Saturday, December 24, 2016

Kebijaksanaan Apa

Katanya, pengetahuan adalah hal yang didapatkan setiap hari. Kebijaksanaan adalah hal yang dilepaskan setiap hari. Pengetahuan adalah tahu apa yang perlu dikatakan. Kebijaksanaan adalah tahu kapan perlu mengatakannya. Pengetahuan itu berisik dan bergerak. Kebijaksanaan itu diam dan tenang. Katanya juga, keduanya saling melengkapi. Tidak ada kebijaksanaan tanpa melalui pengetahuan dan tidak ada pengetahuan lahir selain dari kebijaksanaan.

Karena kata tidak bisa menjelaskan semuanya tetapi semuanya hanya bisa dijelaskan melalui kata, maka kalau semua yang diceritakan itu benar maka benarlah yang diceritakan belum semuanya. kebijaksanaan apa dari seorang yang awalnya membaca kutipan, lalu menjalani pengalaman hidup baik itu gerak (motion) dan juga aksi (action), kemudian membaca buku lebih lengkap dari sekadar kutipan. Akhirnya meredakan api aksinya yang tadinya membakar menjadi secukupnya untuk memberi kehangatan. Mencari aman dan mengalir bersama arus besar kehidupan.

Kebijaksanaan apa dari seorang yang mengalir bersama arus besar kehidupan, tidak membaca hanya mengikuti budaya popular yang sedang berlangsung, memenuhi norma dan tuntutan ekonomi, hidup dengan patokan umur dan pencapaian pada setiap tahap umur, menjalani kehidupan selayaknya kebanyakan, menemukan pembelajaran. Mencari aman dan mengalir bersama arus besar kehidupan. Sama dengan seorang yang disebutkan sebelumnya.

Kebijaksanaan apa dari seorang yang banyak melakukan aksi langsung, terbentur terbentur dan terbentuk seperti kata Tan Malaka, melihat pola, menemukan pemahaman. Akhirnya beraksi dengan lebih tenang dan perlahan. Bukan lagi membongkar tapi membangun hal sederhana pelan-pelan. Ambisinya berkurang dan perkataannya menceritakan tentang pengisian peran. Karena semuanya telah ada ruang dan semuanya ada dalam alur besar kehidupan yang semuanya adalah baik. Kalau tidak baik, hal itu demi kebaikan yang lebih besar lagi. Tindakannya aman dan mengalir bersama arus besar kehidupan. Sama dengan yang lain.

Kebijaksanaan apa dari seorang yang banyak berpikir dan melakukan analisa, mengamat-amati, masuk ke dalam suatu ruang keterlibatan dengan aksi minimal tapi kuat di konsep dan teguh dalam nilai dan prinsip. Menjaga dan bertindak strategis. Semakin lama semakin luas yang dilihatnya. Semakin lama semakin kompleks pengertian yang dimilikinya. Sampai pada pemahaman terbesar, yang dilakukannya adalah berhenti untuk bertindak besar. Hanya mengajak anak-anak berbincang dan bertanya-tanya, “Menurutmu bagaimana?” Kehidupannya menjadi diam tenang dan aman dan mengalir bersama arus besar kehidupan. Sama dengan semuanya.

Ternyata semua ini berkaitan dengan kapasitas kemanusiaan. Tidak ada yang namanya mengembangkan kapasitas melainkan mengisi kapasitasnya. Kapasitas manusia yang segitu-gitunya saja, satu manusia satu kapasitasnya masing-masing. Bukankah pernyataan bahwa semua manusia adalah unik berusaha untuk menyampaikan hal ini. Walaupun dengan sindiran kalau semua unik berarti tidak ada yang unik, tetap saja hal ini menyampaikan hal yang sama. Bukan mengembangkan kapasitas kemanusiaan lah tugas manusia, melainkan mengisi kapasitas yang dimilikinya.

Ternyata semuanya dimulai tidak dari dasar melainkan dari permukaan. Kapasitas berkaitan dengan hal ini, manusia menjalani kehidupan dari permukaan menuju dasarnya sebanyak kapasitasnya. Maka tidak jarang kan mendengar istilah manusia dangkal dan manusia dalam. Karena semua manusia ada bersamaan di permukaan, maka semuanya dimulai dari permukaan. Untuk masuk ke tempat yang lebih dalam lagi, itulah hidup. Berbeda antara mengusahakan kehidupan dengan hidup! Banyak orang yang mengusahakan kehidupan tapi tanpa benar-benar hidup.

