Thursday, August 28, 2014

Bangunlah Bangun, Ketertiduran (cerpen)

28.08.2014/cimahi/amuristcave

Pengamen yang mengancam, menyanyi dengan paksaan dan lebih memaksa dalam meminta uang. Yang pura-pura tidur tolong buka matanya sebentar untuk kasih seribu rupiah saja untuk jasa kami, katanya. Atau; kami tidak berniat mengganggu hanya bernyanyi saja, jadi kasih saja seribu dua ribu supaya tidak ada gangguan. Ucap mereka di akhir lagu. Rasanya mengesalkan, namun bukankah kita semua adalah penuntut dan pemaksa dalam kehidupan ini, hanya dengan cara yang berbeda saja. Semacam kredit, bukankah dengan asas kebutuhan saat ini kita terpaksa untuk memaksa mengadakannya saat ini dengan cicilan sebagai media.

“Apa lihat-lihat?! Kenapa ngetawain, orang mana kamu?” Kata salah seorang pengamen kepadaku ketika mata kami beradu tatap. Ah, merepotkan. “Gak bung, maaf.” Balasku tidak ingin menambah kerepotan. “Halah, sok sekali ya ente.. mentang-mentang kami pengamen dikira bisa seenaknya direndahkan.” Ia kini mendekatiku dengan memasang muka berang. Masalah memang adalah bukti bahwa manusia itu hidup, dan beberapa membutuhkannya sebagai pengakuan akan kehadirannya. “Maaf bung,” jawabku, “Saya tidak merendahkan, tadi hanya lihat sekilas saja, maaf kalau bikin gak enak.”

Matanya masih menatapku tajam, aku mengalihkan tatapanku dari mukanya. Aku tidak ingin masalah dan kerepotan di dalam bus ini. “Lihat hanya sekilas, merendahkan sekali kamu.” Ia menyentak sambil memukulkan topinya ringan ke bahuku. Hemm.. masalah itu artinya segala alternatif adalah salah, bahkan tidak mengambil alternatif adalah kesalahan. Mencari masalah berarti mencari pengakuan, dalam istilah lain mencari pengalihan. Ada hal yang tidak mampu ditanggung sendirian dan butuh suatu pergulatan untuk mengalihkan energi yang tertahan. Seperti pemuda bertato yang kini aku beradu tatapan dengannya, kali ini tidak sekilas melainkan dalam dan menantang. Karena dalam permasalahan, sekejap atau selamanya adalah salah.

Aku berdiri dari tempat dudukku, namun ia mendorongku kembali terduduk. Posisi kursi yang sempit ini menyulitkan memang, apalagi emosiku yang bernama marah meningkat. Tinjuan kiriku pada paha kanannya membuat mukanya merendah dan kemudian tamparan kiriku mendarat dengan telak yang membuat dia terduduk di lantai bus. Temannya mendekat dan mengeluarkan pisau. Kondektur bus berteriak dan mendekati kami.

“Turun di sini! Kita selesaikan di luar!” Bentak pengamen yang memegang pisau itu mengarahkan mata tajamnya kepadaku. “Hei, kalau mau ribut jangan di sini, keluar kalian.” Kondektur bus tersebut sudah berada di belakang pengamen berpisau, menjaga jarak agar tidak terkena sabetannya kalau-kalau si pemegang pisau dikendalikan pisaunya sendiri. Pengamen yang terjatuh tadi bangkit berdiri dan berusaha menerjangku, aku menangkis dan menghempaskannya ke arah si pemegang pisau, kini mereka berdua berada di posisi yang sama. Bus berhenti di pinggir jalan.

“Saya gak cari masalah, mereka yang ngancam duluan.” Kataku kepada kondektur bus, “Anda tau hal ini, anda dengar dan lihat, semua orang di sini pun lihat kejadiannya. Saya gak akan turun di sini, ini bukan tujuan Saya.” Lanjutku. “Kalian sudah bikin keributan dan tidak nyaman di bus ini.” Balas kondektur tersebut. “Kalau begitu keluarkan mereka saja, pasti tenang di sini.” Kubalas sambil menunjuk dua pengamen yang berang dan panas hingga merah muka dan bergemeretak gigi mereka menahan amarah. Mereka pun menerjang kearahku. Ah sialan. Tidak bisa tidak, lepaskan pukulan.

...

Tidak ada benar dan tidak ada salah. Hanya ada sebab akibat, manusia-manusia yang hidup berdasarkan ketakutan menjadi korban definisi kedamaian. Takut akan konflik karena tidak ingin jauh terlibat, justru semakin dalam terlibat dalam keterjebakan. Sama-sama-saja. Berpura-pura tidak tahu, untuk apa membela kesusahan yang lain karena diri sendiri pun sudah terlalu susah untuk membantu kesusahan yang lain. Susah karena tertekan keadaan tidak perlu lah ditambah dengan mengambil bagian dari beban yang lain.

