Monday, December 23, 2019

Keseharusnyaan 1/16

Dua puluh satu desember dua ribu sembilan belas. Memulai hari dengan minus satu, karena tidak tahan dengan emosi dan hasrat yang begitu menggebu. Kenangan akan aktivitas intim yang pernah dilalui begitu lekatnya, hingga keinginan untuk mengalaminya begitu tidak tertahan. Bersamaan dengan rasa kecewa pada diri sendiri akan kesalahan perilaku yang membuat relasi kemarin runtuh. Setelah minus satu, tidak ada efek dopamin yang menenangkan malahan kelelahan. Bolak-balik kasur untuk tidur tapi tidak bisa karena suasana memang liburan dan keceriaan yang datang di waktu yang kurang pas lumayan mengganggu. Akhirnya memutuskan untuk keluar, mungkin akan ke kedai kopi untuk duduk dan mendengarkan siaran kuliah Jordan Peterson. Namun berakhir di tempat kabur biasa yang kebetulan sepi dan menyenangkan, maka membeli bali hai diablo dengan muffin cokelat sebagai teman.
Kenangan-kenangan membangkitkan kemarahan, sambil mengunduh anime menggerutu di twitter mengenai diri sendiri. Kemarahan akan kebodohan diri, jadi mengerti soal memaafkan diri. Untunglah kemarahan ini bukan yang perlu dimaafkan karena menyalahkan diri sendiri, melainkan bentuk analisis yang perlu disalurkan. Tidak menahan, tidak menyangkal, tidak menenang-nenangkan, meledakannya saja dengan perkataan. Ya, semakin banyak penjelasan semakin banyak kesalah pahaman. Namun, kita hanya melakukan hal yang kita ketahui saja kan. Maka, meracau lah menyerang imaji yang dibentuk oleh memori di dalam benak sendiri sebagai respon atas pengalaman yang telah dialami. Entah refleksi entah proyeksi, dengan kesadaran ini menjadi mengerti bahwa menjadi manusia itu memang perihal mengetahui apa yang diketahui.
Kemudian menjadikannya, seperti motto tempat kerja sekarang ini. Nyaho can tangtu ngarti, ngarti can tangtu bisa, bisa can tangtu tuman, tuman can tangtu ngajadi. Langkah pertama memang mengetahui apa yang kuketahui, kedua adalah mengetahui apa yang tidak kuketahui, dan situasi yang perlu disadari adalah ketidak tahuan akan hal yang tidak kuketahui. Dengan demikian proses ngajadi bisa jadi adalah mengetahui apa yang kuketahui, dan pengetahuan pertamanya adalah mengenai pengetahuan akan tiga level pengetahuan yang barusan disebutkan. Berarti mengetahui apa yang diketahui bisa jadi adalah menjadikannya penuh sampai taraf optimal. Menjadi manusia adalah menjadi manusia optimal semaksimal kemampuan imajinasi diri membentuk visi diri. Potensi tidak terbatas yang perlu diraih dengan membatas-batasi.
Lewat tengah hari, sepi berangsur pergi seiring kedatangan orang-orang yang hendak berteduh dari keramaian kota yang semakin keluar batas toleransi keberisikan. Ada janji sore ini untuk mengambil pesanan buku mengenai nias, walau baru mendapat mengenai agama asli yang bertendensi kristenisasi tak mengapa lah. Berangkat dengan mengukur waktu agar tepat sampai di lokasi, meminimalisir menunggu karena dalam benak adalah efisiensi tanpa banyak basa-basi. Apalagi lokasi pertemuan ada acara bedah buku dan diri sedang merasa tidak bersemangat untuk terlibat. Walaupun di dalam benak terlintas bisa saja ada peluang kecil yang berlanjut pada potensi relasi, terima saja lah apa adanya toh pengalaman sebelumnya sudah banyak membuka imaji pola situasi seperti ini.
Sampai lokasi pertemuan bersamaan dengan kedatangan penjual buku jadul kenamaan dan suasana masih sepi. Basa-basi, transaksi, beli buku tambahan mengenai intisari filsafat india, basa-basi lagi, langsung beranjak pergi dengan alasan menghindari kehujanan, memang suara gelegar petir sudah terdenger susul menyusul di langit. Perjalanan beranjak dari lokasi ini rasanya seperti perjalanan menuju lokasi ini, nostalgia dua ribu sepuluh dan dua ribu tiga belas saat masih di karitatif bandung. Suryalaya memang jadi daerah yang familiar waktu itu, juga lokasi pertemuan itu ada di jalur mobilisasi personil bangunan cemerlang kalau mengadakan pelatihan dan terakhir waktu menyambut tim kasih merespon banjir di bandung. Yah, nostalgia lah ya seperti begitulah rasanya.
Rencana awal hendak membaca buku di kedai kopi langganan, tapi selain alasan menghindari hujan pun pencernaan rasanya tidak nyaman oleh rasa penuh di lambung dan migren di kepala. Akhirnya memutuskan pulang melalui jalur tercepat yang biasanya yaitu jembatan layang, tidak heran dengan kemacetan karena memang waktunya dan memang budayanya demikian sekarang ini. Cukup tergesa namun perhitunganlah cara membawa sepeda motor belakangan ini, seperti kembali ke masa muda namun dengan kesadaran bahwa kemampuan tidak sama dan suasana pun tidak sama. Maka tetap terjaga dan waspada, benar memang lebih baik menghindari daripada kerepotan menanggapi. Emosionalitas yang perlu selalu diolah, lalu teringat bahwa proses pengolahan emosi yang tidak seiring se-amplitudo ini lah yang meruntuhkan bangunan relasi kemarin. Sampai di rumah, malas mandi jadi hanya cuci-cuci, berusaha membuang hasil pencernaan tapi belum waktunya tak bisa dipaksa, akhirnya bermain dengan macbook saja. Menonton beberapa episode yang diminati.
Gerah, memutuskan mandi. Menyudahi aktivitas hari ini dengan merasa ada yang perlu dilewati dari diri, terutama mengenai batasan zona nyaman yang mengekang. Melemparkan badan pada kasur setelah membersihkan diri dan bersiap tidur, menjauhkan ponsel dan memejamkan mata. Mencoba menarik konsentrasi pada diri, namun karena terlalu lama tidak melatih pikiran masih saja kenangan-kenangan beterbangan bergabungan. Kembali pada napas dan berserah saja, tidak sempat menulis jurnal harian di hari pertama ini rencananya besok pagi. Frasa penting hari ini, diriku sendiri sudah cukup untuk diriku sendiri. Tapi ingat, kutipan bukanlah intinya melainkan pemicu. Konteks adalah segalanya. Sadar.

No comments:

Post a Comment