entah apa yang membuatku kecewa
juga entah apa yang membuatku
ketakutan
terlalu banyak energi yang bekerja
sehingga menghasilkan diam
terlalu banyak yang layak
dipedulikan sehingga melahirkan ketidak acuhan
tuhan
tuhan
tuhan?
apakah kubangan tempatku berawalan
atau malah akhir dan keabadianku
Aku
menghadap Tuhan. Tuhan, aku tahu Kau mengerti yang sedang aku alami. Mungkin
jauh lebih mengerti daripada aku, yang mengalaminya sendiri. Kesadaranku
mungkin masih belum penuh, sehingga terkadang aku mengutuk kemanusiaanku
sebagai kelemahan. Pembatas yang membuatku begitu tak berdaya.
Begitu
banyak yang aku inginkan, namun aku sadar tidak semua bisa aku dapatkan. Aku memandang Tuhan, dia tersenyum dengan
wajah lembut. Hhhh… Kau selalu tahu, betapapun aku menipu diriku dengan
kalimat itu, Kau tau yang sebenarnya. Aku mampu mendapatkan semua yang aku
inginkan, tapi aku aku belum tau apa yang aku inginkan. Malah membuat
pembenaran tidak semua yang aku inginkan aku dapatkan. Tuhan pun tersenyum.
Kembali aku menatap Tuhan. Banyak hal
yang ada di pikiranku, rasanya semua menyerangku dan menantangku. Bersamaan.
Aku ingin menaklukan semuanya, mendapatkan semuanya, aku ingin menyeruput
lautan kemenangan. Aku memerlukan itu, aku menginginkan itu. Semuanya. Kali ini aku menatap Tuhan dengan dalam.
Tuhan balas menatap dalam, tenang dan kemudian menutup
matanya. Aku pun sadar, aku marah maka aku kalah. Aku tahu, Tuhan. Yang aku
bilang ‘semuanya’ adalah bukan ‘segalanya’. Aku terlalu naif mengatakan danau
adalah lautan. Hidupku, duniaku, aku jadikan kacamata untuk melihat dunia yang
luas ini, dengan menyamakannya. Aku memang munafik, bilang menginginkan semua.
Padahal, aku tidak menginginkan memiliki dua jenis kelamin sekaligus. Munafik,
karena aku bilang semua, padahal tidak semuanya.
Tuhan,
aku membodohi diriku sendiri. Aku
tertawa, kemudian memandang Tuhan. Dia tertawa dan kami pun terbahak-bahak.
Naif dan munafik. Hahahaha… Aku harus
menjadi orang yang kaya dan berpengaruh, mengendalikan orang lain dan
mendapatkan yang aku inginkan. Aku lupa, apa aku menginginkannya atau tidak.
Aku hanya bilang mau, dan kemudian marah saat tidak mendapatkannya. Aku menatap Tuhan, dalam. Aku sadar,
bagaimana mungkin aku mendapatkan yang tidak aku inginkan. Ia tersenyum.
Aku
butuh ini, butuh itu. Ingin ini, itu, semuanya, semaunya. Seharusnya begini
begitu dan ini adalah itu. Jika begini maka begitu. Kemudian, saat semuanya
berkumpul, aku tak kuasa untuk melahap semuanya. Ya Tuhan, aku tahu, “Gak perlu
yang gak perlu”. Aku tahu, aku menipu diriku lewat pikiranku tentang “Perlu”.
Aku tahu, aku sadar, semua mengalir, seperti aku yang mengalir.
Lahir-tumbuh-berbuah-selesai.
Tapi,
Tuhan. Apakah hanya sekadar itu saja hidupku. Sepertinya singkat, dan hanya
menunggu mati saja. Lalu untuk apa? Semua akan musnah, tidak ada yang aku
dapatkan. Semua tak bermakna semuanya… semuanyaaa.. aku menghentikan kalimatku dan tak mampu memandangNya. Haaahh..
susah sekali untuk berbohong di depanMU. Hehehe… aku hanya meratap dan
mengasihani diri, aku menikmatinya. Karena dengan begitu aku merasa ada. Aku
sadar, Tuhan. Eksistensi tidak hanya bisa dilakukan dengan meratap begitu. Aku
juga sadar, periode itulah yang menyatakan eksistensi. Sesuatu yang abadi,
memiliki arti dia tidak ada. Karena tidak memiliki periode yang adalah ciri
dari keberadaan.
Aku mulai mengerti, aku mulai memahami. Aku tenang dan
kami saling menatap. Tuhan dan aku. Terdengar suara dari balik selimut, “Sayang, kenapa
dari tadi kamu ngelihatin cermin dan bermimik ganti-ganti seperti itu?”. “Aku
sedang berbicara dengan Tuhan, sayang.” “Hhhh… aneh.” “Karena aku aneh, maka
kamu sayang aku kan.” Keduanya tenggelam dalam tawa lembut dan gemerisik
selimut di atas lembut pulau kotak tak berbatas.
Hingga
ia berkata, “Sayang, kapan kamu putus? Aku menunggumu, aku menginginkan kamu
sepenuhnya. Seperti ini, sungguh aku tak bisa. Aku mencintai kamu.” Dengan
dalam dan penuh harapan, kental dengan rasa.
Aku,
galau. Rasa pun meraja. Sungguh, Tuhan. Kau hadir dalam berbagai rupa, juga,
rasa.
10 Feb 2012