Friday, May 20, 2011

Piring si Piden ti Tas


Karenarasaadalahsegalanya-19052011


I’m a man on a word. Prinsip dan jati diri. Kami ini seperti ini, kami adalah itu. Prinsipku begini dan begitu. Nilaiku begini dan begitu. Seharusnya begini dan begitu. Kami? Kalian kalee.

Bagi saya, seorang laki-laki harus menjadi penjaga wanita dan menghormatinya. Wanita adalah makhluk terhormat dan saya pun lahir darinya. Bentuk penjagaan kepada perempuan itu bagaimana? Tanyaku. Saya beri contoh, saat wanita pulang malam dan tidak ada yang mengantarkan, saya sebagai pria seharusnya mengantarkannya. Dalam kondisi apapun? Tanyaku. Tentu saja tidak, selalu ada syarat kondisi, jawabnya. Kamu sendiri gimana? Ia bertanya padaku.

Aku sih tergantung mood, kalau lagi mau ya antar, kalau malas yaudah. Berarti kamu tidak punya prinsip mengenai wanita dong. Gak tau, aku hanya ikuti rasa. Seperti kata “perempuan” yang aku gunakan, lebih berasa daripada kata “wanita”. Untuk saat ini sih. Nanti, lihat nanti.


Manusia harus punya visi ke depan, katanya. Aku punya visi. Seusai lulus dari kampus ini, aku akan bekerja di perusahaan minyak, mendapatkan gaji besar, membeli rumah, mobil, dan menikah. Anakku harus sekolah di sekolah terbaik.

Mmm… kamu udah ada calon istri? Tanyaku. Belum, tapi saat aku jadi orang kaya, perempuan mudah lah. Kamu sendiri gimana? Tanyanya padaku. Aku jawab, yaa… ga tau, sekarang sih lagi begini aja. Visi ke depan yaaa.. secukup dan seperlunya saja. Sekarang bisa makan yaudah, pengen punya rumah ya sambil jalan, kalau tiba-tiba besok mati juga rumahku kan kuburan atau laut. Apa yang aku perlukan pasti akan aku dapatkan.
Preeet…

Kita harus mampu memanfaatkan situasi. Kalau ada suatu kondisi tertentu, maka kita harus bereaksi sedemikian sehingga kita bisa bertahan dan tetap menjaga eksistensi dan identitas kita. Maksudnya? Aku bingung. Kita berada di zaman modern, arus yang mengalir adalah karir. Hal ini perlu demi masa depan yang cerah. – sepertinya aku mengerti definisi masa depan cerah itu – Kita harus bisa bersaing dengan banyak orang. Kita harus memiliki keahlian, yang bisa menjual diri kita kepada perusahaan yang akan membayar mahal. Kita harus mapan.

Yang riilnya? Aku meminta contoh. Saat aku bertemu dengan seseorang, pastikan ia memiliki daya guna, fungsi dalam kehidupanku. Kalau ia berdaya guna, maka itulah pintu kesempatan emas kita – kenapa gak kesempatan berlian, lebih mahal kan – nah, kalau orang itu tidak memiliki daya guna, cukup menjadi relasi saja. Waktu itu cepat berlalu, kita harus memanfaatkannya dengan cepat, tepat dan bermanfaat. Kamu bagaimana? Ia bertanya.

Waktu sih hanya representasi dari salah satu sifat manusia. Refleksi mungkin malah. Manusia adalah waktu. Aku sih yang bisa aku lakuin sekarang dan yang aku mau ya aku lakukan. Itu pun akan bersinggungan dengan yang ‘perlu’ aku lakukan. Hehehe…


Kita harus punya identitas. Pandangan yang jelas,dan keyakinan akan kebenaran yang pasti. Diluar kebenaran itu, kesalahan dan dosa. Yang harus kita musnahkan dalam hidup kita. Ia berkata dengan penuh api. Sayang aku tidak membawa wajan dan telur, aku sedang ingin makan telur dadar. Aku berkata, bukankah itu yang sering menjadi sumber konflik dalam bermasyarakat? Ia bilang, benar. Karena kebenaran tiap orang berbeda-beda dan tiap orang mempertahankan kebenarannnya – termasuk meluaskan kekuasaan kebenaran itu – ucapku dalam hati.

Kalau kita tidak memegang salah satu keyakinan itu bagaimana? Tanyaku. Berarti kamu bukan manusia, jawabnya. Kamu tidak punya identitas. Apa yang membedakan kamu dengan dia, aku, dan yang lain? Kita punya identitas untuk membedakan satu sama lain. Jati diri yang jelas dan tegas, eksistensi yang abadi. Kamu sendiri gimana? Tanyanya.

