Saturday, July 26, 2014

Apa Perkara nya (cerpen)

25.07.2014/cimahi/amuristcave

All you need is love.. all you need is love.. all you need is love, love.. love is all you need..* terdengar jelas di samar-samar pemandangan dalam remang merah cokelat ruangan. Seorang lelaki muda terduduk sendiri dengan botol beer ketiga, Ia permainkan bibir botol dengan jari telunjuknya sambil ikut bernyanyi bisik-bisik melantunkan lagu ini. Sepasang kekasih tampak sedang bercerita dengan mesra, tangan perempuan yang tak lepas dari bahu lelakinya dan senyum keduanya yang terlalu dalam untuk disaksikan, tidak jarang wajah mereka bertemu dalam kecup-kecupan yang rasanya pun menyebalkan.

“Hey, what does it matter?” Apa perkara nya, apa urusannya. Ah, iya. Bukankah suatu kewajaran. Sepasang manusia yang sedang mengalami peningkatan kinerja hormon ditambah rangsangan-rangsangan indera dan definisi yang telah tertanam dalam. Seorang manusia yang tertekan oleh keinginan dan tuntutan dan menjadikannya terlalu pribadi oleh definisi-definisi yang diimaninya, bertemu dengan kodaya masa kini dimana semua tergantung pada distraksi, salah satunya minuman yang sedikit keras. Lalu aku di sini sedang apa? Seketika kesadaranku muncul.

Lalu lintas padat di akhir pekan, semua orang berebutan mencari jalur yang terus berjalan, menambahkan kesemrawutan sebagai aroma khas kepadatan jalan. Perlahan namun pasti, walaupun banyak kendaraan memaksa masuk dari sisi kiri kanan dan memperlambat laju motor ini, tapi tetap saja motor ini akan maju. Permasalahan bukan ada pada motor yang menyusul dari sisi kiri kanan merebut ruang lajur lain atau trotoar, kemudian memaksa masuk ke celah tipis antara mobil di depan dan motor yang sedang kukendarai. Masalah muncul saat pemikiranku bernyanyi keseharusnyaan dan marah karena ekspektasi tidak terjadi, menyalahkan realita karena tidak sesuai ide, yang membuatku menekan klakson lama dan memaki, kalau perlu turun dari motor dan berkelahi dengan para bajingan koruptor ruang jalan.

Namun, aku diam. Bukankah aku tetap maju walau sedikit lebih lambat karena terhambat. Bukankah natural manusia seperti itu, selalu ingin berkuasa. Kompetisi dan perebutan adalah hal yang sangat manusiawi. Lalu, apa perkaranya? Sejenak ada rasa lucu saat pengendara ini dengan kencang merebut lahan, kemudian kembali masuk ke jalurnya dengan merebut jalurku, dan kemudian kembali di posisi mengantri sama sepertiku. Begitu ada kesempatan lagi, mereka melakukan perebutan ruang lagi, dan memaksa kembali ke jalurnya dan pemaksaan masuk ke celah sempit dan kembali kepada posisi mengantri lagi. Apa tidak lelah? Apa tidak sadar kalau itu melelahkan? Apa tidak merasa boros? Atau apakah tidak sadar kalau itu semacam pemborosan? Energi, emosi, dan pikiran. Yah, sudahlah. Apa perkaranya, bukankah memang seperti itu adanya.

Kebodohan menurutku mungkin kepandaian buat yang lain, kesabaran menurutku mungkin kebodohan untuk yang lain, dan kesadaran menurutku merupakan ketidak berdayaan bagi yang lain. Lalu apa perkaranya, karena itu memang seperti itulah adanya. Apa masalahnya karena bukan itu masalahnya, sekalipun memang ada masalah tidak lain pikiran definitifku yang teradu dengan definisi mereka yang membuat rasa tidak nyaman yang merupakan manifestasi dari definisi juga yang mengantarkan kepada konflik, pertentangan, bahkan hingga perkelahian. Lalu dengan sukses aku pun tertarik ke dalam level mereka. Ah, maka dengan kesadaran pun aku memilih diam dan mengakui memang begitu adanya, aku tidak menertawakan atau merendahkan pemotor yang daritadi menyalip menyusul melawan arus dan memaksa ambil posisi dan meninggalkan aku tadi di belakang, kini berhenti di garis lampu merah yang sama, tepat di sebelahku. Apa perkaranya, memang begitulah adanya, kebodohan itu nyata. Tugasku hanya menyadarinya saja.

