Tuesday, July 29, 2014

Amplop itu Cokelat, Cokelat itu Amplop (cerpen)

29.07.2014/cimahi/amuristcave

Menyebalkan memang, melihat para manusia berkumpul dan menggumpal di depan toko belanjaan. Bukan untuk memenuhi kebutuhan melainkan untuk menunaikan kewajiban. Kewajiban penerimaan sosial akan keberadaannya, yang sekarang rasanya di banding luruskan dengan daya beli. Ada suatu acuan produk yang perlu dimiliki sebagai bukti eksistensi, produk tersebut pun memiliki kelasnya yang biasa terindikasi dengan harga. Semakin tinggi harga maka semakin tinggi kastanya, maka penerimaan pun berlanjut pada pengelompokan. Dengan barang yang sama, kehadiran yang diakui dalam kelompok yang berbeda. Gumpalan tuntutan yang menggerakan kemanusiaan oleh dasar ketakutan. Memang lah ketakutan itu bukan pada hal yang tidak diketahui, namun pada takut akan kehilangan hal-hal yang diketahui.

Matahari jingga terik menusuk kulit, namun udara tetap dingin membelai bersama angin. Cuaca yang membuat perut ini seringkali mulas dan berakhir dengan kentut berbau tajam pada level minimal, mencret pada level maksimalnya. Motor ini melaju tersendat, terhalang gumpalan manusia yang keluar masuk toko pakaian dan aksesoris, belum penjual yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan. Cepat sekali perubahan terjadi, empat tahun lalu di jalan ini sangat jarang bisa ditemui manusia saking sepinya. Begitu muncul satu toko yang menjual syarat utama keberadaan seorang manusia muda, maka para kaum eksistensialis korban definisi ketakutan berbeda dan ditolak menjadi berkumpul di sini. Bahkan warung tempat biasa mengopi dan memaki kemanusiaan karena pengelas-kelasannya kini diisi dengan laki-laki dan perempuan muda saling memamerkan bukti keberadaan dan kelas keberadaannya.

Lepas dari kubangan definisi dan tuntutan yang berkompetisi untuk dipenuhi yang akan melahirkan sikap menghakimi, kulajukan besi merah berroda dua ini ke lokasi parkir yang paling sepi, sempit dan dekat jalan besar. Pertimbanganku; mudah keluar dan tidak akan ada motor lain yang parkir ganda. Kalaupun ada motor lain yang parkir itu berarti menghalangi, kalau menghalangi berarti akan kuseret seperlunya untuk membuat jalan keluar bagiku nanti. Ehm.. aku terdiam sejenak, memikirkan kemungkinan itu. “Pak, titip motor ya.. Saya hanya sebentar, jangan ada yang halangin. Sekalian titip helmnya ya.” Kataku kepada bapak tua tukang parkir yang kebetulan mendekat sambil kusisipkan uang dua ribu rupiah. Dia mengiyakan dengan senyumnya yang khas.

Dua ribu rupiah, sebesar itulah jasa merebut lahan umum menjadi fasilitas parkir kendaraan pribadi. Seharga itulah trotoar yang dikorupsi untuk menjadi tempat berdiri motor-motor para simpanse berjalan tegak yang sudah lupa bagaimana cara untuk berjalan. Termasuk Saya, monyet yang sedang berdrama sebagai manusia. Bukankah manusia sudah punah, seiring dengan dua ribu rupiah yang menjadi perkelahian tukang parkir yang menyebabkan tumpahnya darah satu dari mereka. Seharga dua ribu rupiah untuk membeli kerendahan hati mengalah sehingga makian yang keluar oleh pengendara mobil besar saat ada pejalan kaki yang berusaha menyeberang dan menghalangi posisi parkir mobilnya yang terlihat mahal namun tetap saja parkir di atas pedestrian.

