Thursday, September 17, 2015

Ungu Keabuan

Bulan senyum di atas awan. Awan warna abu keunguan, atau ungu keabuan.
    Banyak kendaraan tumpah di jalan, seperti tadi manusia tumpah dari pintu besi kotak warna muram.

Siluet pepohonan menggapai bulan, atau menggapai awan ya. Tapi itu semua hanya drama penggenapan, alur terus berjalan peran selalu terisi.
    Seperti gerombolan berseragam warna muram, apakah hanya sekadar mengisi peran pabrikan kah menggenapi era industrial.

Awan ya awan, bulan tetap bulan. Pohon akan selalu pohon, siluetnya hanya karena cahaya berganti posisi saja. Beda rupa, sama peran, dalam alur yang begitu adanya.
    Menolak dikatai mesin, tapi organisme ini seperti kehilangan isinya untuk lebih dari sekadar mesin.

Mata saja persoalannya, melihat rupa dua dari lima dimensi. Panjang, luas, volume, imaji, dan metafor. Mata pun gagal melihat dimensi ketiga, volume. Apalagi yang keempat dan lima.
    Ah, atau mata ini mulai menilai untuk mengerti tapi rentan menghakimi saat gagal memahami. Selalu ada rasa di setiap detil bertahan hidup rupanya, tujuan untuk berjuang dan alasan untuk bertahan.

Yang tampak ya tampak, yang anggapan jadi pembenaran. Ah, katakan saja pohon hendak menggapai bulan dengan awan sebagai tantangannya.
    Demikian lah kelas-kelas, kaum-kaum, pergolakan dan pergerakan, semuanya ada sedemikian memang ada. Kaki pasang dimana dengan isi ide yang ada, sepertinya seperlu itu saja.


Ignorance is a bliss.
    If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor. If an elephant has its foot on the tail of a mouse and you say that you are neutral, the mouse will not appreciate your neutrality. -Desmond Tutu-

No comments:

Post a Comment