entah apa yang membuatku kecewa
juga entah apa yang membuatku
ketakutan
terlalu banyak energi yang bekerja
sehingga menghasilkan diam
terlalu banyak yang layak
dipedulikan sehingga melahirkan ketidak acuhan
tuhan
tuhan
tuhan?
apakah kubangan tempatku berawalan
atau malah akhir dan keabadianku
Segalanya
membingungkan, segalanya tampak hadir dan menyerang. Semuanya tak bisa
terkendalikan dan semuanya tak tertahan. Tak sanggup untuk membuang, tak mampu
untuk menaklukkan, berakhir sebagai beban pikiran.
Ikatan-ikatan.
Keinginan dan kebutuhan. Tuhan dan manusia. Tak bisa manusia menjadi Tuhan,
namun Tuhan mampu menjadi manusia. Tidak adil? Tidak! Tidak adil! Manusia
seakan mainan yang digerakkan oleh tiupan dari mulutnya, dan terseok dan
terkapar, dan menggalau kebingungan.
Ingin
begini, harus begitu, terjadilah.. terjadilah, namun tidak terjadi.
Tuhaaaaaaannn…. teriaknya manusia menahan emosi. Seandainya Kau ada di sini
akan kuhantam kepalaMu dengan tinjuku. Dimana Kau, aku ingin ini, itu, begini,
begitu, tapi aku tak mampu menenggak semua isi lautan ini. Tuhan, kenapa aku
harus memilih. Aku tak punya pilihan, aku harus memilih.
Jika
begini maka akan begitu, jika begitu maka akan begini. Opsi opsi opsi,
alternatif tiada henti. Manusia mengerti dan mampu mempelajari, lalu berteriak
Tuhaaaaaaaann... mana yang harus kupilih. Dengan tanpa sadar bahwa ia telah
memiliki semua jawaban dalam bentuk kemungkinan.
Siang
dan malam. Terpisah oleh pilihan. Mengapa tak digabungkan, biar dalam siang ada
malam dan dalam malam ada siang. Apa namanya nanti? Jikalau bisa kuminum
seluruh lautan akan kuhabiskan hingga aku puas. Pun, jikalau aku bisa melewati
siang dan malam bersamaan, aku telah menjadi tuhan.
Apa
itu malam, apa itu siang. Apa itu tuhan. Apakah aku. Semua menjadi nol, namun
tidak kosong. Karena semuanya saling menyeimbangkan, mengisi kekosongan dan
melahirkan nol. Nol, yang juga siap untuk menjadi kekosongan, yang bisa diisi
oleh kesemuaan selanjutnya dan begitu seterusnya. Ternyata, aku adalah tuhan.
Manusia
mendefini untuk menggambarkan hal tentang rasa yang dialami. Mendefinisi memang
mereduksi. Namun, selama tidak terjebak di dalamnya, dari secangkir air lautan
manusia bisa mengerti apa itu air lautan tanpa harus menghabiskannya.
Dari
meyakini siang adalah malam, dan sebaliknya, maka terjadilah demikian. Satu
manusia satu dunia, satu tuhan. Menikmati siang dengan memperlakukannya sebagai
malam, pun sebaliknya. Sungguh permainan sederhana yang terlupakan, karena
manusia telah terkontaminasi kejamakan. Beda itu dosa. Kenapa mesti dosa? Oleh
tuhan yang mana hal itu dosa? Bukankah aku adalah tuhan.
Semua
yang datang dalam duniaku ternyata dari aku, oleh aku, dan untuk aku.
Seringkali melupakan itu, aku pun mempersalahkan diriku dengan berteriak
Tuhaaaaaaan, Kau yang salah! Padahal aku adalah tuhan itu. Kuasanya ada padaku,
dengan hal itu aku membentuk duniaku seperti mauku.
10 Feb 2012
No comments:
Post a Comment