Thursday, October 20, 2011

CANDU


Cinta dan morfin, apa bedanya. Sama-sama candu yang menenangkan dan membuai, membuat manusia jauh dari kesadaran. Ada hal yang mendasar dari hidup manusia, dan manusia berkutat di permukaannya. Apakah salah apakah benar. Tidak ada benar tidak ada salah, hanya ada aksi dan reaksi. sebab dan akibat.

Sedikit contoh, pengulangan yang disadari tak tersadari. Seorang manusia yang seharian bekerja di kantor dan kelelahan. Pulang ke rumah menemukan cinta dalam keluarga, tenang, terbuai dan larut. Bangun pagi hari, berjuang kembali dengan rutinitas dan kemudian hingga lelah, pulang kembali ke rumah dan menghisap candu lagi. Begitu seterusnya.

Agama dan kemapanan, apa bedanya. Sama-sama candu masyarakat yang menjanjikan dan menenangkan, menawarkan kepastian masa depan dan mengabaikan ketidak terdugaan. Penyederhanaan manusia membawa pemikiran dan perasaan kepada kematian, pergeseran tujuan dengan kedok kebahagiaan. Tersingkap semua yang ada di balik layar, semua datar.

Sedikit contoh, bagaimana kesucian dan kesadaran hadir saat beribadat. Tenang, dan terbuai dengan keagungan suatu peribadatan. Kemudian keluar dari tempat ibadah, kembali memaki orang di jalanan padat kendaraan, bersitegang dengan tetangga kubikal di kantoran dan bersaing dengan segala cara mencuri materi. Kemudian pada waktunya kembali lagi ke rumah ibadat menghisap candu.

Ketakutan karena ketidak tahuan. Ketidak tahuan pun mengalami pergeseran makna. Semua tentang visualisasi dan bukti berdasarkan ilmu yang saat ini berlaku. Tak terbukti berarti tak ada. Terbukti namun tak diketahui adalah ancaman akan kehidupan. Manusia pun takut akan kesengsaraan dan kematian.

Bukankah dengan berusaha untuk tahu dan mengerti, berdasarkan ilmu yang saat ini berlaku (logika dan rasio) itu pun adalah kesengsaraan. Betapa semua manusia seperti kerbau mengarah ke satu jalan yang namanya pendidikan. Mengejar gelar untuk ditempelkan di badan layaknya kode harga, seberapa nilai suatu manusia. Masuk ke dalam arus karir mengejar kemapanan dan kemudian memastikan masa depan. Pun, melupakan kepastian masa depan adalah kematian yang tak pasti kapan.

Kenapa manusia takut mati, sampai mencari kepastian masa depan lewat kemapanan. Bukankah manusia hidup dalam beberapa saat sebelum mati. Karena sampai saat hidup (dalam beberapa saat sebelum mati) itu tiba, kita manusia tidak benar-benar hidup. Bahkan bernapas saja tidak kita sadari.

Kesadaran menjadi hal yang mengawang-awang dan abstrak. Begitu banyak candu dan buaian yang membuat manusia menjauh dari kesadarannya. Pendidikan, pekerjaan, pergaulan, dan gaya hidup. Teknologi, hiburan, fasilitas, dan perjalanan. Bahkan perjalanan, yang sejatinya adalah untuk meningkatkan kesadaran menjadi sarana pelarian. Tidak beda dengan teknologi hiburan yang membantu manusia lari dari dirinya sendiri, perjalanan menjadi sarana pencapaian gengsi.
Ada sebab ada akibat, ada aksi hadir reaksi. Semua demi terjalinnya keseimbangan dan harmoni. Penderitaan dan kesulitan manusia di dunia membuat banyak orang berusaha mecari jalan untuk kebahagiaan. Akhirnya jalan hadir, sebanyak manusia yang mencarinya. Mana jalan yang benar, semuanya benar bagi yang merasa itu benar. Kebenaran adalah keyakinan akan kebenaran yang dianut manusia yang membenarkannya. Adu kebenaran, sudah biasa.