Dimulai dari keriuhan di permukaan yang beragam dan bervariasi. Unik setiap manusianya dan beragam, terkelas-kelaskan, tergolongan-golongankan, terkotak-kotakan, berdasarkan kemiripan dan standar toleransi seluas ruang kebersamaan. Dari permukaan yang riuh dan beragam, masuk lebih dalam lagi ada pola yang ternyata sama mulai terjadi pengelompokan demi suatu bentuk kehidupan. Masuk lagi lebih dalam ada esensi dari setiap pola tersebut yang semakin fundamental, hadirlah pemahaman tentang hidup itu sendiri. Akhirnya berhenti pada dasarnya, melihat kenyataan bahwa demikianlah semua apa adanya.

“Kebijaksanaan apa,” mungkin akhirnya mengarahkan kepada bahwa tidak bisa tidak bijaksana. Karena satu manusia satu kebijaksanaan. Kalaupun perlu ada satu kebijaksanaan yang perlu dianut bersama, tidak bukan kebijaksanaan untuk mengelompokan manusia berdasarkan kebijaksanaanya yang serupa. Pemisahan, klasifikasi, penggolongan, dan pembedaan. Sisi bijaksananya adalah bahwa perbedaan ini bukan untuk memaksakan sama di seluruh alurnya, tapi untuk saling melengkapi dalam satu tujuan besar bersama di satu titik pertemuan alur yang bersilangan. Juga yang perlu diingat adalah bukankah titik-titik persilangan ini kalau ditarik garis pun menjadi satu alur juga.

Berhenti sampai di sini kah? Tidak! Tempat manusia adalah di permukaan, menuju ke dasar adalah kepenuhan hidup manusia berdasarkan kapasitasnya. Kembali ke permukaan adalah niscaya, hanya kali ini berbeda: ada kesadaran. Melihat apa adanya bahwa manusia itu sudah demikian adanya dengan kapasitas masing-masing yang berbeda-beda. Bukan pada perbedaan besar kecil lah karena itu ilusi; melainkan pada keberadaan kapasitas yang perlu dipenuhi. Bukan pada pengembangan kapasitas lah karena itu delusi; melainkan pada mengisi kapasitas yang sudah ada dalam diri demi kepenuhan diri sebagai manusia. Alur terus berjalan dan peran selalu terisi, bukan masalah siapa pemerannya tapi apa perannya.

Sunday, October 30, 2016

Kehadiran dan Pengalihan

Kehadiran sering disalah tempatkan sebagai pengalihan. Pengalihan bukan hanya seputar pengabaian, kebebalan pun merupakan pengalihan. Yang mengalihkan adalah yang abai dan yang bebal, baik salah satunya atau keduanya sama-sama saja mengalihkan. Pengalihan disamakan dengan ketidak hadiran benarlah sudah salah tempat.

Pengalihan itu justru kehadiran, tapi bukan di tempat yang sesuainya malahan di tempat lain yang bisa jadi lawan atau bagian kecil dari yang diperlukan. Karena tidak mampu hadir di tempat yang sesuai, maka hadir di tempat lain yang dimampukan atau diketahuinya saja dari kebiasaan dan keterbiasaan.

Mengalihkan bisa jadi adalah menghadiri tempat lain yang diluar perannya. Bisa juga malahan justru terlalu spesifik menghadiri perannya, seperti fokus berlebihan atau konsentrasi yang menutup diri, kedua perangkat yang dipergunakan setengah dari fungsinya ini bisa jadi malahan gagal memenuhi fungsinya sendiri.

Baik itu diluar peran ataupun terlalu dari dalam dari peran, itu sudah di luar ruang kehadiran yang semestinya. Hanya ada dua hal, menghadiri ruang yang semestinya atau menghadiri ruang lain yang tidak semestinya. Kehadiran di ruang yang tidak semestinya ini adalah pengalihan, tindakan yang dilakukannya adalah mengalihkan.