Kaki ini menaiki tangga samping bangunan dua tingkat yang sudah berdiri sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda. Kusam dan muram warna tangganya, tidak ada yang memerhatikan karena semua orang masuk melalui pintu depan yang terang dan berwarna, memesan makanan rumahan dengan harga kemahalan, duduk dan berbincang mengenai pendapatan dan pengeluaran, atau tentang apa yang sudah dimiliki saat ini, juga seringkali tentang berapa keperawanan perempuan kuliahan yang sudah diambil malam kemarin dan sasaran di malam-malam berikutnya. Kaum terpelajar yang tidak terdidik, orang pintar yang bodoh, generasi cemerlang yang tolol.

Pintu besi kuketok tiga kali dengan jeda satu detik kemudian dua kali dan terdengar suara berat kunci besi bergeser. Aku selalu kurang nyaman dengan ruangan ini walaupun aku menyukai kegelapan, aromanya terlalu darah. Ruanganku yang gelap dan kelam beraroma matahari dan kopi, memang ada aroma darah tapi tidak seperti ruangan ini, yang terlalu. Aku mengambil milikku, amplop cokelat standar pabrikan yang dengan halus membuat kita berpikir bahwa amplop adalah cokelat dan cokelat adalah amplop. Indoktrinasi lembut yang meracuni, bukankah kita semua memang sudah teracuni, bahkan sejak dari pikiran, kita sudah.

“Gak dilihat dulu isinya?” Si babi itu berkata. Aku memanggilnya babi bukan hanya karena perawakannya yang bagaikan perut semuanya, tapi karena ketamakannya dan sikap rakusnya yang luar biasa. “Bukannya sudah ada pegawaimu yang memastikan jumlahnya pas, untuk memastikan tidak lebih lah yang ada dalam amplop ini.” Aku menjawab dengan datar. Bukan sok datar, tapi karena memang datar. Semua hal ini sudah menjadi biasa bagiku, bukan karena terbiasa namun karena aku melihat dengan apa adanya. Terbiasa itu seperti suatu ketagihan akan ilusi yang membuat suatu penolakan dengan membuang. Lalu, makin kita membuang maka makin erat lah ikatan kita dengan hal itu.

“Hahahahaha... ya ya kau tau kan aku tidak rela kalau ada kelebihan satu rupiah pun dari jatah yang sudah seharusnya, keadilan kan seperti itu.” Katanya sambil tertawa. Aku kesal, aku merasa kesal, aku tau aku merasa kesal, dan aku pun tau tabiat dari si babi memang seperti itu, maka aku memilih untuk pergi dan sebelum melangkah keluar pintu aku berkata, “Kalau pun kurang, malam ini aku akan datang lagi dan bisa kutagih, kalau dipersulit ya aku tinggal cari bandar yang lain kan.” Ia mengacungkan jempolnya yang sebesar perut, karena memang ia babi dari posturnya yang adalah perut semua, lalu kembali tertawa.

Kumasukan amplop itu ke dalam tas pinggang sambil melangkah turun, aku berjalan ke arah motorku dan bersiap untuk berlalu. Malam ini akan merepotkan sepertinya, karena lawanku terkenal dengan kecepatannya dan berat daya serangnya dengan bobot 120 kg, tinggi 187 cm, mendalami teknik aikido untuk mengimbangi latihan kick boxingnya, laki-laki dengan umur 27 tahun. Secara hitungan kertas sepertinya taruhan malam ini akan lebih banyak kepadanya. Yah.. karena aku pasti menang, berarti malam ini aku akan untung besar. Hemm… sebuah perjalanan tampaknya sudah bisa kulakukan.



Lalu dengan tangan kanan yang patah, pelipis mata kiri pecah, hidung berdarah, aku bertanya bagaimana cara merubuhkan beruang boxing ini. Teriakan-teriakan semakin memenuhi ruangan, semuanya mengganas meminta darah muntah dan tulang patah. Tangan kanan yang tidak bisa lagi dipakai, tendangan kirinya tidak kusangka sekeras itu. Kalau tidak sambil melompat tadi, mungkin tulang tangan ini bisa keluar dari kandang dagingnya. Sialan, sakit. Mata kiri pun tidak bisa terbuka, terhalang darah mengering. Harus cepat selesai dan bukan aku yang rubuh pastinya. Aku mencari amarah dari gumpalan perasaanku, aku mencari ketakutan dari pikiranku yang meronta, aku butuh keduanya untuk energi melepaskan serangan terakhir.

