Friday, January 17, 2014

ka(R)ya

Perputaran cerita, pengulangan kisah, dan keterjebakan sukarela. Korban definisi. Awal mulanya adalah perjalanan bersama yang membuat serupa pemikiran, namun tak sama. Hadirlah kesepakatan terikat dari perbincangan bebas, hadirlah jalan lurus tertentu dari petualangan radial impulsif tak teratur. Para pejuang pulang membawa cerita dan kebijaksanaan bersama dengan pendapat bebas dan kesepakatan tegas terbatas. Legenda lalu terjadi dari kombinasi kompilasi yang diamini lalu diimani. Penyederhanaan dengan alasan kemudahan dan percepatan mencapai tujuan pun terangkai atas nama kebahagiaan. Tujuannya, legenda (karya) itu.


Keindahan langit mulai terdefinisi, ter-reduksi, dengan putih biru kuning jingga dan segala defini tentang warna. Keluasan warna terkekang oleh definisinya. Warna-warni ber-nama, memaksa keluasan langit tak terbatas masuk ke dalam kanvas. Sejatinya sekotak bahasa dalam warna adalah semacam lubang pengintip dimana segaris cahaya masuk dan menggoda untuk tau apa yang ada di balik selaput definisi. Ajakan untuk mengalami bukan hanya mengamati, mungkin itulah arti awal visualisasi. 


Pengertian dengan pembatasan ber-nama, memaksa memasukan danau ke dalam satu gelas. Bukan kah pada awalnya segelas kopi untuk membawa manusia kepada suatu hutan kopi yang komplikasi, lalu pada akhirnya segelas kopi lah kompilasi kepentingan tanpa perlu mengalami hutan. Seruput saja dan puas lalu.


Pada awalnya adalah bahasa, bersama-sama dengan cara, dan bahasa itulah caranya. Karya ber-cara dengan bahasa, menampilkan segaris cahaya dari dunia dibalik kotak, ajakan untuk mengetahui, melupakan, lalu memahami. Namun sejalan dengan usia dan penuaan, karya pun mengalami reduksi –seperti dimana karya dibuat dengan mereduksi demi kepentingan definisi– dengan kehilangan unsur R menjadi kaya.


Perjalanan panjang pendakian mencapai titik puncak, darimanapun dataran di bawah untuk memulai pertemuan tetap di satu titik itu. Cerita pun tak jauh dari puncak, semua berkarya dengan definisinya menggambarkan puncak yang adalah, adalah, dan adalah.. ada laaaah…


Sedikit yang mampu ceritakan bagaimana perjalanan dari bawah menuju atas, sedikit pula yang ma(mp)u mengerti bagaimana perjalanan menuju puncak. Lebih mudah mendeskripsikan puncak dimana semua pendaki berakhir pada titik yang sama, karena komplikasi dan keragaman perjalanan yang didefinisikan hanya membawa kebingungan bukan kemudahan. Kesepakatan dalam definisi puncak kemudian menjadi tujuan, karya, lukisan, cerita, nada dan ketagihan.


Ketagihan yang membuat melupakan. Lalu lupa pada bahwa puncak tiada lah tanpa dasar, karya deskripi puncak tiada lah tanpa proses pendakian para pejalan yang entah darimana bagaimana dan bertemu di sana. Dengan kehilangan unsur R, sekadar lah kaya. Dengan kehilangan unsur Rasa dan peRasaan. Karya menjadi kaya, ekstasi kemudahan yang begitu menjebak membuat jalan jadi tujuan, media jadi pesan dan keterjebakan sukarela para jamak tak terhindarkan. Mari mabuk bersama karena kehidupan terlalu sederhana, sedangkan yang dibutuhkan adalah kerumitan yang membuat ketagihan.


Berpegang pada karya berusaha menjadi kaya, karena definisi karya memang dengan kekayaan. Betapa kaya langit yang tak tergambarkan digambarkan oleh bahasa kata definisi yang mereduksinya dengan warna. Betapa kaya puncak gunung yang dilalui oleh berbagai jalan pendakian, tergambarkan oleh cerita serupa tentang pemandangan. Tiga ratus enam puluh derajat dari satu sudut pandang adalah reduksinya, sebuah pendekatan putaran yang menggambarkan kekayaan perjalanan. Ketakjuban dan keinginan pun melupakan tentang apa selanjutnya setelah sampai puncak, bukankah akan turun kembali.


Apa lah fungsi semua pembatasan kalau bukan untuk dibuang, apalah fungsi definisi kalau bukan untuk dilangkahi, dan apa fungsi jembatan kalau bukan untuk ditinggalkan. Karena keterjebakan itu membuat ketagihan, menjadikannya sukarela dalam keseharusnyaan berinti otomatisme yang memfasilitasi kemudahan, yang esensinya adalah jalan namun akibat sensasinya menjadi tujuan. Kemudahan yang sejatinya media karya, malah menjadi karya itu sendiri. Wajar.


Sewajar ekstasi garis cahaya yang ingin dimiliki tanpa mau membongkar dinding berlubang yang meloloskan cahaya. Karena segaris ketakjuban adalah karya yang memperkaya, semua ingin melihatnya, semua harus berusaha. Biarkan satu bertahan mengokohkan kemapanan dinding berlubang sementara yang lain berlomba melihat garis cahaya. Bukankah itu suatu karya dalam rangka berkuasa. Bagaimana sistem yang awalnya dibuat untuk manusia menjadikan manusia seakan terbuat untuk menggenapinya. Karya rotasi repetisi, adiktif. Hasrat berkuasa. Kaya.


Para awalan membawa cerita dari perjalanan yang beragam pada satu titik pertemuan. Karya tentang keadaan hasil dari perjuangan yang mengajak untuk mengalami perjalanan beragam dengan akhir yang seragam. Karya kekayaan ‘titik sampai’, yang pada dasarnya dan pada mulanya adalah ajakan untuk kembali padanya melalui jalan yang belum terbuka. Bukankah dari awal sudah dikatakan, beragam perjalanan untuk perhentian yang seragam. Kemudahan hadir dalam karya ‘cerita kebersamaan perhentian’ sebagai ajakan, bukan keseharusnyaan untuk melalui ‘seragam perjalanan demi kesamaan.’


Kemudahan pun melahirkan kemabukan ketakjuban yang melupakan ajakan, mengabaikan tepatnya. Terbius oleh keindahan dan kekayaan, terjebak oleh definisi dan memilih pengulangan. Kemudahan yang hadir bagi manusia pun berubah menjadi manusia yang perlu hadir bagi kemudahan, sistem namanya. Sukarela terjebak dalam puncak-puncak yang diceritakan, hasrat keinginan yang melupakan dan memabukkan: apalah arti karya kalau bukan kaya. Warna, cerita, lukisan, prosa, puisi, lagu, nada yang kaya adalah karya dan kesanalah pertarungan mengarah, karena tampaknya indah. Harus(nya) indah. Berebutan karena se-lajur perjalanan.


Karya memang tentang kaya, kekayaan puncak gunung yang mengajak mengalami perjalanan. Perjalanan untuk mengalami kekayaan lalu kembali pada pulang. Bukan untuk kaya dan terjebak dalam karya warna bersama puisi bernada puncak gunung dan ketagihan lupa pulang. Mungkin.


No comments:

Post a Comment