Friday, November 6, 2015

Tak Berbekas

Makin hari, makin bulan, makin tahun kita menemukan bahwa masyarakat kita semakin dewasa. Yang dulu masyarakat pemberang dan adu bicara sampai bertarung di lapangan bola, kini mulai tenang dan tidak menanggapi provokasi.

Yang dulu mudah tersulut emosi dan meladeni tantangan yang jelas di luar kemampuan, kini mulai bisa menahan diri dan mengukur kesanggupan.

Yang dulu terseret ikut-ikutan mimpi orang, kini mulai sederhana dan membuat mimpi semampu diri.

Tapi, bagaimana kalau bukan masyarakat dan mentalnya yang berkembang. Melainkan, satu generasi ini saja yang pindah ruang dan peran.

Bukankah kalau mau membuka mata, hal yang dikatakan dahulu terjadi, sekarang pun sedang terjadi. Oleh generasi lain yang datang setelah kita.

Bukankah kalau mau membuka mata, hal yang dikatakan kini terjadi, dahulu pun sedang terjadi. Oleh generasi lain yang datang sebelum kita.

Kita saja yang pindah ruangan dan melihat ruangan lain yang pernah dialami. Kemudian mengerdilkannya dalam suatu definisi bertajuk waktu.

Nanti pun kita akan mengomentari ruangan yang sekarang sedang kita tempati ini. Mungkin dengan berkata, masyarakat kini semakin tua. Yang dulu berapi-api mengejar ambisi, kini sadar kalau itu hanyalah suatu cara menanti mati.

Ah, kita berbicara masyarakat. Padahal kita berbicara gerombolan segenerasi. Kita berbicara kedewasaan mental masyarakat, padahal itu hanya perkembangan mental pribadi.

Lihat saja apa adanya, di saat ada yang sudah bergawai canggih dan komunikasi dalam jaringan. Bersamaan juga dengan ada yang menyampaikan pesan dengan berjalan kaki melewati puluhan kilometer perkerasan tanah.

Disaat yang bersamaan pun hadir pengertian bahwa media telah membohongi publik. Sekaligus, publik pun banyak yang mengimani kebohongan itu.

Lebih mengerucut lagi, di dalam seorang manusia terpelajar, terdidik, kaya, mapan dan berkuasa saat ini. Pada saat yang sama manusia itu pun masih melakukan ketololan 'mencuri mangga mentah tetangga' saat dulu, kini dalam bentuk korupsi.

Rasanya spesies ini hanya berjalan dengan pandangan sempit. Menjalani banyak ruang dalam periode perjalanannya. Kemudian menganggap pengalaman itu akumulasi.

Semakin hari semakin merasa luas, mendefinisi diri semakin bijaksana. Lalu mulai merasa besar. Bahkan dengan laku rendah hati dan tenang itu pun, merasa dominan sombong dan bijaksana bahkan meremehkan yang datang setelahnya.

Spesies ini memang hanya berjalan dengan pandangan sempit. Melalui jalan yang bahkan tidak masuk ke dalam pandangannya. Persepsi dari persepsi dari persepsi dari persepsi lalu menjadi memahami dan bijaksana.

Tidak. Bukan paham dan bijak. Melainkan sudah tidak mampu bergerak banyak saja maka menjadi tenang dan luas, untuk kemudian hilang tak berbekas.




No comments:

Post a Comment