Sebagai pembuka, seperti biasa saya menjelaskan posisi saya. Saya
melakukan kegiatan melihat, kemudian mengolah data secara rasional. Rasional
dalam arti perbandingan dari ilmu dan wawasan yang telah saya dapat sampai saat
ini, dengan situasi dan keadaan yang saya lihat saat ini. Olah pikir
tersebutlah yang melahirkan opini saat ini. Opini ini kemudian saya kemukakan,
dalam lingkup hasil dari proses rasionalisasi data. Mengenai latar belakang,
status sosial, pekerjaan, pandangan politis, agama, dan sebagainya dalam ruang
saya sebagai pribadi manusia, bukan menjadi pembahasan utama. Melainkan
pembahasan sekunder, dimana itu semua berpengaruh dalam proses rasionalisasi
saya, dan hasil tulisan saya saat ini. Saya sama seperti orang kebanyakan di
zaman ini. Bedanya, saat saya beropini seperti ini, saya terlepas dari saya dan
hanya rasio saya yang bekerja. Lepas bebas dan berkarya.
Orang muda. Anak muda. Orang dan anak. Istilah yang terasa bedanya.
Klasifikasi berdasarkan usia. Terlintas kalimat “Orang-orang tua yang telah
banyak berkelana dalam kehidupan seringkali belum tahu apa itu kehidupan.
Kemudian kita, anak muda mengikuti jejak mereka dengan berbagai cara. Mulai
dari meniru sampai dengan menentang melawan. Hasilnya, jejak mereka pun kita
ikuti.” Klasifikasi berdasarkan usia ini rasanya seperti pengulangan yang
memiliki tahapan kegiatan.
Dari kisah hidup Soe Hok Gie, yang pernah penulis lihat dari 2 sumber.
Film dan buku. Ada tersurat bahwa saat itu, mahasiswa kerjanya hanya kuliah
kemudian pulang. Bergaul dengan keasyikannya sendiri berdasarkan kepentingan
sendiri. Kemudian menimbun ilmu sendiri dan digunakan untuk kepentingan
sendiri. Demi pekerjaan yang menjanjikan kelimpahan material, kepastian alur
kehidupan, dan kemudahan mendapatkan keinginan. Sepertinya, sama dengan
mahasiswa saat ini. Karyawan muda saat ini. Bahkan mungkin orang-orang tua saat
ini.
Ketakutan akan ketidak pastian masa depan membuat manusia jatuh kepada
sisi buruk oportunisme dan utilitarianisme. Sehingga, kata-kata oportunis dan
utilitarianis seakan najis, padahal ada sisi baik di dalamnya. Para pemaki itu
pun sebenarnya melakukan dua hal ini. Oportunis dalam menajiskan oportunisme
membuat mereka mendapatkan kesempatan “terpandang” oleh sekitar, dan dengan
pengaruh ini mencapai kemudahan. Utilitarianis dalam menajiskan utilitarianisme
membuat mereka mendapatkan kegunaan untuk bersosialisasi dengan para penentang,
membuat jejaring berdasarkan kegunaan masing-masing dan mencari kesempatan
untuk mewujudkan keinginan. Sama saja.
Eksistensialisme orang-orang muda. Merasa hebat dan menentang para orang
tua. Tetap saja tujuannya adalah untuk menunjukkan kekuatan. Bukankah
orang-orang tua pun memberi arahan untuk menunjukkan kekuatan. Teguh pendirian
orang muda dan keras tak mau menerima masukan, dengan tujuan mencapai keinginan
dan membuktikan diri mampu menaklukan kehidupan. Seperti orang tua yang membuat
aturan yang harus dijalani untuk menaklukan kehidupan dan mengatasinya.
Orang-orang muda melihat para orang tua, yang melahirkan kekaguman bagi
dirinya. Kemudian mengikuti jejaknya dan seringkali terjebak untuk menjadi sang
idola dengan cara cepat. Aku harus menjadi dia, katanya. Seringkali pula
terjebak dalam alur dan pola kehidupan orang lain yang dijalaninya. Alur dan
pola kehidupan pribadinya terbuang. Semua demi satu hal, menjadi sosok yang
diidolakan. Dengan, sayangnya seringkali membuang sosok alamiah dirinya.
Banyak pengalaman yang hadir dari usia. Banyak kisah-kisah hidup yang
dapat menjadi rujukan dan perbandingan. Hal-hal inilah yang menjadi pisau
bermata dua dalam kehidupan. Satu sisi menjadi sarana mengisi kehidupan dengan
kebijaksanaan, dan di sisi lain mengosongkan kehidupan dengan membuat orang
mengikuti alur dan pola tertentu untuk mencapai suatu kondisi dan bentuk
tertentu. Setelah bentuk dan kondisi ini tercapai, makna mulai dipertanyakan.
Sepertinya sepanjang hidup dari muda hingga tua, makna selalu menjadi hal yang
terlupakan namun selalu melekat. Melekat dan terlupakan.
Orang muda, malas belajar dari pengalaman untuk melakukan aktualisasi
dan kontekstualisasi. Mengikuti pola dan alur tercepat karena ingin cepat-cepat
tua. Dalam lingkup definisi tua adalah mapan, memiliki posisi dalam kehidupan,
mendapatkan yang diinginkan. Degradasi definisi ini pun akibat dari dua sisi
tajam pengalaman.
Orang tua, merasa paling berpengalaman dan tidak mau melihat konteks.
Melakukan penyama-rataan karena secara fakta memang pernah muda. Hanya tidak
mau memandang muda pada tahun berapa, tanggal berapa dan dalam situasi dunia
seperti apa. Sama saja. Orang tua dan orang muda, sama-sama dikendalikan hasrat
untuk berkuasa.
Pengulangan-pengulangan pengalaman dan sejarah bukan menjadi hal yang
aneh. Suatu kehidupan dengan pola yang sama, hanya dengan bentuk yang berbeda.
Dengan jejak yang sama hanya dengan langkah yang berbeda. Dengan pesan yang
sama, hanya saja yang satu dengan surat kertas dan satu lainnya dengan Blackberry messenger.
Orang-orang tua yang telah banyak berkelana dalam kehidupan seringkali
belum tahu apa itu kehidupan. Kemudian kita, orang muda mengikuti jejak mereka
dengan berbagai cara. Mulai dari meniru sampai dengan menentang melawan.
Hasilnya, jejak mereka pun kita ikuti.
Dalam tahap awal, kehidupan serasa melepaskan diri seseorang dari
kesadarannya. Yang ingin dikejar adalah kekuasaan dan penaklukan atas
kehidupan. Tahap selanjutnya, pola-pola dan alur-alur yang hadir dari
pengalaman, yang tadinya berniat untuk membantu para manusia mencapai jalan
tercepat dalam mencapai kesadaran mengatasi
kehidupan, malah menjadi sistem penyamaan alur kehidupan. Setiap kesamaan akan
menghasilkan persaingan. Seperti itulah kehidupan orang muda dan orang tua. Selalu
berulang.
10 November 2011
No comments:
Post a Comment