Wednesday, May 11, 2011

JALAN POHON


Aku hanya ingin seperti pohon. Berpetualang dalam diam dan kaya raya dari tiada. Mereka yang berlari mengejar kereta, berdesak desakan penuh peluh dan keluh kesah. Mencaci maki dan benci namun tak berdaya. Demi masa depan cerah katanya, dimana kemapanan ada standar global. Semua orang melakukannya. Berbeda bisa menjadi terhina.
Mau kemana? Kampus. Kuliahnya dimana? Jakarta. Sepagi ini? Biar gak terlambat, perjalanan kereta 45 menit, metromini 30 menit. Ooh.. rajin ya kamu. Demi masa depan cerah. Maksudnya? Lulus kuliah bisa cari kerja, dengan kerja bisa dapat uang, dengan uang bisa makan, beli rumah, nikah, sekolahin anak, masa tua terjamin dana pensiun. Oohh.. begitu. Kamu sendiri, ngapain pagi pagi begini? Oh, aku hanya ingin berdiri dan ikut di kereta ini, melihat semua cerita di gerbong penuh sesak dan bau keringat ini.
Aku hanya ingin menghirup udara dan menyadarinya. Udara yang masuk lewat hidung, mengalir ke tenggorokanku dan memenuhi ruang udara di dadaku. Membuatnya mengembang bangga karena aku bernapas dengan penuh kesadaran. Kemudian aku tau udara yang kuhirup itu gratis, membuatku bertenaga dan melangkahkan kaki tanpa tujuan, namun aku merasakan kaki yang menjejak bumi.
Apa yang kau nyanyikan, bergumam dan kemudian bertepuk tangan, tanpa tatapan kemudian seketika menjulurkan tangan. Uang. Maaf, aku tidak punya uang banyak, lagipula kau menghina nyanyian jika kau hanya bersuara sumbang tanpa makna. Lirik lagumu memang menyentuh, seperti pohon yang lebat berbuah besar segar, dan bunganya mekar. Namun tidak ada jiwa yang kurasakan. Kosong seperti tatapanmu.
Kami hidup di jalan bukan karna keadaan
Kami di sini karena pilihan
Menjalani hidup di persimpangan
Membuktikan kemandirian lewat anti kemapanan
Kami bernyanyi bukan sekadar kelaparan
Kami ekspresikan hati tunjukan keberadaan
Kami bukan binatang yang belingsatan
Moral kami adalah bertahan lewati kehidupan
Bukan hanya karena ikut ikutan

Bergelimpangan onggokan besi di aliran tanah panas. Tak bisa bergerak karena lampu merah persimpangan dan bus bus besar yang saling bersenggolan. Keindahan di balik kaca gelap yang hampir tak kelihatan. Bentuk yang sekilas terlihat mengarahkan imajinasi ke visualisasi kesempurnaan. Seperti banyak yang disajikan di kotak televisi. Manusia berbungkus kulit berlabel sama seperti yang terpajang di papan iklan. Dengan kendaraan berharga hampir miliyaran, tinggal di kompleks perumahan. Kerja seharian dan bersenang semalaman. Nasib banyak orang ada di dalam genggaman.
Aku hanya ingin merasakan belaian. Diri membelai diri, lewat peluh yang menetes dari dahi ke pipi. Tanda sayang matahari. Aku bisa berpindah dengan kaki sendiri, pandangi kotak besi yang di dalamnya penuh dengan orang terduduk dan tangan terjulur. Sekotak seorang. Mendengar kicauan burung-burung yang samar dan teriakan logam teraliri listrik yang pekakan telinga. Mendengar desah napas terburu buru dan candaan orang-orang pinggiran di kios multiguna kusam. Semua kudapatkan sambil berjalan.
Aku hanya ingin seperti pohon. Berpetualang dalam diam dan kaya raya dari tiada. Terkenal dari tak beredar dan tak terikat waktu. Karena aku adalah waktu dan angka angka yang menggambarkannya. Tataplah angka angka  itu, yang dari angka satu sampai dua belas. Seperti bercermin. Periode yang perlu dimanfaatkan karena kehidupan hanya sejenak. Karena diam adalah kumpulan gerakan yang menyeimbangkan, karena keabadian adalah kumpulan kesejenakan dan keberadaan adalah akumulasi ketiadaan.
Untuk apa anda masih berambisi dan berobsesi. Sudah enampuluh lima masih berkutat dengan angka dan usaha. Menjadikan nama perusahaan terwujud nyata. Mungkin uang sudah tak ada guna, hanya sekadar tunjukkan keberadaan. Aku bekerja maka aku ada. Sama seperti aku yang hanya ingin diam, aku ada karena aku diam.
Jalan kita yang berbeda, tapi kita bertemu di satu atap. Dengan hawa panas dan desiran kipas, suara dengung komputer pun tak asing lagi. Nyamanmu mungkin dengan keriuhan, nyamanku dalam ketenangan. Saat malam mungkin kau tak tenang, saat gaduh giliranku yang tak nyaman. Kita bertemu di satu atap, karena diamku membutuhkan gerakan yang menyeimbangkan dan gerakmu membutuhkan diam sebagai tujuan akhir perpindahan.
Pagi Bu! Pagi, sudah sarapan? Sudah Bu. Pagi pagi begini udah cek pekerjaan Bu? Iya, ini ada yang kurang di perhitungan biaya tender, dari semalam ini baru ketahuan. Oh, ga tidur Bu? Cukup koq tidurnya jam 2 bangun jam 4 tadi, bagaimana dengan perhitunganmu, ada kesulitan? Belum Bu, ini mau saya lanjutkan. Oke, nanti hasilnya biar saya periksa ya. Baik Bu. Oiya, amplop gajian ada di belakang, ambil aja, tambah-tambahin modal warungmu. Hehe… iya Bu.
Karena dalam gerak adalah diam dan dalam diam adalah gerak.

No comments:

Post a Comment