Wednesday, July 30, 2014

Biarkan Pagi Bangun Kesiangan (cerpen)

30.07.2014/cimahi/amuristcave



Masyarakat ini seperti manusia-manusia yang kehilangan identitasnya, maksudnya kehilangan jati diri untuk menjadi seperti yang dipilih berdasarkan pengertian, bukan sekadar jadi seperti yang diinginkan. Definisi menjadi seperti yang diinginkan lah yang membuatnya kehilangan identitas, rasanya seperti dicabut dari pola hidup tradisional namun gagal masuk ke dalam pola hidup modern. Manusia-manusia ‘kampungan’ kalau para jamak bilang, untuk masyarakat asli yang teracuni modernisasi dan kemajuan teknologi komunikasi. Manusia-manusia ‘gak gaul’ kalau para jamak bilang, untuk masyarakat yang lahir dalam budaya baru, yang dinamakan modern ini, namun tidak bisa mengikuti gaya hidup dan tren yang saat ini sedang digandrungi. Satu lagi, ‘gak update’ untuk orang-orang yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan tren yang terjadi sekejap saja.

Anak-anak usia belasan, dengan dandanan berwarna warni, dengan simbol-simbol idealisme yang tidak dimengerti, dengan mengidolakan sosok yang sering muncul di televisi atau dalam pembicaraan komunitasnya, gaya hidup yang dirasa menolak keteraturan, kebebasan bahkan hingga perilaku kebablasan. Sekelompok anak muda mungkin belum kepala dua usianya, tiga lelaki dan satu perempuan, yang satu lelaki menuangkan minuman dalam botol dengan berbungkus plastik, yang satu memegang dua gelas yang sedang diisikan, sedangkan lelaki yang terakhir sedang menggesek-gesekkan pinggang bawahnya yang posisinya adalah kemaluannya ke pantat si perempuan yang tertawa-tawa. Definisi gaul untuk masyarakat di sisi kota besar memang seperti ini rasanya, sekarang jam tiga sore dan memang seperti ini yang seringkali kulihat kalau melewati jalan perkampungan ini.

Satu-satunya yang membuatku memilih jalan ini adalah udaranya yang masih sedikit lebih bersih daripada daerah kota yang sedang aku tuju ini, walaupun mengambil jalan memutar tidak masalah. Permukiman padat di tanah yang belum banyak perkerasan jalan, di tengahnya melintanglah jalan negara atas nama pembangunan dan modernisasi. Ada pembukaan jalan, akan ada pertemuan kebudayaan, ada pertemuan kebudayaan akan ada penyerapan dan penyesuaian, ada penyerapan akan ada perubahan, ada perubahan maka akan hadir kemunduran seiring dengan kemajuan. Keseimbangan seperti dalam pertarungan, bukankah inti dari kemenangan adalah yang berhasil mempertahankan keseimbangan dirinya paling lama. Tiba-tiba aku dengar teriakan dan makian, aku melihat spion dan mendapati seorang ibu mengusir kelompok anak-anak tadi, mereka pun pergi sambil tertawa. Sekilas aku melihat penis yang telah keluar dari celana menggantung dan si perempuan yang sedang menaikkan celananya. Yah begitulah manusia dengan kemanusiaannya.

Tangan kanan ini masih terasa cukup linu setiap motor melintasi jalan berbatu dan lubang yang cukup dalam. Sebulan sudah dari pertarungan terakhirku, ehmm… perkelahian berbayar lebih tepatnya. Dua puluh juta rupiah masuk ke dalam kantong pribadi, karena ternyata penonton hari itu bukan orang sembarangan. Apa pula definisi orang sembarangan dan bukan orang sembarangan. Apakah para haus darah yang memiliki uang berkelebihan dan mampu membuat manusia bertarung dengan manusia lainnya dan menikmati darah tanpa harus berdarah adalah bukan orang sembarangan.