Pertahanan terbaik adalah serangan, saat ini hanya itu yang ada di pikiranku. Aku belum tau bagian mana yang akan kuhancurkan untuk merubuhkan manusia satu ini. Ia mulai mendekatiku yang sedang memegangi tangan kanan dan kesulitan melihat dengan sebelah mata. Aku berusaha berdiri dengan telapak bagian depan kakiku dan meminimalisir kontak tumit dengan lantai papan ini agar reaksiku bisa cepat, tapi rasa sakit cukup membuat sulit. Lagipula ini bukan saatnya untuk bereaksi, bukankah dalam pertarungan, reaksi adalah kekalahan karena yang namanya reaksi selalu hadir setelah aksi. Keterlambatan adalah kematian.

Aromanya adalah tendangan ke arah kepala, cepat dan rasanya kuat. Tengkorakku tidak akan sanggup meredam benturannya. Arahnya kuyakin dengan pasti akan menyerang kepala kiriku dengan tendangan kanan karena mata kiriku sudah mati terkena pukulannya tadi. Amarah dan ketakutan yang kucari rasanya samar, apakah aku mulai terbiasa sehingga rasa menjadi kadaluarsa. Bahan bakar untuk energi benar-benar kubutuhkan saat ini. Dia semakin mendekat, semakin cepat dan langkahnya mulai masuk ke dalam area jangkauanku, dan “reaksi adalah keterlambatan dan keterlambatan adalah kematian, hanya kematian lah yang berarti kekalahan bagi seseorang yang sudah masuk lumpur pertarungan bayaran, menang atau mati,” maka lakukan aksi.

Aku menjatuhkan diriku karena betis sudah tidak bisa mengangkat tumit, kulempar tangan kiriku ke belakang agar bisa berguling cepat dengan bahu ini dan mendekati kaki kanan miliknya yang mulai terangkat lepas dari lantai alas pertarungan. Dengan segenap ketidak tahuan, ketidak pastian, ketidak adaan pilihan, aku beraksi hanya dengan tujuan mematahkan lutut kanan yang ada dalam area jangkauanku saja. Dapat! Lutut kanan yang terjepit antara kedua kakiku, secepat mungkin tangan kiri kugunakan sebagai penyaluran berat badanku dan sedikit putaran dengan hentakan seluruh kemarahan dan ketakutanku, suara ledakan pun terdengar keras seperti batang pohon yang patah. Lalu erangan yang menggelegar dan teriakan yang terhenti, sunyi.

Whhoooaaaaa… tidak ada lima detik kesunyian, teriakan penonton kembali begemuruh. Emosi dan semangat para manusia-manusia haus darah yang tidak ingin terkena darah jangankan seciprat, setitik pun tidak mau, kembali tumpah dan kini lebih ruah. Aku berhasil mematahkan lutut kanan si beruang boxing ini, dan sekarang ia sedang mengerang memegang lututnya, menatap penuh dendam. Aku berdiri, merasakan kesenangan dan kemarahan yang berubah menjadi kepuasan, seketika muncul rasa ingin meminum darah. Aku hanya merasakan saja, rasanya kuat sekali. Aku hanya merasakannya saja. Sambil berdiri dan menatap beruang yang sedang mengerang memupuk dendam, aku menang.

Amplop itu cokelat dan cokelat itu amplop. Manis yang aslinya adalah pahit, bukankah dengan kemasan semua hal bisa berubah dengan mudah, bahkan yang bertolak belakang. Keseharusnyaan itu membangkitkan rasa perlawanan, itu saja yang kusadari dan kurasakan karena demikianlah adanya.

No comments:

Post a Comment