Perputaran cerita, pengulangan
kisah, dan keterjebakan sukarela. Korban definisi. Awal mulanya adalah
perjalanan bersama yang membuat serupa pemikiran, namun tak sama. Hadirlah kesepakatan
terikat dari perbincangan bebas, hadirlah jalan lurus tertentu dari petualangan
radial impulsif tak teratur. Para pejuang pulang membawa cerita dan
kebijaksanaan bersama dengan pendapat bebas dan kesepakatan tegas terbatas.
Legenda lalu terjadi dari kombinasi
kompilasi yang diamini lalu diimani. Penyederhanaan dengan alasan kemudahan dan
percepatan mencapai tujuan pun terangkai atas nama kebahagiaan. Tujuannya,
legenda (karya) itu.
Keindahan langit mulai
terdefinisi, ter-reduksi, dengan putih biru kuning jingga dan segala defini
tentang warna. Keluasan warna terkekang oleh definisinya. Warna-warni ber-nama,
memaksa keluasan langit tak terbatas masuk ke dalam kanvas. Sejatinya sekotak
bahasa dalam warna adalah semacam lubang pengintip dimana segaris cahaya masuk
dan menggoda untuk tau apa yang ada di balik selaput definisi. Ajakan untuk
mengalami bukan hanya mengamati, mungkin itulah arti awal visualisasi.
Pengertian dengan pembatasan
ber-nama, memaksa memasukan danau ke dalam satu gelas. Bukan kah pada awalnya
segelas kopi untuk membawa manusia kepada suatu hutan kopi yang komplikasi,
lalu pada akhirnya segelas kopi lah kompilasi kepentingan tanpa perlu mengalami
hutan. Seruput saja dan puas lalu.
Pada awalnya adalah bahasa, bersama-sama
dengan cara, dan bahasa itulah caranya. Karya ber-cara dengan bahasa,
menampilkan segaris cahaya dari dunia dibalik kotak, ajakan untuk mengetahui,
melupakan, lalu memahami. Namun sejalan dengan usia dan penuaan, karya pun
mengalami reduksi –seperti dimana karya dibuat dengan mereduksi demi
kepentingan definisi– dengan kehilangan unsur R menjadi kaya.
Perjalanan panjang pendakian
mencapai titik puncak, darimanapun dataran di bawah untuk memulai pertemuan tetap
di satu titik itu. Cerita pun tak jauh dari puncak, semua berkarya dengan
definisinya menggambarkan puncak yang adalah, adalah, dan adalah.. ada laaaah…
Sedikit yang mampu ceritakan
bagaimana perjalanan dari bawah menuju atas, sedikit pula yang ma(mp)u mengerti
bagaimana perjalanan menuju puncak. Lebih mudah mendeskripsikan puncak dimana
semua pendaki berakhir pada titik yang sama, karena komplikasi dan keragaman
perjalanan yang didefinisikan hanya membawa kebingungan bukan kemudahan.
Kesepakatan dalam definisi puncak kemudian menjadi tujuan, karya, lukisan,
cerita, nada dan ketagihan.
Ketagihan yang membuat
melupakan. Lalu lupa pada bahwa puncak tiada lah tanpa dasar, karya deskripi
puncak tiada lah tanpa proses pendakian para pejalan yang entah darimana
bagaimana dan bertemu di sana. Dengan kehilangan unsur R, sekadar lah kaya.
Dengan kehilangan unsur Rasa dan peRasaan. Karya menjadi kaya, ekstasi
kemudahan yang begitu menjebak membuat jalan jadi tujuan, media jadi pesan dan
keterjebakan sukarela para jamak tak terhindarkan. Mari mabuk bersama karena
kehidupan terlalu sederhana, sedangkan yang dibutuhkan adalah kerumitan yang membuat
ketagihan.
Berpegang pada karya berusaha
menjadi kaya, karena definisi karya memang dengan kekayaan. Betapa kaya langit
yang tak tergambarkan digambarkan oleh bahasa kata definisi yang mereduksinya
dengan warna. Betapa kaya puncak gunung yang dilalui oleh berbagai jalan
pendakian, tergambarkan oleh cerita serupa tentang pemandangan. Tiga ratus enam
puluh derajat dari satu sudut pandang adalah reduksinya, sebuah pendekatan
putaran yang menggambarkan kekayaan perjalanan. Ketakjuban dan keinginan pun melupakan
tentang apa selanjutnya setelah sampai puncak, bukankah akan turun kembali.
Apa lah fungsi semua pembatasan
kalau bukan untuk dibuang, apalah fungsi definisi kalau bukan untuk dilangkahi,
dan apa fungsi jembatan kalau bukan untuk ditinggalkan. Karena keterjebakan itu
membuat ketagihan, menjadikannya sukarela dalam keseharusnyaan berinti
otomatisme yang memfasilitasi kemudahan, yang esensinya adalah jalan namun
akibat sensasinya menjadi tujuan. Kemudahan yang sejatinya media karya, malah
menjadi karya itu sendiri. Wajar.
Sewajar ekstasi garis cahaya
yang ingin dimiliki tanpa mau membongkar dinding berlubang yang meloloskan
cahaya. Karena segaris ketakjuban adalah karya yang memperkaya, semua ingin
melihatnya, semua harus berusaha. Biarkan satu bertahan mengokohkan kemapanan
dinding berlubang sementara yang lain berlomba melihat garis cahaya. Bukankah
itu suatu karya dalam rangka berkuasa. Bagaimana sistem yang awalnya dibuat
untuk manusia menjadikan manusia seakan terbuat untuk menggenapinya. Karya
rotasi repetisi, adiktif. Hasrat berkuasa. Kaya.
Para awalan membawa cerita dari
perjalanan yang beragam pada satu titik pertemuan. Karya tentang keadaan hasil
dari perjuangan yang mengajak untuk mengalami perjalanan beragam dengan akhir
yang seragam. Karya kekayaan ‘titik sampai’, yang pada dasarnya dan pada
mulanya adalah ajakan untuk kembali padanya melalui jalan yang belum terbuka.
Bukankah dari awal sudah dikatakan, beragam perjalanan untuk perhentian yang
seragam. Kemudahan hadir dalam karya ‘cerita kebersamaan perhentian’ sebagai
ajakan, bukan keseharusnyaan untuk melalui ‘seragam perjalanan demi kesamaan.’
Kemudahan pun melahirkan kemabukan
ketakjuban yang melupakan ajakan, mengabaikan tepatnya. Terbius oleh keindahan
dan kekayaan, terjebak oleh definisi dan memilih pengulangan. Kemudahan yang
hadir bagi manusia pun berubah menjadi manusia yang perlu hadir bagi kemudahan,
sistem namanya. Sukarela terjebak dalam puncak-puncak yang diceritakan, hasrat
keinginan yang melupakan dan memabukkan: apalah arti karya kalau bukan kaya.
Warna, cerita, lukisan, prosa, puisi, lagu, nada yang kaya adalah karya dan
kesanalah pertarungan mengarah, karena tampaknya indah. Harus(nya) indah. Berebutan
karena se-lajur perjalanan.
Karya memang tentang kaya,
kekayaan puncak gunung yang mengajak mengalami perjalanan. Perjalanan untuk
mengalami kekayaan lalu kembali pada pulang. Bukan untuk kaya dan terjebak
dalam karya warna bersama puisi bernada puncak gunung dan ketagihan lupa
pulang. Mungkin.
No comments:
Post a Comment