Saturday, December 24, 2016
Kebijaksanaan Apa
Karena kata tidak bisa menjelaskan semuanya tetapi semuanya hanya bisa dijelaskan melalui kata, maka kalau semua yang diceritakan itu benar maka benarlah yang diceritakan belum semuanya. kebijaksanaan apa dari seorang yang awalnya membaca kutipan, lalu menjalani pengalaman hidup baik itu gerak (motion) dan juga aksi (action), kemudian membaca buku lebih lengkap dari sekadar kutipan. Akhirnya meredakan api aksinya yang tadinya membakar menjadi secukupnya untuk memberi kehangatan. Mencari aman dan mengalir bersama arus besar kehidupan.
Kebijaksanaan apa dari seorang yang mengalir bersama arus besar kehidupan, tidak membaca hanya mengikuti budaya popular yang sedang berlangsung, memenuhi norma dan tuntutan ekonomi, hidup dengan patokan umur dan pencapaian pada setiap tahap umur, menjalani kehidupan selayaknya kebanyakan, menemukan pembelajaran. Mencari aman dan mengalir bersama arus besar kehidupan. Sama dengan seorang yang disebutkan sebelumnya.
Kebijaksanaan apa dari seorang yang banyak melakukan aksi langsung, terbentur terbentur dan terbentuk seperti kata Tan Malaka, melihat pola, menemukan pemahaman. Akhirnya beraksi dengan lebih tenang dan perlahan. Bukan lagi membongkar tapi membangun hal sederhana pelan-pelan. Ambisinya berkurang dan perkataannya menceritakan tentang pengisian peran. Karena semuanya telah ada ruang dan semuanya ada dalam alur besar kehidupan yang semuanya adalah baik. Kalau tidak baik, hal itu demi kebaikan yang lebih besar lagi. Tindakannya aman dan mengalir bersama arus besar kehidupan. Sama dengan yang lain.
Kebijaksanaan apa dari seorang yang banyak berpikir dan melakukan analisa, mengamat-amati, masuk ke dalam suatu ruang keterlibatan dengan aksi minimal tapi kuat di konsep dan teguh dalam nilai dan prinsip. Menjaga dan bertindak strategis. Semakin lama semakin luas yang dilihatnya. Semakin lama semakin kompleks pengertian yang dimilikinya. Sampai pada pemahaman terbesar, yang dilakukannya adalah berhenti untuk bertindak besar. Hanya mengajak anak-anak berbincang dan bertanya-tanya, “Menurutmu bagaimana?” Kehidupannya menjadi diam tenang dan aman dan mengalir bersama arus besar kehidupan. Sama dengan semuanya.
Ternyata semua ini berkaitan dengan kapasitas kemanusiaan. Tidak ada yang namanya mengembangkan kapasitas melainkan mengisi kapasitasnya. Kapasitas manusia yang segitu-gitunya saja, satu manusia satu kapasitasnya masing-masing. Bukankah pernyataan bahwa semua manusia adalah unik berusaha untuk menyampaikan hal ini. Walaupun dengan sindiran kalau semua unik berarti tidak ada yang unik, tetap saja hal ini menyampaikan hal yang sama. Bukan mengembangkan kapasitas kemanusiaan lah tugas manusia, melainkan mengisi kapasitas yang dimilikinya.
Ternyata semuanya dimulai tidak dari dasar melainkan dari permukaan. Kapasitas berkaitan dengan hal ini, manusia menjalani kehidupan dari permukaan menuju dasarnya sebanyak kapasitasnya. Maka tidak jarang kan mendengar istilah manusia dangkal dan manusia dalam. Karena semua manusia ada bersamaan di permukaan, maka semuanya dimulai dari permukaan. Untuk masuk ke tempat yang lebih dalam lagi, itulah hidup. Berbeda antara mengusahakan kehidupan dengan hidup! Banyak orang yang mengusahakan kehidupan tapi tanpa benar-benar hidup.
Dimulai dari keriuhan di permukaan yang beragam dan bervariasi. Unik setiap manusianya dan beragam, terkelas-kelaskan, tergolongan-golongankan, terkotak-kotakan, berdasarkan kemiripan dan standar toleransi seluas ruang kebersamaan. Dari permukaan yang riuh dan beragam, masuk lebih dalam lagi ada pola yang ternyata sama mulai terjadi pengelompokan demi suatu bentuk kehidupan. Masuk lagi lebih dalam ada esensi dari setiap pola tersebut yang semakin fundamental, hadirlah pemahaman tentang hidup itu sendiri. Akhirnya berhenti pada dasarnya, melihat kenyataan bahwa demikianlah semua apa adanya.