Penggambaran “alih-alih melakukan yang diperlukan malahan yang tidak diperlukan” sudah menggambarkan pengalihan dengan jelas. Tapi tetap saja perilaku mengalihkan ini dilakukan, seperti dalam menggambar atau menulis atau bermain musik di taman. Pengalihan yang dilakukan adalah dengan terlalu fokus pada alat musiknya saja dan konsentrasi sempit pada nada.

Aksi tersebut tidak lain adalah pengalihan dan kerja yang dilakukannya adalah mengalihkan, tidak ada karya. Kesadaran tanpa kemenyadaran hanyalah pengetahuan yang mengawang tak menyentuh langit dan dibawa ke bumi tanpa menyentuh tanah, onani imajinasi. Kesadaran digunakan untuk aksi kemenyadaran, karya hadir saat yang menggambar atau menulis atau bermusik di taman ini melepas fokus dan konsentrasinya dan melebur bersama semuanya.

Bahkan daun yang lepas dari dahannya terdengar nadanya dan menjadi bagian dari musik semesta, bahkan angin yang berputar terlihat jalurnya dan menjadi bagian dari gambar semesta, bahkan diputar balik diri lah yang menjadi bagian dari daun lepas dan angin berputar itu. Karya hadir setelah melepaskan dan pelepasan hadir setelah pencapaian.

Maka kehadiran adalah setelah konsentrasi dan fokus didapatkan, disadari, dan dilepaskan. Kesadaran menyata dalam kemenyadaran, tidak ada lagi diri; semuanya hanya alur yang terus berjalan dan peran yang selalu terisi. Selain daripada itu hanyalah pengalihan.

Konsentrasi dan Fokus Jempol Kram

Konsentrasi dan fokus adalah dua hal yang berbeda, konsentrasi adalah menghadiri sedangkan fokus adalah mengisi. Keduanya adalah satu paket yang saling melengkapi dimana kehilangan salah satunya adalah celaka. Konsentrasi untuk kesadaran melalui pengetahuan akan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi. Fokus untuk kemenyadaran mengisi peran dengan penuh dan siaga merespon untuk semua kemungkinan-kemungkinan terjadi.

Bukankah dengan menggabungkan keduanya manusia jadi bisa melihat tanpa perlu melihat, mendengar tanpa perlu mendengar, mencium tanpa perlu mencium, merasakan tanpa perlu meraba, dan mengecap tanpa perlu menjilat. Karena penglihatannya tidak hanya dengan mata, pendengarannya tidak hanya dengan telinga, penciumannya tidak hanya dengan hidung, perabaannya tidak hanya dengan kulit, dan pengecapannya tidak melulu dengan lidah.

Pada tahap ini, semua hal masuk ke dalam pikiran dan perasaan yaitu dunia imajinasi. Manusia pun akhirnya membuat persepsinya dan membuat kenyataannya. Konsentrasi dan fokus perlu ada untuk ditiadakan, dan untuk meniadakan keduanya bukan dengan membuang keduanya melainkan dengan melewati keduanya. Setelah konsentrasi dan fokus, setelah mendapatkan penginderaan penuh, setelah menciptakan kenyataan persepsional, manusia perlu untuk melepaskan semuanya. Untuk melihat semuanya sebagai apa adanya.

Pencerahan katanya adalah melihat dengan mata, mendengar dengan telinga, mencium dengan hidung, meraba dengan kulit, dan mengecap dengan lidah. Kembali lagi kepada dasar setelah naik tinggi ke alam persepsional, kembali kepada kenyataan yang tidak dibuat-buat melainkan apa adanya. Bukankah manusia melihat apa yang ingin dilihatnya saja, mendengar apa yang ingin didengar, mencium apa yang ingin dicium, meraba apa yang ingin diraba, mengecap apa yang ingin dikecap. Delusi.

Dengan melepaskan semuanya maka manusia akan melihat yang memang ada, mendengar apa yang ada, mencium apa yang ada, meraba apa yang ada, dan mengecap apa yang ada, apa adanya. Paradoks memang untuk menemukan yang iya perlu untuk mengalami dan melewati apa yang bukan. Mengalami dan melewatinya, bukan hanya mengalami saja karena itu sih ketagihan. Sedangkan kalau melewatinya saja, itu namanya pengalihan.

