Monday, December 23, 2019

Keseharusnyaan 2/16

Dua puluh dua desember dua ribu sembilan belas. Membuka mata pagi hari dengan lumayan lega, karena tidak ada rasa perlu masuk bekerja dan mulai masuk fase jeda. Energi berhasil masuk kepada plus satu, karena mengondisikan pikiran dengan metoda niat melampaui pemikiran. Tapi badan masih terasa cukup lelah, mungkin penyesuaian tidur tidak efektif di dua bulan belakangan karena pikiran penuh dengan keseharusnyaan. Membuat telur dadar dengan metoda katel panas minyak sedikit, sudah lama tidak membuat yang seperti ini. Menyeduh kopi ciwidey blue diamond yang katanya jarang dengan air yang usai dijerang, sudah lama juga tidak membuat yang seperti ini. Rasanya cukup puas namun belum puas, ada totalitas yang tidak tersalurkan karena kemampuan konsentrasi yang rendah. Fokus pun masih hilang-hilangan, belum lagi isi pikiran dengan pemikiran akan rasa sakit dibuang ditinggalkan diam-diam. Secara pengertian, mengerti memang ini semua adalah keseimbangan dan sebab akibat saja. Secara rasa, merasa sedih marah rindu sayang benci tidak rela juga sekaligus membuang.
Selesai sarapan badan ingin rebahan tapi tidak tenang, karena keceriaan yang hadir tidak tepat waktu sama seperti penyerahan diri yang diberikan kepada orang yang tidak tepat. Selalu salah ruang, jadi teringat kalau memang kemampuan yang jarang digunakan adalah membentuk ruang. Syaratnya konsentrasi terjaga tanpa pengalihan dan fokus tajam tanpa keraguan. Melihat informasi di media sosial internet sampai melihat narasi dari aplikasi the pattern sampai kekenyangan informasi, tiada yang tercerna baik badan pun semakin lelah. Akhirnya memutuskan untuk pindah ruang, pilihan seperti biasa hanya ada dua antara kedai kopi langganan atau oasis di tengah kompleks tinggal kaum biarawan. Tapi sebelumnya, jajan juga odading dan gorengan yang membuat perut kepenuhan. Kemudian datang martabak manis yang semakin membuktikan bahwa hasrat ragawi berdasarkan memori masih mendominasi. Mental konsumen. Mungkin penyangkalan melalui puasa untuk mengatasi hal paling mendasar ini, agar saat naik kepada cakra sakral yang muncul adalah pengendalian diri menggunakan hasrat bukan penaklukan diri oleh pemuasan hasrat.
Pilihan dibuat berdasarkan kecenderungan kebiasaan yaitu ke ruang kabur biasanya, oasis di tengah kota termacet se-indonesia. Dalam perjalanan ada keberhasilan kecil, mentransformasi emosi menjadi mantra ringan pelepasan alih-alih marah memukul spion mobil orang yang berhenti sembarangan menghalangi jalan. Mantranya, "Yang menghalangi akan dihalangi, yang terhalangi akan menghalangi, perhitungkan saja untuk menghindari halangan." Siang hari mencapai lokasi, situasi sepi dengan satu kenalan yang terlihat, ternyata ada dua kenalan lama senior yang seperti biasanya datang menenangkan diri juga. Masing-masing sibuk masing-masing, sepi yang ditemani seperti ini yang ternyata memang menenangkan. Cukup ada saja, sebagai teman. Tidak perlu kebanyakan namun tidak benar-benar sendirian juga, maksimal tiga orang memang. Kalau yang lebih dari teman, rasanya memang tidak bisa tidak berpelukan dan selalu ingin melekat erat dan hanya lepas kalau hendak mengambil napas. Seperti berenang, satu atau nol seluruhnya tidak ada di tengah karena basah tidak bisa setengah-setengah. Kena air ya basah, tidak ada kurang basah tidak ada lebih basah hanya ada basah atau tidak basah. Seperti kedatangan junior yang bisa diceburi kalau ingin basah, tapi karena tidak ingin basah tidak boleh setengah maka tidak menceburkan diri padanya. Seperti biasa, duduk dengan kegiatan masing-masing dalam kesendirian yang ditemani.