“Kebijaksanaan apa,” mungkin akhirnya mengarahkan kepada bahwa tidak bisa tidak bijaksana. Karena satu manusia satu kebijaksanaan. Kalaupun perlu ada satu kebijaksanaan yang perlu dianut bersama, tidak bukan kebijaksanaan untuk mengelompokan manusia berdasarkan kebijaksanaanya yang serupa. Pemisahan, klasifikasi, penggolongan, dan pembedaan. Sisi bijaksananya adalah bahwa perbedaan ini bukan untuk memaksakan sama di seluruh alurnya, tapi untuk saling melengkapi dalam satu tujuan besar bersama di satu titik pertemuan alur yang bersilangan. Juga yang perlu diingat adalah bukankah titik-titik persilangan ini kalau ditarik garis pun menjadi satu alur juga.
Berhenti sampai di sini kah? Tidak! Tempat manusia adalah di permukaan, menuju ke dasar adalah kepenuhan hidup manusia berdasarkan kapasitasnya. Kembali ke permukaan adalah niscaya, hanya kali ini berbeda: ada kesadaran. Melihat apa adanya bahwa manusia itu sudah demikian adanya dengan kapasitas masing-masing yang berbeda-beda. Bukan pada perbedaan besar kecil lah karena itu ilusi; melainkan pada keberadaan kapasitas yang perlu dipenuhi. Bukan pada pengembangan kapasitas lah karena itu delusi; melainkan pada mengisi kapasitas yang sudah ada dalam diri demi kepenuhan diri sebagai manusia. Alur terus berjalan dan peran selalu terisi, bukan masalah siapa pemerannya tapi apa perannya.
Sunday, October 30, 2016
Kehadiran dan Pengalihan
Pengalihan itu justru kehadiran, tapi bukan di tempat yang sesuainya malahan di tempat lain yang bisa jadi lawan atau bagian kecil dari yang diperlukan. Karena tidak mampu hadir di tempat yang sesuai, maka hadir di tempat lain yang dimampukan atau diketahuinya saja dari kebiasaan dan keterbiasaan.
Mengalihkan bisa jadi adalah menghadiri tempat lain yang diluar perannya. Bisa juga malahan justru terlalu spesifik menghadiri perannya, seperti fokus berlebihan atau konsentrasi yang menutup diri, kedua perangkat yang dipergunakan setengah dari fungsinya ini bisa jadi malahan gagal memenuhi fungsinya sendiri.
Baik itu diluar peran ataupun terlalu dari dalam dari peran, itu sudah di luar ruang kehadiran yang semestinya. Hanya ada dua hal, menghadiri ruang yang semestinya atau menghadiri ruang lain yang tidak semestinya. Kehadiran di ruang yang tidak semestinya ini adalah pengalihan, tindakan yang dilakukannya adalah mengalihkan.
Penggambaran “alih-alih melakukan yang diperlukan malahan yang tidak diperlukan” sudah menggambarkan pengalihan dengan jelas. Tapi tetap saja perilaku mengalihkan ini dilakukan, seperti dalam menggambar atau menulis atau bermain musik di taman. Pengalihan yang dilakukan adalah dengan terlalu fokus pada alat musiknya saja dan konsentrasi sempit pada nada.
Aksi tersebut tidak lain adalah pengalihan dan kerja yang dilakukannya adalah mengalihkan, tidak ada karya. Kesadaran tanpa kemenyadaran hanyalah pengetahuan yang mengawang tak menyentuh langit dan dibawa ke bumi tanpa menyentuh tanah, onani imajinasi. Kesadaran digunakan untuk aksi kemenyadaran, karya hadir saat yang menggambar atau menulis atau bermusik di taman ini melepas fokus dan konsentrasinya dan melebur bersama semuanya.
Bahkan daun yang lepas dari dahannya terdengar nadanya dan menjadi bagian dari musik semesta, bahkan angin yang berputar terlihat jalurnya dan menjadi bagian dari gambar semesta, bahkan diputar balik diri lah yang menjadi bagian dari daun lepas dan angin berputar itu. Karya hadir setelah melepaskan dan pelepasan hadir setelah pencapaian.
Maka kehadiran adalah setelah konsentrasi dan fokus didapatkan, disadari, dan dilepaskan. Kesadaran menyata dalam kemenyadaran, tidak ada lagi diri; semuanya hanya alur yang terus berjalan dan peran yang selalu terisi. Selain daripada itu hanyalah pengalihan.