Konsentrasi dan fokus untuk menemukan semuanya, mendapatkan semuanya, lalu melepaskan semuanya. Seperti konsentrasi pada seluruh badan dan fokus pada pisau di kedua tangan, seorang petarung merobohkan seribu prajurit bayaran yang hanya mengayunkan-ayunkan pedang, tombak, gada, dan perisainya dengan melupakan jempol kaki yang adalah pengatur keseimbangan badan. Semuanya musnah dengan jempol kaki patah tanpa mengetahui apa yang terjadi tiba-tiba sudah mati. Sang petarung berdiri terakhir dengan merasakan kalau otot jempol kakinya sendiri sudah mulai kram.

Monday, September 26, 2016

Sia Sisa Pertanya Jawaban

Kehilangan semuanya, mungkinkah karena melepaskan semuanya atau karena masih ada sisa yang belum terlepaskan. Sepertinya karena ada sisa, karena kalau semuanya telah lepas, tidak akan ada kehilangan. Siapa apa dimana kenapa, tidak penting. Tapi ada ganjalan. Tapi bukan hal yang penting, sekaligus mengganjal. Hanya untuk mengetahui dengan posisi tidak mengetahui pun tidak apa-apa. Ah... sisa sisa pelepasan. Melepaskan pun sepertinya perlu melepaskan kondisi melepaskan juga.

Mempertanyakan dan menemukan jawaban, membuat jawaban lebih tepatnya. Karena jawaban dari pertanyaan adalah pertanyaan juga, demikianlah jawaban dan pertanyaan hanyalah respon atas situasi berdasarkan kondisi diri. Bukan untuk menemukan jawaban lah pertanyaan itu melainkan untuk menggambarkan tiga hukum sialan; posibilitas, probabilitas, dan kausalitas.

Tidak ada yang pasti, bahkan ketidak pastian itu sendiri tidak pasti (ada atau tidak). Gambarkan lah semua yang mampu digambarkan sebagai pola, bahkan hingga merendahkannya. Seiring kesadaran bahwa diri pun rangkaian pola dan menamakannya sebagai keterjebakan. Menolak menjadi korban definisi pun adalah indikator bahwa diri adalah korban definisi. Apa yang dilawan kalau tidak ada yang diakui, terlepas dari mengafirmasi atau menegasi, keduanya adalah pengakuan.

Benarkan ini semua pelepasan? Atau semuanya hanyalah perlawanan. Tidak dapat menemukan tujuan yang benar-benar menenangkan, maka menyerang tujuan-tujuan yang tidak menenangkan itu. Bukan menemukan ketenangan malahan, hanya menemukan ketiadaan dari adanya keseimbangan antara dua kutub yang bertolak belakang. Dua kutub yang pada dasarnya adalah satu. Semuanya adalah sama dan seperti adanya demikianlah. Yang layak terjadi yang terjadi, yang ada telah ada dan selalu ada. Tidak ada apa-apa.

Bukan ini bukan ini tidak itu tidak itu, demikianlah yang paling tidak dan paling bukan yang dilakoni sekarang. Mengapa karena mungkin bisa jadi maka demikianlah yang terlihat oleh mata, tidak lebih hanyalah pola dan yang terpenting adalah peran bukan pemeran. Alur terus berjalan dan peran selalu terisi. Manusia itu tidak ada. Sungguh, mata ini panas setiap harinya dan seringkali sejak waktu itu bertanya apa yang terjadi kalau diri menjadi buta. Apakah yang dilihat oleh mata akan sama dengan yang didengar telinga?

Selalu berpegang pada aroma padahal tidak ada bau sedikitpun yang tercium hidung. Semuanya pendekatan, semuanya anggapan, semuanya kenangan, semuanya dugaan, semuanya tidak lebih dari pengulangan. Tidak bisa tidak untuk terlibat secara minimal. Sejauh apapun meninggalkan tidak akan benar-benar lepas karena yang paling minimal adalah terlibat secara minimal. Bahkan kematian pun tidak melepaskan. Dengan adanya nama, demikianlah keabadian tercipta sejak dilahirkan. Kecuali satu generasi musnah sama sekali.