Berlomba-lomba manusia mencapai tujuan yang telah terbentuk atas dasar kesepakatan bersama, yaitu kebahagiaan. Banyak jalan menuju kebahagiaan, akhirnya jalan pun menjadi sumber kebahagiaan. Pendidikan yang sejatinya meluaskan pandangan manusia justru mengebiri pandangan manusia dan menjadikan manusia terjebak di dalamnya. Kini, pendidikan adalah ilmu tertentu yang berguna dalam dunia kerja. Kerja yang juga tertentu untuk bidang-bidang itu saja. Lalu pada akhirnya kehidupan yang sempurna adalah tertentu dan terkotak pada syarat mapan, kaya, tunjangan masa depan dan kepastian pendidikan keturunan.

Candu candu candu canda. Canda siapa yang membuat manusia menjadi kecanduan. Manusia yang membuatnya dan manusia yang terbuatnya, seperti lingkaran yang tak terputus. Manusia untuk, untuk manusia, manusia untuk – untuk manusia – manusia untuk – dan seterusnya tak pernah berhenti.

Candu membuai kesadaran manusia dengan merasuk kepada kepercayaan manusia yang dianut saat ini. Logika dan rasio, yang adalah agama manusia sebenarnya. Bagaimana manusia mencapai konsep tuhan, selalu dengan agama (logika dan rasio). Pendekatan kepada sesuatu yang agung selalu dilakukan dengan pengabaian-pengabaian kecil. Akhirnya dimana banyak pengabaian kecil terjadi, pengabaian besar pun lahir. Membawa pisau mengebiri kemanusiaan dan menyeret manusia jauh dari kesadaran.

Bukankah semua kegiatan kita manusia saat ini adalah pelarian dari kesadaran akan manusia. Manusia itu apa, siapa, untuk apa, dan bagaimana. Semua buyar, dengan adanya agama yang membawa kebahagiaan. Lewat kepastian masa depan, pengotak-kotakan, pengebirian, dan pengabaian akan adanya hal-hal yang secara logika tidak ada.

Arus besar karir dengan candu kemapanan bertemu dengan kemudahan dan fasilitasi teknologi. Semuanya membuat dunia baru yang jauh dari dunia sebenarnya manusia. Manusia menyadari kehidupan yang akan diakhiri dengan kematian. Dalam mengisi rentang waktu ini manusia terpancing untuk berkarya dan berkuasa. Memastikan eksistensi dan mengharapkan keabadian.

Menghadirkan surga dan kebahagiaan. Lewat memastikan jalan hidup dengan jelas dan seperti peran yang telah disusun dengan rapi dan diketahui akhirnya, manusia mulai bermain drama tanpa jiwa. Saat kegelisahan akan kebutuhan kesadaran muncul, candu-candu tak mau mengalah.

Promosi jabatan, perjalanan liburan, televisi, teknologi, cerita-cerita kepahlawanan, mimpi-mimpi, dunia-dunia dalam film dan semua keterbukaan akan segala kemungkinan. Sejatinya adalah pengetahuan dan cambuk bagi manusia untuk sadar akan hakikatnya menjadi sadar dan mencapai kesadaran kemudian menyadarkan. Namun, sifat sebuah ilmu yang dimana bila kurang menjadi bego dan bila berlebih menjadi ego bertemu dengan sifat manusia yang malas sekaligus tidak pernah puas. Kesadaran menjadi candu karena tidak pernah mendapat porsi yang pas.

Manusia yang kurang ilmu menjadi penurut dan pengikut, seperti kerbau yang ikut arus masa kini dan memasuki peran-peran dalam drama kepastian masa depan, berdasarkan ketakutan akan ketidak pastian. Manusia yang berlebih ilmu menghadirkan candu-candu yang membawa semua manusia menjadi seperti kerbau yang berbahagia dengan fasilitas yang dipuja melebihi dewa. Dengan alasan menghadirkan kebahagiaan.

Candu, bahkan menulis pun menjadi candu. Pelarian dari kesadaran yang pada awalnya adalah untuk menjadi pembangkit kesadaran. Ketika tulisan menjadi ruang pelarian, sang penulis pun masuk ke dunianya dan lari dari kesadaran, terbuai oleh candu yang diciptakannya sendiri. Dimana kesadaran? Saat sesuatu belum sempat menjadi candu.


karenarasaadalahsegalanya-Semarang17102011//17:11wib

1 comment: