Monday, November 9, 2015

Kerumunan Gerombolan

Mudah untuk mengendalikan kerumunan manusia, apalagi yang warnanya sama. Semua dimulai dengan penyamaan saja, warna itu dalam arti sudut pandang dan pola pikir. Seunik-uniknya manusia sekarang, pola pikirnya begitu saja, lihatlah yang diamini sebagai sistem dan arus utama saat ini. Kalau bukan pengakuan akan sistem arus utama, untuk apa menolak dengan membuat dan menjalani arus sampingan kemudian membangga-banggakan perlawanannya. Bukankah dengan membicarakannya sebagai berbagi informasi itu saja sudah suatu kebanggaan.

Mudah untuk mengendalikan kerumunan manusia, dengan menggunakan kepercayaannya akan sEBarang idealisme dalam bentuk simbol yang dikagumi dan emosi dalam bentuk kemarahannnya akan suatu kondisi tidak ideal. Simbol menjadi sebuah bentuk yang mewakili kekuatan yang mampu membawa perubahan, karena diri tidak mampu walaupun merasa sangat mau untuk membuat perubahan dalam kehidupannya. Maka kagumi saja dan percaya buta bahkan sampai membela dengan jiwa dan raga.

Kemarahan menjadi sebuah bentuk pelampiasan yang menemukan alasan. Dengan menggunakan kata “seharusnya” difasilitasi oleh sebuah simbol yang diyakini tadi, maka alasan didapatkan saat simbol tidak diperlakukan seperti seharusnya. Kerumunan manusia yang sama setelah melalui proses penyamaan beberapa dekade belakang, melihat simbol yang sama, merasakan tekanan yang sama, tersulut api karena satu garis berbeda. Marah dan berkoar-koar alasan lah mereka, menjadi gerombolan yang merasa mengendalikan kondisi. Padahal, dikendalikan kondisi.

Setelah amarah mereda dan setelah kembali ke rumah, simbol memang masih melekat walau tidak kentara tampak. Berbicaralah dengan luas dan bebas, dengan penuh ketenangan jiwa dan lepas dari kontaminasi keseharian. Menemukan betapa mengertinya manusia ini secara personal, bukan secara kerumunan. Betapa luas pengetahuannya dan dalam pengertiannya, begitu inginnya jiwa mendapatkan pemahaman. Tapi, saat kembali ke dalam keseharian dan menjadi kerumunan dengan mudahnya dikendalikan menjadi gerombolan yang tidak sadar apapun selain dua hal ini. Simbol yang perlu dipaksakan dengan kemarahan.

Kemudian berjalan kemudian berulang, semakin lama semakin tumpul. Namun demi keseimbangan, selalu ada jalan untuk menyeimbangkan. Tumpul dalam pemikiran menjadi tajam dalam kemarahan. Tumpul dalam pemahaman menjadi tajam dalam pemaksaan. Tumpul dalam keberanian menjadi tajam dalam keberAHian. Sepertinya, memang terjebak dalam kerumunan terkondisi hingga hanya simbol dan bayangan saja yang mampu dimiliki. Tipis kemampuan mengenal diri, gesekan pada bayangan tadi membakar kerumunan menjadi gerombolan yang hati dan otaknya ketinggalan.

Gumpalan mulut, kaki, dan tangan berkeliaran. Tanpa pemikiran tanpa perasaan . Tapi bisa merasa mengendalikan kondisi dengan segala argumentasinya. Apa namanya itu kalau bukan ditunggangi dan diberi kekang di pipi kanan kiri agar lurus ikuti kendali bajingan. Bajingan itu katanya adalah istilah masa dahulu untuk seseorang yang mengendalikan lembu. Kalau memang itu istilahnya, maka sesuailah asosiasi ini menemukan pola kemanusiaan, kerumunan, dan kegerombolan.

Mudah memang mengendalikan, cukup berikan ilusi perasaan mengendalikan pada yang dikendalikan maka terkendalikan itu alur yang berjalan saja. Peran pun selalu terisi, lembu dan bajingan.

No comments:

Post a Comment