Kesia-siaan sebagai iman, ketakutan sebagai dasar gerakan, pengetahuan sebagai penemuan pola, bahasa sebagai alat menggambarkan idea. Imajinasi dan imaji-imajinya, semuanya bertarung di arena yang namanya kehidupan. Bagaimana ini, kalau bahkan tidak melakukan apa-apa pun adalah suatu kelakuan.Tidak bereaksi pun adalah suatu aksi. Aksi atau reaksi pun hanyalah respon yang menimbulkan konsekuensi. Tidak adakah yang terputus. Diri untuk dirinya sendiri. Tidak ada kemungkinan, tidak ada peluang, tidak ada sebab akibat. Mengada, berada, kemudian meniadakan diri. Bebas.

Kebahagiaan pun tampaknya sebagai respon atas ketidak mampuan untuk bebas. Mencintai yang dilakukan adalah kebahagiaan. Melakukan yang dicintai adalah kebebasan. Sialan, bahkan yang dicintai pun adalah rangkaian kenangan yang dipermainkan oleh tiga hukum sialan. Akhirnya dalam keterjebakan mencari keterkaitan minimal, dalam ketidak bisa tidakan mencari yang tidak diperlukan untuk tidak diperlukan. Karena seiring perjalanan, yang tidak perlu menjadi perlu yang tidak ada menjadi ada, dan itu semua hanyalah alasan-alasan yang tidak bebas. Bentukan.

Membiarkan bukan melepaskan. Ketidak sadaran dalam membiarkan dan kesadaran dalam melepaskan. Tipis seperti kehidupan dan kematian, bahkan tersedak ludah sendiri satu manusia sekejap mati. Membunuh satu manusia lain pun manusia yang tidak ada dan diketahui keberadaannya menjadi hidup, oleh bahasan orang-orang yang membutuhkan alasan-alasan. Tujuan adalah alasan, kebenaran adalah alasan, keadilan adalah alasan, pemaknaan adalah alasan.

Pemaknaan hanyalah pemakluman. Atas kondisi yang apa adanya demikian namun diberagamkan dalam pikiran. Kenangan yang dipermainkan tiga hukum sialan. Ketidak terimaan yang diseharusnyakan menjadi kebahagiaan. Ketidak bebasan yang dikunci oleh konsekuensi. Permainan dan ketololan berantai berrangkai terulang-ulang dalam ketidak bisa tidakan. Dalam kesekejapan lah mungkin adanya kebebasan dan kelepasan. Sekejap ledakan yang membakar satu generasi sia-sia. Sekejap banjir yang mengempas satu generasi sia-sia. Bagaimana yang sia-sia tidak menghadirkan sisa-sisa. Mungkin itulah pertanyaan yang menjadi jawaban dari pertanyaan sekarang.

Sunday, September 4, 2016

Revolusi (koq) Gandengan

Perubahan cepat, dalam kata dalam rasa dalam pandangan. Berapi-api mencoba membakar untuk sebentuk revolusi. Jengah dengan keadaan yang stagnan, merasa mampu untuk menggulirkan perubahan. Gerak dijadikan sambil menyusun pergerakan. Mengobarkan api pelan-pelan dengan pasti, tersebar dalam satu area. Terlihat seperti siap mengambil risiko apapun yang terjadi nanti, paling tidak api yang disulut akan membakar. Entah sesuai entah tidak, tapi itulah revolusi. Ada perubahan dalam waktu singkat. Bukan demi revolusi itu sendiri, melainkan demi persona-persona yang terbuai kepemilikan. Karena saat hilang kepemilikan, kesadaran datang. Demikian yang ada dalam pikiran.

Dalam aksinya, banyak terjadi pertemuan. Banyak api tersulut dengan cepat. Lalu lupa bahwa api membakar apa saja. Maksud hati membakar pemikiran, terabaikan kemungkinan terbakar perasaan. Revolusi untuk perubahan menjadi buyar oleh drama selangkangan ketertarikan. Hasrat membakar menjadi hasrat bergandengan. Entah sesuai entah tidak, tapi itu bisa dikatakan revolusi. Ada perubahan dalam waktu singkat. Dari yang bertujuan revolusi jadi bertujuan bergandengan tangan. Bisa, kalau gandengan itu dimaksudkan sebagai bahan bakar cadangan. Saat semua telah habis terbakar namun masih ada yang kurang, gandengan itu bisa menjadi amunisi terakhir dalam menyulut perubahan.

