Monday, December 23, 2019

Keseharusnyaan 3/16

Dua puluh tiga desember dua ribu sembilan belas. Bangun dengan posisi energi plus satu, walaupun tergoda untuk meminuskannya karena memori akan rasa bersama begitu kuat dan imaji yang terlalu lekat. Kekuatan niat perlu disandingkan dengan pengetahuan untuk mendapatkan pengendalian diri, mungkin ini salah satu penerapan being human is to know what I know. Menggunakan pengetahuan untuk merealiasikan harapan ke depan, bukan menjadikan alasan untuk mengulang-ulang ke-seenaknya-an. Sebagai tipe generator menurut pendekatan human design jadi diingatkan untuk meminimalisir penyangkalan, bahwa diri ini merespon situasi baik lingkungan maupun orang lain. Pentingnya imajinasi ya di sini sepertinya, membuat lingkungan dan orang lain itu di dalam tataran imaji karena otak tidak pernah tahu mana yang nyata mana yang ilusi yang penting dipercaya maka itulah kebenarannnya. Mengingat-ingat mimpi semalam, hanya satu suasana yang teringat yaitu kebersamaan yang porsi menenangkan dan menyenangkannya pas. Ada beberapa sosok yang rasanya familiar tapi entah siapa, lupa.
Ekspektasi awal pagi ini adalah bertengger di kedai kopi biasanya, di sudut dekat pagar pinggir jalan sambil bercumbu dengan matahari. Tapi tidak jadi karena badan masih terasa berat karena penyesuaian tegangan tinggi ke tegangan yang lebih tinggi lagi di minggu liburan ini, jadi memilih ngopi di kandang saja dengan harapan bisa tenang. Tapi seperti biasa, pagi tenang yang diharapkan selalu tidak pernah terwujud dengan kesibukan di kandang tempat menumpang ini. Suara mesin air, suara kucuran air, suara cucian, obrolan, perdebatan akan hal kecil, dan terlalu banyak definisi akan kehidupan sehari-hari yang sebenarnya cukup jalani saja toh masih pagi. Untungnya tidak perlu bersiap mengisi peran kerjawan hari ini, maka menunggu dengan sumpalan lagu di telinga jadi pilihan bijaksana. Hwaaa… dari dahulu memang persoalan ruang jadi kendala. Sepertinya yang menenangkan diri adalah ruang luas yang ada dalam jangkauan pengendalian, seperti aula yang terjangkau mata dengan beberapa barang esensial saja biar tidak berisik telinga dan mata. 
Lewat waktunya mengisi baterai dengan badan sudah terasa ringan dan mata tidak dapat lagi terpejam, keriuhan masih berlanjut tapi kelamaan kalau masih menunggu jadi hajar saja lah. Turun dengan sigap dan membuat telur ceplok dengan meminta orang-orang keluar dari area masak untuk beberapa saat. Kehadiran yang tidak dikehendaki adalah beban, rebutan oksigen soalnya dan belum lagi kalau terlalu banyak keseharusnyaan tambahan. Dari dalam diri saja sudah cukup lah keseharusnyaan ini, buktinya banyak orang yang pergi setelah melihat aslinya pribadi yang sedang dalam proses menyeimbangkan diri ini. Keseimbangan kan bukan berarti tidak ada daya, justru semakin banyak daya semakin seimbang karena semuanya akan menihilkan. Kalau belum seimbang berarti belum cukup daya yang menimpa diri, masih perlu menambah pembelajaran bisa jadi. Telur pun jadi dengan sempurna, tumben. Taburan garam himalaya di atas nasi panas jadi temannya, indah seperti sang pemberi garam himalaya ini dahulu. Teh lokalan jadi seduhan, bosan juga dengan kopi disamping terlalu riuh untuk melaksanakan ritual membuat kopi secara memuaskan. Seadanya saja lah pagi ini, yang penting suasana hati tenang karena kalau goyang tidak ada penyaluran sehat yang menenangkan.
Berangsur mulai sepi, barulah merasakan diri sendiri. Dengan kesebalan memori dan imaji muncul tak terkendali, akhirnya berseluncur di dunia internet saja lah mengonsumsi informasi. Lagi-lagi. Namun kali ini membatasi diri hingga tengah hari untuk melanjutkan membereskan bacaan dracula yang sudah setahun belum tuntas. Bacaan yang jadi teman saat aroma kehilangan mulai tercium di awal-awal, yang sampai saat ini aroma itu sudah tidak ada lagi karena memang sudah benaran hilang pun bacaannya belum selesai. Rencana awal adalah membaca di kedai kopi biasa dengan teman teh kesukaan. Kenyataannya, terdampar di tempat kabur biasa karena melihat tempat kopi itu terlalu padat manusia dan kondisi mental sedang dalam suasana kehilangan tameng untuk berebutan oksigen dengan banyak orang. Daripada tewas diam-diam lebih baik menyelamatkan diri dengan kembali kepada kebiasaan lama, duh… yang dibenci yang dilakukan sendiri karena tidak memiliki apa lagi selain yang diketahui saja. Yasudahlah, bereskan dulu satu babak buku dracula ini sambil meminum seduhan teh pabrikan beraroma melati seadanya.
