Monday, May 16, 2011

Dari Balik Bayangan

Matanya menatap dua orang yang sedang berbincang. Katanya potensi negri ini ditutup-tutupi dari mata rakyatnya. Seiring dengan kepentingan politis, dibuka perlahan-lahan. Mata luar negri yang tajam mungkin telah lama memandang. Mungkin juga sebelum kita tahu potensi negri ini, mereka telah menikmatinya. Tentu saja dengan cipratan ke orang-orang negri ini di posisi strategis. Seperti pribumi yang berpihak pada kompeni.
Namun dia tak ambil pusing. Ia menyendok nasi gorengnya dengan semangat, karena lapar sangat perutnya dan asam sudah mulutnya. Dua orang yang berbincang tadi masih ada. Terlintas dalam pikiran tentang kata pribumi dan kompeni.
Sekarang ini, kata “pribumi” telah menjadi alat pemanfaatan oleh beberapa orang untuk menggerakan beberapa kelompok. Pribumi juga mungkin telah bergeser definisi. Dari penduduk asli yang telah mendiami suatu daerah tertentu dalam jangka waktu yang lama, menjadi penduduk kebanyakan yang sama taraf ekonomi dan kesamaan pakaian. Terutama kesamaan taraf ekonomi, sama-sama rendah.
Yang berjumlah banyak, ekonomi terjepit, mirip secara penampilan, adalah pribumi. Yang berjumlah sedikit, kaya, berbeda secara fisik (lebih bersih), gaya hidup kelas premium, itu bukan pribumi, kompeni mungkin istilahnya. Haaaa.. ia pun memukulkan sendok nasi goreng ke dahinya. Terlalu banyak berpikir. Hentikan.
“Kenapa, Mas?” Tanya salah satu dari dua orang yang sedang mengobrol ini, “Koq mukul kepala pakai sendok?”
“Nyamuk. Jakarta panas. Tanggung mau lepas sendok, sikat aja sekalian.”
“Emangnya asli darimana, Mas?”
“Saya dari Bandung.” Sambil meminum the tawar pekat.
“Ooh… kerja di sini ya?”
“Yahh gitu lah, bantu bantu teman aja. Mungkin dua sampe tiga bulan udah gitu pulang lagi. Beli nasi goreng juga mas? Makan sini?”
“Iya, tapi dibungkus, makan di rumah aja.”
“Daerah sini ya rumahnya, soalnya jalan kaki aja.”
“Iya. Hehe.. eh udah jadi nih mas, mari kami duluan.”
“Oiya, silakah.” Senyum palsu, basa basi. Setidaknya basa basi nasi goreng dibungkus tadi menghentikan pertanyaan ke ranah pribadi, pikirnya.
Ia merogoh kantong celananya, mengeluarkan uang delapan ribu, dan membayar makan malam yang sekaligus adalah makan siangnya. Kembali ia melangkah ke arah jalan besar. Malam ini kira-kira pukul sembilan. Ramainya terang malam sangat jauh dari keinginannya, untuk menikmati kesunyian. Langkah kaki terus berjalan, melawan arus sendirian, di trotoar sisi jalan penuh lubang.
Apa aku pulang saja? Batinnya. Keberadaannya di sini karena kejenuhan. Bimbang, gamang, tak melihat tujuan. Untuk apa aku di sini. Kenapa aku harus menjalani ini. Semuanya tampak sama searah. Apa tak ada sisi yang berjalan dengan arus yang bukan seperti ini? Semua orang turun ke lapangan untuk berlomba memenangkan pertandingan. Pialanya adalah ‘masa depan’. Seperti yang biasa digambarkan secara jelas, ‘masa depan’ adalah suatu kondisi ‘sedemikian’. Orang sepertiku mungkin akan dikatakan tidak memiliki ‘masa depan’.
Tiba-tiba, lampu terang menyorotnya dengan tajam. Membuatnya buta. Diangkatnya tangan menghalangi tusukan cahaya, sambil melompat ke sisi jalan mencari bayangan. Mobil itu kemudian berhenti dan keluarlah seorang perempuan setengah baya.
“Kamu di sini rupanya. Pulanglah.”
Ia menyesuaikan diri dengan benderang yang dulu terlalu sering dilihatnya. Beberapa bulan ini ia berada dalam gelap bayangan. Mendapatkan cahaya seketika, terkejutlah ia. “Pulang kemana?” Tanyanya tanpa arah.
“Rumah lah. Kamu udah empat bulan pergi ga ada kabar. Kamu tinggal dimana, kerjamu apa, makanmu gimana, sekarang kamu kayak gembel di ibukota.”
“Kamu bertanya atau marah?”
“Keduanya! Bodoh! Kenapa kamu pergi, hidupmu sudah mapan. Karirmu sedang menanjak. Kamu malah keluar kerjaan, sekarang menggelandang. Kamu lulusan universitas ternama. Pekerjaanmu yang kemarin menghasilkan banyak uang. Kamu tinggal melanjutkan maka kamu akan punya masa depan. Sekarang, kamu malah seperti ini. Kamu membuat semua orang sedih! Stress. Kamu menyiksa banyak orang.”
Ia terdiam, dipandangi mobil itu yang tadi menusuknya dengan cahaya. Ia yang membelinya enam bulan lalu. Mobil dengan penggerak empat roda.
“Pulanglah. Kelakuanmu membuat semua orang terluka. Lelah memikirkanmu, hidupmu, masa depanmu. Kamu masih muda. Masih banyak harapan.”
Ia bergeming. Kenapa hidupku menjadi beban orang lain. Kenapa saat aku menginginkan jalan yang berbeda menjadikan diriku seorang pendosa. Kenapa kalau aku muda dan punya harapan, berarti menjadi gantungan harapan semua yang mengenalku. Kenapa saat aku tak seperti ‘seharusnya’, seperti alur yang diciptakan dari budaya masa kini – budaya yang adalah ciptaan manusia seperti aku – aku menjadi hina dan beban pikiran orang lain. Sepertinya aku adalah suatu benda yang dibentuk mereka, kamu, dia, kalian agar menjadi sesuatu yang ‘normal’ dan ‘seharusnya’ seturut alur arus budaya umum, kebanyakan. Aku adalah penyambung harapan semua, dan harus membuang harapan dan bentukan diriku sendiri. Padahal aku adalah aku, bukan aku adalah refleksimu, dia, mereka, kalian.
“Hey, ayolah kita pulang. Banyak yang menunggumu, banyak yang berharap padamu. Kamu punya masa depan.”
Ia bergerak, mendekati mobil itu, masuk dan duduk dengan diam. Menyerah. Mungkin selamanya, mungkin sementara, mungkin hanya lelah, mungkin benar menyerah. Yang pasti, saat ini ia merasa terdesak. Mata yang terpejam, mulut yang terkatup, telinga yang tertutup. Pikirannya melayang menembus semua keinginan, kebutuhan, harapan, beban, warisan, tuntutan, keharusan, kenormalan, kebenaran, kebiasaan, kehidupan, kesemuanya yang menjenuhkan.

No comments:

Post a Comment