Tapi entahlah. Dugaan pertama sudah tak terpegang, apalagi dugaan kedua. Tidak bisa tidak, apa yang dilihat adalah yang mampu dilihat. Apa yang ditampilkan adalah apa yang dibuka untuk ditampilkan. Kalau semuanya benar, maka benar lah itu bukan semuanya. Bisa jadi revolusi yang diinginkan adalah revolusi gandengan saja, tapi yang lain melihat revolusi lingkungan. Bisa jadi semua sulutan api dan titik bakar itu hanya untuk seleksi gandengan, tapi yang lain melihatnya sebagai rangkaian yang akan mengubah keadaan pada akhirnya. Memang benar keadaan berubah, tapi tidak sebesar dugaan. Tidak masalah dan tidak perlu jadi masalah, bukankah dari awal mengetahui bahwa semua hanyalah persepsi dan asumsi demikianlah agar dugaan tak menjadi tuntutan.

Revolusi sambil bergandengan, sungguh berat sekali untuk menyusun pergerakan. Belum sampai di sana pun sudah terseok dalam bergerak. Bagaimana tidak, dua dunia yang sama beratnya ditanggung oleh dua kaki yang entah terbiasa atau tidak untuk patah. Kaki patah, hati patah, otak pun pecah. Biasanya demikian pola revolusi bergandengan yang sudah-sudah. Tapi entahlah kalau yang ini luar biasa. Bisa bisa saja, kalau memunculkan kesadaran di awal bahwa dengan bergandengan hadir kepemilikan, kepemilikan menjadikan persona terbuai stagnan, bukankah ini sebentuk alur kontra-revolusi yang awalnya dilalui. Kini jadi seperti hendak balik arah.

Pada awalnya ada euforia untuk menghajar, membakar, merangkai api dan menanti ledakan. Pada prosesnya ada keterkaitan, keterikatan, dan ketertarikan. Tertarik pada revolusi. Tertarik pada bergandengan. Apalagi sudah masanya dimana selangkangan dengan lendirnya begitu membuyarkan pikiran oleh ilusi perasaan. Otak, selangkangan, hati. Kasihan sekali hati, selalu disalahkan padahal yang berulah adalah otak dan selangkangan. Kehendak otak untuk membakar revolusi dan kebinatangan selangkangan untuk bergandengan dan meringkuk aman. Hati hanya berusaha mencari alasan-alasan. Yang membedakan manusia dengan monyet hanyalah untuk kelakuan yang sama, manusia mampu menciptakan alasan-alasan.

Pada akhirnya bergandengan. Wajar dan biasa saja, karena tidak ada yang mampu sendirian di tengah arus doktrinasi bahwa kebahagiaan adalah dalam kebergandengan. Lupa kah bahwa revolusi perlu sendirian, bukan demi revolusi itu sendiri tapi demi persona persona yang terlena yang nanti akan dikorbankan. Kalau tidak sendirian, ketidak relaan mengorbakan gandengan menjadi penghambat besar gerakan. Padahal, kalau tidak digandeng bisa menjadi titik api yang besar dan mengubah keadaan. Bagaimana berlari kencang kalau selangkangan saling melekat bergandengan. Bagaimana hendak melempar api ledakan kalau tangan saling melekat bergandengan. Bisa, hanya tidak sebebas yang tidak bergandengan. Tapi, demikianlah wajar adanya melihat situasi saat ini dimana yang banyak semakin banyak dan yang sedikit semakin sedikit. Karena yang sedikit akhirnya menjamak menjadi bagian dari banyak adalah suatu keniscayaan.

Terlalu sering mendengar kata kebahagiaan hingga lupa pada kata kebebasan. Bahagia adalah saat manusia menyukai yang dilakukannya. Bebas adalah saat manusia melakukan yang disukainya. Maka revolusi membutuhkan kebebasan dan bergandengan membutuhkan kebahagiaan. Revolusi bergandengan membutuhkan alasan. Seperti biasa, dasar dari ketidak mampuan untuk bebas adalah pengabaian dan kebebalan yang berbalut sajak indah kebahagiaan. Bagaimana bisa bahagia kalau tidak bebas, seperti bagaimana bisa bebas kalau tidak bahagia, pada akhirnya tentang menentukan porsi. Bebas yang bahagia atau bahagia yang bebas. Tidak mungkin untuk keduanya menjadi paling penting karena selalu ada yang lebih penting dari yang paling penting.