Lampu hijau menyala, para pembalap pun berlomba siapa duluan yang melewati garis untuk menyeberang ke jalan di depan, lalu berhenti seketika karena ada mobil di depannya. Dengan sewajarnya aku maju dan terhenti juga di posisi mereka menunggu mobil ini melaju. Aku mengambil sisi kanan jalan untuk masuk ke dalam kompleks perumahan yang aku tuju. Belokan semakin dekat, laju motor semakin kulambatkan kemudian ambil belokan kanan.

Dua rumah, dua pemilik, satu urusan. Kini aku berada di depan rumah tujuanku. Sebenarnya urusanku dengan dua orang, kebetulan saja kedua orang ini tinggal di rumah yang berhadapan terpisah jalan kompleks. Untung saja kompleks ini kecil, cukup malas juga kalau selesai dengan urusan di rumah yang satu perlu melakukan perjalanan untuk ke rumah yang lainnya. Baiklah, mulai dari yang mana? Aku melihat rumah mana yang termudah untuk aku masuki dan aku memilih yang satu ini. Pagar putih cukup tinggi dengan mata tombak di ujung pagar sebagai pengaman sekaligus hiasan. Jarak antara mata tombak dengan balkon di lantai atas lebih renggang dibandingkan rumah yang satunya. Baiklah rumah yang ini dulu.

Tanganku menggenggam erat bagian atas pagar, lutut kutekuk, betis dan paha siap untuk berkontraksi. Seketika aku menghentakkan kaki dan menarik tubuhku dengan tangan yang mencengkeram pagar dengan cepat, mengatur posisi tubuh agar muat di celah antara mata tombak dan sisi bawah balkon lantai atas, dan kemudian aku berhasil masuk ke dalam rumah ini dengan pendaratan yang sempurna. Tidak ada mata tombak yang merobek pakaianku, baguslah kalau begitu. Malas juga rasanya kalau harus menjahit.

“Hey, ngapain kau!?” teriakan si pemilik rumah yang sadar kalau aku baru saja berhasil melompati pagarnya. “Aku sudah berjanji, dan itu perlu ditepati. Bukan perkara kan, karena memang sudah seperti itulah alurnya,” kataku sambil mengambil balok kayu yang kebetulan terlihat di sisi tembok rumah ini. Dia tampak panik dan berusaha menutup pintu, namun aku berhasil menahan pintu itu tetap terbuka dengan melemparkan balok kayu yang menghalangi pintu bertemu dengan kusen. Belum sempat si pemilik rumah kaget, langsung kutendang pintu itu hingga ia terpental masuk ke dalam rumahnya.

Anak dan istrinya terkejut, aku pun terkejut. Balok kayu kuambil kembali dan sekejap aku melompat maju dan menghantam kepala si pemilik rumah. Ia pingsan, istrinya berteriak histeris, anak lelakinya beringas. Menerjangku dengan amarah, dan yah melawan manusia yang sedang marah itu terlalu mudah. Satu tendangan kiriku ke pelipis kanannya membuatnya tidur dan tidak mengganggu urusanku. Aku berjalan ke dapur, mencari pisau daging dan segayung air. Sang istri masih berteriak meracau histeris, dan itu sangat mengganggu.

Kusiramkan segayung air itu ke muka istri berisik dan membuatnya diam, lalu melihat tajam ke tangan kananku yang memegang pisau daging. “Berteriak lagi, kupotong lehermu, “ kataku dan dia diam. Baguslah. Ah, apakah perbuatan ini salah? Tiada salah tiada benar, ada sebab ada akibat, bukankah alur kehidupan memang seperti itu, alur kemanusiaan pun seperti itu adanya, bukankah janji memang dibuat untuk ditepati. Apa masalahnya? Apa perkaranya? Bukankah memang seperti itu. Pilihan selalu ada saat kita telah membuat pilihannya. Memang begitu adanya dan apa lah masalah kalau bukan mempermasalahkan yang sebenarnya sudah memang seperti itu adanya.

Karena segayung air yang kuniatkan untuk menyadarkan si pemilik rumah telah kugunakan untuk menyiram muka istrinya dan aku malas untuk mengambil air lagi, kutampar saja dia hingga sadar. Plak.. plak.. plak.. dan pada tamparan ketiga matanya terbuka. Terbelalak malahan. “Ingat janjiku kan, bapak monyet,” kataku sambil tersenyum dan memegang jempol tangan kanannya sambil mendekatkan pisau. Ah, sekilas aku menyesal mengapa pisau daging yang kuambil dan bukannya gunting besar. Namun, itu bukan masalah, yang menjadi masalah adalah kalau aku mempermasalahkan hal ini, bukan kah adanya adalah pisau daging di tangan kananku dan jempok si bapak monyet di tangan kiriku. Apa masalahnya? Apa perkaranya? Selain ketidak terimaan pikiran dan pemikiranku akan keadaan yang memang adanya demikian.