Aku sih berpegang pada diriku. Kebenaran itu adalah apa yang aku bilang benar, dan punya periode. Saat satu selesai, yang satu mulai. Hanya mengalir mengikuti angin saja. Mungkin semua yang ada di dunia ini relatif. Subjektivitas itu inti, objektivitas itu ilusi, kolektivitas lah kenyataan. Ia mengambil garpu, hendak menusukku. Aku tangkis dengan kepalaku. Kuat. Tentu. Aku pakai helm SNI.


Yah, begitulah. Katanya sambil menyeruput kopi yang aneh ini. Tapi enak. Ada alkohol di dalamnya. Iya, kataku, enak. Bukan kopinya yang gue maksud, perempuan itu berkata sambil menghembuskan asap rokok. Manusia menjadi manusia karena manusia bertemu manusia lainnya. Menurutmu, apa dasar dari manusia? Kopi alkohol, jawabku.

Ia diam dan memandangku. Kamu bisa mati kalau tiap hari minum seperti ini. Bukan mati karena minuman, tapi mati kena amukan orang yang sedang bicara namun tidak serius kau tanggapi. Katanya sinis. Hehe.. iya, maap Bu. Menurutku, dasar dari manusia adalah hasrat untuk berkuasa.

Lah, kamu masih ingat pertanyaannya toh? Aku aja udah lupa. Aku hanya ingat kamu gak tanggapi serius pertanyaanku. Sekarang giliran aku yang kesal -____-“ fak!

Oke serius, katanya. Yak, hasrat untuk berkuasa. Kali ini aku sependapat denganmu. Kita mencari jati diri, karena dalam suatu komunitas kita bertemu dengan manusia lain. Secara naluriah, manusia selalu berkomunitas. Kita ingin berbeda dan kita ingin memiliki kuasa. Yang tentu saja tidak berbagi kuasa, kalau bisa malah menguasai semuanya. Maka itulah yang melahirkan prinsip, pandangan, dan jati diri. Eksistensi diri harus bisa setangguh mungkin.

Aku meletakan cangkir kopi, karena pegal dari tadi aku pegang. Aku suka baunya. Prinsip dan identitas itu dibuat manusia sebagai awalan. seperti aturan dan syarat suatu kondisi. Seperti fungsi pemograman. Lo ngerti pemograman? Kata perempuan di depanku. Gak, hanya dulu pernah ikut kelas excel, katanya fungsi “if” itu mirip dengan pemrograman. Mirip dengan prinsip manusia. Jika begini maka begitu. Diluar itu, invalid function. Bahasa gaulnya ‘dosa’. Halah..

Berarti manusia seperti robot atau robot seperti manusia? Robot lah yang seperti manusia. Banyaknya variabel dan persamaan matematis dalam seorang manusia tentu memiliki kompleksitas yang jauh di atas ilmu matematika saat ini. Ia bicara panjang dan aku memilih untuk tidak mendengarkan. Penjelasan ini bikin mataku keluar dan meluncur ke dalam cangkir kopi rasanya. Ia merasa tidak diacuhkan dan diam. Yes!
Ah, ngomong ama lo bikin cape, katanya sambil menyeruput kopi itu. Udah dingin, alkoholnya makin kerasa ya. Ujarku becanda. Ia diam. Haha.. ngambek. Gak ngambek, hanya bete, ngomong ma lo gak semua mau didengerin.

Aku mendengarkan yang mau aku dengarkan, aku melihat yang mau aku lihat. Bukan kah semua manusia seperti itu. Bedanya, yang aku lihat dan yang kamu lihat dan yang mereka lihat, seringkali tidak sama. Terus, saat aku berbeda dalam arus yang tak sama, aku dianggap tidak ada. Dalam arti identitasku tidak ditemukan. Jadi perbedaan yang mereka maksud adalah masih dalam satu arus yang sama dan terdefinisi oleh ilmu yang saat ini menjadi ilmu pasti, relatif mutlak di periode ini. Di luar itu, sesuatu yang di luar arus, adalah yang tak terdefinisi. Maka bukan menjadi berbeda, melainkan tidak ada. Dalam arti singkatnya, tiada masa depan.

Seperti fungsi pemrograman. “Sama” adalah suatu kondisi dimana semua syarat adalah sama, indentik dan persis. “Berbeda” adalah kondisi yang berbeda dalam bentuk dan penampilan (fenotipe berbeda), namun masih dalam satu lingkup kondisi global (genotipe sama). “Tidak ada” adalah yang di luar itu. Ia menyeruput kopi, menghisap rokok dan menghembuskannya dengan nikmat ke arah bulan. – sial, aku dibalas –

No comments:

Post a Comment