Aku bertanya pada semua, tentang
semua, apa, kenapa, bagaimana. Sungguh, aku bukan menuju tuhan, aku hanya
terlalu banyak bertanya. Manusia itu apa?
Saat melihat manusia rasanya seperti
melihat pola. Jika begini maka begitu, jika begitu maka begini. Kondisi ini
terjadi karena itu dan akan menuju kepada alternatif kondisi begini atau
begitu.
Memang, beda manusia dan binatang itu
tipis. Namun dengan adanya pola itu, rasanya seperti manusia tidak bisa
mengendalikan dirinya dan hidupnya. Dimana ‘kebebasan memilih’ yang katanya
adalah hal utama yang menjadikan manusia adalah makhluk dengan derajat
tertinggi?
Budaya, ya budaya. Seperti kekang
yang dibuat manusia sehingga menjadikan manusia terjebak seperti binatang,
hewan ternak. Lihatla para gerombolan manusia yang berkumpul atas dasar suatu
persamaan dan tujuan. Rasanya seperti melihat domba atau bebek atau kerbau yang
digiring pemiliknya.
Tipe tipe manusia, berdasarkan
kepribadian. Berdasarkan kelas, materi, kekayaan. Profesi, dan banyak hal yang
dipakai untuk mengelompokan manusia-manusia dengan pola serupa. Sepertinya
manusia adalah mainan untuk manusia lain, yang juga adalah mainan dari manusia
lainnya juga.
Kesamaan, ketakutan, kebanyakan,
kebenaran, dan jalan hidup. Budaya saat ini adalah materialistis dengan arus
utama karir. Hadirlah kemapanan sebagai agama, candu masyarakat. Takut akan
ketidak pastian masa depan, manusia melihat pada arus mana banyak manusia
berada, maka kebenaran dan jalan hidup ada pada kesamaan arah dengan kebanyakan
manusia.
Kalah. Sungguh, kalah lah manusia
yang berbeda. Dari penilaian, penghakiman, perlakuan dan akhirnya pemusnahan.
Sejaran pemusnahan manusia selalu berawal dari ketidak samaan. Perbedaan.
Justru, ironisnya, perbedaan itu pula lah yang membentuk kelompok-kelompok
manusia yang solid dan persatuan yang kuat.
Kolektivitas itu nyata, dan parahnya
itu berkedok sebagai objektivitas yang tak lama berubah menjadi kebenaran. Saat
kebenaran lahir, maka dosa dan penghukuman pun lahir. Subjektvitas dan kekuatan
subjek dalam membentuk kebenaran selalu terlupakan.
Hasrat untuk berkuasa. Aku masih
mengamini bahwa dasar dari manusia adalah hasrat untuk berkuasa. Budaya saat
ini adalah eksistensialistis. Betapa manusia mengejar segala hal yang
menguatkan eksistensinya. Kemudian, dengan daya yang ia punya, maka berkuasalah
ia akan keinginannya. Keinginan untuk berkuasa.
Lucu, manusia ingin hidup santai dan
bermalas-malasan menikmati hidup. Jalan yang ditempuh adalah perjuangan
habis-habisan, perang dan pembunuhan, mendapatkan kekuasaan kemudian
berleha-leha. Bukankah kalau tujuannya seperti itu, dari awal saja
berleha-leha, bermalas-malasan, menikmati hidup. Tak perlu membanting tulang
membunuh kawan, cukup bekerja seperlunya sesuai kebutuhan, saat ada kelebihan
bisa dibagikan atau ditukarkan dengan kelebihan manusia lainnya.
Ikut-ikutan, merupakan perjuangan
berat yang tanpa risiko. Sungguh mengakomodir sifat malas dan takut manusia
yang terjebak dalam keseharusnyaan berjuang. Kepada kebanyakan bentuk manusia
lah manusia berarah. Semua mengejar menjadi pekerja kantoran yang berpakaian
rapi dan jauh dari lumpur. Untuk berkuasa atas petani lusuh berlumpur yang
memiliki beras. Saat seluruh petani menjadi karyawan. Apakah beras bisa
digantikan dengan uang recehan, yang bila ditanak akan menjadi nasi?