Revolusi sambil bergandengan atau bergandengan sambil revolusi. Melakukan perubahan dengan membakar kesadaran dan rela membakar gandengan sebagai senjata terakhir sebelum mati perjuangan. Atau bergandengan sambil melakukan penyadaran dan bergerak melakukan perubahan sebagai selingan saat bosan dengan intensitas kebersamaan yang perlu disegarkan dengan jarak dan efek rindu sesekali. Kehadiran adalah pengalihan dan kebersamaan adalah ketagihan. Kau bilang perlawanan sambil bergandengan tangan. Berat sekali persoalan itu dibebankan, seperti mengejar dua kelinci. Tidak kan didapatkan keduanya, biasanya. Tapi entahlah, mungkin saja kau luar biasa.

Lalu nanti ada saatnya di persimpangan untuk melanjutkan perlawanan atau mempertahankan gandengan. Karena keduanya sudah kadung di tengah jalan, pemilihan tidak bisa tidak untuk dilakukan. Sebelum itu dan sebelum lupa, tegaskan bahwa pemilihan bukan tentang memilih mana yang akan dimiliki, melainkan melepaskan mana yang tidak mungkin dipertahankan lagi. Revolusi atau gandengan. Jauh sebelum sampai di sana, sebenarnya di awalan sudah terasa. Dalam posisi bergandengan, bukankah selalu terlintas sebentuk pertanyaan saat menyulut api, bagaimana kalau gandengan itu terbakar. Hanya, abai dan bebal memang produk dari selangkangan. Wajar adanya untuk sebentuk daging gumpalan memori yang terpapar definisi bahagia dan bahagia.

Revolusi tidak membahagiakan, revolusi itu membahayakan. Tidak berat lah ketakutan saat tidak bergandengan. Karena ketakutan itu bukan pada apa yang akan hadir kemudian, melainkan akan kehilangan yang sudah dimiliki saat ini. Gandengan menjadi faktor kepemilikan, revolusi menjadi faktor kehilangan. Ketakutan menjadi alasan-alasan yang dibuat hati untuk menjembatani otak dan selangkangan yang bergulir oleh gumpalan memori yang pecah, terbuka oleh rasa fabrikasi hasil indoktrinasi definisi. Ketakutan menjadi indikasi bahwa ada ketidak sesuaian. Ketakutan bukan untuk diabaikan dengan bebal, melainkan untuk membawa kesadaran yang biasanya muncul belakangan, ke depan. Kesadaran kemungkinan, peluang, dan sebab akibat bahwa revolusi bergandengan adalah keterlenaan, bahasa lugasnya adalah onani imajinasi. Karena saat bosan bermasturbasi oleh bergandengan, bisa pindah kepada revolusi. Demikian sebaliknya dan demikian seterusnya.

Dalam hingar bingar kesenangan reaksi hormonal dopamin dan oksitosin, masih adakah adrenalin yang memulai ini semua. Adrenalin dari revolusi dan perlawanan yang dikelilingi dopamin dan oksitosin dari bergandengan tangan hingga bergandengan selangkangan. Kesemuanya bisa dirangkaikan, dengan cara melihat ketakutan maka hadirkan kesadaran bahwa dalam rangkaian tidak ada kesetaraaan. Selalu ada yang lebih penting dari yang paling penting. Tidak memberi skala prioritas, maka revolusi bergandengan hanyalah sebentuk masturbasi imajinasi yang menemukan alasan kuat saja. Seharian melakukan perlawanan revolusioner, semalaman bergandengan. Perlu banyak-banyak istirahat untuk melonggarkan fungsi hati yang tampak bekerja keras tersebut. Karena yang membuat alasan-alasan adalah hati, kalau kecapaian bisa rusak. Sirosis, namanya. Keras hati.

Tuesday, February 9, 2016

Lalu Lupa

Entah apakah itu lupa tapi itu yang lalu. Sadar datang belakangan, sadarlah yang mengatakan yang lalu itu lupa.

Entah bicara apa tapi berbicara.
Semua yang terpercik di pikiran, dikatakan.
Lupa kalau isi pikiran ya, percikan percikan.
Juga saat mengatakannya pun, lupa kalau sedang mengatakannya.
Sekadar, yang terlintas yang tersalurkan.
Lalu pendengar berkata, "wow... pintar."