Konsentrasi dan Fokus Jempol Kram
Bukankah dengan menggabungkan keduanya manusia jadi bisa melihat tanpa perlu melihat, mendengar tanpa perlu mendengar, mencium tanpa perlu mencium, merasakan tanpa perlu meraba, dan mengecap tanpa perlu menjilat. Karena penglihatannya tidak hanya dengan mata, pendengarannya tidak hanya dengan telinga, penciumannya tidak hanya dengan hidung, perabaannya tidak hanya dengan kulit, dan pengecapannya tidak melulu dengan lidah.
Pada tahap ini, semua hal masuk ke dalam pikiran dan perasaan yaitu dunia imajinasi. Manusia pun akhirnya membuat persepsinya dan membuat kenyataannya. Konsentrasi dan fokus perlu ada untuk ditiadakan, dan untuk meniadakan keduanya bukan dengan membuang keduanya melainkan dengan melewati keduanya. Setelah konsentrasi dan fokus, setelah mendapatkan penginderaan penuh, setelah menciptakan kenyataan persepsional, manusia perlu untuk melepaskan semuanya. Untuk melihat semuanya sebagai apa adanya.
Pencerahan katanya adalah melihat dengan mata, mendengar dengan telinga, mencium dengan hidung, meraba dengan kulit, dan mengecap dengan lidah. Kembali lagi kepada dasar setelah naik tinggi ke alam persepsional, kembali kepada kenyataan yang tidak dibuat-buat melainkan apa adanya. Bukankah manusia melihat apa yang ingin dilihatnya saja, mendengar apa yang ingin didengar, mencium apa yang ingin dicium, meraba apa yang ingin diraba, mengecap apa yang ingin dikecap. Delusi.
Dengan melepaskan semuanya maka manusia akan melihat yang memang ada, mendengar apa yang ada, mencium apa yang ada, meraba apa yang ada, dan mengecap apa yang ada, apa adanya. Paradoks memang untuk menemukan yang iya perlu untuk mengalami dan melewati apa yang bukan. Mengalami dan melewatinya, bukan hanya mengalami saja karena itu sih ketagihan. Sedangkan kalau melewatinya saja, itu namanya pengalihan.
Konsentrasi dan fokus untuk menemukan semuanya, mendapatkan semuanya, lalu melepaskan semuanya. Seperti konsentrasi pada seluruh badan dan fokus pada pisau di kedua tangan, seorang petarung merobohkan seribu prajurit bayaran yang hanya mengayunkan-ayunkan pedang, tombak, gada, dan perisainya dengan melupakan jempol kaki yang adalah pengatur keseimbangan badan. Semuanya musnah dengan jempol kaki patah tanpa mengetahui apa yang terjadi tiba-tiba sudah mati. Sang petarung berdiri terakhir dengan merasakan kalau otot jempol kakinya sendiri sudah mulai kram.
Monday, September 26, 2016
Sia Sisa Pertanya Jawaban
Mempertanyakan dan menemukan jawaban, membuat jawaban lebih tepatnya. Karena jawaban dari pertanyaan adalah pertanyaan juga, demikianlah jawaban dan pertanyaan hanyalah respon atas situasi berdasarkan kondisi diri. Bukan untuk menemukan jawaban lah pertanyaan itu melainkan untuk menggambarkan tiga hukum sialan; posibilitas, probabilitas, dan kausalitas.
Tidak ada yang pasti, bahkan ketidak pastian itu sendiri tidak pasti (ada atau tidak). Gambarkan lah semua yang mampu digambarkan sebagai pola, bahkan hingga merendahkannya. Seiring kesadaran bahwa diri pun rangkaian pola dan menamakannya sebagai keterjebakan. Menolak menjadi korban definisi pun adalah indikator bahwa diri adalah korban definisi. Apa yang dilawan kalau tidak ada yang diakui, terlepas dari mengafirmasi atau menegasi, keduanya adalah pengakuan.
Benarkan ini semua pelepasan? Atau semuanya hanyalah perlawanan. Tidak dapat menemukan tujuan yang benar-benar menenangkan, maka menyerang tujuan-tujuan yang tidak menenangkan itu. Bukan menemukan ketenangan malahan, hanya menemukan ketiadaan dari adanya keseimbangan antara dua kutub yang bertolak belakang. Dua kutub yang pada dasarnya adalah satu. Semuanya adalah sama dan seperti adanya demikianlah. Yang layak terjadi yang terjadi, yang ada telah ada dan selalu ada. Tidak ada apa-apa.