Lagi-lagi kebiasaan mengonsumsi mendominasi, membeli pepes ayam dan es campur untuk makan padahal perut masih kenyang. Mungkin belum kekenyangan maka belum berhenti, seperti mungkin karena merasa ada kesempatan lain makanya memutuskan tidak bertahan dalam perjuangan. Melupakan kapasitas pencernaan dan waktu yang diperlukan untuk berproses, melupakan usia yang semakin tipis dan angka yang semakin bertambah sebagai pengingatan yang selalu diabaikan. Memento mori. Kemudian hujan dan mengisinya dengan bacaan, mulai dari dracula hingga artikel internet kemana-mana. Menyenangkan, namun kurang menenangkan. Memang ada kursi panjang untuk rebahan baik tengkurap telentang sampai menyamping dan meregangkan badan, namun tanpa pelukan rasanya kurang. Bertahun mampu bertahan setahun kurang dibongkar dengan mudah, setelah itu ditinggalkan tanpa persiapan rasanya seperti kalah perang tanpa sempat berperang. Kalau begitu untuk apa menabuh genderang, kesucian malah jadi kebohongan. Sambil membaca buku agama asli suku nias dan seperti biasa inspirasi muncul dari bacaan, seperti kunci membuka penggambaran yang sulit dibahasakan namun perlu dibahasakan karena dengan demikian pengertian menjadi pemahaman. Kalau tidak dibahasakan, ya halusinasi.
Pengertian hadir dari perhatian, demikianlah kehausan ini membuat gerak badan kurang terkondisikan. Bolak balik mencari posisi, sampai peregangan otot belakang dengan posisi yoga di depan beberapa orang. Jelas akan menimbulkan kesalah pahaman, karena pemahaman bukan orang terdekat berdasarkan mentalitas selektif bukan adaptif. Bedanya, yang selektif akan dengan mudah berseloroh apa sih dengan ekspresi yang memang benar merendahkan. Sedangkan yang adaptif akan berseloroh geje kan dengan ekspresi menerima dan mengingatkan dengan lembut untuk melampaui kebiasaan. Jadi ingat perumpamaan, semua ingin perubahan, setengahnya yang mampu mengubah, hanya satu yang benar berubah. Mental selektif ingin perubahan, mental adaptif berkehendak berubah. Yang mampu mengubah, mental jamak sih bukankah semua orang begitu ramai mengubah-ubah dan berubah-ubah ya.
Demikian sampai akhir hujan dan hujan lagi, selesai hujan bersiap pulang, hujan lagi malahan. Tidak larut sore hujan berhenti dan sebelum pulang sempat terlibat perbincangan mengenai perjalanan luar kota menggunakan sepeda motor. Tujuan untuk berjuang dan alasan untuk bertahan banget ini. Jadi ingat, makhluk hidup didesain untuk aktif mencari makna dan hanya manusia yang mampu membuat alasan untuk memberi makna melalui kepasifan. Wajar saja banyak penyakit muncul di badan makin berkuasa badan buatan bernama lembaga kesehatan, makin pasif orang-orang mengonsumsi makin aktif segelintir berkuasa dan mengendalikan. Wow, apakah perlu mencoba perjalanan jauh dengan sepeda motor sendirian. Sangat menakutkan, untuk berkendara berdua saja sudah sangat keluar zona nyaman apalagi sendirian. Atau jangan-jangan keberduaan itu yang memberi tujuan untuk berjuang dan alasan untuk bertahan. Yah, jebakan fisiologis manusia adalah makhluk individu sekaligus sosial. In-dividuus, not-divisible. Hmmm… Akhirnya berkendara pulang kandang melewati jalur yang lama tidak dilewati untuk mendapati sensasi ngeri namun punya harapan, yak rasa ini! Perjuangan itu tidak perlu hebat ternyata, sederhana dan sangat sederhana. Sesederhana kesadaran bahwa sepuluh ribu alasan untuk mencinta adalah sepuluh ribu alasan yang sama untuk membenci, dan intinya bukan alasan-alasan itu melainkan sesuatu yang hendak digambarkan oleh sepuluh ribu definisi itu.
Sebelum terlelap, mengetik merampungkan tumpahan hari pertama yang terlewat dan tidak sempat. Perlu dibahasakan perlu diungkapkan perlu dikatakan, agar tidak terjebak pengulangan dan ketidak sadaran akan kesadaran. Seusai menuntaskan satu langkah pengungkapan kebenaran bahwa diri terjebak delusi, sedikit menonton si manusia laba-laba yang jauh dari rumah dan terjebak ilusi dalam kerangka one who cannot command, must obey yang sangat jelas. Yang tidak bisa memimpin pastilah mengikuti, baik mengikuti pemimpin terdekat atau mengikuti definisi lain yang dibuat pemimpin lain yang jelas mengikuti karena tidak bisa memimpin. Tidak mampu memanfaatkan cakra kreasi di tenggorokan untuk mengubah gagasan menjadi firman yang mewujud, akhirnya menelan kegundahan dengan bantuan makanan-makanan kekinian yang terus menerus ditelan. Pencernaan urusan belakangan karena persoalan selangkangan bisa minta bantuan orang di saat ada kesempatan untuk saling silang selangkang lalu hilang bersamaan dengan penyangkalan. Sebelum terpejam mata, pengingatan hadir dalam satu frasa sederhana yang terngiang. Mengingat mimpi semalam sangat penting untuk mengambil alih kendali diri dari kebiasaan lama. Okelah besok pagi dicoba…

No comments:

Post a Comment