Thursday, August 27, 2015

Apresiasi Diplomatif Mata

Sepertinya saat ini benar budaya mata, indikatornya adalah pengagungan pada keutamaan proses, bukan hasil. Manusia menjadi ternama dan tersohor oleh proses yang ia tunjukkan kepada banyak orang untuk memenuhi definisi suatu hasil, namun hasilnya tidak sesuai definisi.


Dengan alasan apresiasi, proses menjadi lebih penting daripada hasil, yang penting sudah berusaha terlepas dari hasilnya dekat atau jauh dari sempurna (definisi/ideal). Tapi, bukankah yang kita butuhkan adalah hasilnya. Juga, bukankah proses itu suatu hasil. Hanya proses adalah rangkaian hasil, hasil pengetahuan, hasil latihan, hasil kualitas mental, dll.


Kalau mengaggungkan proses, kopi nikmat menjadi hanya diplomasi apresiatif mata. Hasil yang penting, kopi yang nikmat, bukan kesempurnaan proses yang diseruput kan. Kalau tidak enak ya tidak enak apapun prosesnya, seagung apapun prosesnya. Itu hanya apresiasi diplomatif, alias bohong.


Tombak yang buruk pun tidak akan berguna, sesempurna apapun prosesnya. Bukan berarti menolak proses sempurna, tapi fokus pada hasil. Juga kesadaran bahwa proses pun adalah suatu hasil.


Dengan kecenderungan pada bentuk dan bukan fungsi, maka mata menjadi dominan daripada rasa. Apresiasi lebih pada kata pujian, bukan pada pilihan selalu menggunakan, ahli pedang tidak memuji tapi menggunakan pedang bagus itu bahkan dalam tidurnya.

Berdasarkan pemahaman tersebut di atas, maka: Rasa, bukan mata! Hasil, bukan proses!

No comments:

Post a Comment