Friday, September 30, 2011

APA?



Aku bertanya pada semua, tentang semua, apa, kenapa, bagaimana. Sungguh, aku bukan menuju tuhan, aku hanya terlalu banyak bertanya. Manusia itu apa?

Saat melihat manusia rasanya seperti melihat pola. Jika begini maka begitu, jika begitu maka begini. Kondisi ini terjadi karena itu dan akan menuju kepada alternatif kondisi begini atau begitu.

Memang, beda manusia dan binatang itu tipis. Namun dengan adanya pola itu, rasanya seperti manusia tidak bisa mengendalikan dirinya dan hidupnya. Dimana ‘kebebasan memilih’ yang katanya adalah hal utama yang menjadikan manusia adalah makhluk dengan derajat tertinggi?

Budaya, ya budaya. Seperti kekang yang dibuat manusia sehingga menjadikan manusia terjebak seperti binatang, hewan ternak. Lihatla para gerombolan manusia yang berkumpul atas dasar suatu persamaan dan tujuan. Rasanya seperti melihat domba atau bebek atau kerbau yang digiring pemiliknya.

Tipe tipe manusia, berdasarkan kepribadian. Berdasarkan kelas, materi, kekayaan. Profesi, dan banyak hal yang dipakai untuk mengelompokan manusia-manusia dengan pola serupa. Sepertinya manusia adalah mainan untuk manusia lain, yang juga adalah mainan dari manusia lainnya juga.

Kesamaan, ketakutan, kebanyakan, kebenaran, dan jalan hidup. Budaya saat ini adalah materialistis dengan arus utama karir. Hadirlah kemapanan sebagai agama, candu masyarakat. Takut akan ketidak pastian masa depan, manusia melihat pada arus mana banyak manusia berada, maka kebenaran dan jalan hidup ada pada kesamaan arah dengan kebanyakan manusia.

Kalah. Sungguh, kalah lah manusia yang berbeda. Dari penilaian, penghakiman, perlakuan dan akhirnya pemusnahan. Sejaran pemusnahan manusia selalu berawal dari ketidak samaan. Perbedaan. Justru, ironisnya, perbedaan itu pula lah yang membentuk kelompok-kelompok manusia yang solid dan persatuan yang kuat.

Kolektivitas itu nyata, dan parahnya itu berkedok sebagai objektivitas yang tak lama berubah menjadi kebenaran. Saat kebenaran lahir, maka dosa dan penghukuman pun lahir. Subjektvitas dan kekuatan subjek dalam membentuk kebenaran selalu terlupakan.

Hasrat untuk berkuasa. Aku masih mengamini bahwa dasar dari manusia adalah hasrat untuk berkuasa. Budaya saat ini adalah eksistensialistis. Betapa manusia mengejar segala hal yang menguatkan eksistensinya. Kemudian, dengan daya yang ia punya, maka berkuasalah ia akan keinginannya. Keinginan untuk berkuasa.

Lucu, manusia ingin hidup santai dan bermalas-malasan menikmati hidup. Jalan yang ditempuh adalah perjuangan habis-habisan, perang dan pembunuhan, mendapatkan kekuasaan kemudian berleha-leha. Bukankah kalau tujuannya seperti itu, dari awal saja berleha-leha, bermalas-malasan, menikmati hidup. Tak perlu membanting tulang membunuh kawan, cukup bekerja seperlunya sesuai kebutuhan, saat ada kelebihan bisa dibagikan atau ditukarkan dengan kelebihan manusia lainnya.

Ikut-ikutan, merupakan perjuangan berat yang tanpa risiko. Sungguh mengakomodir sifat malas dan takut manusia yang terjebak dalam keseharusnyaan berjuang. Kepada kebanyakan bentuk manusia lah manusia berarah. Semua mengejar menjadi pekerja kantoran yang berpakaian rapi dan jauh dari lumpur. Untuk berkuasa atas petani lusuh berlumpur yang memiliki beras. Saat seluruh petani menjadi karyawan. Apakah beras bisa digantikan dengan uang recehan, yang bila ditanak akan menjadi nasi?

Nilai-nilai yang dibentuk saat ini adalah manusia unggul adalah pejuang yang berhasil menjadi kaya akan materi. Lihatlah, gerombolan (hewan) manusia (ternak) ini mengarah ke sana semuanya. Saat ada yang berbeda, dan pasti ada, itulah model untuk kasta hina. Model yang diperlukan untuk dijauhi. Seperti manusia menciptakan tuhan, maka iblis pun diciptakan untuk meneguhkan tuhan. Atau sebaliknya?

Akal yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Akal lah yang menjadi dasar keunggulan manusia, yang menaikan derajatnya juga menurunkan martabatnya. Betapa manusia menjadi mulia (tuhan) dengan akalnya juga menjadi bengis (iblis). Bentuk nyatanya adalah pengondisian.
Pengondisian yang dimaksud adalah bahwa kemiskinan itu absurd. Ironi. Bahkan bisa dikatakan tidak ada. Mengapa negara yang kaya akan tanaman dan bahan pangan menjadi negara miskin? Karena parameter kekayaan adalah uang. Akhirnya dengan akal dibentuk lah pemahaman global. Hasilnya, pengondisian.

Pemiskinan, pengayaan, pengelompokan sifat manusia, semua adalah pengondisian. Karena manusia sadar bahwa peran yang berbeda itu diperlukan. Jika semua manusia sama, maka musnahlah manusia. Tidak ada saling melengkapi karena tidak ada perbedaan. Manusia belum mampu untuk berinteraksi dengan makhluk lain di planet lain, maka manusia di bumi belum berani untuk menjadi sama persis dan seragam.

Penyederhanaan pandangan, pengerdilan pemahaman. Pengarahan kepada suatu bentuk yang dibuat manusia yang memiliki akal lebih di atas manusia lainnya. Itulah yang menjadi dasar budaya, dimana budaya adalah senjata yang mengakomodir hasrat untuk berkuasa.

Dengan adanya kesepahaman, manusia memiliki sudut pandang yang sama. Dengan adanya kesamaan, kelompok membutuhkan perbedaan. Ya, perbedaan lah yang menjadi dasar dari gerakan. Maka, untu hidup adalah untuk bergerak, untuk bergerak perlu perbedaan. Pembedaan adalah solusi.

Klasifikasi manusia dalam budaya materialistis dengan arus utama karir, berjalan dengan buaian kemapanan dan kebahagiaan, lewat kesepahaman global yang objektif dan kebenaran umum mengenai kondisi ideal. Muncul gerakan yang dinamakan kemanusiaan yang berbudaya dan beradab. Doktrin-doktrin kemanusiaan yang menyederhanakan manusia. Konsep tuhan dan iblis yang mengerdilkan esensi agung manusia.

Lalu manusia-manusia seperti aku mulai mendefinisi dan berpersepsi. Sungguh ini pun bukan suatu jalan yang menjawab. Sama saja dengan manusia lainnya, berputar dalam lingkaran tak berujung pangkal. Dualitas yang tak bisa terhindarkan. Pola yang sepertinya abadi. Aku pun mainan, yang memainkan manusia sebagai mainan, yang mungkin juga aku mainan dari mainanku.

Terlalu luas laut yang ingin aku minum. Sebenarnya secangkir pun aku sudah muak. Namun, darah muda ini terus memaksa. Kalau memang laut tak bisa aku minum habis, maka biar laut yang memakanku habis. Setidaknya kami menjadi satu.

No comments:

Post a Comment