Aku terduduk di pinggir jalan setelah diturunkan akibat perkelahian. Dua pengamen itu terbaring pingsan di sisi jalan cukup jauh dariku setelah aku hantam di dalam bus, badan mereka pun dilemparkan oleh kondektur yang sebelumnya tidak berani menyentuh dan menegur mereka. Setelah mereka pingsan kupukul barulah muncul keberaniannya. Memang, ketidak mau terlibatan adalah salah satu hasil dari ketakutan, takut untuk terlibat karena definisi damai adalah tanpa konflik yang artinya berpura-pura tidak tau saja walau itu di depan mata. Yang penting diri tidak terikutkan kesulitan dan kesusahan karena kehidupan sendiri telah sulit dan susah. Yang damai-damai saja lah.

Ya, tidak ada benar tidak ada salah hanya ada sebab akibat. Kehidupan yang mengancam, tidak bisa tidak terlibat dan terseret di dalamnya. Candu kemapanan, idola pada kondisi kekayaan dan definisi kesuksesan. Manusia terkondisi untuk berkompetisi karena semua kini diseragamkan dan disamakan oleh agama bernama ‘beda itu dosa’ dengan uang sebagai tuhan. Meraih dan meraih, mendapatkan dan berjuang sekerasnya untuk mendapatkan, dengan cara apapun, bukankah kompetisi berarti harus mengungguli yang lainnya dalam hal yang sama. Seringkali juga berarti menyingkirkan kompetitor yang berjuang untuk hal yang sama tersebut. Lihatlah, para jamak korban definisi penyamaan.

Dengan terlibat dalam perkelahianku mungkin saja akan membawa kepada kerepotan yaitu diajak berkelahi juga, dengan keterlibatan seperti itu berarti melepaskan kegiatan yang sekarang sudah dipegang dan bisa saja berarti kehilangan. Manusia terkondisi telah diracuni definisi hak milik. Ketakutan sebagai tindakannya dan ketidak mau tahuan sebagai senjatanya. Semua sibuk masing-masing dengan urusan masing-masing dan tidak ada ruang selain daripada bagi pemenuhan memiliki dan takut kehilangan. Lebih baik berjalan dalam ketakutan daripada mengusahakan kebenaran dan tidak bisa lagi berjalan.

Wajar sebenarnya, seandainya di dalam bus tadi ada orang dengan tipe sepertiku mungkin dengan senang hati ia sudah terlibat perkelahian. Tapi, Sang kondektur yang mungkin memikirkan istri anaknya di rumah yang mungkin akan sedih kalau ia pulang dalam kondisi luka. Teman sebangku yang mungkin tidak mau terlibat karena takut kalau ada apa-apa dengan dirinya siapa yang bisa membayar cicilan kehidupan keluarganya. Segerombolan mahasiswa yang pura-pura tidak mendengar mungkin takut juga tidak bisa sampai tujuan dengan tenang kalau terlibat perkelahian. Mungkin saja tidak terpikirkan untuk melawan dengan keseragaman kata untuk meminta keributan dihentikan, karena ketakutan telah diposisikan sebagai sikap dasar. Wajar sebenarnya. Kita dikondisikan demikian bahkan sejak dari pikiran. Takut kehilangan, kehilangan ilusi.

...

Kedua pengamen sudah mulai sadar dan duduk di jalan, aku mendekati mereka dan berjongkok menatap mereka satu per satu. Aku lepaskan pukulan ke muka mereka bergantian dengan keras hingga mereka pun pingsan kembali. Aku berjalan menuju warung dan bertanya informasi tentang bus lain yang bisa aku tumpangi ke tujuanku. Ibu muda yang cantik dengan keringat mengkilat bersama dua anaknya yang bergelayutan pun memberikan jawaban. Dilanjutkan dengan peringatan, “Lebih baik cepetan pergi dari sini, mereka banyak temannya di sini.” Sambil menunjuk kedua orang yang kupingsankan.

Setelah pamit pergi, aku menaiki angkutan umum yang ada untuk mengejar bus yang biasanya akan berhenti di beberapa lokasi di daerah ini. Mungkin saja di lokasi perhentian bus nanti aku akan bertemu dengan teman-teman kedua orang ini yang juga mungkin akan mencari masalah dan mempermasalahkan. Namun, bukankah ini yang namanya keterjebakan, tidak bisa tidak untuk ke lokasi perhentian bus karena memang perlu mencari bus. Masalah nanti biarlah nanti menjadi masalah, yang penting ada kesadaran akan kemungkinan dan kewaspadaan dalam menjalaninya. Rasanya seperti kematian, bukankah terlalu banyak yang lupa kalau hidup adalah perjalanan menuju mati dan kewaspadaan pun digadaikan atas nama kemapanan.

Matahari jingga merayap masuk lewat kaca jendela, langit keemasan dengan awan yang berkilauan, angin menerpa seperti menampar sadarkan dari lamunan. Bangun lah bangun, berjalan lah dalam kesadaran karena terlalu lama kita berkegiatan dengan ketertiduran. Hangat sore yang memeluk dengan kursi penumpang yang semakin kosong di dalam angkutan ini, perhentianku katanya lima menit di depan. Ah, semoga tidak ada lagi kerepotan yang membuatku terpaksa menggerakan badan.

No comments:

Post a Comment