai gula, polos saja.” Jawabku.

“Pecinta kopi ternyata ya?” Ia menyahut dengan nada retoris dalam kalimat tanya.

“Bukan, hanya menikmati pahitnya rasa saja, rasa kopi.”

“Begitulah, banyak yang memesan kopi namun yang diinginkan adalah rasa manis. Kenapa tidak memesan air gula saja.” Wanita itu berkata datar sambil mengangkat air yang telah mendidih. Aku suka dengan caranya membuat kopi. Mendidihkan air, menyiram gelas dengan air panas untuk menghangatkannya, mengambil bubuk kopi seperlunya dan menutupnya kembali. Menuangkan pada gelas hangat yang kering dan menyeduh seperempatnya dengan air mendidih yang telah didiamkan beberapa detik itu.

Dari tempat dudukku aroma kopi mulai menghalau pandangan. Sejak tadi aku berusaha untuk melihat kota ini keseluruhan dari ketinggian tempat ini namun ritual kopi di atas bukit yang Ia lakukan seakan mencuri sebagian perhatian, dan kini aromanya mencuri seluruhnya. Selesai dengan memasak bubuk kopi dengan teknik seperempat gelasnya , Ia menuangkan air hingga penuh satu takaran cangkir dan mengaduknya sebentar, menutup cangkir keramik dengan tutup keramik pula dan menhidangkannya di depanku. “Tunggu sebentar ya, sekitar tiga puluh detik baru dibuka tutupnya. Kopinya akan jadi enak diseruput nanti.” Katanya sambil berlalu dan tidak ada terimakasih dari bibirku. Terpesona.

Apakah monyet atau babi. Apakah dia manusia atau dewa. Apakah dia aku atau aku adalah dia. Apakah apakah dan kenapa kera di dalam pikiran ini mulai bergerak pun aku tahu jawabannya karena memang demikian lah alurnya sesuai hukum utama tritunggal maha niscaya; kemungkinan/posibilitas, peluang/probabilitas, dan sebab akibat/kausalitas. Seketika kesadaran hadir dan untunglah kesadaran hadir untuk menyadari aliran keniscayaan pikiran dan pemikiran, perbandingan dan pembenaran, penilaian dan penghakiman. Begitulah adanya dan adanya lah demikian maka setelah beberapa saat aku pun menghirup aroma kopi ini dan menyeruputnya dengan ganas.

“Ngapain?” Wanita itu bertanya. Ia masih muda mungkin di bawah usiaku angka durasi hidupnya.

“Lihat-lihat aja” Kataku sambil tidak terlalu lama melekatkan pandangan padanya dan kembali memandangi seluruh kota dari serambi warung yang posisinya memang diatur sedemikian sehingga pas sekali untuk menangkap pemandangan.

“Dengan posisi ini, kita bisa melihat segalanya tanpa terlibat di dalamnya. Tidak ada yang melihat kita namun kita bisa melihat semuanya.” Ia berkata.

“Semuanya namun tidak segalanya. Mungkin. Kita bisa melihat semuanya secara menyeluruh namun bapak tua tadi yang sedang mengambil rumput tidak bisa terlihat, kan.” Balasku.

“Saat kita memandang bapak tua tadi, maka tidak bisa kita melihat seluruh kota. Saat kita melihat seluruh kota, tidak dapat kita melihat setitik manusia yang sedang mengambil rumputnya. Ia berada sebagai bagian dari keseluruhan seperti melihat bapak tua tadi tidak membuat kita melihat tahi lalat di pelipis kirinya, namun melihat tahi lalat di pelipis kirinya membuat kita tidak bisa melihat bapak tua itu, demikianlah tahi lalat di pelipis kirinya adalah bagian dari si bapak tua.”

“Iya, maka pentinglah untuk tidak selalu melihat dari serambi yang sama dan perlu untuk melihat dari jendela itu atau serambi belakang itu, atau mungkin berpindah ke teras depan yang langsung berbatasan dengan jurang.” Kataku sambil menunjuk beberapa tempat yang ada di sana. “Bapak tua itu, tinggal di sini?” Lanjutku.

“Iya dan iya.” Jawabnya sambil tersenyum. Sialan, manis.

“Tidak sambil mengopi juga?” Aku mengalihkan keterpesonaanku.

