Saturday, July 11, 2015

Lari kah, lari lah.

11juli2015, tambak, jakarta.



Hentakan yang tidak asing namun sepaham apapun, rasa tetaplah rasa, terasa. Cipratan darah telah mendarat di lantai. Mata yang lebam dan bengkak menutupi pandangan, mungkin kini telah sebesar bola tenis. Bagaimana aku tahu bahwa cipratan itu telah mendarat dengan mata yang tak mampu melihat, terdengar saja entah bagaimana.


Ah, bohong.. sebenarnya tidak kedua mata ini yang terbutakan, masih ada satu mata terbuka. Mata yang melihat kepalannya menuju kepalaku, tujuannya satu dan jelas, mengkanvaskanku. Sepaham apapun, semengerti apapun rasa tetaplah rasa, terasa. Aku tau bahwa setelah tinjunya menghantam kepalaku, lutut akan menyambut di liverku dan ditutup dengan kuncian pada kakiku yang akan membuatku jatuh tak mampu berdiri lagi.


Apa adanya demikian, demikianlah adanya terjadi. Badan yang telah lama tidak dilatih tidak bisa mengimbangi kecepatan penglihatan. Semua terjadi seperti prediksi dan yang bisa kulakukan adalah menepuk lantai tiga kali sebelum kaki patah atau lutut lepas dari sendinya. Lebih baik menyerah daripada tidak bisa berjalan pulang kan. Pertarungan selesai, teriakan kembali terdengar. Apapun itu, pujian, makian, kekecewaan, kesenangan, sama sama saja. Teriakan.


Kekalahan bukanlah yang pertama, materi yang dibawanya mungkin telah dipahami hingga sela-selanya. Namun, rasa tetaplah rasa, terasa. Kekalahan itu seperti sesak dan rasa tidak nyaman di tengah dada, katanya. Uang yang kuterima tidak banyak namun untukku ini lebih dari cukup. Bukan keuntungan yang kucari namun kehadiran yang perlu kuisi, sepertinya aku ketagihan dengan kehadiran. Perkelahian dan teriakan, kebanggaan dan uang kumal dalam amplop cokelat. Jauh-jauh dari itu membuatku tak tahan. Sepertinya benar, ketagihan.


Aku kembali ke kontrakanku, kamar yang cukup luas dengan harga murah, yang menyewakan seorang nenek tua yang hanya butuh sedikit keramaian karena anak-anaknya telah pindah. Kamar mandi menjadi tujuan pertama, menghilangkan kotoran dan bercak darah sebelum mengeras dan berkerak hingga terlalu sulit dilepaskan. Rasanya, seperti kenangan, terlalu lama dibiarkan dan ketika hendak dibuang kulit pun ikut terkelupas perih, membuat luka baru.


Dengan hanya handuk yang membungkus bagian bawah badan, kulemparkan amplop cokelat dengan jumlah setengah dari biasanya kudapat ke sisi kasur dan kulemparkan badanku ke kasur. Kekalahan itu menyesakan memang, walau bukan hal yang baru, tetap saja. Apalagi merasakan berat amplop yang jauh lebih ringan dibandingkan selama ini. Rasanya bobot massa gumpalan uang memiliki kemampuan menghina saat bobotnya ringan dan memuji saat bobotnya berat.



Di luar mulai ramai, sepertinya telah tengah hari karena kamar ini telah menjadi terang. Aku mengumpulkan kesadaran dan perlahan ingatan mulai kembali. Sepertinya tadi malam aku ketiduran dengan handuk yang entah dimana sekarang. Ketelanjangan ini membuatku melihat luka semalam, sekaligus membuka memori tentang perempuan itu. Hemmhh... memori itu kotak penyimpanan rasa, dan tersimpan di sudut-sudut bentuk dan waktu yang kita bilang suasana. Saat bertemu format suasana serupa, terbukalah kunci kotak itu. Juga, manusia itu gumpalan memori.


Aku mendapati diriku di dalam cermin dan segelas air telah kuminum. Udara yang masuk ke paru-paruku menyegarkan badan sekaligus menyadarkan bahwa benturan semalam pada sisi kanan perut cukup telak ternyata. Kondisi membentuk manusia dan waktu menyatakannya, pernyataannya kali ini adalah tentang pelarian. Pertanyaan retoris pun terlontar, “apa yang sedang aku lakukan disini?”