Apakah anak-anak tadi yang mengidolakan gaya hidup bebas dan keren dari definisi televisi tentang kejantanan dan kebebasan, tentang emansipasi perempuan, dan keberanian yang terbukti dari kemampuan menenggak minuman keras oplosan (kimia sintetik) dan memanifestasikan perlawananan dan kemajuan jaman dengan perilaku seks bebas seperti anjing, adalah orang sembarangan. Lalu, manusia atau orang sepertiku yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang bekerja sebagai karyawan di perusahaan dan mendapatkan gaji tetap setiap bulannya, hanya caraku adalah mendapatkan uang sebulan satu kali untuk bertahan hidup dengan membuang darah dan mematahkan tulang, bukan bagian dari keduanya kah. Oh iya, mungkin istilahnya adalah orang biasa.

Jalan kecil sudah kulewati dan kini beralih ke jalan besar, banyak sekali mobil para pelarian yang melintas di jalan besar ini. Pelarian dari kepenuhan akan tuntutan pekerjaan, kehidupan, pemenuhan syarat keberadaan dan pengakuan, konflik dan ketakutan terlibat lebih dalam, peraturan dan ketidak berdayaan. Orang-orang biasa yang telah selesai menunaikan kewajiban pekerjaannya yang ingin sekadar menikmati suasana tenang dan udara pegunungan sambil mengisi perutnya di tempat makan. Hanya satu hal yang sedikit lucu, tempat mereka menuju telah ada banyak rumah makan dan beragam dari yang biasa saja sampai yang menawarkan kemewahan, juga mereka yang menuju tempat itu tidak hanya beberapa melainkan banyak dan selalu bertambah. Jadi, dimana ketenangan yang mereka cari kalau semua orang biasa sepulang kerja ke tempat itu dan dimana udara pegunungan kalau semua yang ke sana menggunakan kendaraan pribadi dan masing-masing menyumbang polusi dari mesin pembakar uang itu.

Tidak ada yang salah dengan dunia, semua berjalan sejalan dengan seperti yang memang sedang berjalan, karena demikianlah jalannya. Posibilitas, probabilitas, dan kausalitas. Aku menyadari ada rasa muak, jengah, marah, menolak, dan ingin menghancurkan dan aku menyadari aku memiliki kesadaran untuk sadar bahwa aku merasa. Cukup menenangkan, apalagi dengan pengetahuan kalaupun ada satu mobil yang berhasil kubakar sebagai tanda perlawanan tidak akan mengubah alur pergerakan yang memang sudah demikian lah adanya. Aku mengambil arah yang berlawanan dengan orang-orang biasa yang sedang berburu suasana ini, yang biasa kupanggil dengan para jamak. Aku sedang menuju alam kota bukan alam pegunungan, ada janji yang harus kutepati. Bukankah memang janji hadir untuk memenuhi pilihan diingkari atau ditepati, tidak bisa tidak. Kita semua memang korban dari definisi.

Sebentuk keanggunan di bawah payung besar di teras halaman sebuah kedai kopi. Rambut panjang legam terurai jatuh begitu lembutnya, bibir yang berkilau lembab sepertinya sejuk embun pagi ada padanya, mata tajam yang menatap ingin tahu itu pasti diterjemahkan sebagai godaan bagi para pejantan yang membalas tatapnya, kulit cokelat yang manis dan lembut mulus seperti menyanyikan kehalusan sambil berbisik-bisik meminta untuk dibelai dengan perlahan. Ah, cantik! Maka karena cantik itu luka, tak lama kemudian sesosok pejantan mendekatinya dan meraih tangannya dan merangkul pinggulnya yang ternyata berkurva indah menuju meja kasir, sang luka yang menyender manja pada lelaki yang sedang membayar pesanan makanannya yang telah habis, sang lelaki yang berpunya untuk memenuhi fungsi penyedia pangan, transportasi, akomodasi, dan pengawal.

“Kemungkinan besar kau akan berpikir bahwa hubungan mereka adalah transaksi seksual kan.” Perkataan ini membuyarkan lamunanku. Aku tertawa dan membalas, “Yah.. pola nya memang seperti itu kan, dan memang tidak ada yang salah, seperti tidak ada yang benar, dengan hal itu. Alirannya memang begitu kan.” Dia meletakkan cangkir kopinya dan berkata, “Apakah kamu sudah mendapat pengertian atau ini hanya bagian dari kelakuan?”

