Tuesday, January 7, 2014

Kekacau Seimbangan

Rintihan tertekan, raungan arogan. Demi keseimbangan, penjumlahan keduanya adalah ketiadaan.

Hasrat terlepaskan, tindakan terjebaklah. Demi keseimbangan, tiada selisih keduanya digabungkan.

Makian di belakang, pujian di depan. Demi keseimbangan, tiada perubahan lah keduanya.

Pemujaan pada penindas, kedengkian pada tertindas. Demi keseimbangan, tidak ada lah yang lebih indah dari kebersamaan keduanya.

Ketergantungan pada pemanfaatan, pemanfaatan ketergantungan. Demi keseimbangan, drama keduanya adalah sama saja kosongnya.

Idea dan idea, bertemu dalam wadah realita. Sama sama lupa bahwa realita pun hadir dari idea sebelumnya, pun bersama saling tergantung saling memanfaatkan. Salah posisi rasiokan realita idea karena tercampur candu ekspektasi.

Realita itu dalam idea ini dan atau realita ini dalam idea itu. Maka pembenaran lah yang paling benar, dan ketakutanlah senjatanya. Keterjebakan atmosfernya dan kebutuhan dasar alasannya. Karena kebenaran tertinggi adalah alasan. Keinginan lah yang terwujud kalau saja pengelupasan sukarela dilaksanakan.

Endapan kerak berkerak memori dalam gumpalan hasrat dan pemadatan keinginan, lahirlah budaya yang terulang ulang ulang. Repetisi tradisi, repetisi tra da isi. Lagi, lagi, lalulupa, lagi lagi, lalulupa, lagi lagi. Budaya.

Tak sadar pun terus terulang. Mengulang hingga tak sadarkan. Gumpalan memori terpadatkan, keterjebakan sukarela dan ketersiksaan yang enggan dilepaskan. Masokis yang terpuaskan oleh pengulangan tanpa kesadaran.

Makin tinggi makin luas makin dalam tenggelam ilusi, kemudian tuhan pun tercipta. Seturut dengan pembenaran mutlak dan keilahian alasan. Redefinisi sesuka hati, merasa kuat memenangkan adu pembenaran, kalah pun menang karena kedigdayaan alasan. Ada saja keabadian pengulangan, karena memang tak pernah berawal. Bagaimana ia berakhir

No comments:

Post a Comment