Wednesday, August 5, 2015

Apteur Test.



Diam itu ternyata berdasarkan pemahaman, bukan penahanan.

Penyederhanaan berfokus pada laku membuat diam menjadi represif bukannya membebaskan.

Semakin dipuja dan diagungkan, semakin direndahkanlah kesejatiannya.

Jujurkah pada diri, diam mana yang menenangkan karena paham atau yang menggelisahkan karena nahan.

Apakah kita benar2 korban definisi terjebak keseharusnyaan?

Ironi dan paradoks, mungkin peringatan untuk kerentanan suatu "kata".

Karena inti dari kata adalah apa yg tidak terkatakan, namun tetap harus melalui perkataan.




Seperti kekasih seniman yang bercerita tentang definisi karyanya:

Jawaban datang saat diri tenang, bukankah kebutuhan jawaban hadir dari ketidak tenangan, ntar aja lah tunggu "iklan lewat" katanya. Perjumpaan menghasilkan karya, perpisahan menghasilkan mahakarya. Lalu, perjalanannya menghasilkan apa? Tanpa karya.



"Menyukai kopi tanpa gula (pahit) itu firasat, ke-ditinggal-pergi-an, tidak ada yg tidak pernah ditinggalkan dari secangkir rasa.



Lihat aroma, apakah tetap berada? Yang tersisa hanya 'rasa setelah' yg dalam Bahasa Sunda nya, "apteur test".

No comments:

Post a Comment