Bukan ini bukan ini tidak itu tidak itu, demikianlah yang paling tidak dan paling bukan yang dilakoni sekarang. Mengapa karena mungkin bisa jadi maka demikianlah yang terlihat oleh mata, tidak lebih hanyalah pola dan yang terpenting adalah peran bukan pemeran. Alur terus berjalan dan peran selalu terisi. Manusia itu tidak ada. Sungguh, mata ini panas setiap harinya dan seringkali sejak waktu itu bertanya apa yang terjadi kalau diri menjadi buta. Apakah yang dilihat oleh mata akan sama dengan yang didengar telinga?
Selalu berpegang pada aroma padahal tidak ada bau sedikitpun yang tercium hidung. Semuanya pendekatan, semuanya anggapan, semuanya kenangan, semuanya dugaan, semuanya tidak lebih dari pengulangan. Tidak bisa tidak untuk terlibat secara minimal. Sejauh apapun meninggalkan tidak akan benar-benar lepas karena yang paling minimal adalah terlibat secara minimal. Bahkan kematian pun tidak melepaskan. Dengan adanya nama, demikianlah keabadian tercipta sejak dilahirkan. Kecuali satu generasi musnah sama sekali.
Kesia-siaan sebagai iman, ketakutan sebagai dasar gerakan, pengetahuan sebagai penemuan pola, bahasa sebagai alat menggambarkan idea. Imajinasi dan imaji-imajinya, semuanya bertarung di arena yang namanya kehidupan. Bagaimana ini, kalau bahkan tidak melakukan apa-apa pun adalah suatu kelakuan.Tidak bereaksi pun adalah suatu aksi. Aksi atau reaksi pun hanyalah respon yang menimbulkan konsekuensi. Tidak adakah yang terputus. Diri untuk dirinya sendiri. Tidak ada kemungkinan, tidak ada peluang, tidak ada sebab akibat. Mengada, berada, kemudian meniadakan diri. Bebas.
Kebahagiaan pun tampaknya sebagai respon atas ketidak mampuan untuk bebas. Mencintai yang dilakukan adalah kebahagiaan. Melakukan yang dicintai adalah kebebasan. Sialan, bahkan yang dicintai pun adalah rangkaian kenangan yang dipermainkan oleh tiga hukum sialan. Akhirnya dalam keterjebakan mencari keterkaitan minimal, dalam ketidak bisa tidakan mencari yang tidak diperlukan untuk tidak diperlukan. Karena seiring perjalanan, yang tidak perlu menjadi perlu yang tidak ada menjadi ada, dan itu semua hanyalah alasan-alasan yang tidak bebas. Bentukan.
Membiarkan bukan melepaskan. Ketidak sadaran dalam membiarkan dan kesadaran dalam melepaskan. Tipis seperti kehidupan dan kematian, bahkan tersedak ludah sendiri satu manusia sekejap mati. Membunuh satu manusia lain pun manusia yang tidak ada dan diketahui keberadaannya menjadi hidup, oleh bahasan orang-orang yang membutuhkan alasan-alasan. Tujuan adalah alasan, kebenaran adalah alasan, keadilan adalah alasan, pemaknaan adalah alasan.
Pemaknaan hanyalah pemakluman. Atas kondisi yang apa adanya demikian namun diberagamkan dalam pikiran. Kenangan yang dipermainkan tiga hukum sialan. Ketidak terimaan yang diseharusnyakan menjadi kebahagiaan. Ketidak bebasan yang dikunci oleh konsekuensi. Permainan dan ketololan berantai berrangkai terulang-ulang dalam ketidak bisa tidakan. Dalam kesekejapan lah mungkin adanya kebebasan dan kelepasan. Sekejap ledakan yang membakar satu generasi sia-sia. Sekejap banjir yang mengempas satu generasi sia-sia. Bagaimana yang sia-sia tidak menghadirkan sisa-sisa. Mungkin itulah pertanyaan yang menjadi jawaban dari pertanyaan sekarang.
Sunday, September 4, 2016
Revolusi (koq) Gandengan
Tuesday, February 9, 2016
Lalu Lupa
Entah apakah itu lupa tapi itu yang lalu. Sadar datang belakangan, sadarlah yang mengatakan yang lalu itu lupa.
Entah bicara apa tapi berbicara.
Semua yang terpercik di pikiran, dikatakan.