Karena berontak, kutamparkan sisi pisau yang tumpul ke wajah si bapak monyet dan ia terdiam. Bukan karena sakitnya namun karena terkejut bahwa mukanya ditampar dengan pisau. Dalam pikirannya pisau itu tajam dan bila mengenai muka tentu saja akan merobek kulitnya dan membelah daging mukanya, ia tidak memerhatikan bahwa aku menampar dengan sisi tumpul pisau dan ia terlalu sibuk dengan pikiran dan definisinya tentang pisau dan muka.

Kesempatanku, selagi ia diam kuarahkan tangan kanannya ke lantai dan kutekan dengan tanganku menyisakan jempol yang terbuka bebas. Pisau daging kudekatkan, dengan sedikit tekanan lepas lah jempol kotor itu dari tangan sang penjilat yang biasa kupanggil dengan gelar si bapak monyet. Darah tertumpah ke lantai keramik putih, terciprat ke beberapa bagian rumah saat si bapak monyet menarik tangan kanannya ke arah dada dan menekannya dengan tangan kirinya. Ia kesakitan, kaget, ketakutan, marah, dan tidak berdaya. Apa masalahnya? Apa perkaranya? Bukankah memang begitu adanya.

“Kenapaaa? Kenapaaaa..!” Sang istri mulai berkata dengan gemetar dan histeris, ia tidak berteriak. Berarti ancamanku tadi melalui siraman air segayung berhasil. Aku menjawab, “Kami pernah ada janji, kalau sampai kebun yang kutanami ini ada satu saja pohon yang ditebang untuk dijadikan garasi bagi untuk keperluan bisnis pengelasan besi miliknya, akan kupotong jarinya. Itu janjiku. Waktu itu dia pun bilang bahwa kebun itu akan menjadi garasi apapun yang terjadi. Itu janjinya. Ia telah menepati janjinya, menyewa orang saat aku tidak sedang mengawasi kebunku, sudah ada dua pohon besar yang dimatikan. Satu pohon telah tumbang, yang satunya masih berdiri dan sempat kuhentikan walau harus mematahkan hidung salah satu orang suruhannya. Maka, karena dia telah menepati janjinya, aku menepati janjiku, kan. Apa masalahnya? Apa perkaranya? Bukankah memang demikian adanya, demikian alurnya, dan adanya demikianlah peran yang kita sedang mainkan.”

Sang istri mulai terisak, menangis, marah, dendam, dan tak berdaya. Kehidupan memang berjalan dengan hukum posibilitas, probabilitas, dan kausalitas. Pembalasan dendam salah satu bentuknya, seperti sorot mata perempuan yang sekarang sedang memeluk lelakinya, terlepas dari benar atau salah karena memang tiada benar atau salah hanya ada sebab akibat dan yang paling mutlak hanyalah pemutlakan dan yang paling benar adalah pembenaran. Pikirannya sedang teracuni pembenaran akan pembalasan dendam kepadaku, namun apakah itu masalah? Apakah perkaranya? Memang demikian lah adanya bukan. Kita semua berperan dan tugas kita hanya menyadari kalau peran itu kita lakukan dan kita melakukannya dengan kepenuhan.

Tiba-tiba dari belakangku muncul sesosok lelaki yang bergegas masuk namun langkahnya terhenti seiring dengan gerakan menolehku dan tatapan mataku kepadanya. Ia, yang kupanggil dengan nama si bapak tikus. Koruptor yang pernah punya dendam kepadaku karena aku membongkar tindak korupsinya mencuri uang komunitas tempat aku pernah bernaung di dalamnya. Sepertinya Ia mendengar keributan dan kemudian keluar rumah dan kemari. Rumahnya tepat di depan rumah ini, rumah yang juga aku punya urusan dengan pemiliknya, ya dia, si bapak tikus. Ah, beruntungnya aku tidak perlu masuk ke rumahnya karena kini dia sudah di sini.

