Pola yang lahir dari pengulangan empat belas ribu dua ratus tiga puluh lima kali lebih sembilan kali itu menciptakan ilusi kepastian. Membuat si saya ini berani untuk memproyeksikan masa depan yang sebenarnya tidak ada, melabelinya dengan masa yang akan datang. Pengulangan yang diperpanjang dengan keyakinan pasti berulang sedemikian sehingga lahir lah pertanyaan untuk apa saya hidup? Yang mulai terasa sebagai bukan pertanyaan, melainkan penanda akan adanya keinginan akan sesuatu yang si saya sendiri tidak mengerti keinginannya itu. Semacam menginginkan keinginanan jadinya.
Realita perseptual yang berdasarkan daya imajinasi inilah yang menciptakan jejak berupa pertanyaan tersebut, yang membuat manusia menjadi manusia. Menggunakan pandangan kita mengerti hidup dengan melihat ke belakang dan menjalani hidup dengan maju ke depan, jawaban dari pertanyaan untuk apa saya hidup? Hanya bisa di jawab oleh sang nanti yang tidak ada dan tidak akan pernah ada itu, karena sebenernya yang ada hanya sekarang. Yang lalu itu hanya kesekarangan yang direfleksikan menjadi pola, yang akan datang itu hanya kesekarangan yang diproyeksikan menjadi keinginan.
Kembali kepada kesekarangan yang ada sekarang, selalu, dan sesekarang-sekarangnya, dengan membuang kata untuk. Pertanyaan yang sebenarnya adalah apa saya hidup? Setiap akhir hari dan awal malam, sebelum kita mati kita bertanya apa saya hidup? Setiap akhir malam dan awal hari, setelah kita hidup lagi kita bertanya apa saya hidup? Kalau memang jawaban dari pertanyaan adalah pertanyaan baru, maka jawaban dari untuk apa saya hidup? Adalah apa saya hidup? Ditambah bonus -kah, “Apakah saya hidup?”