Lupa kalau isi pikiran ya, percikan percikan.
Juga saat mengatakannya pun, lupa kalau sedang mengatakannya.
Sekadar, yang terlintas yang tersalurkan.
Lalu pendengar berkata, "wow... pintar."
Ah, Sadar datang belakangan, sadarlah yang mengatakan yang lalu tadi itu lupa.
Sialannya, mengusahakan agar tidak lupa malah menjadikan tidak lupa tidak pernah terjadi.
Lalu lupa.
Pada akhirnya mampu menahan diri untuk tidak langsung menyalurkan percikan yang terlintas di pikiran ke dalam racauan. Sebagai suatu hasil pengondisian yang membuat bisa karena terbiasa.
Terbiasa.
Apa bedanya, seorang yang terlintas sesuatu di pikiran kemudian langsung melepaskannya dalam perkataan. Karena mampu melakukan itu, terbiasa untuk melakukannya.
Dengan, seorang yang awalnya cepat melepaskan pikiran namun berlatih mengendalikannya sampai pada tahap, ya pikiran itu terkendali. Setelah terbiasa melakukannya.
Entahlah. Tapi yang sama adalah lalulupa nya.
Yang satu lupa bahwa ia melepaskan kilatan pikirannya.
Yang satu lupa bahwa ia tidak melepaskan kilatan pikirannya.
Baiklah. Tanyakan pada orang kidal yang barusan melempar bola. Tadi melempar pakai jari tangan yang mana?
Lalu tanyakan pada orang bukan kidal yang barusan melempar bola. Tadi melempar pakai jari tangan yang mana?
Kemudian tanyakan pada orang bukan kidal yang melatih tangan kirinya sehingga mampu berfungsi persis sama tangan kanannya. Tadi melempar pakai jari tangan yang mana?
Akhirnya tanyakan pada orang kidal yang melatih tangan kanannya sehingga mampu berfungsi persis sama tangan kirinya. Tadi melempar pakai jari tangan yang mana?
Saturday, February 6, 2016
Baik, kau bagaimana?
Apa kabar? Kental dengan ekspektasi jawaban “baik” dan balas tanya.
Baik, kau bagaimana? Kental dengan ekspektasi jawaban “baik” dan frasa bernada motivasi.
Baik juga. Mulai merasa sia-sia.
Baiklah, sukses ya. Menutup basa-basi demi menggenapi definisi etika.
Sama sama. Inilah yang dinamakan etika.
Menggenapi ekspektasi dengan keseharusnyaan. Percakapan buatan yang sudah dibentuk, tinggal dilaksanakan. Kebohongan yang ditampilkan. Karena keindahan dan kebahagiaan sudah didefinisi. Maka, terreduksi.
Bandingkan;
Apa kabar?
Buruk.
Ah, baiklah aku jadi tahu.
Kau berniat membantu?
Tidak mampu untuk saat ini, selain bertanya tadi.
Baiklah, terimakasih sudah bertanya. Ohya, kabarmu bagaimana?
Buruk juga.
Hahahah…
Hahaha…
Aku merasa lega.
Ya, dan bahagia.
Bukan karena kita sama-sama kesusahan, tapi karena kita sama-sama terbuka.
Itu melegakan memang. Lepas dari definisi baik atau buruk.
Mengakui apa adanya.
Oke, mari kita lanjutkan aktivitas kita.
Mari mari.
Tuesday, January 12, 2016
Koleksi
Ah, budak. Budak hasrat. Budak imaji. Budak dari budak.
Kumpulkan. Simpan. Ceritakan. Tanpa pernah menggunakannya. Demi hasrat memiliki. Demi rasa menguasai.
Bangga. Karena punya tapi tak pernah dibuka.
Juara. Karena banyak tapi tak paham isinya.
Ah, budak. Budak dari ketakutan.
Ketakutan karena mempersamakan, memperbandingkan, menghitung-hitungkan, dan mengabaikan.
Onani rasa menguasai dengan koleksi. Kumpulkan. Simpan. Ceritakan. Tanpa pernah menggunakannya.
Kalau tak mampu dominan dalam kualitas, mendominasi lah dalam kuantitas. Demi hasrat memiliki.
Semua yang kita miliki, akan berakhir dengan memiliki kita. Semua yang kita kuasai, akan berakhir dengan menguasai kita.
Saat kolektor menjadi koleksi bagi koleksinya yang telah menjadi kolektor. Barang bagi manusia menjadikan manusia bagi barang.