Tuesday, February 14, 2012

Tuhanku, Aku


entah apa yang membuatku kecewa
juga entah apa yang membuatku ketakutan
terlalu banyak energi yang bekerja sehingga menghasilkan diam
terlalu banyak yang layak dipedulikan sehingga melahirkan ketidak acuhan
tuhan
tuhan
tuhan?
apakah kubangan tempatku berawalan
atau malah akhir dan keabadianku

Segalanya membingungkan, segalanya tampak hadir dan menyerang. Semuanya tak bisa terkendalikan dan semuanya tak tertahan. Tak sanggup untuk membuang, tak mampu untuk menaklukkan, berakhir sebagai beban pikiran.

Ikatan-ikatan. Keinginan dan kebutuhan. Tuhan dan manusia. Tak bisa manusia menjadi Tuhan, namun Tuhan mampu menjadi manusia. Tidak adil? Tidak! Tidak adil! Manusia seakan mainan yang digerakkan oleh tiupan dari mulutnya, dan terseok dan terkapar, dan menggalau kebingungan.

Ingin begini, harus begitu, terjadilah.. terjadilah, namun tidak terjadi. Tuhaaaaaaannn…. teriaknya manusia menahan emosi. Seandainya Kau ada di sini akan kuhantam kepalaMu dengan tinjuku. Dimana Kau, aku ingin ini, itu, begini, begitu, tapi aku tak mampu menenggak semua isi lautan ini. Tuhan, kenapa aku harus memilih. Aku tak punya pilihan, aku harus memilih.

Jika begini maka akan begitu, jika begitu maka akan begini. Opsi opsi opsi, alternatif tiada henti. Manusia mengerti dan mampu mempelajari, lalu berteriak Tuhaaaaaaaann... mana yang harus kupilih. Dengan tanpa sadar bahwa ia telah memiliki semua jawaban dalam bentuk kemungkinan.

Siang dan malam. Terpisah oleh pilihan. Mengapa tak digabungkan, biar dalam siang ada malam dan dalam malam ada siang. Apa namanya nanti? Jikalau bisa kuminum seluruh lautan akan kuhabiskan hingga aku puas. Pun, jikalau aku bisa melewati siang dan malam bersamaan, aku telah menjadi tuhan.


Apa itu malam, apa itu siang. Apa itu tuhan. Apakah aku. Semua menjadi nol, namun tidak kosong. Karena semuanya saling menyeimbangkan, mengisi kekosongan dan melahirkan nol. Nol, yang juga siap untuk menjadi kekosongan, yang bisa diisi oleh kesemuaan selanjutnya dan begitu seterusnya. Ternyata, aku adalah tuhan.


Manusia mendefini untuk menggambarkan hal tentang rasa yang dialami. Mendefinisi memang mereduksi. Namun, selama tidak terjebak di dalamnya, dari secangkir air lautan manusia bisa mengerti apa itu air lautan tanpa harus menghabiskannya.


Dari meyakini siang adalah malam, dan sebaliknya, maka terjadilah demikian. Satu manusia satu dunia, satu tuhan. Menikmati siang dengan memperlakukannya sebagai malam, pun sebaliknya. Sungguh permainan sederhana yang terlupakan, karena manusia telah terkontaminasi kejamakan. Beda itu dosa. Kenapa mesti dosa? Oleh tuhan yang mana hal itu dosa? Bukankah aku adalah tuhan.


Semua yang datang dalam duniaku ternyata dari aku, oleh aku, dan untuk aku. Seringkali melupakan itu, aku pun mempersalahkan diriku dengan berteriak Tuhaaaaaaan, Kau yang salah! Padahal aku adalah tuhan itu. Kuasanya ada padaku, dengan hal itu aku membentuk duniaku seperti mauku.



10 Feb 2012






No comments:

Post a Comment