Thursday, May 26, 2011

I hate rain (no more) and she loves me (always)



_karenarasaadalahsegalanya2505201_

I hate rain but she loves me. Dari awal menyadari rasa benci dan suka, kalimat pertama tentang hujan adalah kalimat itu. Mungkin dulu saat masih beringus hijau dan berlari tanpa celana, hujan merupakan favorit. Saat sudah berseragam merah putih hingga celana jins sobek-sobek, yang selalu menjadi sasaran celaan cara berpakaian, hujan seakan selalu mengejar dan terkondisikan bertepuk sebelah tangan. Tirai air tergelar, bersetubuh bumi dan langit, aku terjebak di antaranya, basah. I hate rain but she loves me.
Hujan itu pencuri, ia mencuri penglihatan, membuat semuanya putih dan buram. Dengan gemerisiknya ia mencuri suara dari telinga. Dinginnya mencuri rasa nyaman dan teman. Aroma hujan buyarkan dan satukan semua, bukan membuat sama, namun menggabungkan semuanya, hidung pun bingung. Seperti kelu yang dirasakan lidah.
Semua yang dipunya serasa tercuri dan tak berharga saat ia turun. Ia menculik dan memiliki diri seutuhnya setotalnya, membuat terkurung dalam sunyi yang dalam, tenang, sendirian. Hanya aku dan hujan. Tiada yang lain, semua kepemilikan menjadi buram, tiada apa-apa dan tiada siapa-siapa.
Sekarang hujan turun, dan sekarang kepemilikan tidak bisa tercuri. Karena tidak ada. Memang tiada apa-apa dan tiada siapa-siapa, namun bukan hujan pencurinya. Tiada, hadir mendahului hujan. Malam ini hujan seperti menemani, malam ini diri belajar mengenai kesetiaan. Hujan, yang selalu dibenci, ternyata selalu mencintai. Hadir dan menemani tanpa syarat, hanya turun dan hadir begitu saja.
Dalam ketiadaan, tak ada yang bisa dicuri hujan. Dalam ketiadaan, hanya ia yang menemani dengan kesungguhan. I hated rain but she loves me, always. I hate rain (no more) and she (still) loves me. Selalu ada saat pertama, untuk jatuh hati pada hujan.
Mempertahankan kepemilikan, memuja keinginan dan keberadaan, mengejar eksistensi dan mengabadikan kekuasaan, melahirkan kehilangan. Bukan karena hujan cemburu dan mencuri, namun karena hujan selalu datang dengan cinta yang tak mengingini-memiliki, bukan cinta minta melainkan cinta kasih. Memberi.
Pemberiannya menyadarkan bahwa semua manusia adalah sendirian pada dasarnya. Ketidak siapan dan keterbuaian dalam ketergantungan naluriah, melahirkan kehilangan. Rasa tak nyaman menghadapi kenyataan, bahwa di dunia hanya ada ‘aku’ dan ‘jalanku’. Saat semua hasrat tiada lagi, saat diri dalam kondisi hakiki, yaitu sendiri, hujan memberikan makna yang sesungguhnya. Karena dari ketiadaan lah hati terbuka, dan tirai air tergelar, bersetubuh lah jiwa dengan dunia.
Hey kamu, aku sadar, sebelum membencimu, aku memujamu. Aku yang berselingkuh. Dengan kelima inderaku, membiarkan jiwa terbuai dunia. Kepemilikan menjadi raja, kekuasaan menjadi arah tujuan, dan kesendirian menjadi pengingkaran. I hated rain but she loves me always. I’d loved her before hated her. Terlepasnya hasrat, membuka mata jiwa, akui diri bahwa sendiri. Memiliki hanya kejar eksistensi, tembok tinggi yang penuh ilusi. Sesuatu yang harus terlampaui untuk menjadi diri yang sejati.
Malam ini hujan, pertama kali merasai diri, karena tak terjebak memiliki-mengingini. Hujan menemani, dengan setia memeluk hangat dalam sejuknya. Tertawa-tawa riang dan berbincang dengan terbuka, membuka mata akan warna baru yang beraneka raya, mencumbu hingga lidah pegal dengan aroma tak terlupakan. Selalu ada saat pertama (secara sadar) untuk jatuh cinta dengan hujan (lagi).
Dalam diam yang hanya ada diri, tirai air membasuh semua kelelahan. Meringankan beban yang terpaku pada jiwa. Beban dari aliran seragam yang menguasai zaman, tempat semua orang berpijak terpisahkan dari semesta – seakan. Baik yang menyerah maupun yang melawan berpijak pada dasar yang sama.
Hakiki, bahwa diri selalu sendiri dengan jalan setapak hanya untuk sebuah pribadi. Jalan selangkah-habis selangkah-hilang, tak ada belakang dan depan, hanya pijakan sekarang. Kesejatian pun membutuhkan istirahat dalam kesendirian, dengan hujan sebagai teman.
Pelukan malam yang melegakan, menguatkan hadapi kesadaran. Hanya aku dan duniaku. Saat lelah diri terbaring lemah, bersandar pada peluk hujan yang selalu datang pada te(m)patnya yang pas. Tidak lebih tidak kurang, tak mencuri tak bisa dimiliki, hanya begitu saja. Seperti makna hadir diri, begitu saja.
Kesemuan yang hadir dari kesemuaan, kesendirian yang hadir dari keramaian, ketiadaan akibat kepemilikan, kehampaan adalah buah-buah keinginan. Hadir dengan penolakan sebagai dasar. Penolakan akan dasar kesejatian, perihal aku dan duniaku.
Ketiadaan membawa kepolosan dan kemurnian, tanpa ilusi mampu melihat diri. Ketiadaan terawali dengan langkah pertama yang esensial dan sensasional, melepas-relakan.
Saat pintu ketiadaan terbuka dan kaki melangkah menerima kesederhanaan yang jujur, hujan turun mengantarkan dengan ketulusan. Malam ini, tirainya membuka mata telinga rasa dan aroma. Menemani dengan mencucikan menyucikan diri dan kaki untuk melangkah. Membersihkan jalan yang kan terlewati, dan menemani saat lelah. Seperti malam yang terkatakan pencuri memori, seperti hujan yang yang dibilang juga pencuri, keduanya bersepakat memberi kesejenakan, yang isinya adalah keabadian.
Jiwa yang terlepas dan hati yang terbebas, logika dan raga seakan terdefinisi oleh kata-kata yang tak bisa dipahami. Malam ini hujan memberikan jalan, dan ketiadaan membuat diri melakoni penerimaan. Saat semua bersetubuh oleh tirainya yang lembut dan gelap selimut malam, satu langkah awal untuk melampaui terjadi. Menjadi diri yang mengungguli. Kesadaran akan hakiki yang adalah perihal diri. I hate rain (no more) and she (still) loves me (always).
Dengar napas dan rasakan aliran yang menghidupkan, denyutan yang menyebarkan, dan energi yang mempersatukan lewat keterpisahan. Kesejenakan yang penuh ilusi. Tentang diri adalah mengungguli. Hapuskan embun yang menghalangi cermin. Dalam kesederhanaan semua kompleksitas terjabarkan. Dalam ketiadaan, definisi terjadi begitu saja. Pengertian telah terlampaui, visi menemui wujud murni. Tentang bersatu dengan diri. Siapa yang mengajari? Hujan malam ini.

No comments:

Post a Comment