“Tidak, aku tidak suka rasanya tapi aku menikmati aromanya.”

Aku tersenyum pada bibir, namun tertawa pada hati. Kalimat ini pernah kudapatkan dulu. Hahahaha.. sungguh manusia adalah gumpalan memori dan pengulangan tiada henti, maka dengan kecepatan yang melebih kesadaran, refleks, aku menjawab kalimat yang sebetulnya pernah kuucapkan dulu, “Kalau begitu ini kopi kita, ku yang menyeruput dan kau yang menghirup.” Tidak sampai seperempat detik kesadaran hadir bahwa kalimat itu kuucapkan dan pengucapan itu pun berdasarkan memori dan repetisi. Ia tertawa dan memandangiku dengan mata yang juga tertawa. Entah apa maksudnya namun bukankah dia dengan dunianya dan aku dengan duniaku. Dunia yang adalah kotak bagi memori memori.

Aku tidak bertanya dan dia tidak membahas. Selesai tawa itu terjadi kami pun sama-sama memandangi keseluruhan kota di bawah bukit tempat beradanya warung ini. Hening dan kini giliran angin yang berbincang dengan dedaunan. Kopiku tinggal setengah. Tidak terbiasa menyeruput kopi yang dingin, aku selalu menghabiskan kopi selagi dalam keadaan hangat.

Kopiku pun selesai dan wanita ini masih duduk dengan tenang di sebelahku memandangi awan dan tangannya menggenggam kursi kayu tempat kami meletakkan pantat dan pemikiran. Aroma kopi akhirnya selesai dari kerongkongan dan tenggorokanku. Bukan rasa kopi yang membuatnya menjadi kopi namun setelah rasa itulah yang menjadikannya. After taste is everything, katanya dan aku mengerti betul apa maksudnya walau hanya dalam lingkup secangkir kopi.

Bau darah membuatku siaga. Bukan bau darah segar yang tumpah namun bau darah yang penuh dengan nafsu membunuh, panas dan pengap. Sebilah pisau melentin sempurna dari arah kiriku ke arah pusat keningku dengan ujung tajamnya yang tahu pasti arah tujuannya. Gelas kopi kuhentakan ke kiri dan tubuh ini kulemparkan ke kiri oleh kontraksi otot pinggang kiri, leher kiri, dan tolakan otot betis dan paha kaki kanan. Sempat. Telinga kananku sepertinya terkena, karena aliran panas membelai leher kananku.

Kepalaku di dadanya, tepatnya telinga kiriku menempel di dadanya. Wanita kopi yang mempesona dan terlalu pandai untuk menjadi gadis desa penjaga warung kopi di atas bukit. Ritual kopinya bagaikan kotbah, yang selalu berisi tentang pola kemanusiaan dan menggambarkan pengulangan-pengulangan. Kini kedua tangannya memegang belati, yang kiri yang kuelakan dan berhasil mengoyak daun telinga kananku, yang kanannya kupegang dengan tangan kiri dengan kuat agar dalam posisi kepalaku dempet dengan dadanya tidak ada belati yang menembus leherku. Satu hentakan kuat dari otot kaki kiriku melentingkan badanku sehingga puncak kepala ini menghantam dagunya. Dagu yang seandainya kami berciuman akan kupegang lembut dengan telunjuk dan ibu jariku.

Pecah! Dagunya berdarah, pandangannya sekilas membuyar, pisau tangan kirinya lepas dan pilihan ada padaku, mengambil pisau itu dan memberi waktu bagi penglihatannya untuk kembali normal untuk kemudian menyerangnya dengan senjata atau melakukan satu jurus pukulan keras ke ulu hati untuk memecahkan lambungnya dan menjatuhkannya. Aku bukan orang yang sabar, hentakan kaki kanan dan ayunan tangan kanan melesat ke arah pusat badan sang perempuan yang pernah begitu mempesonakan, aku.

Belum sempat meledak, tangan kananku terempas ke arah kanan dan kulihat sebatang kayu menancap pada kulitnya. Tidak sampai menembus karena otot sedang kontraksi penuh dan keras seperti kayu. Ya, kayu, karena masih bisa tertancap anak panah. Kepalanku gagal mendarat pada solar plexusnya namun mendarat pada dada kirinya tepat di garis posisi jantung. Tidak telak meledak hanya menghantam dengan setengah kuat. Aku ikuti jalur anak panah ini dan menemukan bapak tua pengambil rumput yang sedang melepaskan anak panah kedua kearah titik vital di antara kedua mata.

Sekejap telapak tangan kiri menghentikan laju anak panah mendarati keningku, yang kali ini anak panah itu menembus telapak tanganku. Seperti paku pada telapak tangan yang mengikat para jamak pada kekang ponsel pintar dan papan tombol komputer nya, siksaan yang tidak membawa keselamatan. Posisi tubuhku menurun dan gerakan bapak tua tadi mendekat sambil menarik anak panah ketiga. Kini ia ada di atasku, mengambang hasil dari lompatannya dan akan segera melepaskan anak panah ketiga bersamaan dengan lecutan tangan kananku melemparkan pisau yang tadi terjatuh.

Pisau perempuan yang berkotbah di atas bukit dengan ritual kopinya kini bersarang di tenggorokan bapa tua bersamaan dengan anak panah ketiga yang menacap di tangan kananku. Tidak menembus karena ia mendarat pada siku. Bertanya, “sakitkah?” adalah cara untuk membuatku semakin emosi tak terkendali. Sebelum bangun, kuhantamkan gelas kopi ini pada pelipis orang tua itu dan membuat satu titik lagi aliran lava merah dari kepalanya. Ia terkapar. Ia sebentar lagi tewas.

Tattoo di paha perempuan itu menjelaskan semuanya. Mereka orang jaringan. Sialan, ternyata benar ada alat pelacak di uang terakhir yang kuterima dalam satu tas besar. Aku tidak terkejut, aku sadar aku abai tidak memeriksanya, aku sadar bahwa hal ini akan terjadi dalam bentuk kemungkinan dan peluang, karena hukum sebab akibat telah kujalani sebelumnya. Lalu semuanya menjadi tenang dan jelas dalam pengertian. Demikian lah alurnya dan aku ada di dalamnya. Seandainya bukan aku, alur akan terus berjalan dengan sang “aku” lain yang mengisi peran ini. Semuanya berjalan, waktu terus berlalu, aliran demikian lah adanya dan peran adalah keniscayaan. Sadar atau tidak sadar yang membedakan, memang tipis, setipis lingerie.

Menutup luka seadanya dan aku melompat masuk ke semak-semak. Tidak sampai dua puluh menit akan ada tim pembersih yang hadir untuk membereskan kotoran dan mayat. Mayat korban dalam keberhasilan misi atau mayat eksekutor dalam kegagalan misi. Prosedur yang aku ketahui, walau belum sempat aku terbiasa dengan itu. Tidak perlu memastikan prosedur itu berjalan atau tidak, aku melaju turun dengan menekan luka dan menuju penginapanku.

Aku tidak bodoh, dalam jaringan telah ada kesepakatan yang menjadi kode etik kegiatan. Penyelesaian dan pembersihan sampah divisiku dalam jaringan adalah dalam pertarungan dan bukan dalam tindakan diam-diam yang mematikan, seperti penembak jarak jauh. Bukan masalah kematian yang aku pedulikan, namun keberadaanku yang diakui sebagai sampah dalam jaringan lah yang membuatku sedikit kesal. Memang sebelum berhenti sudah ada yang mewanti-wanti, tidak semua akan menerima. Untung saja belum ada genap satu putaran matahari keterlibatanku maka mudah untuk mengakhiri, tapi tetap saja paku yang tertancap sedangkal apapun akan membekas saat dicabut.

Berharap pada kesepakatan kode etik, aku menuju penginapanku. Pendarahan telah berhenti, daun yang kukunyah dan kuletakan pada luka ternyata berguna, walau aku hanya membaca dari buku saja dan ini kali pertama melakukannya. Aku menaiki angkutan umum dan menurunkan lengan jaketku, mengambil telepon selular dan ternyata ada pesan masuk. “Kode etik terjaga. Pertarungan. Bapak dan kakak yang tidak puas pada perebut posisi sang anak, adik yang kemudian melepaskan kursi itu. Personal. Bukan urusan jaringan.” Yang langsung terhapus selesai dibaca. Oh, komunikasi jalur aman. Aku menghela napas lega, ternyata mereka. Saja. Berarti ada satu lagi. Si bungsu yang berapi-api.