Terlalu, mungkin semacam istilah untuk menggambarkan
hal yang melampaui kebanyakan/kejamakan. Artinya, ada suatu standar bersama
yang disepakati menjadi batasan tertinggi dari sesuatu. Lalu, ‘terlalu’ itu
tentang melampauinya.
Idealis, mungkin semacam istilah untuk menunjuk kepada
subjek yang memiliki suatu objek bernama ide (ideal). Idealisme, mungkin semacam
istilah yang menggambarkan imaji berbentuk ide yang diamini oleh pemiliknya dan
ada intensi untuk mewujudkannya dalam kata ataupun karya.
Realita, suatu kondisi hasil dari proses penyataan idea
dalam kata dan atau juga karya. Korelasi antara idea dan realita adalah bahwa
realita akan berdasarkan idea. Baik itu sejalan ataupun bahkan bertentangan
tetap berdasar pada hal yang sama dengan parameter tertentu (ideal) yang
diamini dan memiliki intensi untuk diimplementasikan (idealisme).
‘Terlalu idealis’ menjadi sebuah penilaian atau
mungkin penghakiman yang rancu karena standar mana yang telah dilampaui oleh kesepakatan
batas teratas suatu idea tidak lah jelas. Kecuali memang seorang mengizinkan
orang lain mengendalikan pemikirannya atas kehidupannya sendiri, hal ini adalah
absurd.
Batasan idealis yang bagaimana yang membuatnya menjadi
terlalu, kesepakatan dalam lingkungan yang mana. Berarti saat seorang idealis berpindah
lingkungan, bisa saja predikat ‘terlalu idealis’ ini berubah menjadi ‘idealis’
saja atau bahkan ‘kurang idealis’ karena standar (kesepakatan bersama) yang
berbeda.
Maka menjadi lucu lah saat para jamak, yang walaupun bukan seorang komedian tapi tetap
jadi lucu, menggambarkan suatu kondisi muluk-muluk, keras kepala,
perjuangan keras, dan obsesi (bukan obesitas) dengan kata ‘terlalu idealis’. Rasanya
seperti menghirup udara gunung yang dimasukan ke dalam toples kaca. Bukan kah
itu aroma toples, bukan aroma gunung. Bukankah itu ekspektasi pribadi yang
diaplikasikan kepada orang lain.
Rasanya seperti membandingkan ide pribadi yang satu
dengan realita pribadi yang lain. Tanpa perlu bersusah payah berpikir, bahkan
seorang nenek tua yang sedang salto pun bisa mengatakan itu hal yang tidak
relevan. Ide pribadi sendiri yang adalah makan dengan sendok dan garpu
dikorelasikan dan bahkan dianalisa dengan realita pribadi lain yang sedang
makan dengan menggunakan sedotan.
Seperti (me) lupa (kan) istilah idealisme, yang adalah
mungkin semacam ide(al) yang diamini, disetujui, dipahami, dan disukai yang
memiliki intensi untuk dinyatakan dalam kata dan karya (laku). Idealisme diri
adalah diri sendiri sedang makan dengan sendok dan garpu. Realita yang
dianalisa adalah seorang lain yang sedang makan dengan sedotan. Maka, dimana
fungsi diri sebagai subjek idealis yang memiliki objek ide melakukan proses
penyataan ide menjadi realita? Ambigu, karena ada dua subjek, dua idea, satu
realita, dengan satu idea saja yang diketahui. Ada faktor yang tidak diketahui
dalam persamaan matematisnya. Tidak bisa diselesaikan secara sederhana. Kalau ribet,
males bahasnya.
Lalu, kebingungan pengistilahan pun terjadi. Keinginan
untuk mendapatkan realita diri sendiri –yang adalah hasil dari proses penyataan
idealisme diri– pada diri orang lain. Bukankah itu adalah ekspektasi, bukan
idealisme.
Berakar pada satu manusia memiliki ide akan kehidupan
dan lingkungannya, dengan mengamininya maka idealisme lahir dalam benak satu
manusia ini, dengan karya dan kata ia menyatakan idealismenya dan hasil
daripadanya adalah realita dirinya. Lalu alih-alih melihat hasil dari proses
yang dibuatnya, seorang idealis ini malah melihat hasil dari proses yang dibuat
idealis lain dan kemudian membandingkan realita orang lain (hasil proses
penyataan idealisme orang lain) tersebut dengan idealismenya sendiri. Kekacauan
acuan atau kelupaan akibat ekspektasi keseharusnyaan. Wajar, karena secara
naluriah manusia itu makhluk yang selalu mengusahakan penyamaan.
Kemudian dengan mudahnya seorang idealis berteriak
kepada idealis lain yang ia kenakan ekspektasi keseharusnyaannya, ‘terlalu
idealis!’ Ah.. kerancuan ini membuat keracunan, karena sebenarnya idea dan
realita itu pun sama-sama saja, sama-sama tidak ada.
Dengan masih mengamini kalau kita semua ini hanya
berimajinasi dalam pikiran dan menghasilkan imaji yang istilahkan saja ide(al).
Bermodal ide inilah pergerakan kehidupan terjadi, istilahkan saja kata dan
karya. Hasil dari proses (pergerakan) ini yang istilahkan saja realita. Kemudian
rasio (perbandingan) idea dan realita
ini akan menghasilkan daya yang istilahkan saja dengan imajinasi, lewat media perantara
yang kita istilahkan saja logika. Maka, menjadi suatu absurditas tingkat dewa
mabuk lah membicarakan tentang idealisme dan realitas karena keduanya secara
konten (isi) sama, hanya secara kemasan (dalam tataran posisi dan lokasi) yang berbeda.
Kopi yang masih dalam niat dan pikiran itu semacam
idealisme, tangan yang mengaduk dan menuang air panas semacam proses penyataan
kopi. Lalu, kopi di atas meja dengan warna, aroma dan rasa yang bisa diinderai
itulah semacam realita. Intinya kopi. Sama-sama kopi. Lalu dimana yang
membuatnya jadi ‘t.e.r.r.l.a.a.a.l.u.u kopi’ selain daripada ekspektasi.