Nilai-nilai yang dibentuk saat ini
adalah manusia unggul adalah pejuang yang berhasil menjadi kaya akan materi.
Lihatlah, gerombolan (hewan) manusia (ternak) ini mengarah ke sana semuanya.
Saat ada yang berbeda, dan pasti ada, itulah model untuk kasta hina. Model yang
diperlukan untuk dijauhi. Seperti manusia menciptakan tuhan, maka iblis pun
diciptakan untuk meneguhkan tuhan. Atau sebaliknya?
Akal yang membedakan manusia dengan
makhluk lain. Akal lah yang menjadi dasar keunggulan manusia, yang menaikan
derajatnya juga menurunkan martabatnya. Betapa manusia menjadi mulia (tuhan)
dengan akalnya juga menjadi bengis (iblis). Bentuk nyatanya adalah
pengondisian.
Pengondisian yang dimaksud adalah
bahwa kemiskinan itu absurd. Ironi. Bahkan bisa dikatakan tidak ada. Mengapa
negara yang kaya akan tanaman dan bahan pangan menjadi negara miskin? Karena
parameter kekayaan adalah uang. Akhirnya dengan akal dibentuk lah pemahaman
global. Hasilnya, pengondisian.
Pemiskinan, pengayaan, pengelompokan
sifat manusia, semua adalah pengondisian. Karena manusia sadar bahwa peran yang
berbeda itu diperlukan. Jika semua manusia sama, maka musnahlah manusia. Tidak
ada saling melengkapi karena tidak ada perbedaan. Manusia belum mampu untuk
berinteraksi dengan makhluk lain di planet lain, maka manusia di bumi belum
berani untuk menjadi sama persis dan seragam.
Penyederhanaan pandangan, pengerdilan
pemahaman. Pengarahan kepada suatu bentuk yang dibuat manusia yang memiliki
akal lebih di atas manusia lainnya. Itulah yang menjadi dasar budaya, dimana
budaya adalah senjata yang mengakomodir hasrat untuk berkuasa.
Dengan adanya kesepahaman, manusia
memiliki sudut pandang yang sama. Dengan adanya kesamaan, kelompok membutuhkan
perbedaan. Ya, perbedaan lah yang menjadi dasar dari gerakan. Maka, untu hidup
adalah untuk bergerak, untuk bergerak perlu perbedaan. Pembedaan adalah solusi.
Klasifikasi manusia dalam budaya
materialistis dengan arus utama karir, berjalan dengan buaian kemapanan dan
kebahagiaan, lewat kesepahaman global yang objektif dan kebenaran umum mengenai
kondisi ideal. Muncul gerakan yang dinamakan kemanusiaan yang berbudaya dan
beradab. Doktrin-doktrin kemanusiaan yang menyederhanakan manusia. Konsep tuhan
dan iblis yang mengerdilkan esensi agung manusia.
Lalu manusia-manusia seperti aku
mulai mendefinisi dan berpersepsi. Sungguh ini pun bukan suatu jalan yang
menjawab. Sama saja dengan manusia lainnya, berputar dalam lingkaran tak
berujung pangkal. Dualitas yang tak bisa terhindarkan. Pola yang sepertinya
abadi. Aku pun mainan, yang memainkan manusia sebagai mainan, yang mungkin juga
aku mainan dari mainanku.
Terlalu luas laut yang ingin aku
minum. Sebenarnya secangkir pun aku sudah muak. Namun, darah muda ini terus
memaksa. Kalau memang laut tak bisa aku minum habis, maka biar laut yang
memakanku habis. Setidaknya kami menjadi satu.
No comments:
Post a Comment