Tuesday, December 31, 2013

perception

just like what me feel are totally different to what them seeing
definition can't describe feeling
eyes tell everything
close it

Thursday, December 26, 2013

TERLALU KOPI, MUNGKIN..




Terlalu, mungkin semacam istilah untuk menggambarkan hal yang melampaui kebanyakan/kejamakan. Artinya, ada suatu standar bersama yang disepakati menjadi batasan tertinggi dari sesuatu. Lalu, ‘terlalu’ itu tentang melampauinya.

Idealis, mungkin semacam istilah untuk menunjuk kepada subjek yang memiliki suatu objek bernama ide (ideal). Idealisme, mungkin semacam istilah yang menggambarkan imaji berbentuk ide yang diamini oleh pemiliknya dan ada intensi untuk mewujudkannya dalam kata ataupun karya.

Realita, suatu kondisi hasil dari proses penyataan idea dalam kata dan atau juga karya. Korelasi antara idea dan realita adalah bahwa realita akan berdasarkan idea. Baik itu sejalan ataupun bahkan bertentangan tetap berdasar pada hal yang sama dengan parameter tertentu (ideal) yang diamini dan memiliki intensi untuk diimplementasikan (idealisme).

‘Terlalu idealis’ menjadi sebuah penilaian atau mungkin penghakiman yang rancu karena standar mana yang telah dilampaui oleh kesepakatan batas teratas suatu idea tidak lah jelas. Kecuali memang seorang mengizinkan orang lain mengendalikan pemikirannya atas kehidupannya sendiri, hal ini adalah absurd.

Batasan idealis yang bagaimana yang membuatnya menjadi terlalu, kesepakatan dalam lingkungan yang mana. Berarti saat seorang idealis berpindah lingkungan, bisa saja predikat ‘terlalu idealis’ ini berubah menjadi ‘idealis’ saja atau bahkan ‘kurang idealis’ karena standar (kesepakatan bersama) yang berbeda.

Maka menjadi lucu lah saat para jamak, yang walaupun bukan seorang komedian tapi tetap jadi lucu, menggambarkan suatu kondisi muluk-muluk, keras kepala, perjuangan keras, dan obsesi (bukan obesitas) dengan kata ‘terlalu idealis’. Rasanya seperti menghirup udara gunung yang dimasukan ke dalam toples kaca. Bukan kah itu aroma toples, bukan aroma gunung. Bukankah itu ekspektasi pribadi yang diaplikasikan kepada orang lain.

Rasanya seperti membandingkan ide pribadi yang satu dengan realita pribadi yang lain. Tanpa perlu bersusah payah berpikir, bahkan seorang nenek tua yang sedang salto pun bisa mengatakan itu hal yang tidak relevan. Ide pribadi sendiri yang adalah makan dengan sendok dan garpu dikorelasikan dan bahkan dianalisa dengan realita pribadi lain yang sedang makan dengan menggunakan sedotan.

Seperti (me) lupa (kan) istilah idealisme, yang adalah mungkin semacam ide(al) yang diamini, disetujui, dipahami, dan disukai yang memiliki intensi untuk dinyatakan dalam kata dan karya (laku). Idealisme diri adalah diri sendiri sedang makan dengan sendok dan garpu. Realita yang dianalisa adalah seorang lain yang sedang makan dengan sedotan. Maka, dimana fungsi diri sebagai subjek idealis yang memiliki objek ide melakukan proses penyataan ide menjadi realita? Ambigu, karena ada dua subjek, dua idea, satu realita, dengan satu idea saja yang diketahui. Ada faktor yang tidak diketahui dalam persamaan matematisnya. Tidak bisa diselesaikan secara sederhana. Kalau ribet, males bahasnya.

Lalu, kebingungan pengistilahan pun terjadi. Keinginan untuk mendapatkan realita diri sendiri –yang adalah hasil dari proses penyataan idealisme diri– pada diri orang lain. Bukankah itu adalah ekspektasi, bukan idealisme.

Berakar pada satu manusia memiliki ide akan kehidupan dan lingkungannya, dengan mengamininya maka idealisme lahir dalam benak satu manusia ini, dengan karya dan kata ia menyatakan idealismenya dan hasil daripadanya adalah realita dirinya. Lalu alih-alih melihat hasil dari proses yang dibuatnya, seorang idealis ini malah melihat hasil dari proses yang dibuat idealis lain dan kemudian membandingkan realita orang lain (hasil proses penyataan idealisme orang lain) tersebut dengan idealismenya sendiri. Kekacauan acuan atau kelupaan akibat ekspektasi keseharusnyaan. Wajar, karena secara naluriah manusia itu makhluk yang selalu mengusahakan penyamaan.

Kemudian dengan mudahnya seorang idealis berteriak kepada idealis lain yang ia kenakan ekspektasi keseharusnyaannya, ‘terlalu idealis!’ Ah.. kerancuan ini membuat keracunan, karena sebenarnya idea dan realita itu pun sama-sama saja, sama-sama tidak ada.

Dengan masih mengamini kalau kita semua ini hanya berimajinasi dalam pikiran dan menghasilkan imaji yang istilahkan saja ide(al). Bermodal ide inilah pergerakan kehidupan terjadi, istilahkan saja kata dan karya. Hasil dari proses (pergerakan) ini yang istilahkan saja realita. Kemudian rasio (perbandingan)  idea dan realita ini akan menghasilkan daya yang istilahkan saja dengan imajinasi, lewat media perantara yang kita istilahkan saja logika. Maka, menjadi suatu absurditas tingkat dewa mabuk lah membicarakan tentang idealisme dan realitas karena keduanya secara konten (isi) sama, hanya secara kemasan (dalam tataran posisi dan lokasi) yang berbeda.

Kopi yang masih dalam niat dan pikiran itu semacam idealisme, tangan yang mengaduk dan menuang air panas semacam proses penyataan kopi. Lalu, kopi di atas meja dengan warna, aroma dan rasa yang bisa diinderai itulah semacam realita. Intinya kopi. Sama-sama kopi. Lalu dimana yang membuatnya jadi ‘t.e.r.r.l.a.a.a.l.u.u kopi’ selain daripada ekspektasi.