Setelah memutuskan untuk pindah dunia, meninggalkan yang lama dan masuk kepada yang baru, mengapa aku masih melakukan hal yang sama. Pertarungan jalanan, hanya kali ini tidak ada hati dan rasanya hampa. Memang, kita hidup dengan cara yang kita tahu saja, tapi rasanya pengulangan tanpa isi seperti ini hanyalah pelarian dan kesekadaran saja. Rasanya hanya menghabiskan energi yang sebenarnya tidak terpakai dimana-mana lagi, seperti penantian di satu sisi yang tidak diberi jiwa oleh kata “saling”.


Pada awalnya memang menyenangkan, ada rasa petualangan dan seperti ada secercah cahaya harapan. Aku bisa menjadi seorang yang aktual dan nyata, di dunia baru yang lebih bersih dari segala kotornya memori lampau dan sesaknya ketidak diakuinya keberadaan, pada awalnya. Pada akhirnya, aku sadar bahwa kekotoran memori itulah aku sendiri dan kesesakan itulah yang selalu kubawa berlari dan berakhir di sini. Mengulangi ketololan dalam aktualisasi diri, pengulangan tak ada isi sekadar merepetisi untuk menipu diri kalau semua ini benar. Lari kah?


Lari lah. Mungkin itu yang akan dia katakan kalau sekarang melihat kondisi ini. Sudah tidak mungkin lagi untuknya menjahit luka di badan dan mengompres lebam di wajah. Ia telah berlalu. Ah, bukan... Ia telah kutinggalkan berlalu. Dengan keangkuhanku yang tinggi, dengan kepercayaan diri yang terlalu, dan kebanggaan semu hasil penyangkalan kemungkinan, aku membuangnya dengan mengondisikan bahwa dia yang membuangku.



Aku berjalan dengan cukup sesak, sepertinya trauma pada liver ini masih cukup besar efeknya. Setelah menghabiskan segelas air, aku menjatuhkan badan yang telah habis ini ke sofa dan membiarkan linu mengisi sendi, dan perih membelai kulit. Apa yang tersisa dari ini, dan apakah hanya sisa yang nanti akan bisa kuberikan. Telah habis diri ini, bahkan kalau tak menyangkal, telah kuhabiskan diri ini untuk hal yang sebenarnya dari awal tidak kuinginkan. Tapi, aku ketagihan dan tidak bisa tidak untuk menolaknya.


Rasanya ingin kembali, mungkin dengan segala yang telah berbeda. Tidak akan ada hal yang sama, paku yang telah tertancap saat dicabut pun akan meninggalkan bekas. Kalau terus aku berada dalam pelarian ini, tidak akan ada hal lain selain pengulangan dan kesekadaran. Belum waktunya untuk rutinitas bertahan hidup. Energi ini masih ada untuk suatu perubahan dan perkembangan. Kali ini aku tidak ingin menyangkal. Lebih baik berada dalam kesungguhan, walau penolakan sebagai bayarannya.


Kembali, kembalilah. Bukan kepada organisasi, bukan kepada tipu-tipu aktualisasi diri oleh kekuatan dan keterjebakan keputus asaan yang terimplementasi dalam pemusnahan. Namun sungguh kembali ke awal, kepada kesungguhan yang ada jauh sebelum kisah ini. Sebelum aku menjadi aku, saat aku masih adalah aku sendiri. Sekarang atau tidak akan bisa lagi sama sekali. Sekarang, saat masih ada energi untuk kembali dengan kaki sendiri.


Pintu diketuk, namaku disebut. Rupanya empunya kosan datang membawakan makanan. Kue manis yang melengkapi pencerahaan pagi ini. Terimakasih kuucapkan. Barang yang sedikit ini kukemas sambil melahap kue. Uang dalam amplop kusisihkan untuk membayar sewa dan biaya perjalanan. Sebelum ada alasan-alasan dan pembenaran hadir, lebih baik segera pergi dari sini. Lari kah? Lari lah. Kali ini, aku berlari pulang. Kepada pulang, yang ada jauh sebelum awalan.


Luka di badan cukup menyulitkan, setidaknya sampai dengan stasiun. Aku hanya perlu bertahan sepuluh jam ke depan, karena saat pulang selalu ada dua kemungkinan, sambutan yang hangat yang melegakan atau sambutan keras yang menunjukkan sisa paku yang telah tertancap di memori. Apapun itu, demikian lah adanya. Sebelum semakin jauh tersesat, lebih baik sekarang pulang.

No comments:

Post a Comment