“Entahlah, yang pasti aku merasa lebih tenang dan lepas karena pengaruh dari sekitar yang tidak lagi mendefinisi rasa apa yang perlu aku lakoni.” Jawabku.

“Hahaha… begitu pun tidak salah.” Tawanya manis, dan selalu mempesona. Juga, selalu aku suka. Cantik itu luka dan kecerdasan itu matahari, cantik itu luka dan ketenangan itu bulan purnama, cantik itu luka dan keramahan itu embun pagi, cantik itu luka dan penerimaan itu adalah rasa pulang. Entah bagaimana bentukmu aku sudah tidak tahu lagi, tapi saat kamu di dekatku aku tahu itu kamu, karena kamu berada maka aku berada, karena aku merasa maka kita bersama, kecerdasan yang mengimbangi tanpa memberi jawaban, ketenangan yang menjawab tanpa harus melakukan analisa, keramahan yang meredakan emosi tanpa harus berkata perintah, dan penerimaan yang begitu menenangkan tanpa harus mengukuhkan dan memaksa keberadaan. Itulah kamu, per-empu-an-ku.

Desah yang bercerita apa yang sudah dilewati, erangan yang meluapkan rasa-rasa yang terpendam, belum waktunya ketika itu untuk bercerita, belum waktunya ketika itu untuk meluapkan perasaan. Sekarang lah waktunya, diantara sentuhan lembut saling berbalas renggut, cumbuan berlanjut yang sejuk namun sekaligus sakit tapi juga yang tidak bisa terhentikan, pergumulan dengan drama dan peran pun kita lakukan sekarang dengan menggadaikan aturan dan keseharusnyaan menjadikannya sakral karena jiwa yang terlibat dalam pelukan-pelukan. Sejak kapan kita berpakaian, bukankah sejak semula kita telanjang, kedalaman masing-masing yang selalu terjamah oleh diam dan petualangan-petualangan yang terbagikan oleh kemalasan dan kemanjaan. Tak perlu bercerita apa yang sudah dilewati cukup kecupi saja bibir ini, tak perlu menahan dendam emosi karena peran lagi cukup sentuhi dan belai saja tubuh ini, tak perlu mengungkapkan makna apa yang didapatkan cukup mengeranglah kalau memang tak tertahankan, tak perlu menasehati dengan larangan dan perintah cukup mendesahlah untuk membagikan anjuran dan pilihan, tak perlu lagi mendefinisi cukup saling menyerahkan dan melepas terbangkan jiwa dan angan karena arah tujuan kita bersamaan, dan tak perlu lagi merasakan cukup tinggalkan semua indera bersamaan dengan persetubuhan yang mengalir seperti arus kehidupan mengalir ada adanya sedemikian begitunya saja.

Malam ini bulan tiada, pertemuan terakhir kami adalah purnama. Remang-remang cahaya dari lalu lalang kendaraan di bawah sana cukup memberi suasana kehidupan di malam yang biasanya kelam. Bidadari sedang terlelap dan serigala kehausan sedang meminum sisa beer yang terabaikan selama persejiwaan kami. Beer yang sudah tidak dingin lagi itu seperti air kencing. Seperti berkasih-kasihan yang sudah tidak panas lagi itu seperti menyantap makanan sisa kemarin. Kaleng kosong kulemparkan ke tempat sampah, mataku mulai berat saatnya untuk melepas kesadaran. Hey, mendekatimu seperti membuka pintu rumah dengan kunci yang ada dalam genggaman, melingkarkan tanganku memelukmu seperti masuk ke dalam keheningan yang sakral, dan mengecup tengkuk dan bahumu adalah mengunci pintu agar tidak ada yang lain masuk ke dalam kesucian jiwa yang telah bersatu. Mari tidur dan biarkan pagi yang buta mengurus malam yang terabaikan, lalu nanti mari membiarkan pagi bangun kesiangan.

No comments:

Post a Comment