Ah, Sadar datang belakangan, sadarlah yang mengatakan yang lalu tadi itu lupa.

Sialannya, mengusahakan agar tidak lupa malah menjadikan tidak lupa tidak pernah terjadi.
Lalu lupa.

Pada akhirnya mampu menahan diri untuk tidak langsung menyalurkan percikan yang terlintas di pikiran ke dalam racauan. Sebagai suatu hasil pengondisian yang membuat bisa karena terbiasa.

Terbiasa.

Apa bedanya, seorang yang terlintas sesuatu di pikiran kemudian langsung melepaskannya dalam perkataan. Karena mampu melakukan itu, terbiasa untuk melakukannya.

Dengan, seorang yang awalnya cepat melepaskan pikiran namun berlatih mengendalikannya sampai pada tahap, ya pikiran itu terkendali. Setelah terbiasa melakukannya.

Entahlah. Tapi yang sama adalah lalulupa nya.

Yang satu lupa bahwa ia melepaskan kilatan pikirannya.
Yang satu lupa bahwa ia tidak melepaskan kilatan pikirannya.

Baiklah. Tanyakan pada orang kidal yang barusan melempar bola. Tadi melempar pakai jari tangan yang mana?
Lalu tanyakan pada orang bukan kidal yang barusan melempar bola. Tadi melempar pakai jari tangan yang mana?

Kemudian tanyakan pada orang bukan kidal yang melatih tangan kirinya sehingga mampu berfungsi persis sama tangan kanannya. Tadi melempar pakai jari tangan yang mana?
Akhirnya tanyakan pada orang kidal yang melatih tangan kanannya sehingga mampu berfungsi persis sama tangan kirinya. Tadi melempar pakai jari tangan yang mana?

Saturday, February 6, 2016

Baik, kau bagaimana?

Apa kabar? Kental dengan ekspektasi jawaban “baik” dan balas tanya.

Baik, kau bagaimana? Kental dengan ekspektasi jawaban “baik” dan frasa bernada motivasi.

Baik juga. Mulai merasa sia-sia.

Baiklah, sukses ya. Menutup basa-basi demi menggenapi definisi etika.

Sama sama. Inilah yang dinamakan etika.

Menggenapi ekspektasi dengan keseharusnyaan. Percakapan buatan yang sudah dibentuk, tinggal dilaksanakan. Kebohongan yang ditampilkan. Karena keindahan dan kebahagiaan sudah didefinisi. Maka, terreduksi.

Bandingkan;

Apa kabar?
Buruk.
Ah, baiklah aku jadi tahu.
Kau berniat membantu?
Tidak mampu untuk saat ini, selain bertanya tadi.
Baiklah, terimakasih sudah bertanya. Ohya, kabarmu bagaimana?
Buruk juga.
Hahahah…
Hahaha…
Aku merasa lega.
Ya, dan bahagia.
Bukan karena kita sama-sama kesusahan, tapi karena kita sama-sama terbuka.
Itu melegakan memang. Lepas dari definisi baik atau buruk.
Mengakui apa adanya.
Oke, mari kita lanjutkan aktivitas kita.
Mari mari.

Tuesday, January 12, 2016

Koleksi



Ah, budak. Budak hasrat. Budak imaji. Budak dari budak.

Kumpulkan. Simpan. Ceritakan. Tanpa pernah menggunakannya. Demi hasrat memiliki. Demi rasa menguasai.

Bangga. Karena punya tapi tak pernah dibuka.

Juara. Karena banyak tapi tak paham isinya.

Ah, budak. Budak dari ketakutan.

Ketakutan karena mempersamakan, memperbandingkan, menghitung-hitungkan, dan mengabaikan.

Onani rasa menguasai dengan koleksi. Kumpulkan. Simpan. Ceritakan. Tanpa pernah menggunakannya.

Kalau tak mampu dominan dalam kualitas, mendominasi lah dalam kuantitas. Demi hasrat memiliki.

Semua yang kita miliki, akan berakhir dengan memiliki kita. Semua yang kita kuasai, akan berakhir dengan menguasai kita.

Saat kolektor menjadi koleksi bagi koleksinya yang telah menjadi kolektor. Barang bagi manusia menjadikan manusia bagi barang.