Belum sempat ia bergerak, aku sudah menerjang lututnya dengan tumitku. Patah. Ah, terlalu keras sepertinya tendanganku, bunyi patahnya seperti ranting yang rapuh, mungkin bukan terlalu keras tendanganku tapi dia yang sudah tua. Apa perkaranya, memang begitu adanya. Kuambil pergelangan tangan kanannya, kukunci dan tekan di lantai, pisau daging masih di tangan kananku. “Aku berjanji pada dua orang, suamimu: si monyet dan orang ini: si tikus.” Kataku sambil memandang istri yang menangis menguatkan suaminya yang darahnya masih mengalir dari tangan kanannya yang semakin menularkan merah ke bagian dada kaos yang dipakainya.

Please don’t spoil my day, I’m miles away, and after all I’m only sleeping…* kini yang terdengar jelas di samar-samar pemandangan dalam remang merah cokelat ruangan. Seorang lelaki muda terduduk sendiri dengan botol beer keempat, masih Ia permainkan bibir botol dengan jari telunjuknya sambil ikut bernyanyi bisik-bisik melantunkan lagu ini. Sepasang kekasih tampak masih bercerita dengan mesra, tangan perempuan yang masih tak lepas dari bahu lelakinya dan senyum keduanya yang masih terlalu dalam untuk disaksikan, tidak jarang wajah mereka bertemu dalam kecup-kecupan yang rasanya pun menyebalkan.

Aku merasakan ada rasa jijik dalam pikiranku atas tindakan ini dan ada hasrat untuk memberikan mereka saran agar mencari ruangan untuk sang lelaki menumpahkan spermanya ke si perempuan. Seperti anjing yang mengencingi wilayah kekuasaannya, demi kepuasan birahi keduanya agar tenanglah gejolak manifestasi definisi dalam pikiran dua manusia yang sedang dipenuhi hormon ini. Namun, kesadaran yang sama pun berkata apa masalahnya? Apa perkaranya? Bukankah memang demikian adanya. Kesadaran memanggil pengertian, dan pengertian memanggil kesadaran.

Aku melepaskan pandanganku dari pasangan itu, juga dari beberapa orang yang baru datang yang dengan refleks tadi aku melihat kepada mereka, aku juga melepaskan pandangan dari beer dalam botol pesananku yang ada di depanku ini yang sudah kuminum setengahnya. Oh iya, aku baru ingat kenapa aku ada di sini. Sepanjang perjalanan selesai menunaikan janjiku, aku merasa kesal dan rasa kesal itu tidak bisa serta merta hilang. Bukan kah tidak baik untuk membuang rasa itu, seperti menekan rasa itu pun tidak baik. Maka, beer menjadi satu hal yang terlintas dan menawarkan bantuan dalam menerima rasa kesal itu. Bersamanya kulalui rasa kesal ini, kemudian menerimanya, dan merelakannya karena bukan masalah lah suatu rasa itu karena memang begitu adanya.

Sudah satu jam sepertinya aku di sini sambil memandangi jam tanganku dan mengambil bungkusan dari tas pingganggku. Rasa kesalku yang muncul karena pilihanku mengambil pisau daging dan bukannya gunting besar kini sudah selesai, mereda dan lenyap seiring dengan penerimaan bahwa memang begitu adanya. Kubuka bungkusannya untuk memastikan dua jempol tangan kanan itu masih ada dan darahnya tidak mengotori tasku, karena sebelumnya kedua jari itu kubakar di bagian terpotongnya dengan menempelkannya pada leher knalpot motorku yang panas baru kemudian aku pergi dari lokasi tugasku.

Masih ada dan bersih. Oke. Kubungkus dengan rapi, kembali kumasukan ke dalam tas dan menutup risletingnya dengan baik dan sadari saat melakukannya. Aku menghabiskan sisa setengah botol beer pesananku. Pusing juga rasanya, aku memang tidak kuat minum tapi bukan berarti aku tidak menyukai minum. Lagipula tidak perlu menjadi kuat minum untuk menikmati minuman. Bukan menolak bahwa kekuatan dan daya tahan menenggak minuman pun salah satu cara menikmati minuman, hanya membuka pandangan kalau bukan hanya itu satu-satunya cara menikmati minuman dan buktinya adalah aku, yang menikmati minuman dengan cara yang jauh dari daya tahan dan kekuatan. Setelah membayar di kasir aku beranjak dengan kuda besi merah ini, warnanya darah dan baunya pun masih darah, ah.. kenapa tadi kubakar jempol itu dengan menempelkannya ke leher knalpot, terlintas namun tidak menjadi masalah, dan bukan perkara, karena begitulah adanya.

*lirik dari lagu the beatles

No comments:

Post a Comment