Dasar
dari gerak kehidupan manusia adalah ketakutan. Betapa manusia takut untuk
sendiri, sehingga ia begitu ramah dan berpura-pura. Bertopeng dan memainkan
drama. Bukankah pada dasarnya manusia adalah sendiri?
Betapa
takutnya manusia akan ketidak pastian masa depan sehingga membabi buta
kumpulkan harta dan memanfaatkan raga. Menjerat dengan kait cinta dan etika
untuk mendapatkan bagian harta. Kepastian di dalam ketidak pastian. Tenang.
Betapa
takutnya manusia kehilangan penghargaan, sehingga dengan kekerasan dan kekakuan
mempertahankan posisi. Menyatakan kekuasaan dan keunggulan dibandingkan manusia
lainnya. Persaingan muncul alamiah, sealami substansi dasar manusia yang adalah
hasrat untuk berkuasa.
Arus
global yang muncul dari kesepakatan, yang demi kemanusiaan pada awalnya, yang
menjadi terbalik pada akhirnya. Kemanusiaan demi arus umum yang global.
Persamaan adalah kehidupan, perbedaan tak boleh bertahan dan mati terbiarkan. Kesempurnaan
adalah bentuk yang berdasarkan arus umum yang sedang berjalan. Selain itu,
tidak ada (pengakuan).
Betapa
takutnya manusia keluar dari arus, untuk berbeda dan bergesekan, sehingga
menyerah pada kenyataan – berkelahi dalam pikiran. Kekecewaan yang berjalan
sepanjang segala zaman. Terbentuklah manusia-manusia kaku yang berpengalaman
kekecewaan dan berkata (nasihat) tajam tersirat harapan yang tak sempat
dimulai. Menjadikan manusia kini seperti keinginan dahulu.
Betapa
takut manusia untuk menjadi diri sendiri, sehingga menjadi sesuatu yang sama
dan banyak, karena kepastian akan kemapanan. Betapa candu kemapanan mematikan
kemanusiaan. Diri sendiri teraktualisasi lewat dunia lain yang tak nyata,
karena dalam kenyataan beda adalah dosa. Kemapanan mereduksi kemanusiaan.
Betapa
takut manusia akan penilaian, apa kata manusia tentang manusia. Betapa
penilaian mematikan kebebasan. Tak sadar, otomatisme dijadikan pegangan. Bukankah
semuanya emang begini. Kalimat sakti. Reduksi kebebasan oleh nilai-nilai dan
kepatutan yang berbalik dari ‘untuk manusia’ menjadi ‘manusia untuk’. Saat
predikat menjadi subjek.
Betapa
manusia takut akan kematian, sehingga berlomba membuat tuhan, agama pun menjadi
tuhan. Selalu butuh untuk dikekang, membuat alasan dan pembenaran. Kemudian
melupakan semua dan hanya meyakini kebenaran. Membabi buta. Dimana pembenaran?
Yang pada dasarnya adalah inti dari kebenaran berdasarkan kesepakatan awal.
Sungguh
tipis antara solusi dan sumber masalah. Betapa ketakutan manusia membuat
jawaban menjadi permasalahan dan masalah menjadi jawaban. Seperti yang sedang
aku lakukan sekarang. Entah apa yang aku takutkan. Banyak mungkin, saking
banyaknya sampai tidak tahu.
No comments:
Post a Comment