Tuesday, February 14, 2012

Tuhanku, Aku (CERITA)


entah apa yang membuatku kecewa
juga entah apa yang membuatku ketakutan
terlalu banyak energi yang bekerja sehingga menghasilkan diam
terlalu banyak yang layak dipedulikan sehingga melahirkan ketidak acuhan
tuhan
tuhan
tuhan?
apakah kubangan tempatku berawalan
atau malah akhir dan keabadianku

Aku menghadap Tuhan. Tuhan, aku tahu Kau mengerti yang sedang aku alami. Mungkin jauh lebih mengerti daripada aku, yang mengalaminya sendiri. Kesadaranku mungkin masih belum penuh, sehingga terkadang aku mengutuk kemanusiaanku sebagai kelemahan. Pembatas yang membuatku begitu tak berdaya.

Begitu banyak yang aku inginkan, namun aku sadar tidak semua bisa aku dapatkan. Aku memandang Tuhan, dia tersenyum dengan wajah lembut. Hhhh… Kau selalu tahu, betapapun aku menipu diriku dengan kalimat itu, Kau tau yang sebenarnya. Aku mampu mendapatkan semua yang aku inginkan, tapi aku aku belum tau apa yang aku inginkan. Malah membuat pembenaran tidak semua yang aku inginkan aku dapatkan. Tuhan pun tersenyum.

Kembali aku menatap Tuhan. Banyak hal yang ada di pikiranku, rasanya semua menyerangku dan menantangku. Bersamaan. Aku ingin menaklukan semuanya, mendapatkan semuanya, aku ingin menyeruput lautan kemenangan. Aku memerlukan itu, aku menginginkan itu. Semuanya. Kali ini aku menatap Tuhan dengan dalam.

Tuhan balas menatap dalam, tenang dan kemudian menutup matanya. Aku pun sadar, aku marah maka aku kalah. Aku tahu, Tuhan. Yang aku bilang ‘semuanya’ adalah bukan ‘segalanya’. Aku terlalu naif mengatakan danau adalah lautan. Hidupku, duniaku, aku jadikan kacamata untuk melihat dunia yang luas ini, dengan menyamakannya. Aku memang munafik, bilang menginginkan semua. Padahal, aku tidak menginginkan memiliki dua jenis kelamin sekaligus. Munafik, karena aku bilang semua, padahal tidak semuanya.

Tuhan, aku membodohi diriku sendiri. Aku tertawa, kemudian memandang Tuhan. Dia tertawa dan kami pun terbahak-bahak. Naif dan munafik. Hahahaha… Aku harus menjadi orang yang kaya dan berpengaruh, mengendalikan orang lain dan mendapatkan yang aku inginkan. Aku lupa, apa aku menginginkannya atau tidak. Aku hanya bilang mau, dan kemudian marah saat tidak mendapatkannya. Aku menatap Tuhan, dalam. Aku sadar, bagaimana mungkin aku mendapatkan yang tidak aku inginkan. Ia tersenyum.

Aku butuh ini, butuh itu. Ingin ini, itu, semuanya, semaunya. Seharusnya begini begitu dan ini adalah itu. Jika begini maka begitu. Kemudian, saat semuanya berkumpul, aku tak kuasa untuk melahap semuanya. Ya Tuhan, aku tahu, “Gak perlu yang gak perlu”. Aku tahu, aku menipu diriku lewat pikiranku tentang “Perlu”. Aku tahu, aku sadar, semua mengalir, seperti aku yang mengalir. Lahir-tumbuh-berbuah-selesai.

Tapi, Tuhan. Apakah hanya sekadar itu saja hidupku. Sepertinya singkat, dan hanya menunggu mati saja. Lalu untuk apa? Semua akan musnah, tidak ada yang aku dapatkan. Semua tak bermakna semuanya… semuanyaaa.. aku menghentikan kalimatku dan tak mampu memandangNya. Haaahh.. susah sekali untuk berbohong di depanMU. Hehehe… aku hanya meratap dan mengasihani diri, aku menikmatinya. Karena dengan begitu aku merasa ada. Aku sadar, Tuhan. Eksistensi tidak hanya bisa dilakukan dengan meratap begitu. Aku juga sadar, periode itulah yang menyatakan eksistensi. Sesuatu yang abadi, memiliki arti dia tidak ada. Karena tidak memiliki periode yang adalah ciri dari keberadaan.

Aku mulai mengerti, aku mulai memahami. Aku tenang dan kami saling menatap. Tuhan dan aku. Terdengar suara dari balik selimut, “Sayang, kenapa dari tadi kamu ngelihatin cermin dan bermimik ganti-ganti seperti itu?”. “Aku sedang berbicara dengan Tuhan, sayang.” “Hhhh… aneh.” “Karena aku aneh, maka kamu sayang aku kan.” Keduanya tenggelam dalam tawa lembut dan gemerisik selimut di atas lembut pulau kotak tak berbatas.

Hingga ia berkata, “Sayang, kapan kamu putus? Aku menunggumu, aku menginginkan kamu sepenuhnya. Seperti ini, sungguh aku tak bisa. Aku mencintai kamu.” Dengan dalam dan penuh harapan, kental dengan rasa.

Aku, galau. Rasa pun meraja. Sungguh, Tuhan. Kau hadir dalam berbagai rupa, juga, rasa.


10 Feb 2012

Tuhanku, Aku


entah apa yang membuatku kecewa
juga entah apa yang membuatku ketakutan
terlalu banyak energi yang bekerja sehingga menghasilkan diam
terlalu banyak yang layak dipedulikan sehingga melahirkan ketidak acuhan
tuhan
tuhan
tuhan?
apakah kubangan tempatku berawalan
atau malah akhir dan keabadianku

Segalanya membingungkan, segalanya tampak hadir dan menyerang. Semuanya tak bisa terkendalikan dan semuanya tak tertahan. Tak sanggup untuk membuang, tak mampu untuk menaklukkan, berakhir sebagai beban pikiran.

Ikatan-ikatan. Keinginan dan kebutuhan. Tuhan dan manusia. Tak bisa manusia menjadi Tuhan, namun Tuhan mampu menjadi manusia. Tidak adil? Tidak! Tidak adil! Manusia seakan mainan yang digerakkan oleh tiupan dari mulutnya, dan terseok dan terkapar, dan menggalau kebingungan.

Ingin begini, harus begitu, terjadilah.. terjadilah, namun tidak terjadi. Tuhaaaaaaannn…. teriaknya manusia menahan emosi. Seandainya Kau ada di sini akan kuhantam kepalaMu dengan tinjuku. Dimana Kau, aku ingin ini, itu, begini, begitu, tapi aku tak mampu menenggak semua isi lautan ini. Tuhan, kenapa aku harus memilih. Aku tak punya pilihan, aku harus memilih.

Jika begini maka akan begitu, jika begitu maka akan begini. Opsi opsi opsi, alternatif tiada henti. Manusia mengerti dan mampu mempelajari, lalu berteriak Tuhaaaaaaaann... mana yang harus kupilih. Dengan tanpa sadar bahwa ia telah memiliki semua jawaban dalam bentuk kemungkinan.

Siang dan malam. Terpisah oleh pilihan. Mengapa tak digabungkan, biar dalam siang ada malam dan dalam malam ada siang. Apa namanya nanti? Jikalau bisa kuminum seluruh lautan akan kuhabiskan hingga aku puas. Pun, jikalau aku bisa melewati siang dan malam bersamaan, aku telah menjadi tuhan.


Apa itu malam, apa itu siang. Apa itu tuhan. Apakah aku. Semua menjadi nol, namun tidak kosong. Karena semuanya saling menyeimbangkan, mengisi kekosongan dan melahirkan nol. Nol, yang juga siap untuk menjadi kekosongan, yang bisa diisi oleh kesemuaan selanjutnya dan begitu seterusnya. Ternyata, aku adalah tuhan.


Manusia mendefini untuk menggambarkan hal tentang rasa yang dialami. Mendefinisi memang mereduksi. Namun, selama tidak terjebak di dalamnya, dari secangkir air lautan manusia bisa mengerti apa itu air lautan tanpa harus menghabiskannya.


Dari meyakini siang adalah malam, dan sebaliknya, maka terjadilah demikian. Satu manusia satu dunia, satu tuhan. Menikmati siang dengan memperlakukannya sebagai malam, pun sebaliknya. Sungguh permainan sederhana yang terlupakan, karena manusia telah terkontaminasi kejamakan. Beda itu dosa. Kenapa mesti dosa? Oleh tuhan yang mana hal itu dosa? Bukankah aku adalah tuhan.


Semua yang datang dalam duniaku ternyata dari aku, oleh aku, dan untuk aku. Seringkali melupakan itu, aku pun mempersalahkan diriku dengan berteriak Tuhaaaaaaan, Kau yang salah! Padahal aku adalah tuhan itu. Kuasanya ada padaku, dengan hal itu aku membentuk duniaku seperti mauku.



10 Feb 2012