Monday, December 21, 2015

Memonyetkan manusia

Tidak ada jawaban yang salah, hanya ada pertanyaan bodoh. Tentunya dalam konteks tanya jawab pada satu objek bahasan. Di luar itu, tidak ada tanya jawab hanya lempar persepsi tanpa koneksi.

Dalam alurnya, tidak pernah ada pertanyaan dan jawaban. Hanya ada ekspektasi dan tuntutan, hasil peran yang beriman definisi.

Lagipula, jawaban dari pertanyaan itu adalah pertanyaan. Kalau jawabannya tuntutan, jelaslah subjek penjawab bagian dari #parajamak #korbandefinisi yang tidak mampu namun penuh mau.

Ini terlalu menghakimi? Tak apalah, manusia menilai untuk mengerti dan menghakimi saat gagal memahami. Bagi yang ingin menjadi manusia, bukan monyet penggenap definisi.

Lagipula, kalau mau berpikir. Eh, kalau mampu berpikir. Apa beda menilai dengan menghakimi? Kalau mau bertanya dengan tidak bodoh, "Setipis apa beda menilai dengan menghakimi?"

Bisa jadi yang menghakimi adalah yang bilang "kau terlalu menghakimi" atau ini pun sekadar penilaian. Bisa jadi juga pada awalnya menilai, namun gagal paham jadi menghakimi. Ya, menghakimi bahwa orang lain menghakimi, pun suatu penghakiman bukan.

Tidak bisa tidak. Sok bijak lah, maka menjadi sekadar manusia. Menghakimi lah, maka melampaui kemanusiaan. Asal mampu melampaui penghakiman yang dilakukannya sendiri terlebih dahulu. Kalau tidak, ya #samasamasaja.

No comments:

Post a Comment