Bosan setelah dua jam, memutuskan pindah ke kedai kopi langganan awal si tulang hitam. Yang katanya sudah berganti nama dan semakin terkenal, benar saja karena tempat yang biasanya lengang itu kini padat dengan kehadiran. Jadi ingat perkataan teman bahwa sebelah kantornya ada kedai kopi kecil yang biasanya sepi, akhirnya mendarat di lokasi itu. Benar, sepi. Terlalu sepi. Pesan kopi, numpang toilet, mencecap magic dengan arabika garut yang rasanya biasa. Malahan sepertinya seduhan di kandang dengan susu bubuk lebih mantap, ah ini kan selera saja. Hal menarik dari kopi bersajak biru ini adalah dekorasinya yang asik, juga gelasnya yang unik. Ditemani kawan yang baru keluar kantornya, terdiam. Sepi menarik kenangan, liburan yang bernuansa kehilangan tahun ini. Tahun lalu nuansanya pencarian jalan tengah yang menenangkan. Dua tahun lalu nuansanya bromo dan malang. Tiga tahun lalu nuansanya usaha jualan kopi di simpang dago. Empat tahun lalu nuansanya mengakui kerentanan diri. Wah, cepat juga waktu menghilang. Tak perlu dipikirkan kata si kawan, bawa saja semuanya dalam menjalani saat ini. Seperti kisahnya yang sudah enam tahun bertahan dalam perjuangan akan persinggahan untuk menemukan ruang pulang semacam rumah. Jadi terlintas untuk melanjutkan rencana awal mencari kontrakan, di daerah tempat kedai kopi ini berada tampaknya menarik.
Nostalgia melelahkan perlu diakhiri sebelum adzan maghrib berkumandang. Angkat pantat, bayar minuman, tunggangi kesayangan, lanjut menembus kemacetan. Jalur lama yang tidak dilewati kini dilewati lagi, biarlah nostalgia lagi hanya kali ini penuh perjuangan beradaptasi dengan kemacetan jalanan dan keliaran pengendara skuter metik. We are what we ride, indeed. Kesadaran proses, kenangan nostalgia, pemahaman akan pola, dan usaha menerima terutama kebodohan diri, berlangsung sepanjang jalan layang perbatasan kota macet se-indonesia ini ke arah kota hijau yang bukan karena tumbuhan tapi karena seragam. Banyak hal yang salah sebagai pemula dalam kerentanan berelasi terulang-ulang kembali di ingatan, semacam belajar di saat sedang berkendara. Tidak mengapa karena selalu seperti ini proses mendapatkan inspirasi bagi si penyangkal ini. Mungkin selanjutnya akan lebih dewasa menyesuaikan dengan usia, karena kemarin adalah yang pertama dan perdana. Harapan. Muncul harapan. Ah, oke tidak baik untuk terlalu menyangkal. Jadi terima saja bahwa ada harapan, ada penyangkalan, ada juga kesadaran, muncul bersamaan pas membelokan sepeda motor ini masuk ke komplek kandang tempat numpang.
Keramaian membawa diri duduk di kursi depan sambil makan malam, kursi yang di tahun lalu dan mungkin saja di tanggal yang sama ada sosok yang berusaha diperjuangkan. Walaupun dengan cara kekanakan yang banyak marah-marahnya karena baru pertama kali, mau mengusahakan jalan tengah yang menenangkan sampai belakangan baru tahu kalau usaha itu dipahami sebagai terlalu menahan diri dan tidak menampilkan keinginan memperjuangkan. Yah… yang selanjutnya lah lebih seimbang, antara mengusahakan dan menampilkan. Tapi saat ini, biarkan saja nostalgia meraja. Sesak juga rasanya, antara kekenyangan karena terlalu banyak mengambil porsi makanan ini dengan kesebalan karena terlalu banyak terlintas kenangan dan evaluasi akan terlalu banyak langkah salah pemula yang kecil namun sangat mengganjal. Membiarkan kesepian merasuk kembali setelah setahun ditinggalkan, untungnya itu masih setia kembali. Bagaimana tidak, berpuluh tahun menghinggapi. Tapi tetap saja, perlu penyesuaian walaupun jeda setahun itu sebentar dibandingkan kebersamaan berpuluh tahun. Bikin malas akhirnya terdampar di pulau kapuk dengan gundah yang hening, terlalu hening.
Tidak bisa tidur dong. Ambil peralatan ritual kopi untuk membalas rasa tidak puas akan kopi di kedai sore tadi, mumpung sepi. Sekalian uji coba distilasi vinegar yang tidak sengaja terbuat karena kelupaan proses menyaring saat dua tahun lalu mencoba membuat wine buah. Bersamaan, ya bersamaan walaupun multitasking itu ilusi tapi nyambi itu realita. Gimana aja yang bilang menunggu tapi sambil mengisinya dengan yang lain. Itu ilusi karena tidak menunggu kan, kalau menunggu ya tidak perlu mengisinya dengan yang lain. Kalau mengisi dengan yang lain, itu sih namanya nyambi. Dapet syukuri, gak dapet sukurin, kalau bosan ya tinggalin. Demm!! Oke lanjut, ternyata distilasi menggunakan mokapot itu gagal. Yasudah, paling tidak seduhan latte kopi brazil dengan susu bubuk full cream nya enak. Cuci-cuci bereskan semuanya, sambil menyeruput kopi susu sambil menuliskan kisah keseharusnyaan hari ketiga ini. Malam ini coba niatin mengingat mimpi lagi ah… seperti biasa, selalu mulai dari awal lagi dengan periode yang semakin berkurang dan angka yang semakin bertambah.

No comments:

Post a Comment